Trending Topics

.

.

Tuesday, June 18, 2013

Today was a Fairytale? No, no, it was HISTORY!

Kembali bersama saya disini, pemilik blog sepi yang sedang kesepian sendiri di Kost-an. Yeah, saya, memang, ya, anak baru, hehe#plakkk. Tepatnya, Maba atau Mahasiswa Baru di sebuah universitas ternama di negeri ini#gayalo wan wan…

Singkatnya, tadi pertama kalinya saya mampus, eh, ngampus  :D#garing
Tadi itu ada tes TOEFL buat Maba-Mabanya, besok ada tes TPA, dan hari Jum’atnya baru saya registrasi sebelum di weekend nanti akan kembali ke kampung halaman saya, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Indonesia, Asia Tenggara, Asia, Bumi.

Pada kenyataannya momen ini memang bukan momen yang unik, toh sekian banyak Maba yang membanjiri GSP tadi juga mengalami hal yang kurang lebihnya sama dengan saya, tapi beginilah saya memaknai kehidupan sejauh ini. Ia tak ubahnya belang pada bulu kucing. Kita dapat menggeneralisasikannya se umum mungkin hingga mereka hanya terbagi menjadi beberapa klasifikasi sederhana, misalnya oranye, belang, hitam, dan putih. Tapi sadarlah segera bahwa dibawah naungan klasifikasi belang, ada berapa milyar motif belang?, ada berapa banyak kombinasi bulu yang berbeda dari setiap warnanya? Sama halnya dengan kehidupan saya rasa. Hari ini, ada sekian ribu orang yang mengalami hal yang sama seperti saya, sama sama ‘belang’ istilahnya, tapi secara esensi, bagi tiap-tiap kami, sudah disiapkan pola-pola tersendiri untuk diikuti, tanpa ada yang persis sama, sehingga ke’belang’an segala peristiwa yang kami alami hari ini memang unik, bagi setiap individu kami.

Saya berangkat pagi, diantar Bapak saya sama halnya dengan Maba lain yang masih kikuk dan masih didampingi orang tua. Petualangan saya dimulai di tukang nasi Rames, di gang depan kost, disitu saya menyimpulkan ada beberapa orang, pada meja yang sama dengan saya, yang bernasib sama seperti saya hari ini, tapi entah karena apa, tak sepatahpun percakapan saya ujar disana kecuali dengan Bapak saya. Masuklah berikutnya kami ke UGM, masih tanpa teman baru buat saya. Sekitar jam 7, saya memaksa untuk menjemput takdir saya dan pamitan sama Bapak saya yang hendak kembali ke rumah mbah saya, meski masih juga tanpa teman. Merasa saya bukan satu-satunya yang sabishi, akhirnya saya memberanikan diri untuk menembus kerumunan yang sedang melihat nomor kursi di papan pengumuman, tahu nomor, saya pun masuk dan duduk dengan tenang (baca:grogi).

Sepuluh sampai lima belas menit awal, kursi di sekitar saya masih kosong melompong, dan palingan hanya diisi oleh segelintir dua gelintir orang di pojok-pojok yang cukup jauh dari saya. Tapi tak lama, doa saya dijabah juga sama Yang Maha Kuasa, seseorang di sisi kanan saya menyapa saya dengan memanggil ‘mbak’. ‘Whut?? Mbak? Kapan gua kawin sama Mas lo?!’ batin saya, tapi mengingat segera bahwa ini DJOGDJAKARTA, maka hal seperti itu bukanlah hal yang tabu. Maklum, sedikit culture shock, di Cikarang mana ada cewek ABG kenalan manggilnya Mbak? Palingan juga ‘Eh, namanya siapa?’, atau nggak alusnya ‘Kamu namanya siapa?’, kalo temen SD saya, si Siti Rohmah, bisa jadi ‘Eh, siapa lu?’. Sedangkan disini? Hah, extremely different -_-

