Tanggal 31, bulan
Desember. Agak sedih dan bahagia saya mendapatinya. Banyak hal yang terjadi di
tahun yang menaungi pergantian usia saya dari yang ke 15 jadi yang ke 16 ini.
Banyak sekali bahkan, dan oleh karena itu, sebagai tilas terakhir tahun ini,
saya akan mencoba untuk mendokumentasikannya.
Year of Thinking
Tahun ini, saya resmi
jadi The Thinker yang terduduk tanpa busana, menunduk, sambil menopang
dagu#gakgitujugakali. Kenapa? Karena baru pada tahun ini saya merasakan
perubahan ini pada diri saya, entah bagaimana awalnya saya jadi terlalu
memikirkan setiap hal, lalu kemudian saya tarik garis besarnya dan saya sambung
dengan kerangka teori kehidupan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Saya
rasa, setiap kejadian atau peristiwa yang saya alami memang memiliki pola yang
kadang kala serupa dalam skala yang lebih besar, oleh karenanya sungguh tidak
rugi menyimpulkannya sebagai sebuah teori dan menerapkannya di kasus serupa
yang selanjutnya. Jika berminat, boleh ikuti saran saya.
Satu lagi yang membuat
saya menjadi The Thinker, yakni masalah yang tak henti menggoda saya tahun ini.
Di awal tahun ada kabar baik bagi mayoritas orang tapi bencana buat saya; Yep,
MASUK PROGRAM IPA lantaran keseluruhan dari isi kelas saya memang dijuruskan
kesana dan bukan ke PROGRAM IPS, hanya karena status “penghuni kelas akselerasi”
yang menaungi kami dan saya tak punya kuasa untuk menentangnya, samasekali. Sekarang
kalian coba bandingkan program IPS dan IPA, perbedaan apa saja yang menaungi
keduanya? BUANYAK? Ya. Saya yang terbiasa berpikir dengan otak kanan, membaca,
mencari referensi dari berbagai sumber, membayangkan, mengurut kronik suatu
peristiwa, berorasi dalam debat, presentasi setelah melakukan studi kasus, dan
mempelajari bidang yang luas kini dipaksa untuk memprioritaskan apa yang selama
ini hanya meraih suara minoritas dalam pengambilan suara hati saya. Rasanya?
Haah, di awal jelas saya sakit hati, tapi saya lantas mencoba untuk menghadapi
kenyataan bahwa raga saya memang terduduk di kursi di salah satu kelas program
IPA, bahwa identitas saya memang terdaftar sebagai seorang penghuni program
neraka ini.
Masalah kedua: nilai
terjun bebas. Dari tiga besar saya meluncur hingga ke peringkat 6, hebat? Of,
course, gue gituloh(?). Ohohoho, tapi itu tak sepenuhnya terdengar buruk juga
kok, seorang IPS sejati meraih peringkat 6 di kelas IPA, soswit kan? Nilai
geografi, ekonomi, dan sosiologi saya yang notabene jauh-jauh lebih bagus
dibanding nilai eksak saya yang super minim dan nyrempet KKM melayang
jauh-jauh, mengapung tinggi-tingggi, lepas dari rengkuhan saya dan tergantikan
oleh intensifitas pelajaran-pelajaran eksak yang tak menghasilkan progress
apa-apa.
Masalah selanjutnya: ketika
singa podium menjelma menjadi kerbau. Mungkin semua penghuni kelas hapal, kalo
saya tukang nyari ribut pas presentasi, terutama bila masalahnya berkaitan
dengan mata pelajaran yaah, semacam PKn atau Sejarah. Menurut saya dua mata
pelajaran yang sedianya merupakan prioritas di kelas IPS tersebut memang
memiliki banyak percabangan, bukan seperti eksak yang hanya terdiri dari satu
garis lurus, dan percabangan itu sangat menarik untuk dikorek lebih dalam,
ditelusuri lebih jauh karena akan begitu banyak segi persepsi yang akan muncul,
dan disitulah perdebatan akan tercetus, dan kuncinya hanya berbicara dengan
meyakinkan dengan dibekali sedikit referensi, maka anda akan jadi pemenangnya.
Tapi di kelas saya sekarang bukan PKn atau Sejarah yang menjadi prioritas,
samasekali bukan karena justru para eksak yang menempati posisi itu. Sedang
dalam eksak, saya tak tahu apa-apa. Kemampuan hitung-hitungan saya nol besar.
Otak saya tetap diperas meski samasekali tak menghasilkan susu, dan akhirnya?
