Trending Topics

.

.

Saturday, May 24, 2014

18, Njuk Ngopo?


‘Njuk ngopo?’ adalah istilah populer yang kembali dipopulerkan oleh salah seorang dosen saya di pertemuan minggu lalu. Kami, di mata kuliah Sejarah Indonesia sampai Abad 16 yang biasanya dengan singkatnya hanya kami sebut Abad 16, atau bahkan hanya Nembelas. Ketika itu kami sedang belajar tentang kerajaan-kerajaan, dari masa Hindu Buddha, kami beranjak ke masa Islam. Mengidentifikasi ciri dari tiap kerajaan, hubungannya satu sama lain, dan membuatnya menjadi seolah kerja yang sangat panjang melewati sekian banyak bentangan waktu. Di pertengahan kuliah, setelah kami cukup mengemukakan beberapa ide-ide dan saling berdiskusi mengenai identifikasi kami, beliau bertanya yang untuk ukuran seorang yang mengarahkan kemanapun pembelajaran kami di matkul ini, sangat katakanlah nyeleneh.

‘Njuk ngopo?’

Kalaupun kami tahu kerajaan ini ada pada masa segini, mereka berhubungan dengan kerajaan ini dan itu, membentuk diplomasi disini dan disana, dipimpin oleh si A pada masa puncaknya, dan runtuh karena suatu hal, apa feedbacknya buat kami di masa dimana segala hal yang baru saja kami ketahui bisa dilacak di banyak media dalam hitungan yang amat sesaat. Sejarah itu bukan soal menghapal ini dan itu, tapi lebih kepada mengerti. Kami bukan anak SD yang ditanyai siapa tokoh perang A dan perang B, dan ditanami bibit-bibit kebencian pada Belanda. Kami diajak menyelam, persoalan laut mana yang kami pilih, dan mau sedalam apa kami berusaha, itu urusan kami, selama kami memiliki perbekalan yang cukup.

Sedikit strukturalis sih, tapi menurut saya tiada salahnya kalau kita memiliki pemahaman semacam ini, bahwasanya setiap hal di bumi berada untuk paling tidak sebuah alasan, termasuk para hantu, siluman, mitos, dan ilmu ilmu cenahyang —kalau anda percaya tentunya—. Pertanyaan yang kritis ini memancing analisa dari setiap hal, kehausan akan setiap spasial kosong di ruang-ruang kesejarahan. Pertanyaan yang saya kira, menjamin kelangsungan hidup seseorang secara mental.

Bingung itu baik, bertanya itu bagus, dan berusaha untuk menemukan jawaban serta penyelsaian adalah langkah terbaik setelahnya. Beberapa kali saya renungi kalimat ini, dan saya betul menemukan esensinya. Kalau mencari jawaban terlalu sulit, cukuplah mencari pertanyaan. Kapasitas seorang pelajar memang demikian adanya. Lain lagi kalau sudah profesor.

Ini pertama kalinya, saya menunda sekedar beberapa bait testimoni bertambahnya angka belakang usia saya dan berkurangnya jatah keseluruhannya. Bukan apa-apa, kesempatan memang baru datang detik ini. Kemarin itu banyak sekali kesibukan yang melanda, belum lagi saya betul butuh kesunyian untuk sekedar menulis beberapa hal konyol bersama Untung untuk di post di blog pink yang hampir mencapai usia ketiganya itu.

Delapan belas tahun lalu, dunia berdinamika seperti biasa, saya hanyalah seorang manusia yang lahir bersamaan dengan ribuan lainnya. Semuanya hanya akan jadi luar biasa ketika saya sudah menjadi luar biasa. Tapi kali ini, delapan belas tahun setelahnya, seseorang dengan banyak tanda tanya ini sedang berusaha menemukan jawaban dari setiap tanda tanyanya, berharap dirinya berkembang, semakin baik, dan bisa menjadi seperti apa yang dia dan orang tuanya, juga orang lain di sekitarnya impi dan ekspektasikan soal dirinya.

