Trending Topics

.

.

Tuesday, December 01, 2015

IPK

Belum lama ini saya liat video di yutup, isinya kisah horror seorang pengejar IPK. Dari momen-momen kayak gini, saya percaya kalo hidup itu ada yang ngatur. Belakangan ini, paradigma semacam ini lagi melanda saya juga, dan ternyata masih saling sambung sampai saya lihat video tadi. Mungkin jadi semacam kasus yang cluenya lagi loading satu persatu. Kalo liat pandangan umum di medsos, rasanya, perbedaan paling mencolok dari kuliah dan sekolah adalah diinginkan dan tidak terlalu diinginkannya sebuah nilai. Kalo di sekolah, orang tua dipanggil pas bagi rapot. Yang dilihat apa? Nilai. Bahkan di film Sang Pemimpi, ada cerita kalo tempat duduk orang tua pas bagi raport disesuaikan sama peringkat anaknya. Intinya, what makes them proud are grades, bukan yang lain. Atlet sekolah yang kebanyakan dispen, juara setinggi apapun, dianggap cuma modal otot gak modal otak.

Keadaan berbalik ketika masuk kuliah. Entah gimana ceritanya, nilai gak terlalu menghibur. Apa karena luasnya dunia kampus atau labilnya usia setengah remaja setengah dewasa, prestasi lain diluar IPK dianggap lebih precious. Kalo di sekolah, kita tahu banget lah gengsinya anak sekolah swasta di lomba-lomba akademis kaya apa dibanding anak-anak yang nyambi jualan dan nilainya pas-pasan. Apakah ada semacam pembalikan, momen balas dendam, karma, atau apa, yang jelas cobaan bagi para pengejar nilai, derajat kalian turun.

Waktu SD, elit kali balap-balapan nilai sama temen. Pas SMP guru BK bilang boleh pacaran kalo nilainya jadi tambah bagus, dan seterusnya. Tapi hanya dalam satu dua tahun, indikator ini gak berlaku lagi. Ada segala macam sukses diperkuliahan. Ada sukses bisnis, sukses pimnas, sukses organisasi, sukses politis, sukses pacaran, dan masih banyak lagi. Sukses akademik cuma sukses kecil, nyempil tak terlihat diantara yang lain.

Yang kerap kali disandingkan sebagai tandingan sang nilai kognitif adalah softskill. Softskill itu semacam kualitas diri, kecakapan tak tertulis, tapi does meaningful in real life. Contoh softskill misalnya leadership, self-management,  kemampuan problem solving dan lain sebagainya. Dua hal ini kerap dianggap tak bisa berjalan beriringan, jadi ketika IPK kamu super, softskill kamu jelek, dan sebaliknya ketika softskill kamu bagus, pasti IPKnya gak bagus-bagus amat. Asumsi ini nyata tumbuh subur di masyarakat, dan menurut saya, ini mengerikan.

Ceritanya gini, saya anak 19 tahun yang masih sangat tidak dewasa, sedang kebingungan perihal ini. Saya tumbuh dengan anggapan bahwa berpassion adalah impian saya. Hidup dengan menekuni sebuah kesenangan adalah target masa depan saya. Oleh karena itu, saya meninggalkan hidup dalam usaha mengejar ranking 1 selepas SD. Saya sadar, kesempurnaan yang bisa saya usahakan mencapai puncaknya ketika itu. Nilai UN SD saya menegaskan bahwa kebodohan saya dalam hal hitung-hitungan sudah terdeteksi cukup parah. Matematika di SMP dan SMA semakin sulit, dan saya akan segera masuk ke SMP yang menyatukan saya dengan mantan-mantan rival di berbagai lomba ketika SD. Para rival yang banyak mengalahkan saya dengan menyedihkan. Ketika itu saya pikir, saya berhenti mengejar ranking 1.

Kekalahan itu pahit, dan saya sudah lama belajar tentang hal ini. Saking pahitnya, saya agak parno sama kekalahan. Akibat keparnoan ini, saya tidak terlalu kompetitif. Premis lain ada pada kesungguhan dan fokus. Saya sadar kalau fokus itu penting dalam sebuah lomba calistung ketika kelas 3 SD, konsen saya buyar karena asyik memandangi sebuah penggaris baru, dan tarra, saya tidak lolos seleksi kecamatan. Ketika SMP, ibu saya melarang saya masuk OSIS karena khawatir sekolah saya akan terganggu. Seolah mengamini hal itu, saya setuju tanpa banyak advokasi karena pada dasarnya saya memang sulit merasa nyaman dengan hal baru. Meski begitu, saya mengasosiasikan seorang pengejar nilai dengan kesempurnaan di segala bidang. Saya pikir saya berbeda, saya tidak seperti itu, karena saya tidak ingin menguasai segala bidang.

Semenjak SMP, saya menanti-nanti pelajaran favorit saya. Saya tentu ambisius dan berusaha keras di dalamnya, karena saya suka. Bagi saya, kalah di bidang lain tidaklah memalukan, tapi ia jadi pahit ketika terjadi di bidang yang saya sukai. Tapi diantara dorongan yang ada, dorongan dari rasa suka dan kesenangan memiliki spesialisasi lah yang saya nikmati. Pola seperti itulah yang terjadi sampai saat ini.

Rasa syukur saya sangat besar ketika diterima di jurusan yang saya geluti sekarang. Tidak ada penyesalan atau keraguan sedikitpun ketika itu. Tiap semester rasanya seperti berperjalanan jauh. Kisah demi kisah terbuka dalam alur yang total, tidak terputus-putus sebagaimana ketika di sekolah dulu. Bagian paling menyenangkannya, sejarah tak hanya jadi pemanis 40 menit di penghujung minggu dan sering kosong, tapi whole week, 24 SKS!
Berdasarkan kisah indah itu, otomatis yang ada adalah euforia dan euforia. Di penghujung semester pertama, nilai saya keluar belakangan. Ketika teman-teman SMA cerita soal IPK, saya hanya terdiam. Perasaan saya iri mendengar kata 3,7; 3,6;3,8. Saya tidak berharap banyak mengingat bagaimana mindblow mengacaukan kerangka rapuh yang telah saya bangun sejak SD dan menggantinya dengan yang baru. Sementara itu, kerangka barunya sangat asing, sulit dimengerti, bergerak sangat cepat dan banyak menuntut. Saya hanya berpikir bahwa saya telah sangat terhibur oleh prosesnya, mengapa saya harus serakah dan menuntut semua hal kepada saya? Apapun nilainya, yang penting saya menjadi lebih baik dari yang lalu, yang penting saya tahu apa yang sebelumnya tak saya tahu.

