“Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul, dan ragamnya,
berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya. Semua
merupakan satu keluarga besar.”
Beberapa minggu yang lalu, saya
menghabiskan sore di rumah teman untuk membuat gambar yang di hari berikutnya
akan kami serahkan sebagai seserahan simbolis kepada pihak sebuah universitas
yang kebetulan kami lawati. Tapi beruntung, saya segera pulang tak lama setelah
adzan maghrib kala itu, karena sesampainya dirumah saya mendapati banyak hal
menyenangkan; sepotong rainbow cake dan
film berbau perjuangan rakyat Indonesia semasa kolonialisme. Apa lagi yang
lebih sempurna dari ini?
Oke, saya akui, saya bukan seorang movie freak yang siap sedia mengantri di
loket bioskop untuk menikmati setiap film terhangat yang baru rilis. Kebanyakan
film layar lebar yang saya tonton malah baru sampai di hadapan saya begitu
sudah turun kelas dan tayang di televisi. Bukan seorang apresiator yang baik?
Ya, maaf kalau begitu. Tapi di kepala saya film bioskop terlanjur identik
dengan mereka yang mainstream dan lumrah jadi tontonan manusia seusia saya,
ringan-ringan saja, temanya umum, dan saya jujur tidak suka yang semacam itu.
Saya lebih seperti semacam seorang pengagum jarak jauh, yang tetap
mengapresiasi penuh karya berkualitas anak bangsa meski tanpa berkontribusi
apa-apa#plakk. Setidaknya, menulis review semacam ini, salah satu yang bisa
dilakukan oleh hanya seorang saya untuk mendukung kemajuan industri film
Indonesia. Kita bisa mempersembahkan yang berkualitas, saya percaya itu.
Kembali kepada film perjuangan dan
sepotong rainbow cake tadi. Waktu itu awal November, dekat-dekat dengan hari
pahlawan, dan mungkin karena itu juga sebuah stasiun televisi nasional
menayangkan film tentang seorang pahlawan nasional. Pahlawan nasional itu
adalah Monsigneur Albertus Soegijapranata, SJ, seorang uskup pribumi pertama di
Hindia Belanda, yang kisahnya diabadikan dalam sebuah film drama epik sejarah
Indonesia berjudul “Soegija”.
Atas dasar pengalaman luar biasa
yang saya dapat minggu malam itu, saya ingin berbagi sedikit review pada anda
sekalian. Sekiranya anda memang belum menonton, atau sedang mencari hal yang
bisa membuat anda kuasa menikmati pelajaran sejarah yang hafalannya seabrek dan
membelit otak anda, saya merekomendasikan film ini.
***
Sekilas Soegija
Film ini disutradarai oleh seorang
sutradara senior—Garin Nugroho—, yang sebelumnya sudah sukses menyutradarai
diantaranya Dua Gerbong Satu, Daun di Atas Bantal, dan Cinta dalam Sepotong Roti. Di tangan seorang sutradara kawakan,
tentu film yang tayang perdana di Bioskop tanggal 7 Juni 2012 ini sudah
diprediksi bakal menjadi sebuah mahakarya yang sukses. Tak tanggung-tanggung
biaya oprasional pewujudan film ini pun disinyalir mencapai 1,2 milyar rupiah.
Tapi melihat kembali bagaimana apiknya film ini dikemas, biaya sejumlah itu
memang dinilai cukup wajar.
Film ini melibatkan berbagai lapisan
masyrakat dengan mengambil pemain dari berbagai latar belakang budaya yang
beragam. Tak tanggung-tanggung casting pemainnya pun dilakukan langsung di
Belanda demi mendapatkan figur-figur yang sesuai untuk memainkan peran sebagai
tokoh-tokoh dalam film ini. Film “Soegija” diproduksi dengan format film perjuangan
yang menggunakan teknologi modern sehingga sangat nyaman untuk dinikmati,
diangkat dari catatan harian seorang Mgr. Soegijapranata SJ, dan mengambil
latar Perang Kemerdekaan Indonesia hingga era RIS (Republik Indonesia Serikat)
sekitar tahun 1940-1949. Film ini juga menampilkan tokoh-tokoh nasional
Indonesia lain seperti Soekarno, Fatmawati, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII, Jend. Soedirman, Soeharto, dll.
untuk dapat menggambarkan pengalaman nyata seorang Soegija. Film ini banyak
menampilkan tokoh-tokoh nyata yang dalam praktiknya difiksikan baik dari pihak
Indonesia, Belanda, maupun Jepang—militer maupun sipil— dalam
peristiwa-peristiwa keseharian yang direkonstruksi dengan cukup detil.
