Trending Topics

.

.

Tuesday, December 04, 2012

Soegija; Sejarah dan Kemanusiaan, bukan Propaganda Katolik






“Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul, dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya. Semua merupakan satu keluarga besar.”

Beberapa minggu yang lalu, saya menghabiskan sore di rumah teman untuk membuat gambar yang di hari berikutnya akan kami serahkan sebagai seserahan simbolis kepada pihak sebuah universitas yang kebetulan kami lawati. Tapi beruntung, saya segera pulang tak lama setelah adzan maghrib kala itu, karena sesampainya dirumah saya mendapati banyak hal menyenangkan; sepotong rainbow cake  dan film berbau perjuangan rakyat Indonesia semasa kolonialisme. Apa lagi yang lebih sempurna dari ini?

Oke, saya akui, saya bukan seorang movie freak yang siap sedia mengantri di loket bioskop untuk menikmati setiap film terhangat yang baru rilis. Kebanyakan film layar lebar yang saya tonton malah baru sampai di hadapan saya begitu sudah turun kelas dan tayang di televisi. Bukan seorang apresiator yang baik? Ya, maaf kalau begitu. Tapi di kepala saya film bioskop terlanjur identik dengan mereka yang mainstream dan lumrah jadi tontonan manusia seusia saya, ringan-ringan saja, temanya umum, dan saya jujur tidak suka yang semacam itu. Saya lebih seperti semacam seorang pengagum jarak jauh, yang tetap mengapresiasi penuh karya berkualitas anak bangsa meski tanpa berkontribusi apa-apa#plakk. Setidaknya, menulis review semacam ini, salah satu yang bisa dilakukan oleh hanya seorang saya untuk mendukung kemajuan industri film Indonesia. Kita bisa mempersembahkan yang berkualitas, saya percaya itu.

Kembali kepada film perjuangan dan sepotong rainbow cake tadi. Waktu itu awal November, dekat-dekat dengan hari pahlawan, dan mungkin karena itu juga sebuah stasiun televisi nasional menayangkan film tentang seorang pahlawan nasional. Pahlawan nasional itu adalah Monsigneur Albertus Soegijapranata, SJ, seorang uskup pribumi pertama di Hindia Belanda, yang kisahnya diabadikan dalam sebuah film drama epik sejarah Indonesia berjudul “Soegija”.
Atas dasar pengalaman luar biasa yang saya dapat minggu malam itu, saya ingin berbagi sedikit review pada anda sekalian. Sekiranya anda memang belum menonton, atau sedang mencari hal yang bisa membuat anda kuasa menikmati pelajaran sejarah yang hafalannya seabrek dan membelit otak anda, saya merekomendasikan film ini.
***

Sekilas Soegija

Film ini disutradarai oleh seorang sutradara senior—Garin Nugroho—, yang sebelumnya sudah sukses menyutradarai diantaranya Dua Gerbong Satu, Daun di Atas Bantal, dan Cinta dalam Sepotong Roti. Di tangan seorang sutradara kawakan, tentu film yang tayang perdana di Bioskop tanggal 7 Juni 2012 ini sudah diprediksi bakal menjadi sebuah mahakarya yang sukses. Tak tanggung-tanggung biaya oprasional pewujudan film ini pun disinyalir mencapai 1,2 milyar rupiah. Tapi melihat kembali bagaimana apiknya film ini dikemas, biaya sejumlah itu memang dinilai cukup wajar.

Film ini melibatkan berbagai lapisan masyrakat dengan mengambil pemain dari berbagai latar belakang budaya yang beragam. Tak tanggung-tanggung casting pemainnya pun dilakukan langsung di Belanda demi mendapatkan figur-figur yang sesuai untuk memainkan peran sebagai tokoh-tokoh dalam film ini. Film “Soegija” diproduksi dengan format film perjuangan yang menggunakan teknologi modern sehingga sangat nyaman untuk dinikmati, diangkat dari catatan harian seorang Mgr. Soegijapranata SJ, dan mengambil latar Perang Kemerdekaan Indonesia hingga era RIS (Republik Indonesia Serikat) sekitar tahun 1940-1949. Film ini juga menampilkan tokoh-tokoh nasional Indonesia lain seperti Soekarno, Fatmawati, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII, Jend. Soedirman, Soeharto, dll. untuk dapat menggambarkan pengalaman nyata seorang Soegija. Film ini banyak menampilkan tokoh-tokoh nyata yang dalam praktiknya difiksikan baik dari pihak Indonesia, Belanda, maupun Jepang—militer maupun sipil— dalam peristiwa-peristiwa keseharian yang direkonstruksi dengan cukup detil.


Sudut Pandang Albertus Soegijapranata sebagai Bingkai Cerita

Film ini berjudulkan nama, tapi bukan sebuah film biografi. Begitulah memang adanya, dan apa boleh dikata, kejeniusan seorang Garin Nugroho-lah yang ada dibalik semua ini. Film ini bukan menerangkan mengenai riwayat kehidupan seorang Romo Soegija tapi lebih kepada bagaimana kisahnya membingkai begitu banyak dan beragam kisah-kisah kecil lain di sekitarnya dengan kapasitasnya sebagai seorang pemuka agama, sekaligus penjujung tinggi misi kemanusiaan yang waktu itu sedang terombang-ambing penuh ketidak pastian.