Di luar dugaan, IPK pertama saya cukup menghibur. Ketika sudah begini, hadiah tambahan ini dan hadiah yang sesungguhnya bergabung menjadi candu bagi saya. Antusiasme demi antusiasme terus mewarnai semester-semester selanjutnya. Semester yang paling saya nikmati, semester tiga, mencatatkan rekor tertinggi. Menurut saya ini bukti lain bahwa ‘perasaan menikmati’ dan hasil berjalan beriringan. Rasanya seperti saya telah menemukan apa yang selama ini saya cari-cari. Entah kesombongan dari mana, tapi menurut saya waktu itu, ketika mengerjakan tugas, saya menemukan diri saya bekerja dengan passion sebagaimana yang saya impikan sejak dahulu.

Di atas langit masih ada langit, dan selama kita masih hidup, semakin tinggi kita, yang kita rasakan adalah semakin panasnya matahari, bukan semakin sejuknya surga. Saya percaya kalimat itu. Mungkin ini alasan mengapa sombong itu dilarang. Di balik perasaan menyenangkan ketika dagu perlahan naik, literally or exactly, ada hati hati lain yang terluka, ada penyesalan di masa depan ketika kita terpaksa harus menelan kesombongan kita sendiri dengan kegagalan lain. Saya pikir selama ini saya hanya senang, tapi mungkin secara tak sengaja saya telah menjadi sombong. Mungkin orang-orang lain ada yang terluka oleh kesombongan itu. Maka beginilah manusia ini akhirnya terpukul lagi. Memang sih, orang lain diciptakan bukan hanya untuk mendukung, tapi juga menantang. Orang lain yang berbeda raga, jiwa, dan riwayat dengan kita sangat mungkin tidak mengerti apa yang kita percaya, sangat mungkin menganggap salah apa yang kita yakini benar. Namun demikianpun saya tahu, sulit untuk bisa menerima, dan semacam perasaan terpukul pasti ada.

“Gimana sih caranya biar IPK tinggi?”

Buat saya itu bukan pujian. Jawaban yang saya berikan pun akan terdengar sangat naif jika hanya “Suka”. Persoalan passion dan menikmati itu sangat pribadi, jadi orang lain tidak akan mengerti. Jadi itu tak terlalu menghibur.

Di sisi lain, ketidakbecusan saya dalam berbagai hal memang menyebalkan. Dalam sebuah agenda yang menuntut pergerakan, apa gunanya siput diantara rombongan kepiting? Saya sulit mengikuti, saya tidak mengerti banyak hal, dan saya tak terlalu berguna. Saya sulit berkomunikasi dengan orang, terutama merasa nyaman dengan komunikasi itu. Saya juga sulit melakukan hal-hal yang tidak biasa saya kerjakan. Terbukti sekali kan, kalau softskill saya lemah? Kejadian ini seolah mengamini teori IPK tinggi = lemah softskill. Teman kerja saya juga sempat marah dan bilang kalau saya harus kerja sebelum lulus supaya saya tahu bahwa dunia luar itu bukan soal akademik. Otomatis saya terpukul sama kata-kata itu. Di saat-saat itu saya kehilangan kepercayaan. Jangan-jangan benar kalau selama ini saya bersenang-senang dalam wacana. Bahwa apa yang saya percayai betul-betul naif dan saya hanyalah seorang pengejar nilai.

Saat kepercayaan saya kembali, saya membenahi masa lalu saya dalam sudut pandang yang sebelumnya. Saya seorang pecandu, bukan pengejar. Nilai itu hadiah. Tapi memang betul bahwa ada prioritas tinggi yang saya letakkan pada persoalan akademik. Betul juga bahwa saya seorang introvert yang takut dunia luas. Bahwa buat saya kenyamanan nomor satu dan sulit untuk tidak bergantung pada hal itu. Saya telah lama belajar artinya fokus. Saya telah belajar bahwa orang-orang punya potensi yang sama untuk berkembang di bidangnya masing-masing, dan sesuatu yang diasah secara kontinyu dalam waktu lama akan membuahkan hasil. Waktu masih kecil, sayamenangis hanya dengan mengupas bawang, tapi sekarang saya bisa mengupas dan mengiris semangkuk bawang tanpa air mata sedikitpun. Saya tak tahu apa-apa soal eksekusi acara, teknis pelaksanaan, dan berkomunikasi dengan banyak orang karena saya tak terbiasa dengan itu. Saya tak punya pengalaman yang mengajari saya soal itu. Begitulah proses bekerja. Kita belajar dari pengalaman, dan dari sanalah kita semakin baik. Rangkaian pengalaman akan membentuk spesialisasi, dan apabila kita selalu memilih berdasarkan kata hati, itulah passion. Mungkin terdengar seperti iklan rokok, tapi seperti itulah saya bekerja.

Sedikit banyak, apa yang terjadi belakangan menakuti saya. Saya khawatir bagaimana dunia akan menampilkan wajahnya pada saya selepas lulus BA nanti. Apakah akan ada yang memberi saya pekerjaan, apakah saya akan tertelan oleh idealisme iklan rokok yang saya pegang, atau apakah kenyataan selalu semengerikan yang diceritakan teman saya, semua itu semakin dipikir semakin menciutkan diri. Saya juga tak punya banyak rencana. Tapi pilihan terakhir tetap akan saya jatuhkan pada kebiasaan lama saya, berusaha untuk waktu dekat, pelan-pelan saja, jangan lupa menikmatinya, dan mungkin dengan sedikit tambahan: belajar terbuka.

Mungkin buat kalian, tulisan ini hanya pembelaan seorang pengejar IPK, tapi bagi saya bukan. Saya tidak akan memberikan apa saja untuk nilai, tapi betul jika bagi saya, urusan akademik, urusan dalam bidang yang saya sukai ini adalah prioritas. Saya bukan orang yang skipping class karena kelelahan oleh banyak organisasi. Saya tidak ambil banyak, tapi kalau saya ikut kegiatanInd ekstra, cuma diri saya yang bisa dikorbankan karena itu pilihan saya. Lelah itu risiko tapi semuanya harus berjalan karena tanggung jawab itu nilainya tinggi.