Ungkapan ‘puyeng’ saat menghadapi masalah itu bukan sekedar definisi verbal
dari keengganan untuk melanjutkan usaha lebih jauh, melainkan memang
stagnanisasi progress dan ujung pangkal kesediaan. Saat berada dalam situasi
semacam itu kepala saya memang pusing, tanpa rekayasa atau campur tangan
penyakit, tapi murni karena ‘tekanan’. Lagipula saya tak habis pikir dengan
sistemnya, integral, differensial, vektor, biloks, redoks, tetapan gas ideal
dan lain sebagainya —saya tak begitu tahu lah persisnya— dipelajari dalam satu
kurun waktu yang sama dan bukan hanya dalam standarisasi level dasar, tapi
sudah cukup —bahkan ‘sangat’ bagi orang seperti saya—sulit. Apa kelak dalam
kehidupan kami di waktu mendatang, rumus-rumus itu memang aplikatif? Saya rasa
tidak, bukan begitu? Satu atau dua bulan setelah mempelajarinya saja sudah
lupa, bagaimana dengan tahunan? Kelak kala itu berguna pun kita mau tak mau
harus mempelajarinya lagi bukan? Jadi apa gunanya selain mengagungkan
mesin-mesin hitung handal dan memberikan mereka peluang raksasa untuk mendulang
emas sebanyak-banyaknya. Oke, ini keberuntungan kalian karena berada pada
ladang yang tepat, man!
Masalah lagi: Masa
depan. Oh, yeah! Ini anugerah atau masalah sebenarnya? Puji syukur, saya masih
diberi usia hingga di tahun yang ke enambelas setelah kelahiran saya ini. Dan
itu berarti tantangan yang lebih tinggi standarnya akan saya temui berkenaan
dengan progress yang mestinya memang mengimbangi semakin tua-nya saya juga.
Tantangan untuk usia ini saya akui memang banyak sekali, salah satunya bertahan
di Laut Kaspia padahal sedianya kau adalah penghuni air tawar, dan menentukan
masa depan, tentunya. Secepat mungkin setelah periode yang ditentukan ini habis
saya akan segera pergi jauh dari Laut Kaspia dan menuju entah mana, danau
dengan air tawar paling segar di dunia. Masalahnya saya tak tahu persisnya
dimana danau itu, saya hanya tahu jika ia adalah sebuah danau air tawar, dan
saya harus menentukan pilihan saya, lalu kemudian berusaha untuk mencapainya
hanya dalam empat sampai enam bulanan waktu yang tersisa.
Dari Fashion Designer ke Sejarawan
Siapa bilang pola pikir
saya tak bertransformasi? Jelas-jelas sangat. HahaDulu, pas SMP cita-cita saya ya mau jadi fashion designer. Cita-cita yang
sungguh dipandang sebelah mata, bahkan oleh orang tua saya. Memang saya suka
Fashion Design, tapi setelah saya pikir pikir, fashion design itu bukan hanya
soal mendesain pakaian, tapi juga punya banyak faktor pendukung. Contohnya
bisnis dan hidup highclass, bergaul dengan para model dan rekan-rekan fashion
designer kawakan, juga selebriti. Saya juga gak begitu suka dengan dunia
bisnis. Apa saya bisa? Itu yang saya pertanyakan. Lagipula, jika saat kuliah
saya mengambil jurusan fashion design, itu berarti saya hannya akan
mengedepankan aspek keterampilan tanpa aspek kognitif yang cukup ditekankan.
Jika sudah begitu, mau dikemanakan jiwa IPS saya?
Akhirnya, saya
memutuskan untuk mengikuti kata orang tua saya yakni mengesampingkan fashion
design untuk ditekuni nantinya sebagai sambilan. Lagipula dalam fashion design
yang terpenting kan kreativitas, asalkan saya tak berhenti mengasahnya itu
nggak akan tumpul ‘kan? Lagipula yang tak kalah penting juga soal selera, dan
saya rasa selera saya nggak akan berubah. Fashion design bukan fashion
producing yang mengikuti trend, tapi tugas FD sendiri adalah untuk menciptakan
trend. Jadi saya rasa ini bukan masalah besar. Mungkin suatu saat saya bisa
tetap menekuni profesi saya sambil mengasuh butik dirumah.
Saya memang menuruti
saran beliau berdua untuk mengesampingkan soal fashion design, tapi saya nggak
setuju dengan saran beliau buat jadi guru bahasa Inggris dan kemudian jadi PNS.
Saya udah mati rasa sama PNS, kesannya udah nggak sebaik dulu di mata saya.
