Trending Topics

.

.

Tuesday, February 28, 2012

H 604.800 D


Hikayat  604.800Detik
"Sebentangan perjalanan hidup saya selama seminggu terakhir yang penuh gejolak"


Part One: Yaumul Fasli-nya Seorang Pelajar

Yooo, semuanyaaaa!!!
Selamat sore, pagi, siang, malam, tengah malam, atau kapanpun anda baca tulisan ini*hehe*. Ah, lama tak jumpa dengan saya, berhubung saya memang sibuk betul akhir-akhir ini, dan aspek lain yang mempengaruhi mungkin sedang tak ada ide untuk menulis juga keogahan-keogahan lainnya yang pastinya banyak segala rupa#plakk. Oke, jika kemarin sedang tak ada ide, kali ini saya kualat karena tiba-tiba idenya numpuk seabrek-abrek di kepala saya. Bukan tiba-tiba jatuh dari langit juga sih, tapi karena memang begitu banyak hal yang saya alami akhir-akhir ini, dan ide-ide itu datangnya dari sana.
Mau tahu apa saja, mari baca lebih jauh lagi...

Yap diawali dengan hari pertama dalam hitungan minggu ala Indonesia yang ngaco yakni pada Senin kelabu, dimana terjadilah sebuah momen yang bernama BAGI RAPORT *BLEDARBLEDARRR* halah, sok mendramatisir sekali ini orang =__= Tapi, yaiyyyaalahh… Man, sejak dahulu kala, sejak SD mungkin tepatnya-karena waktu dulu di TK saya gak ada ranking-rangkingan- bagi raport adalah sebuah momen prestisius yang begitu bermakna untuk saya, terutama setelah saya terjebak dalam jejaringan emas beraliran listrik dua juta volt yang disebut peringkat kelas. Rasanya yaah.. kurang lebih seperti kecanduan narkoba. Kala kebutuhan akan pengakuan itu terpenuhi, kala prestasi yang kita raih tak mengecewakan, atau bahkan sesuai dengan yang diharapkan, rasanya seperti melambung diatas segulungan tinggi ombak pujian yang kalian terima. Tapi sungguhlah bencana kala suatu waktu, entah karena apa tiba-tiba prestasimu melorot. Rasanya jika sudah begitu tak ubahnya seperti sakau. Keringat dingin pasti tak terelakkan lagi karena saat itu kita serasa keruntuhan tembok setinggi gunung. Ya, kalian tentu tahu kan rasanya kecewa, dan dikarenakan oleh raihan apa yang pernah kau capai sebelumnya harapan-harapan yang jika difikir-fikir kadang cukup tak berperasaan ini terus datang dan memenuhi kapasitas pundakmu, menarik jarum penunjuknya ke angka berat termaksimal yang mampu kau tampung-bahkan melebihinya tanpa perasaan dan menekan hingga pundakmu melebur bersama waktu perlahan-lahan. Intinya, semanis apapun, itu tetap TEKANAN.

Pengurutan raihan nilai atau yang akrab kita sapa ranking itu bisa membuahkan suatu kebahagiaan dan kebanggaan memang, tapi tak jarang juga menimbulkan dedampakan negatif lain dari mulai praktik diskriminasi terselubung-atau nama kerennya pilih kasih-, permusuhan, perpecahan menjadi beberapa golongan yang tak saling sepaham, bahkan aksi penyulutan api dendam. Uwidiihhh… hobi memang saya ini soal mendramatisir, tapi bagaimanapun, selebay apapun kedengarannya, nyatanya di dunia kita yang indah ini, hal yang semacam itu ada.

Meneruskan kembali masih soal ranking,bagi saya kata itu sudah cukup sering terdengar. Kenangan dengannya pun beberapa diantaranya cukup manis untuk tidak dilupakan, terutama proses untuk meraihnya. Tapi sebagai manusia yang secara kodrati masih bergelarkan pelaku kehidupan dunia, titik terbawah pun pernah suatu ketika saya alami. Dan rasanya tentu seperti yang telah saya sebutkan tadi. Sebagai manusia normal yang tak pernah punya titik puas, saya tentu kecewa berat pada diri saya yang bahkan sudah berjalan tertatih terlalu lama dan memautkan selintas panjang jarak di hadapan saya darinya. Kecewa pada diri sendiri, merasa bersalah kepada orang tua-yang pastinya merasa menjadi pihak kedua yang gagal setelah diri sendiri-, menyiapkan mental untuk membuka lembaran buku raport, dan menelan ludah ketika ditanyai soal peringkat. Yeah, itu cukup menyakitkan Man, kuakui.