Tapi nggak papa, karena si Mbak yang manggil saya Mbak itulah yang akhirnya jadi temen pertama saya. Mbak Yuliana, Sastra Arab~ :D#jadi inget JIJAH :’’’’D
Temen saya yang selanjutnya masih cewek juga, FIB juga, seseorang berbulu mata lentik yang duduk di sebelah kiri saya. Nggak jauh beda, anak arkeologi ini juga manggil saya demikian, bahkan lebih parah karena Mbak Yenni ini manggil saya MBAKNYA! -_-

haah, bener bener deh, Culture Shock di Jogja aja sebegininya, gimana gua ke Netherlands kali ya? X3

Lanjut ke test TOEFL ya bro~
tesnya sih biasa aja, ini kali ketiganya saya TOEFL-LIKE test, jadi saya udah biasa#cih
Saya paling suka bagian Structure, karena saya cuma expert disitu. Di listening saya Budi(budeg dikit#boong banyak~ =3=) dan di Reading saya muaaalleeess buuangeet, textnya gak banget sumpah, mana soalnya paling banyak lagi -_-. Di samping itu, kami semua di tempatkan di ruang utama GSP tanpa meja. Otomatis, saya harus nunduk sepanjang test dan itu tak ayal membuat kepala saya kliyengan sesudahnya.
Selesai TOEFL, saya keluar bareng temen baru saya si Mbak Sastra Arab tadi, dengan berdesakkan diantara lautan manusia. Persis waktu saya memijak langkah keluar pintu, terjadi momen yang sangat sinetron. Waktu itu, saya smsan sama temen seperjuangan dan sekampung halaman saya, Adhera. Beliau dapet kloter kedua, tapi udah dateng dari pagi. Niatnya pengen ketemuan dulu, pas beliau dateng saya malah udah masuk, dan pas saya keluar, beliau malah baru saja masuk. -_- Akhirnya, saya memilih untuk meng-ignore Adhera dan melanjutkan petualangan saya bersama Mbak Yuliana.

Begitu turun tangga ke bagian GSP kiri bawah, suasana kemahasiswaan seketika berubah menjadi suasana kemanasik-hajian, banyak kakak-kakak Mala(mpir)#dor yang mengorasikan komunitasnya masing masing sambil membawa plang komunitasnya juga, dan mulai menarik Maba-maba yang celingukan untuk menjadi korban mereka. Dalam kesempatan maha alay itu, saya melihat beberapa orang eksentrik yang salah satunya saya kenali, membawa plang bertuliskan SEJARAH. Sepintas mengalir kalimat di kepala saya, “oh, I’m home~”, tapi karena si Mbak Yuliana udah kadung narik tangan saya ke gerombolan FIB, saya terpaksa meng-ignore yang satu itu. Karena FIB juga adalah fakultas saya, dan kebetulan sekali sama dengan si Mbaknya, saya rasa jadi akan jauh lebih baik kalau dalam kesempatan ini, saya memilih yang ini dulu.
Kami dibimbing kemudian untuk melewati banyak kerumunan orang dan nyelap nyelip di koridor, sampai kami diberhentikan di sebuah stand yang beridentitaskan FIB. Disana, kami dibagikan angket yang harus kami isi, plus sticker “LEM FIB UGM”, dan sebuah brosur yang makin membuat saya feels like home. Brosur itu diilustrasikan dengan gambar manga, menandakan bahwa mungkin saya bukan satu satunya yang demen begituan disini. Meski saya masih heran, saya udah pake pin Antonio Fernandez Carriedo alias Oyabun alias Spain dari Axis Powers Hetalia, tema Hp saya Ao no Exorcist, bahkan papan jalan saya, dengan sangat gamblang bergambar One Piece, kok nggak ada sesama anime-lovers yang memperkenalkan diri kepada saya gitu ya?  Padahal dari rumah saya udah berstrategi bahwa anime-stuff ini akan saya gunakan sebagai ‘piranti neangan batur’.

Begitu selesai mengisi angket, kami kembali digiring ke taman di sisi kiri UGM dari arah pintu masuk yang sepintas mengingatkan saya pada Cikarang Baru. Disana kami dikumpulkan dan di persilakan duduk merapat pada sebuah regional yang sudah diperuntukan untuk FIB, dimana kami pada akhirnya mendapat julukan maha alay, yakni MAHADAYA CINTA#ebuset -_-. Kata kakak-kakak Mala-nya sih ya MAHAsiswa ilmu buDAYA: Cerdas, INtelek, dan berbudayA#omigot banget yak?