Dini hari 20 Mei 2014, saya masih larut dalam perbincangan bersama seorang teman yang berkunjung. Hape saya kemudian bergetar, dan pesan dari seseorang tertampil di layar. Seketika itu perasaan saya tak bisa berbohong, dan hati saya tergetar, terutama setelah membaca baris demi baris isi dari pesan itu. Ibu saya, untuk kali pertamanya begitu romantis. Sebenarnya beliau juga romantis di tahun-tahun sebelumnya, ucapan selamat ulang tahun yang disertai dengan doa-doanya tak pernah gagal membuat saya lemas dan tenggelam dalam haru sarat air mata. Tapi untuk kali ini berbeda, setelah kami terpisah puluhan kilometer, tengah malam ini amat berharga.

Paginya, di perjalanan menuju kampus untuk rutinitas biasa, ayah saya menyusul dengan pesannya sendiri yang persis saya tahu, dikirimnya sesampainya ia dirumah dari kerjanya. Isinya berbeda, dengan gaya mereka masing masing, tapi efeknya sama. Sayangnya ada banyak hal yang membuat saya menahannya dan kali ini, ketika beberapa hari telah berlalu, dan saya baru memiliki kesempatan untuk sendirian, saya menumpahkan semuanya tanpa bisa sedikitpun menahannya. Rahang ini kaku.

Pesan mereka membangkitkan masa lalu, waktu-waktu dimana aku masih sangat kecil itu seketika terpanggil kembali. Melihatnya dari sini, dari pandangan yang sudah setinggi ini, dari kota yang jauh ini, dan dari atmosfer yang berbeda ini, semuanya seolah hanya dongeng yang tak pernah benar benar terjadi meski aku meyakininya. Ratusan hari sudah aku bergelut sendiri dengan manajemen uang dan stok kehidupan serta segala hal soal hidup mandiri yang samasekali asing dariku. Setiap harinya, berangkat dan pulang tanpa menyalami satu orang pun, tanpa ingin cepat kembali untuk bertemu satu orang pun, tanpa sepulang beraktivitas berbagi cerita dan melepas lelah bersama dengan satu orang pun. Aku hampir terbiasa dan tak merasakan luka kesepian itu lagi, itulah mengapa aku pikir aku telah bergerak begitu jauh dari dongeng dongeng masa kecil itu, lalu seketika ditarik kembali mendekat dalam waktu singkat.

Dari delapan belas tahun, tujuh belas di rumah telah kuhabiskan untuk banyak hal yang jauh dari kata baik-baik saja. Aku tak pernah jadi anak manis yang penurut dan rajin membantu atau belajar. Aku selalu saja jadi pembelot dan pembangkang yang keras kepala. Aku yakin ada banyak sekali dosa, meski aku berharap dan yakin, kalian, orang tuaku tersayang tak akan pernah menganggapnya demikian. Sejernih apapun udara di kota ini, kota dengan polusi pekat itu yang mengenalkanku pada kehidupan, dan sejauh apapun aku pergi, aku akan kembali kesana.

Kini aku sendirian disini, menanti waktu pulang sebulan lagi dan berharap selagi aku pergi jauh, segalanya tak akan ada yang berubah. Aku berada disinipun bukan menjadi orang baik, aku masih seperti diriku yang lalu-lalu, yang payah, pembelot, malas dan lain sebagainya. Aku hanya berharap setiap hal yang kulakukan disini, perjuanganku untuk berada jauh dan menderita oleh homesick setiap habis pulang akan berbuah sesuatu di masa depan yang baik bukan hanya untukku, tapi juga untuk kalian semua, orang tuaku terutama, keluargaku, dan orang terdekatku lainnya.

Kalau sekarang usiaku 18, dan pertanyaannya adalah ‘Lalu kenapa?’ dengan senang hati akan kujawab. Aku sudah punya semakin banyak angka, kuharap semakin banyak hal baik pula yang kupunya. Aku berharap langkah yang kutapaki mendekatkanku lagi dan lagi sesuatu yang aku cita-citakan. Dan selalu, keselamatan dan kesehatan, juga panjang umur untuk orang tuaku, adikku, aku, dan semua orang yang kusayangi.

