Trending Topics

.

.

Monday, December 31, 2012

The Time Voyager: Living Through 2012


Tanggal 31, bulan Desember. Agak sedih dan bahagia saya mendapatinya. Banyak hal yang terjadi di tahun yang menaungi pergantian usia saya dari yang ke 15 jadi yang ke 16 ini. Banyak sekali bahkan, dan oleh karena itu, sebagai tilas terakhir tahun ini, saya akan mencoba untuk mendokumentasikannya.


Year of Thinking

Tahun ini, saya resmi jadi The Thinker yang terduduk tanpa busana, menunduk, sambil menopang dagu#gakgitujugakali. Kenapa? Karena baru pada tahun ini saya merasakan perubahan ini pada diri saya, entah bagaimana awalnya saya jadi terlalu memikirkan setiap hal, lalu kemudian saya tarik garis besarnya dan saya sambung dengan kerangka teori kehidupan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Saya rasa, setiap kejadian atau peristiwa yang saya alami memang memiliki pola yang kadang kala serupa dalam skala yang lebih besar, oleh karenanya sungguh tidak rugi menyimpulkannya sebagai sebuah teori dan menerapkannya di kasus serupa yang selanjutnya. Jika berminat, boleh ikuti saran saya.

Satu lagi yang membuat saya menjadi The Thinker, yakni masalah yang tak henti menggoda saya tahun ini. Di awal tahun ada kabar baik bagi mayoritas orang tapi bencana buat saya; Yep, MASUK PROGRAM IPA lantaran keseluruhan dari isi kelas saya memang dijuruskan kesana dan bukan ke PROGRAM IPS, hanya karena status “penghuni kelas akselerasi” yang menaungi kami dan saya tak punya kuasa untuk menentangnya, samasekali. Sekarang kalian coba bandingkan program IPS dan IPA, perbedaan apa saja yang menaungi keduanya? BUANYAK? Ya. Saya yang terbiasa berpikir dengan otak kanan, membaca, mencari referensi dari berbagai sumber, membayangkan, mengurut kronik suatu peristiwa, berorasi dalam debat, presentasi setelah melakukan studi kasus, dan mempelajari bidang yang luas kini dipaksa untuk memprioritaskan apa yang selama ini hanya meraih suara minoritas dalam pengambilan suara hati saya. Rasanya? Haah, di awal jelas saya sakit hati, tapi saya lantas mencoba untuk menghadapi kenyataan bahwa raga saya memang terduduk di kursi di salah satu kelas program IPA, bahwa identitas saya memang terdaftar sebagai seorang penghuni program neraka ini.
Masalah kedua: nilai terjun bebas. Dari tiga besar saya meluncur hingga ke peringkat 6, hebat? Of, course, gue gituloh(?). Ohohoho, tapi itu tak sepenuhnya terdengar buruk juga kok, seorang IPS sejati meraih peringkat 6 di kelas IPA, soswit kan? Nilai geografi, ekonomi, dan sosiologi saya yang notabene jauh-jauh lebih bagus dibanding nilai eksak saya yang super minim dan nyrempet KKM melayang jauh-jauh, mengapung tinggi-tingggi, lepas dari rengkuhan saya dan tergantikan oleh intensifitas pelajaran-pelajaran eksak yang tak menghasilkan progress apa-apa.