Begitu diberikan beberapa ucapan selamat datang, pengenalan FIB, dan beberapa pengarahan, kami dipersilakan untuk pulang terkecuali untuk anak-anak jurusan I. SEJARAH dan SASTRA INDONESIA, yang acaranya langsung berlanjut setelah itu. Dan ini dia bagian asiknya guyes, ketika kami, para HISTORIAN ini akhirnya ngumpul.

Ketika anak Environmental Geography membutuhkan waktu hampir satu jam untuk sekedar perkenalan, anak Sejarah yang hanya berisikan sekitar enam belas orang plus kakak-kakak angkatan yang jumlahnya pun nggak seberapa cukup curhat ngalor-ngidul dalam waktu segitu. Yap kami hanya beberapa belas orang angkatan 2013 snmptn, mungkin dibanding anak Geo, Bio, atau HI, ini memang bukan jumlah yang seberapa, tapi keberagaman kami ternyata luar biasa ><d

Perkenalan pun dimulai dari ujung, seorang anak cowok berkacamata (ehm, memang banyak yang berkacamata, tapi mereka tak terlihat seperti Naoya samasekali), beliau yang satu itu nggak kalem, dan kalo nggak salah email addressnya itu wong_medeni_tenan, apa medeni_wong_tenan, apa apa gitu pokoknya ya itu, medeni wong tenan -_-. Lanjut, masih beberapa anak cowok juga yang saya nggak apal hanya dengan sekali pertemuan, mereka macem macem, banyak yang berkacamata, ada yang nggak juga, ada yang dari Depok, Jakarta, Ngawi, bahkan Bali. Sedang anak ceweknya lebih keren lagi, ada yang dari Ngawi, saya dari Bekasi, dan dua orang dari Padang, dimana salah satu dari dua Padang itu, ada yang kelahiran Zurrich, dan memang blasteran.  Seorang blasteran itu namanya Amina Lanek, yang ngaku tinggal sementara di rumah tantenya di Sleman, dan harus bolak balik Jogja-Sleman selama urusannya belum rampung karena memang belum dapet Kost. Amina ini katanya masuk sejarah karena tertarik sama sejarah Indonesia, dan mau mempelajari jati dirinya, atau mungkin, setengah dari jati dirinya kali ye? ;D#plakk

Cewek Ngawi yang juga manggil saya Mbaknya, namanya Fretylia. Keren ya? Iya, berasa denger Romano manggil Veneziano#ituFratelloplisdeh-_- Kerennya, beliau ini temen pertama saya di Sejarah. Dia dateng kesini berdua sama temennya, tapi bakalan pulang sendiri karena temennya udah dapet giliran registrasi hari Kamis dan akan pulang duluan, hampir senasib sama saya andaikata Adhera juga pulang duluan haha. Dari kesimpulan saya selama dua hari mengenal beliau ini, dia cukup ramah, atau bahkan jauh lebih ramah dari saya. Nada bicaranya, sebagaimana nada orang Jawa lain, terdengar empuk dan nyenengin. Orangnya juga sederhana tapi nggak pemalu karena sebelum test TPA di hari kedua, saya sempet nunggu giliran bareng dia, waktu itu ada kakak-kakak Danus yang lagi jualan buat nyari dana, terus mereka menghampiri kami yang sedang ngobrol. Respon saya seperti kebanyakan yang lainnya hanya manggut dan bilang “nggak kak, makasih.”, kontras sama beliau yang nanya “Kak, ini apa?” terus kakaknya jawab, “ini namanya Bolang Baling dek, terus ini Piscok.”, dan Fre pun merespon lagi, “ndak jadi kak, makasih.” #gubrak