Tapi kini aku tak terlalu mengejar soalnya lagi. Sebagaimana banyak motivasi yang kudapatkan selama di SMA ini, aku mulai lebih berkonsentrasi pada proses. Karena di masa ini, bukan lagi waktunya bagiku untuk beradu gengsi soal berapa batang trofi yang berdiri di meja belajarku. Peringkat atau apapun kurang lebih hanya merupakan bonus kala kau sudah sampai pada titik termaksimal usahamu. Lagipula, tak seperti waktu SD, kini jikapun aku dapat peringkat aku tak akan dapat trofi lagi, hahha… -sejujurnya aku rindu akan itu-. Dan sesungguhnya, yang namanya peringkat itu yang menentukan tetap manusia, dan manusia tak sepenuhnya bersih dari keteledoran. Bisa saja satuan nilai yang seseorang torehkan pada diri kita meleset, yang tahu akan apa yang sesungguhnya bisa kita capai kan diri kita sendiri. Kita tak selalu bisa hebat pada bidang yang mereka nilai seberapapun keras itu dipaksakan. Tapi kita pasti punya celah yang dimana kita bisa menungguli yang lain.


Mungkin kedengarannya aku hanya seperti sedang menghibur diri, tapi beginilah memang caraku memotivasi diriku sendiri. Beginilah caraku memandang hidup. Buatku, hidupku itu ringan dan mengalir, dan aku akan selalu berusaha agar itu berlangsung bahagia, karena sesungguhnya akulah satu-satunya peri yang memiliki sekantung serbuk kebahagiaan untuk hidupku sendiri. Apakah itu akan menyenangkan atau menyedihkan, membahagiakan atau mengecewakan, beruntung atau miris, itu semua ada padaku, dalam genggamanku, juga tentunya tak terlepas dari Tuhan yang selalu bersamaku dan semua orang yang kucintai.


Dengan mengesampingkan soal peringkat itu, bukan berarti juga aku tak akan pernah serius dan bertekad api lagi. Tekad itu tetap ada, karena bagaimanapun, semenjak harapan-harapan ini dipangkukan di pundakku, itu semua tak akan bisa ditarik lagi, tak akan pernah diangkat lagi. Dan itu adalah tanggung jawabku, tuntutan bagiku, tujuan dan motivasiku mengenai apa yang harus kucapai dalam waktu dekat. Sedang untuk yang jangka panjang, yah.. aku punya beberapa dan itu masih akan bertambah seiring dengan semakin banyak implisitisme kebobrokan dunia yang dapat sudah kumengerti.

Begitulah kira-kira kisah mengenai bagi raport saya yang ingin saya bagi dengan kalian. Secara kronologis dan realisnya tulisan ini mungkin tak mengandung informasi apa-apa karena hampir semua yang saya jelaskan disini hanya berupa pendeskripsian implisit dari maknanya sebuah momen bagi raport untuk diri sayaa. Dan seminggu tak hanya terdiri dari satu hari bukan, itulah mengapa, jikalau ada kesempatan saya masih ingin membagi kisah-kisah lain saya yang terjadi di hari-hari selanjutnya selama seminggu ajaib kemarin. Sampai jumpa di ‘Hikayat Enam Ratus Empat Ribu Delapan Ratus Detik’ yang selanjutnya~



Tuesday, February 14, 2012

Valentine, really?



Oh, hai! Selamat tanggal 14 Ferbuari…
Aku harap bukan hanya aku yang sedang menggila ^^


Tiap kali datang si bulan kedua yang berarti ancaman bagi kas negaraku *uangsaku maksudnya* karena banyak yang berulang tahun ini, datang juga banyak hal lain. Semisal, jadwal ujian, dan yaah.. tentu si momen legendaris yang satu ini. Aku heran, sungguh, kenapa setiap Valentine datang harus diributkan sih? Bagi yang merayakannya, ya rayakan saja, dan bagi yang tidak, sungguh, tak usah lah mengutuk terlalu, cukup nikmati saja discount cokelat yang banyak disebar supermarket. Beres kan?