Masalah selanjutnya: ketika singa podium menjelma menjadi kerbau. Mungkin semua penghuni kelas hapal, kalo saya tukang nyari ribut pas presentasi, terutama bila masalahnya berkaitan dengan mata pelajaran yaah, semacam PKn atau Sejarah. Menurut saya dua mata pelajaran yang sedianya merupakan prioritas di kelas IPS tersebut memang memiliki banyak percabangan, bukan seperti eksak yang hanya terdiri dari satu garis lurus, dan percabangan itu sangat menarik untuk dikorek lebih dalam, ditelusuri lebih jauh karena akan begitu banyak segi persepsi yang akan muncul, dan disitulah perdebatan akan tercetus, dan kuncinya hanya berbicara dengan meyakinkan dengan dibekali sedikit referensi, maka anda akan jadi pemenangnya. Tapi di kelas saya sekarang bukan PKn atau Sejarah yang menjadi prioritas, samasekali bukan karena justru para eksak yang menempati posisi itu. Sedang dalam eksak, saya tak tahu apa-apa. Kemampuan hitung-hitungan saya nol besar. Otak saya tetap diperas meski samasekali tak menghasilkan susu, dan akhirnya? Ungkapan ‘puyeng’ saat menghadapi masalah itu bukan sekedar definisi verbal dari keengganan untuk melanjutkan usaha lebih jauh, melainkan memang stagnanisasi progress dan ujung pangkal kesediaan. Saat berada dalam situasi semacam itu kepala saya memang pusing, tanpa rekayasa atau campur tangan penyakit, tapi murni karena ‘tekanan’. Lagipula saya tak habis pikir dengan sistemnya, integral, differensial, vektor, biloks, redoks, tetapan gas ideal dan lain sebagainya —saya tak begitu tahu lah persisnya— dipelajari dalam satu kurun waktu yang sama dan bukan hanya dalam standarisasi level dasar, tapi sudah cukup —bahkan ‘sangat’ bagi orang seperti saya—sulit. Apa kelak dalam kehidupan kami di waktu mendatang, rumus-rumus itu memang aplikatif? Saya rasa tidak, bukan begitu? Satu atau dua bulan setelah mempelajarinya saja sudah lupa, bagaimana dengan tahunan? Kelak kala itu berguna pun kita mau tak mau harus mempelajarinya lagi bukan? Jadi apa gunanya selain mengagungkan mesin-mesin hitung handal dan memberikan mereka peluang raksasa untuk mendulang emas sebanyak-banyaknya. Oke, ini keberuntungan kalian karena berada pada ladang yang tepat, man!

Masalah lagi: Masa depan. Oh, yeah! Ini anugerah atau masalah sebenarnya? Puji syukur, saya masih diberi usia hingga di tahun yang ke enambelas setelah kelahiran saya ini. Dan itu berarti tantangan yang lebih tinggi standarnya akan saya temui berkenaan dengan progress yang mestinya memang mengimbangi semakin tua-nya saya juga. Tantangan untuk usia ini saya akui memang banyak sekali, salah satunya bertahan di Laut Kaspia padahal sedianya kau adalah penghuni air tawar, dan menentukan masa depan, tentunya. Secepat mungkin setelah periode yang ditentukan ini habis saya akan segera pergi jauh dari Laut Kaspia dan menuju entah mana, danau dengan air tawar paling segar di dunia. Masalahnya saya tak tahu persisnya dimana danau itu, saya hanya tahu jika ia adalah sebuah danau air tawar, dan saya harus menentukan pilihan saya, lalu kemudian berusaha untuk mencapainya hanya dalam empat sampai enam bulanan waktu yang tersisa.


Dari Fashion Designer ke Sejarawan

Siapa bilang pola pikir saya tak bertransformasi? Jelas-jelas sangat. HahaDulu, pas SMP cita-cita saya ya mau jadi fashion designer. Cita-cita yang sungguh dipandang sebelah mata, bahkan oleh orang tua saya. Memang saya suka Fashion Design, tapi setelah saya pikir pikir, fashion design itu bukan hanya soal mendesain pakaian, tapi juga punya banyak faktor pendukung. Contohnya bisnis dan hidup highclass, bergaul dengan para model dan rekan-rekan fashion designer kawakan, juga selebriti. Saya juga gak begitu suka dengan dunia bisnis. Apa saya bisa? Itu yang saya pertanyakan. Lagipula, jika saat kuliah saya mengambil jurusan fashion design, itu berarti saya hannya akan mengedepankan aspek keterampilan tanpa aspek kognitif yang cukup ditekankan. Jika sudah begitu, mau dikemanakan jiwa IPS saya?

Akhirnya, saya memutuskan untuk mengikuti kata orang tua saya yakni mengesampingkan fashion design untuk ditekuni nantinya sebagai sambilan. Lagipula dalam fashion design yang terpenting kan kreativitas, asalkan saya tak berhenti mengasahnya itu nggak akan tumpul ‘kan? Lagipula yang tak kalah penting juga soal selera, dan saya rasa selera saya nggak akan berubah. Fashion design bukan fashion producing yang mengikuti trend, tapi tugas FD sendiri adalah untuk menciptakan trend. Jadi saya rasa ini bukan masalah besar. Mungkin suatu saat saya bisa tetap menekuni profesi saya sambil mengasuh butik dirumah.