Monday, August 10, 2015

Sisa Perjalanan



Teman-teman, hati selalu punya ruang. Anak muda seharusnya memang progresif, mengingat fungsi tubuh sedang dalam kondisi terprima. Pada masa-masa ini para atlet mendapatkan medali terbanyaknya, dan seorang yang duduk di kelas dalam gedung berpendingin ruangan mendengar ceramah professor yang mengaku intelektual ini patutnya berkarya. Orang lain sesama pemuda telah sampai di tanah-tanah asing, telah mengukir nama yang harum dalam kejuaraan-kejuaraan besar, dan telah membuat orang terdekat kenyang oleh rasa bangga, tapi apalah diri ini. Seorang yang belum menemukan diri menghasilkan suatu yang berharga. Seorang penghabis waktu dan biaya, tidak produktif luar biasa.

Diantara tugas-tugas wajib, kesenangan hati selalu jadi prioritasnya. Kali ini, setelah ia melakukan perjalanan ini, nampaknya paham yang terlalu SMA itu telah terlalu usang untuk tantangan di dunia barunya. Ia beranjak ke semester tua, masih dengan tangan hampa kecuali deretan nilai di transkrip. Waktunya hanya berputar di orang-orang sekitar, hobi, dan ketidak disiplinannya. Dasar anak manja.
Antara panitia dan calon peserta tak pernah ada komunikasi apapun, bahkan dalam bentuk kontak batin sekalipun. Birokrasi di tanah berisi ratusan juta orang ini sering kali terlalu panjang dan berbelit. Sementara itu waktu adalah makhluk paling konsisten di muka bumi. Kalau menurutmu deadlinenya terlalu singkat, itu cuma self excuse para pecundang. Kau bukan seorang pengambil kesempatan.

Sebetulnya Tuhan Maha Pemurah. Bahkan di dalam duniaNya yang orang bilang kejam ini, setiap manusia akan berkembang sesedikit apapun usaha yang ia lakukan. Minimal manusia tahu caranya menyuapkan makanan ke mulutnya, maka makanan-makanan itu akan sampai pada sel-sel yang terus berlipat ganda. Tubuh berubah dan tantangan dengan tanpa disadari juga bertambah. Dengan kekuatan lebih, seorang anak berusia 7 tahun harus berjalan kaki ketika ibunya hanya sanggup menggendong adiknya yang berusia 3 tahun. Apakah itu tantangan? Rasanya terlalu sederhana untuk menyebut keterpaksaan untuk berjalan kaki dalam lelah selagi si ibu tak sanggup menggendong dua anak sebagai tantangan. Akan tetapi lama kelamaan, anak 7 tahun itu akan jadi seorang kakak yang bukan hanya kuat, tapi paham posisinya, mengerti arti pengorbanannya, dan menyayangi adiknya. 

Dalam kesempatan lain, untuk menjadi murid yang pandai, anak 7 tahun itu harus mengambil kesempatan memperhatikan apa yang di ajarkan guru di setiap kelas tanpa melewatkan sedikitpun. Pun untuk masuk tim sepak bola anak kabupaten, ia harus rajin berlatih sebelum audisi dilakukan. Ada lebih banyak usaha yang dituntut kesempatan-kesempatan semacam itu. Masalah yang ditimbulkan jika kalian tidak mengikutinya pun tidak akan besar. Nilai sekolah kalian akan tetap bagus meskipun kalian tak ikut lomba-lomba ke luar. Dan kalian akan tetap naik kelas sekalipun duduk di tengah, dan kadang luput dari penjelasan guru di depan kelas selama kalian rajin masuk dan mengerjakan tugas. Tapi ketika ada orang-orang lain yang mengambilnya, jangan harap mereka akan dengan murah hati setia menunggu kalian sampai saat terakhir. Mereka akan melesat, jauh, sampai tak terlihat lagi. 

Dunia yang kecil tak akan berubah terlalu banyak. Teman akan tetap baik, keluarga akan selalu ada dan membanjiri diri dengan kasih sayang. Tapi di dunia yang lebih besar, akan ada banyak orang yang kontradiktif denganmu. Ada mereka yang konsisten dengan sikap diri yang tak kau sukai. Ada banyak kekalahan dibalik satu dua kemenangan maha manis yang menggetirkan hati. Di kali pertama kedua mencoba, rasanya dunia seperti meninggalkanmu sendirian. Ketika tak bisa mengatasi, kita seringkali akan berlari dan sembunyi. Dunia tak akan melihat kita lagi sebelum kita bisa tersenyum dan beramah hati. Selamanya mereka akan mengingat kita sebagai orang-orang yang ditimpa bayangannya sendiri. 

Soal semua itu, aku baru merasakannya kali ini. Selama ini zona nyaman telah membuat cahaya luar terasa sangat menyakitkan. Segalanya asing, keras, dan membuat diri tak nyaman. Namun dibalik keputus asaan, dengan segala kuasanya Tuhan datang dengan pertolongan. Dunia akan indah tanpa didoa. Di ujung jalan kita akan sampai pada rasa syukur yang meluap. Dunia tidak sekejam yang kita kira. 

Di perjalanan itu, ada sisa yang manis. Sejengkal dunia telah masuk ke pengembaraanku lagi. Mungkin akan butuh waktu lama sampai jengkal demi jengkal merengkuh seluruhnya dalam dekapan, tapi biarlah ini menjadi proses yang baik. Aku terlambat memulai memang, tapi ada angin kontemplasi yang kubawa dari sini. Untuk menerjunkan diri ke dunia yang luas, aku butuh lebih banyak berlatih. Berhadapan dengan orang-orang baru memang terlalu membuat langkah seringkali terasa salah, dan aku masih sulit mengatasi ini. 

Takdir adalah skenario Tuhan yang rahasia. Dalam setiap hela nafas, tindak tanduk, dan keputusan, tak pernah ada yang pasti tahu apa yang akan didapatkannya. Tesis hanya buah pikir khas metodologi Eropa. Nyatanya masih banyak hal tak bisa di rumuskan. Masih terlalu banyak anomali dalam serangkaian dalil seorang ilmuwan. Manusia begitu kecil. 