Aku pernah mendengar sedikit soal salah satu versi sejarah Valentine, dan menurutku itu cukup keren. Kisah tentang St. Valentinus yang secara diam-diam memperjuangkan nasib kisah cinta para serdadu yang hendak berpisah dengan pujaan hati mereka akibat perang. Mereka yang sejatinya tak diperbolehkan menikah itu dinikahkan secara sembunyi-sembunyi oleh si St. Valentinus yang pada akhir kisahnya dihukum penggal karena aksinya terendus massa. Sebelumnya, selama ia masih di penjara, banyak yang mengiriminya cokelat dan karangan bunga, itulah yang mengakar akhirnya pada tradisi Valentine belakangan ini.


Yang namanya hari bersejarah itu wajar betul adanya jika dirayakan, diperingati, atau hanya sekedar diingat. Dan bagaimana cara mengingat atau merayakannya, itu terserah pada yang ingin melakukan. Oke, masalah disini sering muncul akibat anggapan soal banyak tradisi Valentine dengan sentuhan barat yang cenderung negatif menurut adat masyarakat kita yang akhirnya membuat si Valentine ini tak seramah kedengarannya bagi sebagian orang. Tapi meski aku juga tak terlalu menggubris soal ini, aku tak begitu pro apalagi kontra, aku tetap agaknya merasa kurang enak jika mendengar ada orang yang begitu mengutuk hal ini.

Ini kan hanya soal memperingati sebuah hari dimana St. Valentinus yang telah berjasa memperjuangkan soal cinta para serdadu dan gadis-gadis mereka yang terhalang perang itu dihukum mati. Lagipula perjuangannya juga memang hebat kok. Dan kini, kebebasan atas cinta itu sudah bisa dinikmati oleh semua orang di dunia ini. Itu berarti apa yang selama hidupnya diperjuangkan oleh si Santo terlaksana. Kebebasan atas cinta itu mungkin bisa dimaknai oleh sebagian orang sebagai kebebasan dalam konteks yang lebih, tapi bagi kita yang masih mengingat akan batasan-batasan yang sudah kita tetapkan sebelumnya, itu tak seharusnya jadi masalah. Hidup memang bergantung pada bagaimana lingkungan yang mempengaruhinya, tapi keputusan terakhir tetap kembali padamu dan prinsipmu kan?

Menurutku sendiri, Valentine juga bukan momen khusus. Bukan berarti aku akan menjawab dengan klise seperti jawaban jutaan orang yang mungkin pernah mengatakannya begini; ‘Yang namanya hari kasih sayang itu kan bukan hanya Valentine saja, setiap hari juga seharusnya kita selalu penuh kasih sayang terhadap siapa saja.’ Hhhh.. geezz..

Sungguh, kata-kata itu atau kata lain semacamnya yang kurang lebih memiliki arti sama membuat aku terkadang mempertanyakan kembali eksistensiku sebagai seorang gombalis. Aku memang gombalis yang biasa mengumbar kata-kata sarat gombalisme dalam tulisanku, tapi soal Valentine, aku samasekali belum pernah membahasnya kok. Jikalau dalam pengertian mayoritas orang Valentine adalah momen yang paling romantis, menurutku tidak juga. Valentine justru adalah momen dimana setangkai mawar atau sekotak cokelat yang kau berikan kepada pasanganmu turun harga dimatanya karena discount terhadap dua jenis komoditi itu memang sedang marak di pasaran.

Romantisme itu erat kaitannya dengan selera. Romantisme tak melulu soal buket mawar merah, cokelat, teddy bear, atau benda lucu dan imut lainnya. Aku suka mawar, aku suka cokelat, tapi bagiku justru akan lebih romantis jika pasanganku sendiri memasak sesuatu untukku. Hahaha meski itu yaa… pasanganku? Nihil, aku tak punya pasangan =3=

Dan dibanding malam dengan gemerlap lampu bentuk hati dimana-mana, sebuah senja di pinggir danau dengan dedaunan oranye berguguran itu lebih keren. Kalian pun, beranggapan tak lain dari demikian bukan? Karena sebagaimana selera orang yang berbeda-beda, standarisasi dari sebuah kata romantis pun pasti juga berbeda-beda bagi setiap individu. Romantis bisa jadi hanya sebuah percakapan hangat di coffee shop, atau sebuah film yang kalian tonton berulang kali.