Saya memang menuruti saran beliau berdua untuk mengesampingkan soal fashion design, tapi saya nggak setuju dengan saran beliau buat jadi guru bahasa Inggris dan kemudian jadi PNS. Saya udah mati rasa sama PNS, kesannya udah nggak sebaik dulu di mata saya. Lagipula saya nggak mau bekerja dengan menekuni bidang yang sama, terus menerus begitu sampai tua. Sedangkan itu yang ada di bayangan saya kalau memang saya jadi PNS guru bahasa Inggris. Akhirnya saya lebih memilih untuk bersama yang sejak dulu setia pada saya, apalagi kalau bukan Sejarah.

Pilihan pertama universitas saya jatuhkan pada FIB, jurusan Ilmu Sejarah—bukan Pendidikan Sejarah, lho—, meski universitasnya masih bingung, mau UI atau UGM. Kenapa saat teman-teman yang lain berjuang mati-matian buat masuk jurusan favorit semacam Kedokteran, Gizi, Akutansi, Psikologi, Hubungan Internasional, dan lain lain, saya malah memilih jurusan dengan passing grade rendah semacam Sejarah? hahaha, jawabannya tentu bukan karena saya menghindari persaingan. Persaingan sih boleh aja, lagipula saya juga suka ditantang selama itu dalam bidang yang saya tekuni. Habis mau bagaimana lagi kalau memang bidang saya itu bidang yang minor. Sekalinya jurusan Ilmu Sejarah menduduki urutan satu peminat terbanyak pun saya mungkin akan tetap ambil. Habis bagaimana, saya sudah betulan cinta sama Sejarah.

Sejak jauh jauh hari saya sudah banyak baca soal jurusan Sejarah, tentunya juga soal lulusannya yang susah dapet kerja. Tapi saya memilih sejarah karena memang saya suka sejarah, mungkin mereka yang sulit dapet kerja adalah mereka yang setengah hati sama bidang kuliahnya. Untuk kedepannya, bismillahirrahman nirrahim aja, semoga saya diberi kemudahan. Yang jelas, kecintaan, cita-cita, yang dibarengi dengan usaha nggak akan berbuah jelek ‘kan?


Eropa Masih Menggoda

Kuliah di luar negeri? Banget, masih menjadi impian saya banget. Tak mesti jurusan Fashion Design juga kan, untuk kuliah di luar negeri? Meski sampai sekarang pun para calon-calon Fashion Designer di Pearsons, La Salle masih keren dimata saya. Ini bukan berarti saya melupakan impian saya untuk jadi fashion designer yang kadung sudah saya umbar kemana-mana lo, dudes. Buat kalian yang merasa sudah menerima pernyataan kesediaan saya buat merancangkan wedding dress kalian, kawan-kawan lama saya yang baik hati, silakan tagih sesukanya. Insyaallah kalau hanya mendesain-kan saya selalu siap sedia :D

Saya memilih Sejarah karena saya ingin mendalami bidang keilmuannya. Saya kira, seorang akademisi bisa melakukan banyak hal, bukan begitu? Tapi seni tetap nafas saya. Dan sekarang, impian saya adalah untuk jadi seorang sejarawan, impian yang sama konyolnya dengan jadi fashion designer, sama-sama kerap dipandang sebelah mata. Sejarawan di Indonesia mau makan apa? Entah makan apa, yang jelas banyak yang perlu dilakukan oleh seorang sejarawan untuk Indonesia. Saya melihat identitas bangsa yang mulai pudar oleh warna-warna asing, dan ingatan bangsa yang tersingkir dari generasi penerus. Ini misi saya, saya ingin membawa kisah-kisah masa lalu itu terangkai dalam untaian yang indah kehadapan mereka. Sehingga negara kita akan tetap menjadi sebuah negara, bukan sekedar jasad tak bernyawa.

Lulus dari fakultas Ilmu Sejarah nanti, saya berharap bisa jadi dosen atau bekerja di sebuah lembaga riset sambil menulis buku. Saya ingin terus belajar, dan berpetualang tentunya. S2 di Universitas Leiden, Nederlands? Mengambil spesialisasi Kolonialisme Barat di Asia Tenggara? *Amin* dan... mungkin saja 'kan? Yang penting saya harus terus berusaha. Haah… agaknya saya jadi tak sabar kalau demikian…

Eropa masih menjadi benua biru impian saya. Kemanapun saya akan dengan senang hati, ke Prancis, Italia, Spanyol, Nederland, Austria, Jerman, Belgia, Andorra, Monaco, Polandia, Hongaria, kemanapun! Disana banyak hal yang tak ada harganya disini diperlakukan bak rempah-rempah di masa Rennaisans, contohnya seni dan sejarah absolutely. Bangunan-bangunan tua yang disini dibiarkan teronggok runtuh sendiri-sendiri, disana dirawat betul, dijadikan gedung pemerintahan bahkan hotel, membuat dari luarnya pun kota terlihat sangat klasik. Seniman-seniman jalanan juga hidup sejahtera karena pemerintah dan masyarakatnya sama-sama menaruh apresiasi yang tinggi terhadap mereka. Museum menjadi tempat yang ramai dan prioritas kunjungan wisata. Saya pikir, kapan Indonesia bisa jadi demikan?