Terimakasih untuk semuanya, untuk orang tua saya, adik saya, untuk manusia sok romantis di Little Netherland sana, untuk teman teman kelas yang luar biasa atas beberapa potong cake, ucapan, doa, dan petualangan setiap harinya, untuk dua orang yang menemani saya dengan sate dan obrolan luar biasa malam ini sampai larut, untuk hari hari yang menyenangkan. Semoga kedepannya semakin baik, semakin menyenangkan.


Amin.



Sunday, May 11, 2014

Kulminasi

Malam ini aku punya tugas. Membaca materi persis seperti malam-malam sebelumnya. Ada banyak, dan aku baru saja sadar kalau aku sudah terlalu banyak menyiakan waktu, tapi aku tak sadar kalau itu salah. Aku tak tahu itu benar atau salah, atau sekalipun tahu, aku tak yakin, sehingga segala ketidak sinkronan oleh kekonyolan yang kembali kambuh ditengah dera kantuk dan bersin-bersin kurang tidur. Aku tak betul mengerti alasan mengapa aku tak mengambil jalan lurus untuk bersila dan membaca tapi justru berbelok, menghabiskan berjam-jam menukik pantau di layar komputer, menyimak lampu hijau-mu yang mati menyala sembari setengah asyik rewatch Sakurasou. Anime yang setelah kusadari ternyata amat merupakan satire buat sekenario hidupku.


Tentu saja aku takut. Aku sudah jatuh cinta pada Jin sejak SD, tapi aku tidak sadar soal itu sampai SMP. Aku jadi gugup. jika dipikirkan sedikit saja, aku tidak mampu mengatakannya. Aku hanya akan terjebak pada putaran yang lainnya. Dimulai saat "aku harus beritahu Jin soal perasaanku, aku tidak tahan lagi!" "tapi aku takut, bagaimana kalau dia menolakku." Lalu, "Ya, kurasa seperti ini saja. Dengan begini Jin akan terus bersamaku." "Tapi aku ingin mencintainya lebih." "Jin sudah punya gadis lain, bagaimana kalau ia lebih memilihnya dari pada aku?" Dan aku kembali lagi kesini. Mungkin aku sudah melakukan ratusan putaran sejak SMP.


-Misaki Kamiigusa-


Sial, apa bedanya? Mungkin hanya soal Jin dan Misaki. Konsep temporanya pun hampir persis. Aku mulai curiga pada orang-orang dibalik layarnya. Ataukah memang ini kisah yang cukup umum? Tapi bagaimanapun umumnya, jika ditelaah dari sudut pandang pribadi, semuanya partikuler. Setiap orang berbeda dalam imajinasi, kerja otak, dan penafsiran mereka, jangankan untuk peristiwa yang persis hanya bila digeneralisasikan, tapi juga untuk peristiwa-peristiwa yang benar-benar sama. 

Aku pikir aku lupa, tapi sepertinya aku mulai tertelan imajiku sendiri, termakan bicaraku, tertuduh oleh tudinganku. Ketika aku merasa seolah sudah lepas dari segalanya, aku hanya terkurung dalam kabut sementara. Ketika matahari meninggi dan angin gunung berhembus kencang lagi, semuanya kembali, dan aku samasekali tak menemukan diriku berjarak menjauh selangkah saja dari sosokmu yang sekian tahun sudah menghantuiku dalam diam.


Kadang aku tak yakin di hari-hari sekarang. Aku tak selalu bisa persis menentukan porsi dari setiap yang aku lakukan atau jalani. Ketika aku berpikir aku telah melaju cepat, mendahuluimu, dan begitu yakin akan itu, ternyata aku masih hanya terperangkap tak jauh dari bayanganku. Kadang aku bertanya, apakah ketika aku memikirkanmu aku benar-benar tak bisa menghindarinya, atau hanya terbawa suasana dan memilih untuk memikirkanmu selagi aku sebenarnya bisa mengusahakan untuk memikirkan yang lain? Aku tak selalu yakin dengan jawabanku, termasuk ketika aku memilih untuk diam dan menunggu keajaiban menyatukan lajur yang kutempuh dengan milikmu di depan sana.