Oke, selamat bersenang-senang ya untuk kalian yang merayakannya. Di Valentine ini, atau kapanpun, jadikanlah seseorang di sisi kalian sebagai mereka yang dilahirkan paling beruntung untuk memiliki kalian. Dan bagi kalian yang ragu akan merayakannya atau tidak, atau bahkan sudah punya rencana tapi bertubrukan dengan filsafat keluarga, santai saja. Jikalau kalian memang beranggapan bahwa filsafat yang melarang itu tidak akan pernah menyesatkan dan kalian percaya sepenuh hati tanpa ganjalan apapun, bolehlah kalian tinggalkan si empat belas Februari ini. Toh, jikalau kalian yakin soal itu, hari istimewa untuk kalian bukan hanya hari ini saja. Tapi bagi yang ingin betul merayakannya, jika acara yang ingin anda gunakan untuk memaknai momen ini memang sudah tersusun secara sistematis, tak usah berkecil hati soal tanggapan buruk orang-orang soal momen ini. Selama kalian yakin jika ini tak menyalahi aturan manapun, sementara kalian masih percaya Tuhan, sementara kalian yakin telah pegang penuh kontrol atas diri kalian dan kalian yakin bisa mengendalikannya, lakukan saja. Toh tak ada Agama yang mengajarkan umatnya berbuat buruk kan? Jangan sampai tradisi yang ada malah memelencengkan pesan sesungguhnya yang ingin dibawa oleh momen ini.


“Cinta yang suci tak seharusnya turun harga oleh ketidak beradaban manusia. Iya kan?”




Thursday, February 09, 2012

Romeo-Juliet

Sekisah Romansa Tentang Dunia Pendidikan Indonesia

Yooo.. saya kembali. Kali ini dengan berita yang kurang enak untuk didengar dan agak tabu untuk diperbincangkan, tapi semua akan kita kupas setajam, silet#plakk—kalo hasil kupasannya aja setajam silet, yang buat ngupas setajam apa?-- =____=

Oke, mari kita mulai. Disini, saya akan sedikit banyak curcol lagi. Maaf untuk Indonesiaku yang telah menaungiku sejak dulu sampai kini tapi dengan tak tahu dirinya aku malah lagi-lagi membongkar aibmu disini, memamerkan coreng di wajahmu pada dunia yang selama ini selalu mulus kau tutupi tanpa cela. Sebenarnya, kau hanya sebuah objek indah yang selalu disalahgunakan. Entah sejak zaman kolonial dulu bahkan sampai kini, ketika para penduduk kursi-kursi di parlemen adalah orang-orangmu sendiri. 


Indonesia, andaikata kau dapat urusi dirimu sendiri, tanpa pihak lain di atas sana yang menggenggam tampuk kendali atas dirimu, aku yakin kita sudah sejaya mereka yang dulu menggerogotimu dari dalam, para imigran sampah yang datang hanya sebagai parasit yang menginang padamu. Sekarang, lebih pahitnya lagi, ketika para imigran tak tahu diri itu telah angkat kaki, rakyatmu sendiri yang menjadi parasit bagimu. Tak semuanya, masih ada aku dan banyak orang lain yang andai kami punya kuasa ingin betul kami lepaskan dirimu dari jerat-jerat parasitisme nyamuk-nyamuk sial itu. Tapi sayangnya, kami hanya rakyat. Meski secara konstitusional kami punya kedudukan yang tinggi sebagai salah satu syarat bagimu untuk tetap berdiri sebagai sebuah negara, nyatanya apabila kami dipercerai berai begini, kami hanya bisa mengelus dada ketika kami lihat kau tersiksa.