Year of Traveling

Terhitung sembilan kali saya mengadakan perjalanan ‘berat’ tahun ini. Padahal biasanya saya dan keluarga termasuk yang jarang bepergian. Tahun ini dibuka dengan perjalanan ke Salatiga setelah dua tahun saya nggak kesana, dan selepasnya saya menulis post saya yang judulnya ‘Rolade’. Sekitar bulan Februari, saya dan teman-teman sekelas berkunjung ke Ciwidey. Menghabiskan tiga hari dua malam di pinggir Situ Patenggang dan mampir sejenak ke Kawah Putih. Awal bulan Mei, meninggalnya Mbah Kakung saya membuat sekeluarga besar terpukul, saya juga sempat menulis ‘After the Last’ waktu itu. Dan perjalanan menuju Jogja kala itu ditempuh dengan sangat cepat, maklum semua orang sedang kalut. Setelah itu, langsung ke Lebaran. Seperti di tahun-tahun sebelumnya saya mengunjungi dua kota besar di dua provinsi yang bertetangga, Yogyakarta dan Semarang, atau tepatnya Gunung Kidul dan Salatiga. Tapi karena tahun sebelumnya keluarga saya tidak pulang kampung, momen ini jadi saat berkumpulnya kami dengan keluarga besar lagi setelah dua tahun. Lanjut ke awal September, saya yang situasinya sedang berada dalam sebuah kerumunan yang terdiri dari sepuluh orang, pergi ke Asia Anime Festival di lokasi PRJ tanpa pengawasan orang tua. Itu pertama kalinya saya menempuh perjalanan sejauh itu tanpa orang tua. Tapi sebulan kemudian saya —kembali lagi dengan kawan-kawan—memecahkan rekor sebelumnya. Kami ber-26 mengadakan trip mandiri ke Bogor untuk menghadiri kuliah sehari bersama FMIPA IPB, sebelumnya kami menginap di rumah salah seorang teman yang berbaik hati memberi tumpangan akomodasi bagi kami. Sebulan setelah itu, kami mendatangi rumah yang sama—Rumah Gian— untuk tamasya akhir tahun. Sebenarnya, ini kunjungan universitas—UNPAD dan UI— sih, tapi disambung dengan wisata ke Kebun Raya Cibodas, jadi apa bedanya? ;D Dan tahun traveling ini ditutup dengan sempurna oleh perjalanan kembali ke Salatiga—untuk yang ketiga kalinya sepanjang tahun ini—untuk memeriahkan acara Saparan yang tak sempat kami ikuti hingga akhir tahun lalu. Kerennya, wisata yang terakhir ini juga dilengkapi dengan wisata sejarah ke daerah tetangganya Salatiga yakni Ambarawa. Secara, ambisi terpendam saya banget ini! Acara diawali dengan kunjungan ke Museum Palagan, lalu dilanjut ke Museum impian saya, Museum Kereta Api Ambarawa, tapi sayangnya lagi ada perbaikan dan TUTUP. SHIT BANGET TAU GAK?! Saya nangis disono, maksa masuk sampe di priwitin security, bodo amat, lagian mengecewakan banget. Hello harusnya mas security, lu tau kalo gua dateng jauh dari antah berantah. Lu tau gak CIKARANG? Gak tau kan? Itu jauh! Antah berantah! Dan gua dateng kesini untuk memuaskan dahaga KEPO gua atas Museum ini dengan mengorbankan banyak hal—termasuk uang lebaran yang aturan gua buat beli hape—! Mas Security, gua mau naik Lori, gua mau masuk-masuk ke dalem liat barang barang jadul didalam sana! Mau liat telepon, telegraph, ruang tunggu, semuanya! Mau liat lokasi syutingnya SOEGIJA! Tega lu! TWEEGA BWANGET SUMPAAHH!!!#ekhem, cukup.