Dalam tiap kesempatan aku tak tahu akan bertemu siapa. Seringkali diri ini ingin seluas-luasnya membuka hati. Tapi perasaan dengan segala spekulasi anehnya kerap kali mengambil kendali. Diam, melewatkan banyak hal, merasa salah tanpa meluruskannya, dan aku pun kehilangan banyak hal. Di perjalanan kali ini aku punya banyak hal untuk dikatakan setelah aku sampai di rumah dan merenung. Sayang tak sekata pun sampai padamu di waktu kemarin.

Adakah aku harus seperti mereka? Sayang sekali, sepertinya itu sangat bukan diriku. Aku bukan siapa-siapa. Apa pantasku untuk banyak-banyak angkat bicara. Mungkin diri ini terlalu banyak berkomentar termasuk pada diri sendiri daripada bertindak. Tapi mengertilah, tolong, meski tidak mungkin. Aku ingin tanya beberapa hal, memulai percakapan kecil, dan bertemu serta berpisah dengan wajar denganmu, tapi aku hanya seorang pemula. Mungkin ada banyak tindakku yang berbeda arti di depanmu, tapi maksudku tak pernah buruk. Aku senang hati mengenalmu, hanya saja sulit untuk menafsirkannya dengan benar. 



Selamat memulai hidup yang biasa lagi. Aku harap kita bisa bertemu lagi, dengan suasana yang mungkin lebih baik, nanti.



Monday, July 27, 2015

Selamat Ospek

 Nikmati aja, yg jadi favorit saya di saat seperti ini kebersamaan keluarga akan teruji~

Sekali lagi, selamat ospek, semoga menyenangkan~


Wednesday, May 06, 2015

Not Good with People



Kayaknya udah pernah nulis yang semasalah sama ini deh, tapi ya suasananya beda tulisannya juga jadi beda. Tapi berarti, saya gak maju-maju ya? Waktu berjalan terus tapi masih berkutat di masalah yang sama. Apa boleh buat, memang susah gaes.

PPS saya semester lalu, praktik penelitian sejarah, awalnya ada rencana buat wawancara, tapi berhubung agak enggan, alhasil gak jadi. Entah enggan atau saya memang useless banget kalo bagian berinteraksi dengan orang sih. Selama periode perburuan sumber, memang berkali-kali saya ke Indomaret, tapi buat sekedar tanya ke mas-masnya, ini mi instan datengnya dari mana aja saya urung. Gak tau kenapa rasanya buat ngomong itu susssaaah buanget!

Di Jogja, jujur daripada di Cikarang, saya dapet kesempatan latihan yang lebih besar. Orang-orang disini memang lebih ramah daripada ditempat saya, secara kasat mata paling nggak. Kalo urusan udah kenal sih, mereka, orang dari manapun bakal ramah dengan caranya sendiri. Biar kata ngomongnya kaya marah-marah dan dari bocah sampe nenek-nenek pake ‘lu-gua’, orang-orang Ceger juga kerasa ramahnya pas saya reportase pabrik jamur dulu. Orang sini lebih peka men. Meski Cuma ngangguk dikit, biasanya bakal dibales ngangguk plus senyum manis banget, terutama ibu-ibu atau nenek nenek yang biasanya gini. Di Cikarang gak semudah itu, biasanya harus pake suara dan harus kedengeran. Buat saya itu lebih susah lagi, jadilah banyak yang bilang sombong dan sebagainya.

Tahukah mereka sebetulnya betapa hati ini bertengkar satu bagian dengan yang lain berlapis-lapis jauh didalam predikat sombong yang mereka labelkan? Andai kata negor duluan, saya gak mungkin melengos dan nyuekin kok. Tapi jujur, buat negor duluan, saya takut banget dicuekin, meskipun seringnya karena suara saya nggak kedengeran. Biar bagaimanapun itu sakit, men sakiit. Malu juga kalo orang yang gak kita tegor yang justru notice dan ngeliatin. Dan sampe sekarang saya sering buanget kaya gini.

Salah saya apa gitu ya. Kenapa hal semacam ini harus terjadi~ #halah. Kadang saya juga pengen lho, jadi yang bisa akrab sama siapa aja, yang supel dan temennya dimana-mana. Tapi ya itu dia, susah. Entah berapa kali saya sudah mempertemankan teman saya dengan teman saya yang lain, kadang tanpa prakarsa saya. Tapi kalo saya ketemu temennya temen saya yang pernah saya lihat, keinginan untuk ‘ngeruhi’ ketika kami belum kenal secara personal itu tertahan dalam sekali. Jadi lah banyak yang bukan kenal, tapi Cuma tau muka. Miris banget ya :’’’’’’’’’D

Sama tukang jualan juga gini kasusnya. Suatu sore yang gerimis sendu, saya pernah keliling-keliling cari tukang sate. Waktu itu kebetulan saya nemu ibu-ibu sate ngider yang lagi beberes dagangan. Pas saya tanya masih ada, katanya iya masih. Sebenernya udah mau pulang, tapi malah ketemu saya, berarti rejeki kata dia. Wah itu ibu ngajak ngobrol ngalor ngidul, plus nasehat-nasehat dan lain sebagainya, dan saya tanggepin. Ibunya agak kasian gimana gitu juga, makanya pas dia tanya pake lontong atau nggak, saya  bilang iya aja, padahal sebenernya rencana awal mau saya makan pake nasi. Tapi ya namanya mahasiswa men, ketemu tukang yang lagi kukut-kukut, udah jadi tempat curhat ngalor ngidul lagi, harapan dikasih murah, atau dibonusin barang setusuk gitu. Eh, ternyata saya malah kena kemplang 22 ribu. Bayangkan seporsi sate yang bumbunya dikit, di ibu-ibu yang lagi kukut-kukut, isinya banyak ususnya, berharga 22 ribu rupiah. Padahal sate top yang lewat pas malem, itu Cuma 10 ribu seporsi plus lontong. Yang di pinggir jalan, Cuma 13 ribu, kambing 23 ribu, nah ini apaaa?!

Gatau lah apa bodoh saya kelihatan banget sampe dikemplang tuh ibu-ibu atau gimana. Kabar mirisnya lagi, itu sate buat buka puasa men. Bayangkan betapa saya harus berbuka lebih dahulu dengan kesabaran sebelum perut yang sudah menggelar orkes dipuaskan.