Nggak jauh beda sama yang lain, Frety juga punya motivasi besar dibalik masuknya dia ke sejarah. Dan memang, anak-anak sejarah 2013 yang lain pun sama, benar-benar para manusia langka yang dikumpulkan menjadi satu. Ada diantara mereka yang penasaran sama asal-usul keberadaan bangsa yang mereka sandang statusnya kini, ada yang bertekad merubah paradigma orang-orang agar tak memandang sejarah sebelah mata, ada yang merasa disinilah panggilan hatinya, ada yang bersikukuh kalo sejarah itu keren, dan masih banyak lagi. Sisi lain yang bikin saya sekali lagi tambah sumringah juga setelah kak Molina, Sejarah angkatan 2012, nanya ke kami, “Siapa yang milih Ilmu Sejarah di urutan pertama SNMPTN?” dan hampir semua dari kami mengangkat tangan. Ini berarti ekslusivitas dan eksentrikme kami memang terbukti, semua diantara kami meraih apa yang kami statuskan sebagai ambisi, dan ambisi itulah yang membuat kami akhirnya dapat dikumpulkan disini, hari ini.

Ah, dan ada satu lagi yang membuat saya bangga, saya, sejauh ini, jadi yang termuda lho seangkatan~ >w<

Dari perkenalan dan ngobrol singkat kami hari itu juga saya bisa menyimpulkan hal lain. Mereka, atau kami, memang eksentrik. Para kakak angkatannya pun tampil tanpa homogenasi. Dari hanya beberapa gelintir orang, mereka tampil semuanya beda, memegang teguh idealisme mereka sendiri tanpa harus saling melabelisasi dan rasis. Sejauh ini, saya memang mendapatkan kesan yang menyenangkan disini, di hari pertama saya ngampus dan ketemu sama kawan-kawan baru yang homogen. Entah bagaimana kedepannya, tapi saya yakin, meski diantara corak lain, kami sama-sama belang, tetap ada motif tertentu pada tiap-tiap kami yang pasti tak sama satu dengan yang lain. Oleh karena itulah, kesamaan kami adalah sama-sama idealis oleh prinsip sendiri.


Yogyakarta, 18 Juni 2013


YUANITA WAHYU PRATIWI


Saturday, June 08, 2013

Sejarah dan Saya, Saya dan Sejarah

Biar saya jelaskan disini, saya bukan orang yang pandai berbasa-basi tapi saya suka budaya basa-basinya Indonesia. Budaya ini menjelaskan secara implisit bahwasanya penduduk dari negeri ini adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kesopanan, menghormati siapapun yang berinteraksi dengan mereka, dan memiliki tutur kata dan laku yang halus. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, derasnya arus globalisasi, dan semakin maraknya internalisasi nilai asing yang berbanding lurus dengan degradasi moral bangsa, kata “basa-basi” itu sendiri mulai bergeser makna. Basa-basi murni yang mengandung nilai-nilai luhur kini mengental eksistensinya menjadi “kebanyakan basa-basi” atau bahkan memudar samasekali menjadi “nggak tau sopan santun”. Entah bagaimana caranya agar nilai luhurnya kembali pada asalnya, mungkin itu peer buat saya dalam beberapa waktu kedepan, seiring dengan langkah pasti saya untuk menjajaki salah satu bidang keilmuan yang tak asing buat saya, lebih jauh lagi.

Saya mengidentifikasi beberapa hal mendasar dari kepribadian saya selama ini. Diantaranya adalah saya suka mengenang dan merancang. Kedua hal tersebut sama-sama melibatkan imajinasi yang tak lain adalah salah satu kemutakhiran yang dimiliki oleh bongkahan otak bagian kanan, tapi sadarkah kalian bahwasanya kedua hal itu berada pada dimensi yang berbeda? Yeah, mengenang untuk waktu yang lalu, dan merancang untuk waktu yang akan datang. Dan dengan banyak pertimbangan akhirnya untuk menjalani hidup saya beberapa waktu kedepannya, saya lebih memilih untuk mengenang dari pada merancang.