Mengundurkan Diri Jadi Otaku

Otaku itu hampir gila? Yap. Dan saya demikian? Yap. Otaku itu suka sama suatu hal sampe berlebihan? Betul. Dan saya demikian? Nggak salah lagi. Otaku itu kerjaannya kalo gak main game, gambar, nonton anime, ya baca manga? Pinter! Dan saya demikian? Nggak salah juga. Tapi Otaku itu update soal anime dan manga baru, beli barang-barang anime banyak, nguras duit demi hobi, rajin download, rajin ke acara Jejepangan, cosplayer hunter atau cosplayer, dan menggilai Jepang luar dalam? Emang, kan? Dan saya? Nggak. Itulah alasannya mungkin saya bakal mengundurkan diri jadi otaku, otaku dalam definisi yang marak selama ini sih. Kalo sebagai seorang penyuka anime-anime yang sedianya saya memang suka, fangirlingan terhadap chara-chara favo saya, dan jadi Author di FFN, SAYA NGGAK AKAN PERNAH BERHENTI! XD Tapi mungkin sekarang saya lebih otaku sama hal-hal jadul~ wkwkkwk


A Loner

Tiga tahun kisah itu berlangsung, dan tahun ini ia resmi berlalu tanpa tilas. Padahal saya betulan seneng waktu hubungan saya dan orang itu mengalami cukup banyak progress di awal tahun ini. Eeh, ternyata memang betulan sudah terlambat. Dan malam ini kembang api akan berhamburan di langit di atas atap rumah saya tepat seperti tahun lalu, waktu…#ahsudahlah. Sekarang saya kesepian. Banget wkwk. Perasaan terhadap orang itu yang menaungi hari-hari saya selama tiga tahunan itu sudah kadung lelah harus terus menerus berdiri tanpa tunjangan. Memang sih, salah saya yang tak pernah mengambil tindakan apa-apa, haha, habisnya mau bagaimana? Saya tak akan bisa soal itu, tidak akan bisa. Sekalinya saya tak pernah suka pun kepada beliau#wwkk masa beliau?!— dia tetap bukan orang sembarangan buat saya, bukan sekedar teman, dan mungkin lebih baik memang terus begitu. Adieu, Premier!
Tak apa meski saya kesepian, sangat kesepian karenanya. Sejujurnya, saya ingin memiliki perasaan itu lagi, entah terhadap siapa. Yang jelas perasaan semacam itu, betul-betul pendongkrak semangat hidup. Hidup saya rasanya jadi agak berbeda ketika saya sudah terbiasa hidup dengan perasaan itu dan sekarang tidak lagi.


Kiamat Tidak Jadi

Yah, kalian semua tahu, tidak perlu ada penjelasan soal ini. Yang jelas keping CD 2012 sekarang dijual 1000 enam buah. wkwkkw...


Bagaimanapun, semuanya sudah berlalu. Dan adalah sebuah tugas bagi saya untuk mempersiapkan yang belum berlalu. Tahun 2012 sudah menyajikan perjalanan waktu yang sedemikian seru kepada saya, oleh karenanya saya ucapkan banyak terimakasih! Selamat jalan, dan tenanglah disana, kau akan jadi sejarah selepas ini, jadi selamat ya, 2012~

Untuk tahun 2013 saya mengucapkan selamat datang, semoga ini jadi tahun keberuntungan saya, meski konkritnya saya tahu ini tahun yang akan sangat banyak menuntut perjuangan dari saya.Tapi ini tahun terakhir saya di kelas IPA kan? Aahaaa~ senangnya~ dan selepas ini saya akan sepenuhnya berkecimpung di satu dunia, di danau air tawar yang segar tadi, sepenuhnya, tanpa eksak, tanpa IPA! YEAHH! KESESEEESESESE~

Dan di tahun 2013, saya juga menantikan HETALIA SEASON 5! CEPAT DATANG YAA~
Semoga tahun ini Indonesia juga jadi cara official*amin*

Semoga saya bisa diterima di jurusan Ilmu Sejarah diantara dua universitas itu, semoga hidup saya berjalan dengan lancar dan menyenangkan, semoga saya, kedua orangtua saya, adik saya, dan semua orang yang saya sayangi diberi kesehatan dan panjang umur, semoga dalam segala hal saya diberikan kelancaran, semoga saya bisa jadi individu yang semakin baik, semoga saya semakin produktif dalam berkarya, semoga akan ada ‘harapan baru’, dan semoga doa saya ini terkabul, amiiinn…


Selamat jalan dan selamat datang!



No comments:

Post a Comment