Dengan tukang jualan lain saya juga punya problem. Di Depan SMP 1, ada tukang pecel lele yang sering buanget saya lewati, hampir setiap hari. Si bapak yang jual suka duduk pake kursi plastik di depan lapaknya, jadi kalo lewat, otomatis lewat depannya dia banget. Dulu pas awal di jogja, referensi makan masih dikit, saya suka ke tempat itu buat makan. Yang jual juga ramah, jadi pas saya lewat, meski gak selalu beli saya juga negor. Pas saya udah beberapa lama di Jogja, kondisi keuangan makin realistis. Dari sana, tak setiap hari lah saya makan ayam. Saya jadi jarang ke tempat itu, tapi tetep ‘ngeruhi’ bapaknya kalo lewat. Eh suatu hari, pas saya negor kok bapaknya malah buang muka. Dari sana bodo amat apa yang terjadi, saya males lah negor lagi, apalagi makan situ. Sekarang bapaknya masih punya kebiasaan sama, nongkrong pinggir jalan itu, tapi saya lewat-lewat aja. Bodo amat. Sakit men, diplengosin.

Selain sama tukang jualan, sama salah satu mbak kosan juga saya ada problem. Dulu pas pertama kali ngekos, saya yang ajak kenalan beliau. Dia juga ramah-ramah aja. Dia itu sefakultas sama saya, tapi pas awal kebetulan saya jarang liat di fakultas. Beberapa lama berselang, saya pernah papasan di deket kantin, tapi saya gak terlalu notice ke mbaknya karena emang jarang liat. Setelah itu, kami beberapa kali sempet papasan lagi di kampus, tapi kok dia tetep nggak ‘ngeruhi’ gitu, padahal saya dulu kan udah ajak kenalan. Saya gak tau apa pas pertama papasan itu saya terlihat pura-pura gak kenal atau gimana, yang jelas sampe sekarang, kita gak tegoran dan dia jadi jutek banget gitu. Yaudah lah.

Masalahnya setipe kan. Gak tahu lah, saya memang not good with people. Apa saya terlalu banyak menahan diri ya? Atau orang-orang supel memang nggak boleh sepenakut dan seperasa ini? Pas di kelompok ospek universitas, saya sudah mencoba terbuka, tapi nyatanya saya menemukan sekelompok besar yang tidak begitu cocok dengan saya dan kembali ke satuan kecil yang nyaman. Apa dengan ini saya memang selalu akan berakhir seperti ini bahkan ketika mencoba menjadi orang lain, sebagaimana meski tanda tangan berubah, sifat goresannya masih tetap sama.

Pokoknya, ini tetep lho, memberikan masalah yang gak mudah buat saya. Saya pengen banget deh tau caranya berkomunikasi yang baik dengan orang-orang biar gak suka salah ngomong dan malah jadi ngecewain orang padahal niatnya gak kesana. Ah betapa lisan adalah pedang yang sangat tajam~ Saya kira awalnya gak masalah dengan prodi yang saya jalani sekarang, tapi ternyata masih tetap ada ganjalan. Seseorang sepertinya memang diharuskan untuk mencoba yang terbaik yang ia bisa di segala bidang, meski hasilnya tak akan sempurna untuk semuanya. Sejarah lisan, aih. Mengapa oh mengapa harus ada~ Tapi ya apa boleh buat. Sudah ada ya harus dijalani. Kedepannya kalopun saya nggak akan menjadi seorang sejarawan yang bergulat dengan sumber-sumber lisan, kompetensi ini harus tetap saya miliki. Susah sih, tapi ya, ayok lah wan, semangat! Siapa tahu ada kebaikan besar dibaliknya, siapa tahu ini bisa jadi batu loncatan yang super buat meninggalkan masalah koplak lu soal berkomunikasi :v
Bismillahirrahmanirrahim.


MYDAY


Tulisan ini mungkin akan jadi terlalu subjektif, tapi okelah, toh cuma opini.
Bulan Mei akhirnya tiba lagi. Bulan ini worth so much buat saya pribadi. Tapi di luar event-event pribadi, Mei juga menyimpan banyak event besar yang penting. Salah satunya buat saya sih Mayday, yang baru selang beberapa hari kemarin ini.

Tiap 1 Mei, dunia secara khusus memberikan hari peringatan untuk salah satu kelas sosial terbesar yang menyusun hirarki masyarakat dunia, untuk buruh. Sebetulnya buruh juga kelas baru. Dalam setiap sistem di setiap masa, memang selalu ada wong cilik. Tapi ketika sistem yang berlaku masih feodal misalnya, wong ciliknya tidak sama dengan buruh. Mereka lebih bekerja atas kerelaan, atau mungkin juga keterpaksaan, yang jelas mereka tunduk pada seorang penguasa dengan jalinan hubungan yang tidak seimbang. Seorang patron bertanggung jawab atas keamanan wilayahnya, tapi berhak menarik apapun dari penduduknya yang terikat dengannya. Hubungan mereka juga kerap dikaitkan dengan konsep spiritual yang jauh lebih tinggi, makrokosmos dan mikrokosmos, katanya. Buruh juga tidak sama dengan budak. Golongan ini muncul setelah perbudakan sudah tidak lagi menjadi trend. Budak mungkin juga dipekerjakan di perkebunan seorang tuan, tapi sistemnya adalah kepemilikan dan ia berkedudukan sebagai aset, sehingga si tuan bebas meminta budaknya untuk melakukan apapun. Lagi-lagi, dalam hubungan budak dan tuan, transaksi yang terjadi tidak seimbang.

Buruh muncul ketika industri membesar. Revolusi Industri abad 18 telah membuat tenaga kerja yang dibutuhkan demi meningkatkan produksi membengkak. Dalam keadaan yang seperti ini, menurut saya, kedudukan buruh memiliki posisi penting. Buruh merupakan salah satu faktor produksi. Ia sejajar dengan modal dan bahan baku, tapi ada yang membuat buruh tidak bisa lagi disamakan dengan budak atau diperbendakan. Orientasi pemikiran orang-orang kala itu sudah mulai menyadari kebebasan. Ide-ide yang menjadi bibit-bibit hak asasi manusia telah mulai banyak dipikirkan. Hanya butuh beberapa dekade bagi revolusi Prancis, sang dekrit penghormatan terhadap kesetaraan kedudukan manusia, untuk dikumandangkan. Bersamaan dengan itu, pentingnya kedudukan tenaga manusia untuk produksi menurut saya membuat hak-hak mereka tak lagi bisa diabaikan sebagaimana budak.