Mulai dari kisah Lingling (Andrea Reva), yang merupakan seorang gadis kecil etnis Tionghoa Semarang yang ibunya menjadi korban kekejaman Jepang. Bagian kisah ini sedikit memroyeksikan pandangan kita kepada istilah fujinkau, perempuan-perempuan—kebanyakan dari etnis Tionghoa— yang diculik lalu dipekerjakan paksa sebagai pemenuh kebutuhan biologis serdadu-serdadu Jepang yang kerap kali diperlakukan diluar batas kemanusiaan. Beruntunglah kisah ini berakhir melegakan —dengan sedikit suntikan nilai Katolik— Lingling dipertemukan kembali dengan ibunya selepas berdoa untuk itu bersama Mariyem.



Lalu ada juga kisah dua orang pemuda Belanda, yakni Robert (Wouter Zweers) dan Hendrick (Wouter Braaf)—yang membuat seorang teman saya tergila-gila pada film ini, dan jujur sebenarnya saya juga#bah— yang karakternya luar biasa berlawanan. Robert adalah seorang yang ambisius, keras dan bagaimana, ya? Pokoknya abstak lah, hampir setengah physco begitu. Ia selalu berambisi menjadi seorang penakluk dan mesin perang yang hebat namun akhirnya tersentuh setelah menemukan bayi tak berdosa yang mengingatkannya untuk kembali pulang, membuatnya rindu pada ibunya, membuat setidaknya sisi manusiawinya kembali.



Lain halnya dengan Hendrick, seorang dokumentator yang menemukan cintanya ditengah perang. Cinta yang tak kuasa ia miliki juga —karena perang— kepada seorang gadis pribumi, Mariyem (Anissa Hertami). Mariyem sendiri adalah seorang translator yang kerap membaca puisi-puisi buatan serdadu-serdadu Belanda di sebuah usaha percetakan milik kerabatnya yang kerap kali melecehkan martbat perempuan pribumi. Salah satu hal yang akhirnya membuatnya semakin membenci penjajah namun tak bisa ia pungkiri cintanya nyatanya berlabuh pada salah satu dari mereka, meski sebenarnya sosok Hendrick samasekali tak seperti mereka. Wajar saja Mariyem luluh karena sesungguhnya Hendrick adalah sosok soft hearted, 180 derajat berlawanan dengan Robert. Mereka berdua hanya sama-sama terjebak dalam perang, itu saja. Mereka samasekali tak mengharapkan ini, terutama karena inilah, kisah cinta mereka tak bisa saling memiliki. 



Andaikata saya yang menyutradarai film ini*bah* mungkin saya akan lebih menyoroti kisah ini sebagai kacamata sejarahnya. Ya, jadinya mungkin akan lebih seperti Titanic atau Pearl Harbor, romansa di tengah perang begitu hahaha… berhubung saya memang seorang yang lebih menganut aliran yang sentimentil semacam itu. Karena buat saya, dengan begitu kita akan dapat meresapi cerita tanpa perlu berusaha, bahkan tanpa perlu diminta, cara tahu yang jauh lebih nyaman untuk dinikmati.



Kisah yang tak bisa di pisahkan dari film ini jugalah tentang Pak Besut dan microphone-nya. Narasi sejarah yang beliau sampaikan yang sebenarnya merupakan skenario sebuah siaran radio sesungguhnya merupakan sebuah narasi sejarah yang amat menggelora. Mungkin kalau beliau mengisi narasi pengantar pelajaran sejarah di sekolah, tak ada yang bakal mengantuk jadinya. Benar-benar representatif terhadap siaran radio perjuangan yang sebenarnya yang memang dimaksudkan untuk membakar semangat juang gerilyawan-gerilyawan kita.

Selain Pak Besut dan microphone-nya ada juga Soegito dan orkestra mininya yang mengetuk hati seorang Nobuzuki (Suzuki) dengan Bengawan Solo-nya. Juga cerita tentang anak-anak yang terpaksa tumbuh dalam perang, yang justru membawa kesegaran dan tawa kedalam film ini dengan tingkah mereka yang memaksa saya tertawa sampai keluar air mata. Apalagi adegan yang ini; "Prajurit itu kudu iso moco, tusuk A!" wkwk... koplak sumpah!


Bukan Bentuk Kristenisasi

Benar memang kalau beranggapan bahwa film ini diproyeksikan kedalam latar yang berbau Katolik. Dari ceritanya saja, mengisahkan kehidupan di sekitar gereja dengan bingkai cerita berupa kronik seorang Uskup pribumi. Mayoritas tokohnya pun berlandaskan iman yang sama, namun unsur Katolik yang anda temukan dalam film ini tidaklah sekeras espektasi anda ketika melihat teaser-nya tanpa suara yang banyak menampilkan setting-setting altar sekitaran Gereja.