Lagipula saya nggak mau bekerja dengan menekuni bidang yang sama, terus menerus
begitu sampai tua. Sedangkan itu yang ada di bayangan saya kalau memang saya
jadi PNS guru bahasa Inggris. Akhirnya saya lebih memilih untuk bersama yang
sejak dulu setia pada saya, apalagi kalau bukan Sejarah.
Pilihan pertama
universitas saya jatuhkan pada FIB, jurusan Ilmu Sejarah—bukan Pendidikan
Sejarah, lho—, meski universitasnya masih bingung, mau UI atau UGM. Kenapa saat
teman-teman yang lain berjuang mati-matian buat masuk jurusan favorit semacam
Kedokteran, Gizi, Akutansi, Psikologi, Hubungan Internasional, dan lain lain,
saya malah memilih jurusan dengan passing grade rendah semacam Sejarah? hahaha,
jawabannya tentu bukan karena saya menghindari persaingan. Persaingan sih boleh
aja, lagipula saya juga suka ditantang selama itu dalam bidang yang saya
tekuni. Habis mau bagaimana lagi kalau memang bidang saya itu bidang yang
minor. Sekalinya jurusan Ilmu Sejarah menduduki urutan satu peminat terbanyak
pun saya mungkin akan tetap ambil. Habis bagaimana, saya sudah betulan cinta
sama Sejarah.
Sejak jauh jauh hari
saya sudah banyak baca soal jurusan Sejarah, tentunya juga soal lulusannya yang
susah dapet kerja. Tapi saya memilih sejarah karena memang saya suka sejarah,
mungkin mereka yang sulit dapet kerja adalah mereka yang setengah hati sama
bidang kuliahnya. Untuk kedepannya, bismillahirrahman nirrahim aja, semoga saya
diberi kemudahan. Yang jelas, kecintaan, cita-cita, yang dibarengi dengan usaha
nggak akan berbuah jelek ‘kan?
Eropa Masih Menggoda
Kuliah di luar negeri?
Banget, masih menjadi impian saya banget. Tak mesti jurusan Fashion Design juga
kan, untuk kuliah di luar negeri? Meski sampai sekarang pun para calon-calon
Fashion Designer di Pearsons, La Salle masih keren dimata saya. Ini bukan
berarti saya melupakan impian saya untuk jadi fashion designer yang kadung
sudah saya umbar kemana-mana lo, dudes. Buat kalian yang merasa sudah menerima
pernyataan kesediaan saya buat merancangkan wedding dress kalian, kawan-kawan
lama saya yang baik hati, silakan tagih sesukanya. Insyaallah kalau hanya
mendesain-kan saya selalu siap sedia :D
Saya memilih Sejarah
karena saya ingin mendalami bidang keilmuannya. Saya kira, seorang akademisi
bisa melakukan banyak hal, bukan begitu? Tapi seni tetap nafas saya. Dan
sekarang, impian saya adalah untuk jadi seorang sejarawan, impian yang sama
konyolnya dengan jadi fashion designer, sama-sama kerap dipandang sebelah mata.
Sejarawan di Indonesia mau makan apa? Entah makan apa, yang jelas banyak yang
perlu dilakukan oleh seorang sejarawan untuk Indonesia. Saya melihat identitas
bangsa yang mulai pudar oleh warna-warna asing, dan ingatan bangsa yang
tersingkir dari generasi penerus. Ini misi saya, saya ingin membawa kisah-kisah
masa lalu itu terangkai dalam untaian yang indah kehadapan mereka. Sehingga
negara kita akan tetap menjadi sebuah negara, bukan sekedar jasad tak bernyawa.
Lulus dari fakultas Ilmu
Sejarah nanti, saya berharap bisa jadi dosen atau bekerja di sebuah lembaga
riset sambil menulis buku. Saya ingin terus belajar, dan berpetualang tentunya.
S2 di Universitas Leiden, Nederlands? Mengambil spesialisasi Kolonialisme Barat
di Asia Tenggara? *Amin* dan... mungkin saja 'kan? Yang penting saya harus terus berusaha.
Haah… agaknya saya jadi tak sabar kalau demikian…
Eropa masih menjadi
benua biru impian saya. Kemanapun saya akan dengan senang hati, ke Prancis,
Italia, Spanyol, Nederland, Austria, Jerman, Belgia, Andorra, Monaco, Polandia,
Hongaria, kemanapun! Disana banyak hal yang tak ada harganya disini diperlakukan
bak rempah-rempah di masa Rennaisans, contohnya seni dan sejarah absolutely. Bangunan-bangunan tua yang disini dibiarkan
teronggok runtuh sendiri-sendiri, disana dirawat betul, dijadikan gedung
pemerintahan bahkan hotel, membuat dari luarnya pun kota terlihat sangat
klasik. Seniman-seniman jalanan juga hidup sejahtera karena pemerintah dan
masyarakatnya sama-sama menaruh apresiasi yang tinggi terhadap mereka. Museum
menjadi tempat yang ramai dan prioritas kunjungan wisata. Saya pikir, kapan
Indonesia bisa jadi demikan?