Anak lelaki kelas dua SMP yang mengajakku berbincang di perahu penyebrangan, berangkat sekolah bersamaku di hari tes pembagian kelas karena aku takut menyebrang jalan sendirian. Anak laki-laki itu pernah menoreh sebuah kesan yang sangat dalam, bahkan masih kuingat betul sampai sekarang. Tapi adakah itu benar dirimu yang sekarang ini lagi-lagi berada di kota yang sama denganku bahkan ketika puluhan kilometer kita telah pergi jauh dari rumah dimana kita untuk pertama kalinya bertemu? Aku lagi-lagi tak tahu persisnya.


Aku selalu saja bingung menentukan antara kata hati dan euforia. Sejauh mana aku jujur, dan menuruti apa yang hatiku bilang soal diriku. Rasanya ia selalu saja menoreh pesannya di sebuah perkamen dalam heroglif yang tak mampu kuterjemahkan. Dulu, aku betul mengerti akan kejujuran itu. Aku bisa membacanya dengan baik, merasakan setiap inci nafas yang ia hembuskan, baik itu pedih perih, hingga bahagia yang tak terperi lagi. Tapi sekian lama aku telah tanpa sengaja memaku abstraksi ini di punggungmu. Aku tak tahu bagaimana kau tak pernah menoleh dan merasa ketika aku sudah sedemikian keras berteriak nestapa. Mungkin manusia memang berbeda antara satu dengan lainnya, dan ini alibi yang pantas buatmu, kubuatkan dengan sukarela jadi kuharap janganlah bergerak lebih jauh untuk menoreh luka yang lain lagi. Ada kalanya kau bisa saja tahu, tapi kau anggap tak lebih dari angin lalu. Kau mendengar kalau si payah tetanggamu memiliki sesuatu yang dari dalam hatinya, jauh yang tak bisa kau terka, menginginkanmu mengetahuinya. Kalau beberapa tahun telah ia habiskan untuk memandangmu dengan fana. Maka jadikanlah ini nyata. Tapi bagian dari dirimu yang lain menganulirnya. Melenggang pergi dengan ringan seolah apapun tak pernah terjadi. Siapa pula yang bisa memastikan kalau itu betulan adanya. Lagipula aku hanya seseorang dari masa lalu. Kau diam, aku diam. Aku terluka, entah denganmu. Tapi tak seorangpun sadar dengan belati yang digenggamnya.


Kau mengajarkanku untuk menyerahkan diri pada keadaan, menangis konyol, dan menganggap dunia ini meninggalkanku hanya karena seorang bedebah sepertimu. Aku tak lagi melihatmu penuh cahaya seperti di waktu lalu. Aku mulai menemukan titik manusiawimu, seorang bocah yang mulai tidak lagi bisa disebut bocah, yang mulai suka pedas dan sayuran, yang mandiri, tak lagi kutemukan tengah disuapi ibunya di pagi hari. Kau bukan seorang pangeran dari padang bunga, cuma bocah biasa yang beberapa bulan lebih tua dariku. Aku bahkan pernah mencapai titik paling normal, menganggap semuanya telah berakhir dan sempat menempatkan orang lain untuk posisi yang lebih tinggi darimu. Tapi aku heran itu tak bertahan lama. Hanya beberapa waktu sampai aku tersadar kalau kau, tetap di padang bunga meski bukan dalam wujudan seorang pangeran.


Dulu aku menutupi segalanya rapat-rapat. Menguncimu dalam lemari berlapis pintu dan menahannya dengan segala asa yang kupunya. Aku tak sanggup memikirkan apapun ketika pada akhirnya kau tahu ketika banyak kesempatan justru terbuka. Sekarang, kita berada dalam satu kota, satu instansi pendidikan dan jarak hunian yang mungkin hanya 2 kilometer saja. Tapi kita benar-benar sendiri. Temanku, temanmu, semuanya menjemput takdirnya masing masing, dan tak lagi ada teman bersama yang bisa menjembatani pertemuan-pertemuan kita. Kini aku menyesali sesuatu. Aku menginginkannya ketika ia hampir tak mungkin adanya.