Buruh menerima upah atas apa yang dikerjakannya. Profesi ini menjangkit berbagai bidang, dari mulai mesin, pertukangan, perkebunan, manufaktur, dan lain sebagainya. Yang membedakan buruh dengan pengerajin atau petani adalah mereka merupakan komponen dari organisme ekonomi yang jauh lebih besar, lain dengan pengerajin atau petani yang bekerja secara independen. Karena merupakan komponen dari organisme ekonomi yang jauh lebih besar, buruh tak bergerak sebebas pengerajin ataupun petani, dan sekalipun yang dikerjakan adalah sama, ia juga harus terikat peraturan-peraturan serta diatur oleh birokrasi internal organisme ekonomi tadi. Oleh karena itu, pekerjaan buruh cenderung merupakan kegiatan yang lingkupnya tidak terlalu luas dan berulang-ulang. Maksud dari tidak terlalu luas disini adalah ia hanya menangani satu babakan produksi, seperti misal finishing, untuk produk massal, bukan seperti pengerajin yang menangani semua proses tapi produksinya eksklusif.

Itu kiranya yang saya pahami soal konsep buruh, tapi ada cerita yang lebih panjang lagi soal kasus buruh secara khusus. Saya lahir dan besar di Cikarang, yang dengan buruh sejak orde baru seolah sepasang yang ditakdirkan berbagi kasih selamanya. Dalam sejarah mayor soal pembukaan investasi swasta oleh pemerintah orde baru yang kemudian menghasilkan wilayah industri terbesar di Asia Tenggara ini, sejarah keluarga saya menginduk. Kota ini dan industrialisasinyalah yang mempertemukan orang tua saya.

Kalau ditanya atas dasar apa saya menulis ini, saya bisa bilang, dasarnya banyak. Orang tua saya, sepupu, bulik, om, bude, pakde, tetangga, orang tua teman-teman saya, sampai teman-teman saya sekarang semuanya buruh. Saya tumbuh dengan gaji kedua orang tua saya, dalam rumah hasil jerih payah mereka, bersenang-senang dalam tamasya perusahaan setiap tahunnya, dan disokong beasiswa perusahaan sejak SD. Pada dekade 90-an, banyak sekali perusahaan baru dibuka. Mereka membutuhkan sangat banyak tenaga kerja. Kualifikasi yang diprasyaratkan hampir cukup mudah, setidaknya tak sesulit sekarang. Atas daya tarik itu, dari kampung-kampung nun jauh di pelosok Indonesia, orang-orang berdatangan ke kota ini untuk menjemput peruntungannya masing-masing. Kebanyakan dari mereka berakhir sebagai buruh, dan menjadi komponen dari kehidupan kota ini hingga sekarang, 20 tahunan setelah itu.

Untuk soal nasib, mereka banyak mengalami perubahan. Dulu di masa-masa awal lowongan massal dibuka dan mereka dipekerjakan, apa yang mereka dapatkan tidak seperti sekarang. Ada kalanya buruh hanya dibayar harian, atau mingguan, yang berarti hari libur tidak masuk hitungan yang di upah. Padahal, apakah mereka tidak makan ketika libur? Tunjangan kesehatan atau tunjangan ini itu lainnya juga masih nihil. Dari cerita orang tua saya, ketika ibu saya masih bekerja dan saya yang masih bayi sakit-sakitan, tiap minggu mereka terima gaji, gaji itu hampir pasti harus disetor ke rumah sakit yang ada diseberangnya untuk membeli beberapa obat dan perawatan ini itu buat tubuh saya yang tak kenal kompromi waktu itu.

Buruh dari generasi berbeda juga mengalami masalah yang berbeda. Ketika yang dibutuhkan bukan lagi tenaga untuk mengisi kursi kosong, melainkan untuk menggantikan kursi yang ditinggalkan, lowongan yang ada tak sebesar masa-masa awal. Meski selalu ada pabrik yang buka entah itu betul-betul baru atau cabang baru, angkatan kerja yang melamar selalu membeludak. Akhirnya muncullah sistem yang dihalalkan oleh Megawati, Outsourcing, yang umumnya disebut buruh kontrak. Soal itu, kerabat saya banyak yang mengalami. Mereka melamar lewat sebuah yayasan, untuk masa kerja beberapa tahun, umumnya hanya satu atau dua, dan mirisnya disertai uang pangkal. Uang pangkal itu bukan hanya ongkos administrasi, tapi juga semacam uang skip antrian. Saya tidak tahu pastinya, tapi banyak cerita seperti itu yang saya dapatkan. Si yayasan selalu membuat skenario bahwa pendaftar penuh, harus antri sekian lama, dan jika mau cepat harus membayar sekian. Padahal gaji selama beberapa bulan nantinya juga akan dipotong sampai jumlah yang ditentukan sebagai upah jasa yayasan penyalur tadi. Waktu itu, sekitar 2003-2008 UMR belum setinggi sekarang. Dan bayangkanlah apa jadinya jika gaji mereka dipangkas sedemikian rupa.

Entah pastinya, tapi mulai sekitar 2005 kesini, keadaan buruh mulai membaik. Yang awalnya hanya jamsostek, kemudian ditambah askes, UMR naik, dan keluh kesah buruh semakin bebas disuarakan. Tapi keadaan ini tak terjadi merata bagi semua perusahaan. Buruh kontrak biasanya tak dilengkapi dengan berbagai tunjangan. Memang ada, diantara itu, perusahaan-perusahaan otomotif yang progresif hingga memiliki program mengirim karyawan untuk pencanggihan skill ke negara induk. Perusahaan otomotif biasanya juga merupakan yang kaya akan bonus selain perusahaan tambang, karena omzet mereka memang luar biasa. Diantara itu, ada perusahaan yang biasa-biasa saja, yang concern soal hak-hak buruh, tapi penuh dengan syarat.

Akhir-akhir ini, dari lingkungan proletar yang pahit manis, saya bergeser ke lingkungan lain. Begitu jadi mahasiswa, otomatis saya juga bertemu rekan-rekan sepekerjaan. Tapi entah karena apa, banyak dari mereka yang berkomentar miring soal buruh, dekat-dekat hari buruh ini maupun diluar momen tiap kali kami menyinggung persoalan buruh. Dosen saya dalam suatu kuliah juga pernah bersatir soal demo buruh yang menakut-nakuti investor. Teman saya pernah bilang, kalau mereka mau gaji tinggi, kenapa tidak berpendidikan tinggi. Yang lain bilang, demo kesejahteraan, tapi naik ninja. Dan masih banyak lainnya yang serupa. Demo buruh 1 Mei yang tadinya saya lihat sebagai aksi heroik memperjuangkan hak sesama, ternyata dilihat dengan sangat berbeda oleh orang lain.

