Trending Topics

.

.

Monday, November 17, 2014

hari pertama musim hujan tahun ini

Dalam banyak kesempatan, aku tak bisa membedakan betul antara tak bisa berbuat apa-apa dan memilih untuk diam. Keduanya diam, tapi berbeda secara tendensi. Ketika memang tak bisa, bergerak pun tak ada gunanya, tapi berbeda dengan yang kedua. Saat ini aku yakin aku berada di kondisi kedua, tapi aku merasa tak ubahnya tak bisa melakukan apa-apa.

Di era ini, ada banyak lapisan komunikasi. Kesemuanya memiliki ikatan yang berbeda eratnya. Jika dulu semua orang saling menyapa dengan lisannya masing-masing, sekarang komunikasi semacam itu jadi mewah. Ada beberapa anak yang kaku jika bicara dengan orang tuanya, ada yang pintar tapi diam saja di kelas, ada yang pendiam juga bahkan di tengah-tengah lingkungan sejawatnya. Handphone, ponsel, smartphone, atau apapun istilah dan fiturnya, selalu setia berteman dengan kesendirian orang-orang yang wajahnya bersinar dalam gelap. Mereka teman hidup orang saat ini. Topeng tercanggih yang memungkinkanmu memasang segala muka, segala ekspresi tanpa harus mempertanggungjawabkannya. Maksudku, ketika kau tersenyum, tertawa, menggila, sendirian pun kau aman dari cela ketika kau punya mereka, sesuatu yang menyinari wajahmu dalam kegelapan.
Suatu ketika, hampir semua orang telah masuk ke dunia tanpa musim. Segalanya bergerak cepat dan mengalir. Penuh dengan keluh kesah, harap, dan serapah sembarang manusia. Meski terlihat kotor dan tak bernorma, dunia semacam ini, menurutku, dunia yang menampilkan banyak kejujuran. Di alam paralel ini sekalian kata tak terucap dengan lisan terlontarkan, sekalian rasa tak terjamah ekspresi tertuangkan, semuanya dalam sederet kata, sepenggal tayangan, atau hanya beberapa gambar.

Aku tak begitu cinta teknologi. Bagiku ia hanya anak zaman. Ia hanya kendaraan beroda empat yang harus kita naiki jika ingin lewat jalan tol, sedang aku lebih suka jalan kaki, berlama-lama dan memutar jauh mengikuti lekuk kehidupan yang alam sediakan. Tapi kadang aku tak sanggup melalui beberapa hal. Meski berkata demikian, aku tak ubahnya sekalian orang, yang jadi mangsa dari anak zaman. Suatu ketika, aku memutuskan dengan segera—tanpa berpikir terlalu mendalam— kalau dalam kasus ini, aku hanya bisa naik kendaraan roda empat. Demikianlah aku disini.

Jika aku berjalan kaki, mungkin aku bisa bertemu, menyapamu, atau mungkin menawarkanmu berbagi payung ditengah gerimis yang mulai menghujam. Sekali waktu di kesempatan yang selanjutnya atau yang selanjutnya lagi, mungkin aku bisa mengatakan sesuatu: mengatakan padamu entah itu soal rasaku atau kata-kata menyerahku, mengatakan padamu apakah setelah kita sampai di persimpangan jalan di dekat rumahku kau boleh mengantarku sampai gerbang dan membawa payungku untuk kau pinjam dan kau kembalikan lagi di pertemuan yang berikutnya, atau sekedar selamat tinggal lalu meninggalkanmu bersama payung itu, berlari ke simpang yang lain tanpa menoleh lagi, dan menjauh selamanya, sembari membiarkan air hujan membasuh segalanya.




Beribu sayang aku berada disini, di dalam kendaraan roda empat: mobil yang aman dan nyaman. Dengan segala daya yang sesungguhnya ada, aku membiarkan segala rupa dinding dan batas melintang antara aku dan sosokmu di trotoar: udara, wewangian, kaca jendela yang mengembun, debu yang luruh, rinai hujan, angin, mendung, dan kilatan cahaya, kendaraan lain, tawa tangis orang lain, dan dedaunan basah. Aku mengatakan sesuatu dari dalam kaca, sesuatu yang mungkin —atau hampir pasti— tak akan bisa kau dengar. Untuk tahun kesekian dan kesekian kalinya, aku telah berbisik sampai berteriak gamblang. Setahun aku telah berperjalanan hingga kembali ke titik ini, di mana aku melihatmu, mengatakan sesuatu padamu, dari dalam mobil untuk sampai ke sosokmu di trotoar, menembus segala partikel, tapi tak hingga. Entah bagaimana dengan tahun selanjutnya tapi, aku ingin jadi anak anak lagi, yang bisa tanpa mobil memakan ceri di kuemu, menumpuk kado di meja, lalu mengucapkan selamat ulang tahun dan meminta bingkisanku sebelum akhirnya pulang ke rumah dengan bahagia.