Sudut Pandang Albertus Soegijapranata sebagai Bingkai Cerita
Film ini berjudulkan nama, tapi
bukan sebuah film biografi. Begitulah memang adanya, dan apa boleh dikata,
kejeniusan seorang Garin Nugroho-lah yang ada dibalik semua ini. Film ini bukan
menerangkan mengenai riwayat kehidupan seorang Romo Soegija tapi lebih kepada
bagaimana kisahnya membingkai begitu banyak dan beragam kisah-kisah kecil lain
di sekitarnya dengan kapasitasnya sebagai seorang pemuka agama, sekaligus
penjujung tinggi misi kemanusiaan yang waktu itu sedang terombang-ambing penuh
ketidak pastian.
Mulai dari kisah Lingling (Andrea Reva), yang merupakan seorang
gadis kecil etnis Tionghoa Semarang yang ibunya menjadi korban kekejaman
Jepang. Bagian kisah ini sedikit memroyeksikan pandangan kita kepada istilah fujinkau, perempuan-perempuan—kebanyakan
dari etnis Tionghoa— yang diculik lalu dipekerjakan paksa sebagai pemenuh
kebutuhan biologis serdadu-serdadu Jepang yang kerap kali diperlakukan diluar
batas kemanusiaan. Beruntunglah kisah ini berakhir melegakan —dengan sedikit
suntikan nilai Katolik— Lingling dipertemukan kembali dengan ibunya selepas
berdoa untuk itu bersama Mariyem.
Lalu ada juga kisah dua orang pemuda
Belanda, yakni Robert (Wouter Zweers)
dan Hendrick (Wouter Braaf)—yang
membuat seorang teman saya tergila-gila pada film ini, dan jujur sebenarnya
saya juga#bah— yang karakternya luar biasa berlawanan. Robert adalah seorang
yang ambisius, keras dan bagaimana, ya? Pokoknya abstak lah, hampir setengah
physco begitu. Ia selalu berambisi menjadi seorang penakluk dan mesin perang
yang hebat namun akhirnya tersentuh setelah menemukan bayi tak berdosa yang
mengingatkannya untuk kembali pulang, membuatnya rindu pada ibunya, membuat
setidaknya sisi manusiawinya kembali.
Lain halnya dengan Hendrick, seorang
dokumentator yang menemukan cintanya ditengah perang. Cinta yang tak kuasa ia
miliki juga —karena perang— kepada seorang gadis pribumi, Mariyem (Anissa Hertami). Mariyem sendiri adalah
seorang translator yang kerap membaca puisi-puisi buatan serdadu-serdadu Belanda
di sebuah usaha percetakan milik kerabatnya yang kerap kali melecehkan martbat
perempuan pribumi. Salah satu hal yang akhirnya membuatnya semakin membenci
penjajah namun tak bisa ia pungkiri cintanya nyatanya berlabuh pada salah satu
dari mereka, meski sebenarnya sosok Hendrick samasekali tak seperti mereka.
Wajar saja Mariyem luluh karena sesungguhnya Hendrick adalah sosok soft hearted, 180 derajat berlawanan
dengan Robert. Mereka berdua hanya sama-sama terjebak dalam perang, itu saja.
Mereka samasekali tak mengharapkan ini, terutama karena inilah, kisah cinta
mereka tak bisa saling memiliki.
Andaikata saya yang menyutradarai film ini*bah* mungkin saya akan lebih menyoroti kisah ini sebagai kacamata sejarahnya. Ya, jadinya mungkin akan lebih seperti Titanic atau Pearl Harbor, romansa di tengah perang begitu hahaha… berhubung saya memang seorang yang lebih menganut aliran yang sentimentil semacam itu. Karena buat saya, dengan begitu kita akan dapat meresapi cerita tanpa perlu berusaha, bahkan tanpa perlu diminta, cara tahu yang jauh lebih nyaman untuk dinikmati.