Kau, kalau kau tahu kau yang kumaksud dan kebetulan mebaca tulisan ini, aku hampir mengulang lagi putaranku. Aku sudah tak seperti dulu yang dikuasai emosi dan selalu meledak-ledak. Aku hampir betul-betul lelah dan menyadari kalau terlalu banyak sudah waktu yang kulewati tanpa makna kecuali menunggumu. Ibarat kat soal dirimu, waktu waktu itu ialah taruhanku. Sekarang aku tak akan menutupi apapun lagi. Blog ini yang mampu menyuarakan apapun perasaanku. Kalau sampai sekarang semuanya tak berarti apa-apa, aku benar-benar telah merugi terlalu banyak, dalam konteks hitungan, meski sejujurnya aku masih tak berpikiran kesana. Waktu terus berjalan dan kupikir harus ada batas dimana pengharapan ini menemui cahayanya. Apakah kau ada disana atau tidak, itu yang kuharapkan dalam judiku.

Aku tak tahu fluktuasi ini bermakna apa, tapi aku sangat bahagia ketika komunikasi kita berjalan sangat baik di awal awal kepindahan kita. Adakah mungkin kalau aku mengharapkan kesinambungannya? 


Jujur memang melegakan, tapi tak mudah untuk dilakukan. Aku tetap tak bisa menceburkan diri seluruhnya. Tapi kalau kau tanya sampai sekarang masihkah aku mengharapkannya? Kali ini aku berani berkata iya.









Thursday, May 08, 2014

Menari dalam Imaji


Waktu mengikutiku tanpa bicara
Seribu langkah tak bersuara
Musim berganti musim tak berjarak
Hingga menara ini sudah terlalu tinggi untuk dapat kutinggal pergi

Di cermin aku melihat sorot cahaya
Penuh tanya juga titik, berpadu tanpa nada
Aku tenggelam di dalamnya
Terlarut, tanpa bisa pergi
Terjebak, tanpa bisa lari

Dunia di belakangku semu ketika aku tak ingin tahu
Semuanya terpusat pada satu
Sorot cahaya di pelupuk senja
Kadang aku bertanya, mengapa tak lantas aku menoleh dan pergi
Ketika kudengar suara memanggil, nyanyian mendayu mengundang

Batas telah mengabur
Aku tersesat, tanpa ingin mengerti sebuah kisah
Menutup buku, menjedanya sebelum sampai pada akhir
Menghentikan detik dalam dunia di sorot cahaya
Entah berapa lama atau selamanya
Bahkan ketika suara memanggil, nyanyian mendayu mengundang
Tak henti datang dan pergi

Hendak tapi tak hendak
Aku mengering, menghampa dalam solo tari di imaji
Menanti arti akan keberadaanmu

06MEI14

Saturday, May 03, 2014

Membaca Masa Depan


ceritanya cerpen


Hari ini perpustakaan mengenalkan orang ini kepada satu orang lagi, Ernest Hemingway, dan perkenalannya ini membawanya menyadari satu hal lainnya yang ternyata demikian esensi dalam hidupnya. Ia membaca bukan hanya ceritanya, tapi juga tutur panjang lebar seorang editor dalam pengantarnya. Rupanya konsentrasi Sejarah yang ia pilih sudah demikian influentalnya hingga latar belakang penulis jadi yang lebih mencuri minatnya daripada karya si penulis itu sendiri. Ia pernah begitu tertarik pada sastra di awal remajanya. Ketagihan berpuisi, melahap sebuah novel hanya dalam semalam, dan entah bagaimana caranya terhanyut oleh roman-roman didalamnya sedemikian jauh, hingga emosinya turut terpermainkan sedemikian hingga. Tapi kini ia semacam kehilangan esensi itu. Orang itu tak menyadari kapan hampa menyapanya, berkenalan dengannya, menarik perhatiannya, hingga demikian menguasainya. Kini ia seperti seorang sofis yang terlalu banyak bicara. Kenikmatan dan fleksibilitas emosi yang selalu siap diayun-ayun ketika menangkup sebuah fisik fiksi baru dalam tangan dan menangkap alur lewat matanya tak lagi ia dapati.