Bapak saya pernah cerita, kalau buruh sekarang memang betul enak, baru masuk, tapi gajinya langsung seperti yang sudah 20 tahun. Lagipula rekruitmen buruh sekarang tak seasal dulu. Perusahaan tempat bapak saya kerja sekarang malah membidik lulusan dari beberapa SMK yang kualifikasinya sudah dipercaya. Tapi diantara itu, sekali lagi ini tidak merata. Masih banyak buruh hari ini yang merasakan rasanya jadi buruh 20 tahun lalu. Masih banyak yang terperangkap dalam jaring yayasan outsourcing yang parasit. Dari sana, buat saya pribadi tuntutan mereka masih punya alasan. Lagipula dalam sebuah organisasi, kesediaan mereka didorong oleh rasa solidaritas sesama yang lebih dari sekedar motif pribadi. Wajar kalau setiap 1 Mei, jalan-jalan yang dipakai demo masih sama penuhnya.

Lagipula bukan semua orang punya hak untuk mengemukakan pendapat? Bukankah mahasiswa juga sering turun ke jalan? Dengan pengelihatan yang tak seberapa dalam, apa pantas kalau kita membatasi apa yang seharusnya dimiliki buruh hanya dalam beberapa kata? Mungkin banyak buruh yang sudah bisa menyekolahkan tinggi anak-anaknya, membeli Ninja, atau bahkan mobil. Tapi lebih dari sekedar UMR yang diharapkan naik seiring dengan harga BBM, apa hak kita buat melarang golongan ini mendapat fasilitas yang lebih humanis seperti 2 hari libur, rekreasi, cuti hamil, atau tunjangan pendidikan? Lagipula selain sebagai wadah berbagi solidaritas, federasi buruh bisa dibilang mandul. Tetap ada oknum-oknum besar yang bermain diatasnya, ada orang-orang yang ditugaskan untuk mengontrol mereka, dan radikalisme tak akan dibiarkan berbunga-bunga. Undang-undang juga pada akhirnya menyerahkan diri di tangan masing-masing perusahaan. Ditengah lingkungan seperti ini modal di atas menggerakan mereka, bahkan lebih dari itu, mengontrol, orang-orang yang sekedar ‘komponen’ ini.

Buat saya pribadi, buruh hanya sebagian dari masyarakat, yang dengan perannya tersendiri turut membuat dunia berdinamika. Yang masih menjadi ganjalan, kenapa orang-orang beranggapan mereka harus mendapatkan sesuatu yang berbeda dari buruh, kenapa mereka membatasi apa yang seharusnya didapatkan buruh meski tanpa kewenangan untuk itu. Kalau buruh memperjuangkan kenaikan UMR demi kesejahteraan, demi kehidupan generasi penerus mereka yang lebih baik, apakah itu salah? Apakah pendidikan tinggi hanya untuk anak-anak guru? Atau justru pendidikan yang membuat orang-orang menjadi angkuh?

Apapun pekerjaannya, bukankah semuanya harus dimulai dari titik rendah? Bukankah penghargaan akan datang bersamaan dengan semakin kayanya pengalaman?

Meski sama-sama masyarakat minor, buruh sepertinya belum dihormati sebagaimana petani. Kita tak diajarkan untuk berterimakasih pada buruh sebagaimana anak-anak TK berterimakasih pada petani setiap mau makan. Apa karena buruh di sini Cuma sekedar pesuruh, bukan agen transfer teknologi sebagaimana yang semestinya? Tapi siapakah yang sebetulnya membuat kita menjadi bangsa penjual mentah yang konsumeris? Siapa yang mengundang investor asing yang pelit ilmu dan kemana perginya investor lokal yang progresif? Apakah semuanya salah buruh?

Apakah memang demikian berat untuk mengizinkan buruh mendapatkan posisinya sebagaimana mestinya? Haruskah pegawai negeri bergaji lebih tinggi atas dasar pendidikannya, ketika buruh harus diaduk-aduk pola hidupnya oleh pekerjaan 3 shift yang tidak ringan? Kalau sekarang Cikarang makin tidak terkontrol, itulah hasil pola hidup yang selama ini dikatakan sudah cukup untuk buruh. Betapapun Jogja mulai ditumbuhi hotel-hotel, ia selalu diperhatikan baik oleh organisasi mahasiswa, masyarakat, seniman, dan lainnya. Cikarang tidak punya semua itu. Jalanan rusak semakin rusak, perpustakaan dan taman kota tak tersentuh, janji pemerintah hanya akan jadi janji, buruh terlalu sibuk untuk menagihnya. Lembur demi mengejar cicilan ini itu dan menyekolahkan anak-anak jauh lebih penting dibanding mengurusi pemerintah dan preman-premannya.

Saya bermimpi suatu hari 1 Mei bukan lagi ajang turun ke jalan buat buruh. 1 Mei mungkin bisa jadi hari festival besar-besaran buat sebuah masyarakat industri. 1 Mei mungkin bisa digunakan perusahaan-perusahaan untuk ‘memanusiakan’ pekerjanya. 1 Mei mungkin bisa jadi hari yang tak hanya dirayakan buruh, tapi juga semua orang atas jasa buruh dalam lini-lini lekat yang jarang mereka sadari.


Sunday, March 15, 2015

Sepele



Hati-hati guys, saya bukan seorang ahli bahasa. Oleh karena itu, yang akan saya tulis tentang sepele sebagai sebuah kata kali ini bukanlah sajian yang cukup memuaskan jika anda berekspektasi soal itu. Tapi sebagai seorang manusia yang memiliki alam pikir dan senantiasa dituntut untuk menggunakannya, saya punya pendapat. Jadilah saya berpikir, maka saya ada, dan saya menulis untuk mempertahankan eksistensi dan pikiran saya. Kedepannya membuat film? Mana tahu, tapi ya boleh lah.