Film ini sebagaimana yang dipaparkan oleh sebuah ungkapan seorang Mgr. Soegijapranata sendiri yang membukanya, adalah mengenai kemanusiaan. Film ini juga tak bermain dengan emosi. Ini bukan semata film yang menyoroti sebuah kisah sebagai kacamata sejarah semacam Titanic yang beraliran Romantis-Sentimental. Kisah semacam Titanic sangat melibatkan emosi karena kita disuguhkan sebuah cerita dimana kita akan sangat mendalami karakter tokoh utamanya. Sedang dalam “Soegija” kita tak diperkenankan mendalami karakter tokoh manapun. Kita hanya sekedar dikenalkan, diperbolehkan untuk sedikit mencicipi tanpa bisa terlampau jauh menikmati. Namun dari sanalah, film ini justru menuntut pengertian kita sendiri untuk mendalami nilai kemanusiaan secara murni.

Kurang lebih, karena itulah saya tidak setuju jika film ini dianggap sebagai Kristenisasi. Karena saya sempat dengar desas-desus film ini hendak di boykot karena mengandung unsur Kristenisasi. Pertama, Kristen, atau Katolik dalam hal ini, adalah salah satu agama yang diakui secara resmi di negara kita. Toh tidak sepantasnya jika film ini harus menuai protes hanya karena mengatasnamakan kaum minoritas. Yang kedua film ini jelas hanya ‘bernuansa’ bukan ‘bernafaskan’ Kristen. Kreator dan orang-orang yang terlibat didalamnya pun banyak yang merupakan budayawan, orang-orang yang umumnya memandang dunia dari sudut pandang mereka yang idealis, bukan mendukung atau bahkan berkiblatkan pada sebuah norma atau ajaran tertentu. Dari pada soal agama, film ini menurut saya lebih mengisahkan segi budaya. Bagaimana dengan anda? Segera simpulkan setelah anda menontonnya.

“Soegija” adalah sebuah kisah yang sudah baik sebagaimana adanya. Sudut pandang yang ditampilkan disini adalah yang menjadi unggulannya. Bagaimana seorang Uskup yang notabene adalah seorang pemuka Agama yang mayoritas dianut justru oleh golongan penjajah ini menghadapi peliknya suasana peperangan. Suasana yang mengharuskan dirinya menjadi teladan, sekaligus jajaran orang-orang yang semestinya pertama berkorban. Suasana yang menempatkannya dalam posisi yang sulit ketika dalam waktu yang sama dia harus membela hak umatnya sekaligus menolong mereka yang membutuhkan pertolongan, tanpa memandang mereka dari sudut manapun sebagaimana yang ia katakan bahwasanya ‘Kemanusiaan adalah Satu’.

***

Penasaran karena ocehan yang saya sampaikan diatas terlalu konyol dan berputar-putar? Tontonlah sendiri hohoho~

sebenarnya saya berniat menampilkan teasernya disini, tapi sayangnya belum bisa karena suatu masalah teknis. Tapi pemaparan saya diatas sudah cukup gamblang tentunya untuk ukuran sebuah review yang tak dilengkapi teaser~

Mungkin di lain kesempatan akan saya lengkapi.

Oh, iya! Adegan favorit saya yang tertayang disini adalah ketika Hendrick ke Hotel Asia dan dia nyanyi Als de Orchideeën Bloien bareng ibu-ibu resepsionis hotel yang nyanyi versi bahasa Indonesianya (Bunga Anggrek) dan ngiringin nyanyiannya Hendrick pakek Kentrung. HUAAHHHH XDD



Dan seperti biasa, sebuah soundtack untuk menutup sebuah review. Kali ini saya berikan salah satu yang sangat spesial untuk anda, cukup romantis kalau menurut saya.


Als de Orchideeën Bloien

Bunga Anggrek

Als de orchideeën bloeien
Denk ik steeds terug aan jou
Dan denk ik aan de zoete tijden
Hoe ik zoveel van je hou
Als de orchideeën bloeien
Ween ik vaak van liefdesmart
Want ik kan niet bij je wezen
g’lijk weleer, mijn lieve schat
Maar nu ben je van een ander
Voorbij is de romantiek
Kom toch terug bij mij weder
Jou vergeten kan ik niet
Als de orchideeën bloeien
dan denk ik terug aan jou
Denk toen aan die zoete tijden
toen je zei: Ik hou van jou

Artinya kurang lebih mengisahkan tentang perpisahan karena cinta yang tak bisa memiliki. Seorang gadis yang merana ditinggal kembali pria yang dicintainya ke negeri asalnya ktika perang usai. Lagu ini klop banget sama ceritanya Hendrick dan Mariyem, terlebih dari sudut pandang seorang awam perfilman seperti saya yang berusaha menikmati cerita ditengah segala keterbatasan kepekaan yang saya punya. Meskipun romansa dalam film ini hanya sekedar selentingan, tetap inilah yang membuat saya jatuh cinta.

No comments:

Post a Comment