Sekali waktu ia membaca novel yang membuatnya tertarik, dari Paulo Coelho atau Elfriede Jelinek. Novel itu memiliki alur yang sanggup memutar balikkan akal sehat, membuatnya setelah membacanya akan segera lupa mana yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, tapi kemudian ia menyerah pada sesuatu yang entah apa. Mengakhirinya dengan menumpuk novel itu di tumpukan buku-buku bacaan wajibnya, referensi makalah terbarunya yang tenggatnya jatuh tepat besok, atau bahkan buku-buku perpustakaan yang sekedar ia lihat gambarnya, tanpa pernah ia selesaikan hingga noktah terakhir yang dibuat sang penulis. Sementara buku-buku yang dikonsumsi luas oleh orang banyak, yang ia dapat dari pinjaman teman-teman sebayanya yang sedang gila-gilanya berdandan, dikomentarinya penuh cela. Runtutan alur yang memiliki banyak kejanggalan, bahasa yang tingkatannya lompat-lompat, ketidak masuk akalan, semua cela kecil yang entah bagaimana bisa demikian mengganggu matanya untuk secara jujur menikmati kisah yang disaji apa adanya. Seolah ia becus, seolah ia tahu segalanya, padahal novelnya, kisah picisan klasik yang dikhayalnya sejak SMP saja belum pernah diselesaikannya dengan benar-benar.

Ia terjebak. Manusia malang ini terjebak pada sebuah tanda tanya yang amat rumit dalam membaca masa depannya. Ia tak pernah benar-benar memilih, bahkan dalam saat-saat yang paling mirip dengan itu. Perjalanannya dari sebuah sekolah di kota satelit kecil ke universitanya yang sekarang adalah yang paling membuatnya lebih mengenal soal hidup daripada sebelumnya. Sekali lagi pola yang sudah dihapalnya terulang. Sejak memilih sekolah pertamanya, ia selalu menemui pilihan yang tak sulit. Entah bagaimana ia bisa menginginkan sesuatu dan mendapatkannya ketika orang harus bersusah payah. Itu hal yang paling disyukurinya, menghiburnya ditengah duka luka yang kadang kala dideritanya, penyemangat kala angin kencang berhembus hendak meruntuhkan asanya.

Ia suka tantangan, tapi bukan untuk hidup dalam adrenalin. Ia tak suka waktu menekannya atau pelan-pelan mencoba membunuhnya dengan mencuri semua oksigen yang bisa diraih paru-parunya. Satu-satunya yang ia ingin hanya hidup bahagia, tanpa tahu pasti apa yang bisa membuatnya bahagia. Kadang kala ia terjebak diantara tanda tanya antara harus menjadi yang dia inginkan atau yang apa adanya. Atau justru lebih esensi lagi, dirinya yang sebenarnya adalah yang dia inginkan atau yang mana? Kadang kala ungkapan harus jujur kepada diri sendiri itu sulit dimengerti. Jujur yang seperti apa? Diri sendiri itu yang mana? Novel-novel terjemahan yang menarik adalah apa yang tak sepenuhnya bisa dinikmatinya dengan mudah. Ia kadang harus membaca satu kalimat dua tiga kali untuk mengerti betul maksudnya, atau berhadapan dengan sebuah globe ketika sekali waktu sang penulis menyebutkan daerah-daerah asing yang diluar pengetahuan geografisnya, sembari menyusun khayalannya keping demi keping untuk runut menjadi sebuah cerita yang ia pikir tak ubahnya dengan pikiran penulisnya, lalu terkagum-kagum akan itu. Sedangkan novel-novel yang lainnya membuatnya terlalu sibuk berpikir mengenai hal-hal janggal yang tak diminta oleh si penulis untuk dipikirkan.