Andaikata saya yang menyutradarai film ini*bah* mungkin saya akan lebih menyoroti kisah ini sebagai kacamata sejarahnya. Ya, jadinya mungkin akan lebih seperti Titanic atau Pearl Harbor, romansa di tengah perang begitu hahaha… berhubung saya memang seorang yang lebih menganut aliran yang sentimentil semacam itu. Karena buat saya, dengan begitu kita akan dapat meresapi cerita tanpa perlu berusaha, bahkan tanpa perlu diminta, cara tahu yang jauh lebih nyaman untuk dinikmati.
Kisah yang tak bisa di pisahkan dari
film ini jugalah tentang Pak Besut dan microphone-nya. Narasi sejarah yang
beliau sampaikan yang sebenarnya merupakan skenario sebuah siaran radio sesungguhnya
merupakan sebuah narasi sejarah yang amat menggelora. Mungkin kalau beliau
mengisi narasi pengantar pelajaran sejarah di sekolah, tak ada yang bakal mengantuk
jadinya. Benar-benar representatif terhadap siaran radio perjuangan yang
sebenarnya yang memang dimaksudkan untuk membakar semangat juang gerilyawan-gerilyawan kita.
Selain Pak Besut dan microphone-nya ada juga Soegito dan orkestra mininya yang mengetuk hati seorang Nobuzuki (Suzuki) dengan Bengawan Solo-nya. Juga cerita tentang anak-anak yang terpaksa tumbuh dalam perang, yang justru membawa kesegaran dan tawa kedalam film ini dengan tingkah mereka yang memaksa saya tertawa sampai keluar air mata. Apalagi adegan yang ini; "Prajurit itu kudu iso moco, tusuk A!" wkwk... koplak sumpah!
Selain Pak Besut dan microphone-nya ada juga Soegito dan orkestra mininya yang mengetuk hati seorang Nobuzuki (Suzuki) dengan Bengawan Solo-nya. Juga cerita tentang anak-anak yang terpaksa tumbuh dalam perang, yang justru membawa kesegaran dan tawa kedalam film ini dengan tingkah mereka yang memaksa saya tertawa sampai keluar air mata. Apalagi adegan yang ini; "Prajurit itu kudu iso moco, tusuk A!" wkwk... koplak sumpah!
Bukan Bentuk Kristenisasi
Benar memang kalau beranggapan bahwa
film ini diproyeksikan kedalam latar yang berbau Katolik. Dari ceritanya saja,
mengisahkan kehidupan di sekitar gereja dengan bingkai cerita berupa kronik
seorang Uskup pribumi. Mayoritas tokohnya pun berlandaskan iman yang sama,
namun unsur Katolik yang anda temukan dalam film ini tidaklah sekeras espektasi
anda ketika melihat teaser-nya tanpa suara yang banyak menampilkan setting-setting
altar sekitaran Gereja.
Film ini sebagaimana yang dipaparkan
oleh sebuah ungkapan seorang Mgr. Soegijapranata sendiri yang membukanya,
adalah mengenai kemanusiaan. Film ini juga tak bermain dengan emosi. Ini bukan
semata film yang menyoroti sebuah kisah sebagai kacamata sejarah semacam
Titanic yang beraliran Romantis-Sentimental. Kisah semacam Titanic sangat
melibatkan emosi karena kita disuguhkan sebuah cerita dimana kita akan sangat
mendalami karakter tokoh utamanya. Sedang dalam “Soegija” kita tak
diperkenankan mendalami karakter tokoh manapun. Kita hanya sekedar dikenalkan,
diperbolehkan untuk sedikit mencicipi tanpa bisa terlampau jauh menikmati.
Namun dari sanalah, film ini justru menuntut pengertian kita sendiri untuk
mendalami nilai kemanusiaan secara murni.