Saya baru mendapat ilham hari ini soal sepele. Bukan ilham sepele, tapi memang ia bersangkut paut dengan kesepelean. Sekarang remeh meremehkan adalah kebiasaan, atau justru kecenderungan yang amat lekat dengan kita semua. Saya pun cukup sulit untuk melepaskan diri dari kebiasaan yang korosif terhadap nurani ini. Oleh karenanya, banyak sekali yang di cap sepele dengan mudah, dikesampingkan, lagi dan lagi, hingga ketika sadar, sebentang jalan di depan putus sudah karena semua pindah ke samping dan kita harus meniti orientasi dari nol lagi. 

Saya pikir, sepele adalah anggapan. Kita manusia, tak sempurna, tapi ideal dengan plus minus, baik soal ekspektasi terhadap hal diluar, maupun pedalaman sendiri.Itulah sebabnya saya tak ingin mengatakan bahwa tulisan ini mengajarkan untuk tidak berpikir sepele soal apapun. Bagaimanapun manusia memiliki kecenderungan untuk itu. Dengan banyaknya tuntutan dan sempitnya waktu, kita seringkali secara sadar maupun tidak menyusun skala prioritas. Meskipun terlalu vulgar jika dikatakan sepele, menempatkan sesuatu sebagai prioritas kan berarti mengentengkan yang lain, bukan begitu? Hal tersebut akan menjadi sepele ketika dipandang enteng dengan berlebih.

Bagi saya, dalam kata sepele ada motivasi. Karena mengentengkan, itu berarti hal sepele adalah hal yang patutnya mudah bagi kita. Dari sana perasaan merasa tak pantas seharusnya muncul ketika kita memfonis demikian tanpa mencobanya terlebih dahulu. Dari sepele, ia berubah jadi sombong.

Saya sering kali berurusan dengan hal yang orang bilang sepele karena menganggapnya anti umum dan keren. Sekaligus juga difonis ibu saya mengidap penyakit gemar menyepelekan akut, turunan langsung dari ayah saya. Dan hal ini benar adanya, terbukti 120% ketika saya hidup terpisah sekarang. Menyepelekan sesuatu yang ketika di rumah urusannya hanya sampai omelan ibu saya lalu selesai, saat ini saya sadari menghambat saya maju dalam banyak hal yang sedianya bisa diusahakan.

Saya menyepelekan kerapihan ruangan diluar zona nyaman saya, dan ini adalah kebiasaan sejak zaman dahulu kala yang tiap hari diperjuangkan ibu saya untuk berubah. Sekarang saya sadar itu merupakan refleksi saya terhadap lingkungan sekitar. Awalnya mana sangka? Ketika saya tidur saya menggaransi tempat tidur saya harus dalam keadaan rapi, tanpa debu, dan nyaman, tapi membiarkan buku buku berserakan disekitarnya, setrikaan menumpuk tak tersentuh, dan zona lain samasekali tak sedap dipandang mata. Di lingkungan sosial saya juga ternyata serupa. Menjaga teman baik dengan posesivitas cukup tinggi. Jika tidak terlalu cocok dengan saya lebih baik saya sendiri. Tapi membiarkan orang yang rumahnya saya lewati setiap hari tanpa tegur sapa (meskipun awalnya karena saya punya pengalaman buruk soal ini, ketika mencoba menegur tapi tak direspon) berpikir lebih buruk tentang saya lebih dari yang sedianya. Berdiam diri mengesampingkan suatu kelompok pengembangan sampai akhirnya mereka telah berlari jauh sekali mendahului saya. Dan banyak hal lainnya. Hingga saya selalu saja berada dalam lingkaran yang kecil.
Setelah ini, membereskan kamar keseluruhan mungkin cukup mudah, tapi tak demikian dengan lingkungan sosial. Langkah pasti saya Cuma satu: meminimalisir penyepelean. Saya harap Tuhan dengan segala maha kebaikannya berkenan lagi untuk menjadikan saya individu yang lebih baik dengan ini. 

Dalam lingkup dunia intelektual yang luar biasa luas, suatu hal difonis sepele mungkin akibat pandangan umum. Tapi lihatlah posmo dan tema-tema unik dalam aliran ini. Semua hal yang sepele, terlihat kecil, tipis, kurus, lunglai, dan mudah koyak ternyata menyimpan faedah besar, informasi tingkat tinggi dan refleksi yang membuka cakrawala baru. Sesuatu tak hanya bisa dilihat dari satu sisi, dan semua hal sepele punya banyak sisi sebagaimana yang tidak.

Tadi saya menonton Begin Japanologi, semacam acara dokumenter etnohistori seputar fragmen-fragmen di masyarakat Jepang. Bahasan mereka apakah politik, pengaruh budaya pemerintahan edo terhadap gaya memerintah eksekutif negara saat ini, kelestarian kesenian adiluhung, isu gender, atau tema berat lainnya? Bukan, tema mereka sangat simpel. Mereka membahas ramen, onsen, mochi, rumput laut, makanan cepat saji lokal, dan bahkan rice cooker! Terlepas dari kampanye budaya Jepang yang memang sangat posmo, sudut pandang acara ini cukup menarik untuk bisa membuat kita di Indonesia berefleksi. Tidakkah para sarjana akan lebih suka bekerja untuk kajian-kajian ringan tapi berkualitas seperti ini daripada beramah tamah di bank atau duduk di kantoran dengan rutinitas minim improvisasi? Terlebih untuk konsep ini, lahan Indonesia masih sangat virgin. Lihatlah ketika duo trans mempelopori acara-acara wisata dan dampaknya hingga hari ini. Para backpacker, traveller, mountainer, dan petualang baru lahir. Bukankah acara dokumenter etnohistori bisa menjadi katalisator bagi dunia ilmiah kita?

Karena rakyat adalah fonis pertanggung jawaban sebuah kerja intelektual, memperkenalkan produk kerja akademik yang meski ringan, berdampak luas dan memiliki kontinuitas saya kira lebih besar artinya daripada kajian rumit cemerlang yang meraih penghargaan intenasional tapi teronggok menjadi wacana tanpa eksekusi.
Jadi buat semuanya, juga saya sendiri, ketika kita bingung soal ide, tema, dan gagasan suatu kerja ilmiah, mari buka mata dan tinggalkan dulu kebiasaan menyepelekan. Kualitas itu ada di pemahaman terhadap teori dan kemampuan aplikasi, yang semuanya ada di dalam proses dan bisa dilatih.

MARI MENCOBA
13-3-2015