Year of Traveling
Terhitung sembilan kali
saya mengadakan perjalanan ‘berat’ tahun ini. Padahal biasanya saya dan
keluarga termasuk yang jarang bepergian. Tahun ini dibuka dengan perjalanan ke
Salatiga setelah dua tahun saya nggak kesana, dan selepasnya saya menulis post
saya yang judulnya ‘Rolade’. Sekitar bulan Februari, saya dan teman-teman sekelas
berkunjung ke Ciwidey. Menghabiskan tiga hari dua malam di pinggir Situ
Patenggang dan mampir sejenak ke Kawah Putih. Awal bulan Mei, meninggalnya Mbah
Kakung saya membuat sekeluarga besar terpukul, saya juga sempat menulis ‘After
the Last’ waktu itu. Dan perjalanan menuju Jogja kala itu ditempuh dengan
sangat cepat, maklum semua orang sedang kalut. Setelah itu, langsung ke
Lebaran. Seperti di tahun-tahun sebelumnya saya mengunjungi dua kota besar di
dua provinsi yang bertetangga, Yogyakarta dan Semarang, atau tepatnya Gunung
Kidul dan Salatiga. Tapi karena tahun sebelumnya keluarga saya tidak pulang
kampung, momen ini jadi saat berkumpulnya kami dengan keluarga besar lagi
setelah dua tahun. Lanjut ke awal September, saya yang situasinya sedang berada
dalam sebuah kerumunan yang terdiri dari sepuluh orang, pergi ke Asia Anime
Festival di lokasi PRJ tanpa pengawasan orang tua. Itu pertama kalinya saya
menempuh perjalanan sejauh itu tanpa orang tua. Tapi sebulan kemudian saya —kembali
lagi dengan kawan-kawan—memecahkan rekor sebelumnya. Kami ber-26 mengadakan
trip mandiri ke Bogor untuk menghadiri kuliah sehari bersama FMIPA IPB,
sebelumnya kami menginap di rumah salah seorang teman yang berbaik hati memberi
tumpangan akomodasi bagi kami. Sebulan setelah itu, kami mendatangi rumah yang
sama—Rumah Gian— untuk tamasya akhir tahun. Sebenarnya, ini kunjungan
universitas—UNPAD dan UI— sih, tapi disambung dengan wisata ke Kebun Raya
Cibodas, jadi apa bedanya? ;D Dan tahun traveling ini ditutup dengan sempurna
oleh perjalanan kembali ke Salatiga—untuk yang ketiga kalinya sepanjang tahun
ini—untuk memeriahkan acara Saparan yang tak sempat kami ikuti hingga akhir
tahun lalu. Kerennya, wisata yang terakhir ini juga dilengkapi dengan wisata
sejarah ke daerah tetangganya Salatiga yakni Ambarawa. Secara, ambisi terpendam
saya banget ini! Acara diawali dengan kunjungan ke Museum Palagan, lalu
dilanjut ke Museum impian saya, Museum Kereta Api Ambarawa, tapi sayangnya lagi
ada perbaikan dan TUTUP. SHIT BANGET TAU GAK?! Saya nangis disono, maksa masuk
sampe di priwitin security, bodo amat, lagian mengecewakan banget. Hello
harusnya mas security, lu tau kalo gua dateng jauh dari antah berantah. Lu tau
gak CIKARANG? Gak tau kan? Itu jauh! Antah berantah! Dan gua dateng kesini
untuk memuaskan dahaga KEPO gua atas Museum ini dengan mengorbankan banyak hal—termasuk
uang lebaran yang aturan gua buat beli hape—! Mas Security, gua mau naik Lori,
gua mau masuk-masuk ke dalem liat barang barang jadul didalam sana! Mau liat
telepon, telegraph, ruang tunggu, semuanya! Mau liat lokasi syutingnya SOEGIJA!
Tega lu! TWEEGA BWANGET SUMPAAHH!!!#ekhem, cukup.
Mengundurkan Diri Jadi Otaku
Otaku itu hampir gila?
Yap. Dan saya demikian? Yap. Otaku itu suka sama suatu hal sampe berlebihan?