Kurang lebih, karena itulah saya
tidak setuju jika film ini dianggap sebagai Kristenisasi. Karena saya sempat
dengar desas-desus film ini hendak di boykot karena mengandung unsur
Kristenisasi. Pertama, Kristen, atau Katolik dalam hal ini, adalah salah satu
agama yang diakui secara resmi di negara kita. Toh tidak sepantasnya jika film
ini harus menuai protes hanya karena mengatasnamakan kaum minoritas. Yang kedua
film ini jelas hanya ‘bernuansa’ bukan ‘bernafaskan’ Kristen. Kreator dan
orang-orang yang terlibat didalamnya pun banyak yang merupakan budayawan,
orang-orang yang umumnya memandang dunia dari sudut pandang mereka yang
idealis, bukan mendukung atau bahkan berkiblatkan pada sebuah norma atau ajaran
tertentu. Dari pada soal agama, film ini menurut saya lebih mengisahkan segi
budaya. Bagaimana dengan anda? Segera simpulkan setelah anda menontonnya.
“Soegija” adalah sebuah kisah yang
sudah baik sebagaimana adanya. Sudut pandang yang ditampilkan disini adalah
yang menjadi unggulannya. Bagaimana seorang Uskup yang notabene adalah seorang
pemuka Agama yang mayoritas dianut justru oleh golongan penjajah ini menghadapi
peliknya suasana peperangan. Suasana yang mengharuskan dirinya menjadi teladan,
sekaligus jajaran orang-orang yang semestinya pertama berkorban. Suasana yang
menempatkannya dalam posisi yang sulit ketika dalam waktu yang sama dia harus
membela hak umatnya sekaligus menolong mereka yang membutuhkan pertolongan,
tanpa memandang mereka dari sudut manapun sebagaimana yang ia katakan
bahwasanya ‘Kemanusiaan adalah Satu’.
***
Penasaran karena ocehan yang saya
sampaikan diatas terlalu konyol dan berputar-putar? Tontonlah sendiri hohoho~
sebenarnya saya berniat menampilkan teasernya disini, tapi sayangnya belum bisa karena suatu masalah teknis. Tapi pemaparan saya diatas sudah cukup gamblang tentunya untuk ukuran sebuah review yang tak dilengkapi teaser~
Mungkin di lain kesempatan akan saya lengkapi.
sebenarnya saya berniat menampilkan teasernya disini, tapi sayangnya belum bisa karena suatu masalah teknis. Tapi pemaparan saya diatas sudah cukup gamblang tentunya untuk ukuran sebuah review yang tak dilengkapi teaser~
Mungkin di lain kesempatan akan saya lengkapi.
Oh, iya! Adegan favorit saya yang tertayang
disini adalah ketika Hendrick ke Hotel Asia dan dia nyanyi Als de Orchideeën Bloien bareng ibu-ibu resepsionis hotel yang
nyanyi versi bahasa Indonesianya (Bunga Anggrek) dan ngiringin nyanyiannya
Hendrick pakek Kentrung. HUAAHHHH XDD
Dan seperti biasa, sebuah soundtack
untuk menutup sebuah review. Kali ini saya berikan salah satu yang sangat
spesial untuk anda, cukup romantis kalau menurut saya.
Als de Orchideeën Bloien
Bunga
Anggrek
Als de orchideeën
bloeien
Denk ik
steeds terug aan jou
Dan denk ik
aan de zoete tijden
Hoe ik zoveel
van je hou
Als de
orchideeën bloeien
Ween ik vaak
van liefdesmart
Want ik kan
niet bij je wezen
g’lijk
weleer, mijn lieve schat
Maar nu ben
je van een ander
Voorbij is de
romantiek
Kom toch
terug bij mij weder
Jou vergeten
kan ik niet
Als de
orchideeën bloeien
dan denk ik
terug aan jou
Denk toen aan
die zoete tijden
toen je zei:
Ik hou van jou
Artinya kurang lebih mengisahkan
tentang perpisahan karena cinta yang tak bisa memiliki. Seorang gadis yang
merana ditinggal kembali pria yang dicintainya ke negeri asalnya ktika perang
usai. Lagu ini klop banget sama ceritanya Hendrick dan Mariyem, terlebih dari
sudut pandang seorang awam perfilman seperti saya yang berusaha menikmati
cerita ditengah segala keterbatasan kepekaan yang saya punya. Meskipun romansa
dalam film ini hanya sekedar selentingan, tetap inilah yang membuat saya jatuh
cinta.
No comments:
Post a Comment