Kadang kala ia takut ketika memilih apa yang akan dipakainya. Takut ia terlalu sibuk menata bagaimana imaji yang akan tergambar di benak seseorang tentang dirinya dan justru melupa akan apa yang sebenarnya diperlukannya. Tapi ibarat tengah melaju cepat dan telah memilih sebuah persimpangan jalan, ia tak akan bisa berhenti, turun, dan berlari mundur untuk sekedar melihat ke persimpangan satunya yang telah ia tinggalkan begitu jauh. Ia tersesat antara tampil feminim dan nyaman, antara kisah sulit dan yang bisasa dinikmati orang disekitarnya, antara film-film klasik dan sinetron televisi sekarang, antara musik klasik dan lagu-lagu di radio. Ia tersesat begitu jauh, begitu dalam di tengah pusaran yang ia ciptakan sendiri. Ia tak tahu bagaimana memperlakukan keinginan. Apakah ia harus selalu mengikuti kemana keinginannya berjalan, dan menjadi seideal mungkin seperti yang ditunjukan keinginannya, atau yang mana. Karena sekali waktu ia menyusun rencana yang ia inginkan, untuk memasak sebuah menu karangannya yang sepertinya akan hebat di hari libur, dan malah berakhir dengan menahan lapar sampai sore dan menjamu diri di petang hari dengan semangkuk mie instan yang hampir terasa hambar saking bosannya ia terhadap mereka.
Kini ia tersenyum tipis, menatap bilah cahaya matahari sore yang terhujam pada buku-buku tua di rak perpustakaan. Ia menemukan sesuatu. Bahwa kebingungan ini, tanda tanya ini yang membawanya untuk selalu berjalan lurus. Maksudku, orang ini bukan seorang yang memilih membubuhkan lada atau sambal pada sup dimangkuknya, tapi mencampurkan keduanya, menciptakan sebuah standar tengah yang dirasanya paling pas dengannya. Ia tak mengikuti tren soal fesyennya. Ia memilih pakaian dari apa yang ia punya, merangkainya seolah ia seorang desainer dan menciptakan gayanya yang merupakan standar paling tengah antara gaya yang ia inginkan dan kenyamanan yang ia butuhkan. Novel-novel yang ia pernah baca terhitung menjadi sejarahnya, rekor-rekor kecil yang pernah ia catatkan setidaknya dalam segmen buku harian di blognya. Soal dirinya yang sekarang, ia tak betul-betul memilih untuk mengikuti nafsunya berusaha menikmati novel sulit dan menanggalkan yang baginya kurang menarik, tapi lebih —lagi-lagi— menciptakan standarnya sendiri. Ia mengingat kekurangan dan kelebihan novel-novel yang ia baca, menurut seleranya—bukan standar nilai yang umum dikenal dalam masyarakat pembaca— lalu menuangkannya dalam karya-karyanya yang belum pernah betul-betul terpublikasi. Sehingga ia —baik itu soal fesyen, kuliner, maupun selera bacaan—adalah penggemarnya sendiri.

Mudah saja. Konklusi dari kisah ini adalah bahwa kita menemukan seorang yang begitu egois disini. Ia memang tak memaksakan nafsunya untuk dituruti oleh semua bagian dari dirinya yang sejatinya menolak, tapi selalu mencari jalan tengah. Jalan damai antara keinginan dan kebutuhannya fundamentalnya, dan terciptalah ‘dia’. Orang aneh di sudut perpustakaan yang sedang bertanya-tanya soal kehidupan. Mencoba membaca masa depan, tapi tak lebih dari hanya sekedar mengira-ngira dan menghayal, tanpa tuntutan, tanpa tekanan untuk harus menjadi seperti apa yang ia inginkan, tapi lebih untuk berdamai dengan masa depan itu sendiri. Ia percaya usahanya sekarang adalah jaminan bagi yang ia dapatkan di masa depan, dan pilihan, persimpangan, atau apalah itu, hanya soal warna yang sama indahnya bagi yang memilihnya.