Betul. Dan saya demikian? Nggak salah lagi. Otaku itu kerjaannya kalo gak main
game, gambar, nonton anime, ya baca manga? Pinter! Dan saya demikian? Nggak salah
juga. Tapi Otaku itu update soal anime dan manga baru, beli barang-barang anime
banyak, nguras duit demi hobi, rajin download, rajin ke acara Jejepangan,
cosplayer hunter atau cosplayer, dan menggilai Jepang luar dalam? Emang, kan? Dan
saya? Nggak. Itulah alasannya mungkin saya bakal mengundurkan diri jadi otaku,
otaku dalam definisi yang marak selama ini sih. Kalo sebagai seorang penyuka
anime-anime yang sedianya saya memang suka, fangirlingan terhadap chara-chara
favo saya, dan jadi Author di FFN, SAYA NGGAK AKAN PERNAH BERHENTI! XD Tapi
mungkin sekarang saya lebih otaku sama hal-hal jadul~ wkwkkwk
A Loner
Tiga tahun kisah itu
berlangsung, dan tahun ini ia resmi berlalu tanpa tilas. Padahal saya betulan
seneng waktu hubungan saya dan orang itu mengalami cukup banyak progress di
awal tahun ini. Eeh, ternyata memang betulan sudah terlambat. Dan malam ini
kembang api akan berhamburan di langit di atas atap rumah saya tepat seperti
tahun lalu, waktu…#ahsudahlah. Sekarang saya kesepian. Banget wkwk. Perasaan
terhadap orang itu yang menaungi hari-hari saya selama tiga tahunan itu sudah
kadung lelah harus terus menerus berdiri tanpa tunjangan. Memang sih, salah
saya yang tak pernah mengambil tindakan apa-apa, haha, habisnya mau bagaimana? Saya
tak akan bisa soal itu, tidak akan bisa. Sekalinya saya tak pernah suka pun
kepada beliau#wwkk masa beliau?!— dia tetap bukan orang sembarangan buat saya,
bukan sekedar teman, dan mungkin lebih baik memang terus begitu. Adieu, Premier!
Tak apa meski saya
kesepian, sangat kesepian karenanya. Sejujurnya, saya ingin memiliki perasaan
itu lagi, entah terhadap siapa. Yang jelas perasaan semacam itu, betul-betul
pendongkrak semangat hidup. Hidup saya rasanya jadi agak berbeda ketika saya sudah
terbiasa hidup dengan perasaan itu dan sekarang tidak lagi.
Kiamat Tidak Jadi
Yah, kalian semua tahu, tidak perlu ada penjelasan soal ini. Yang jelas keping CD 2012 sekarang dijual 1000 enam buah. wkwkkw...
Bagaimanapun, semuanya
sudah berlalu. Dan adalah sebuah tugas bagi saya untuk mempersiapkan yang belum
berlalu. Tahun 2012 sudah menyajikan perjalanan waktu yang sedemikian seru
kepada saya, oleh karenanya saya ucapkan banyak terimakasih! Selamat jalan, dan
tenanglah disana, kau akan jadi sejarah selepas ini, jadi selamat ya, 2012~
Untuk tahun 2013 saya
mengucapkan selamat datang, semoga ini jadi tahun keberuntungan saya, meski
konkritnya saya tahu ini tahun yang akan sangat banyak menuntut perjuangan dari
saya.Tapi ini tahun terakhir saya di kelas IPA kan? Aahaaa~ senangnya~ dan
selepas ini saya akan sepenuhnya berkecimpung di satu dunia, di danau air tawar
yang segar tadi, sepenuhnya, tanpa eksak, tanpa IPA! YEAHH! KESESEEESESESE~
Dan di tahun 2013, saya
juga menantikan HETALIA SEASON 5! CEPAT DATANG YAA~
Semoga tahun ini Indonesia juga jadi cara official*amin*
Semoga tahun ini Indonesia juga jadi cara official*amin*
Semoga saya bisa
diterima di jurusan Ilmu Sejarah diantara dua universitas itu, semoga hidup
saya berjalan dengan lancar dan menyenangkan, semoga saya, kedua orangtua saya,
adik saya, dan semua orang yang saya sayangi diberi kesehatan dan panjang umur,
semoga dalam segala hal saya diberikan kelancaran, semoga saya bisa jadi
individu yang semakin baik, semoga saya semakin produktif dalam berkarya,
semoga akan ada ‘harapan baru’, dan semoga doa saya ini terkabul, amiiinn…
Selamat jalan dan
selamat datang!
No comments:
Post a Comment