Imajinasi adalah nafas yang telah menyambung nyawa saya untuk sekian lama. Ia adalah hiburan paling mutakhir, dunia tanpa kendali, tempat melarikan diri paling aman, dan tempat kita, masing-masing manusia, memlikinya persis satu, dimana letak segala kendali ada pada diri yang menuaninya. Dengan bantuan imajinasi, kita bisa membawa kembali, merasakan kita didekap oleh atmosfer yang lalu, atau bahkan dibawa melayang oleh spekulasi tentang yang akan datang. Tapi karakteristik imajinasi terhadap kedua hal tersebut berbeda. Masa lalu adalah hal yang pasti dan terbukti, sementara masa depan hanya spekulasi. Tak ubahnya gaya arsitektur, bangunan masa lalu berdiri diatas banyak tiang dan konstruksi maha kokoh yang sanggup bertahan berabad-abad, sedangkan bangunan masa depan melayang diatas kemutakhiran teknologi dan futurisme yang bahkan hanya berlandaskan pada hitungan rumit dalam teori yang masih dalam pengembangan atau bahkan belum ditemukan samasekali.

Sci-fi, atau science fiction, meski berbau science dan tampak meyakinkan, tetaplah hanya imajinasi yang bisa saja terjadi atau tidak samasekali. Yang ada di waktu yang akan datang adalah misteri. Jikapun kita mengusahakan, kendali tetap berada bukan pada kita. Oleh karenanya, masa depan menurut saya sepenuhnya adalah abstrak. Imajinasi berupa rancangan yang saya gemari hanya sekedar siasat untuk menghibur diri, menyampaikan ide gila tanpa cibiran siapapun, dan melegakan dahaga kreatifitas saya. Saya merancang hari ini, besok, dan besok lagi, bukan semuanya untuk terjadi atau benar-benar terwujud, tapi justru karena saya suka merancang, entah itu akan terrealisasikan atau tidak. Ketika benar-benar terwujud, tentu saya bahagia, tapi sekalinya tidak pun saya sudah cukup senang dengan merancangnya.

Lain halnya dengan masa lalu. Jika di dimensi waktu yang akan datang ada Sci-fi, di waktu yang lalu tak ada History fiction. Jikalau memang ada, secara gamblang itu akan dikategorikan sebagai fiksi tanpa menyeret terlebih dahulu kata “History”, seperti misal Legenda yang memiliki kemiripan dengannya, tapi jelas dikategorikan berbeda karena sejarah memang hanya soal fakta. Melihatnya sebagai fakta, mungkin membuatnya terlihat sekaku eksakta, tapi steatment “Sejarah sebagai seni” segera mematahkannya. Mengapa? Dikutip dari guru sejarah saya di SMA, bahwa sejarah memang hanya soal fakta, tapi dalam penulisan dilibatkan interpretasi dan jiwa kreatif sang penulis sehingga ia menjadi fakta yang elok untuk diketahui, fakta dalam seni.

Dari penafsiran saya terhadap dua sudut pandang diatas mengenai merancang dan mengenang, memang pas rasanya jika saya memilih jalan tempat saya berada sekarang. Saya lebih serius untuk mengenang dibanding merancang. Merancang bisa jadi potensi yang cukup menjual, tapi sayangnya saya tak memiliki konstruksi cukup kuat untuk berada disana. Memilih untuk mengenang dan memilih Sejarah sebagai tujuan, bukan berarti menghilangkan aspek dimensi waktu yang akan datang dari pikiran saya karena pada dasarnya sejarah itu sendiri terdiri dari tiga dimensi, masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang.

Yang membuat saya mencintai bidang keilmuan ini bukan hanya soal apa yang ia berikan pada saya, tapi juga apa yang secara implisit melekat padanya. Saya suka idealisme para akademisi Sejarah, saya suka kegigihan mereka dalam melawan arus dan mencari kebenaran. Dan adalah suatu harapan besar buat saya untuk menjadi salah satu dari mereka suatu saat nanti, mengenang dan belajar banyak dari masa lalu untuk kemudian merancang masa depan yang lebih baik dari sekedar futurisasi yang tak sinergis dengan idealisme hakiki sebuah bangsa. Ketika saya sampai pada saat itu nanti, saya akan mendapati kecenderungan untuk mengenang dan merancang yang saya miliki dapat berjalan beriringan, koheren dengan langkah saya untuk mengabdi pada bangsa ini.