Itulah mengapa selama ini gelar ‘Negara Demokratis’ yang kau sandang fikirku hanya sekedar testimoni belaka. Pada prakteknya, kita masih jauh dari apa yang kita bayangkan mengenai bentuk dan sistem demokratis yang kita impikan. Suara rakyat saat ini terbungkam oleh politik uang. Parlemen yang ada tak cukup mewakili aspirasi rakyat luas karena mereka hanya bagian dari satu golongan rakyat. Saya disini memang seolah hanya mengkritik tanpa solusi. Saya hanya menyampaikan apa yang ada di fikiran saya, selama pasal 28 belum dihapuskan, saya rasa ini masih belum melanggar hukum. Ini memangtak bersolusi, karena jikapun saya tahu solusinya, saat ini juga saya akan berlari ke gedung parlemen, atau jika perlu ke istana presiden untuk mengemukakan sebuah sistem yang bisa membenahi semua kekacrutan negara ini secara total dan instan. Tapi sayangnya itu mustahil. Selama ini solusi yang muncul hanya solusi yang melahirkan permasalahan baru, solusi yang menguntungkan salah satu kelompok dan merugikan yang lain, atau mungkin solusi yang terlampau sempurna dan hanya bisa terwujud di awang-awang saja.

Sebenarnya, kejayaan sebuah negara itu berawal dari sebuah sistem ajaib yang mendewa yang saat ini kami sebut pendidikan. Sistem itu dengan ajaibnya menyihir sekelompok barbar menjadi seduyunan kaum borjuis berdasi. Sistem itu yang membuat otak manusia bekerja, membuat manusia berpola fikir dan beradab. Membuat hingga kini berbagai kebudayaan hingga peradaban telah tercipta. Tapi di lain sisi, pendidikan juga yang telah membuat manusia mulai menggunakan otak mereka untuk mendapatkan apa yang mereka mau, sekalipun itu akan mengorbankan hak orang lain. Jadi intinya, mungkin pendidikan juga yang membuat banyak kekacauan di dunia ini. Tapi, beruntungnya meski seringkali goyah dan limbung, moral manusia masih berusaha tegap berdiri pada porosnya sehingga sampai kini tapal batas antara baik dan buruk masih bisa terlihat.

Di Indonesia sendiri, pendidikan sudah kita kenal sejak dahulu kala. Meski sifatnya tidak formal dan hanya berupa petuah-petuah dari orang tua, itu sudah cukup membawa bangsa kita berdiri sebagai wilayah yang makmur dalam lingkupnya dan menjadi tuan rumah di tanah sendiri. Lalu, pendidikan formal. Jika yang nonformal bahkan sudah ada sejak zaman nenek moyangku seorang pelaut, pendidikan formalnya atau akrab kita sapa sekolah ini baru ditulari oleh negara penjajah di era kolonialisme. Jika sebelum ini, mungkin ada sistem pendidikan semi formal seperti latihan perang, mengaji, dan lain sebagainya, tapi baru pada masa kolonial ini kita mengecap pendidikan mengenai berbagai aspek dalam kehidupan yang dipelajari secara menjurus dalam satu lingkup yang disebut sekolah itu tadi. Sekolah ini kita kenal bermula dari berdirinya sekolah-sekolah Belanda disini. Lalu, orang Belanda yang salah satu dari merekanya sadar bahwa selama ini telah terlalu banyak menyedot dari Indonesia tanpa pernah memberikan sesuatu apapun kini masih dengan kelicikannya berfikir untuk sedikit membalas budi dengan sebuah program yang dinamai Politik Etis. Nah, dari situlah sekolah-sekolah negeri di Indonesia ini mulai berdiri.

Pada awal kehadirannya, sebuah barang baru bernama sekolah ini cukup populer dan banyak menuai sukses. Ia banyak sekali melahirkan tokoh-tokoh hebat dan terkenal yang sedikit demi sedikit mulai mengancam kesinambungan aksi(sedot menyedot sumber daya)nya Belanda. Padahal awalnya, ini hanya dimaksudkan untuk mencari pegawai kantor rendahan yang bisa dibayar murah. Tapi lagi-lagi, hangat-hangat tahi ayam. Semakin kesini, pendidikan yang dulunya mendewa, menjadi primadona dan dianggap sebagai tolak ukur kesuksesan sebuah negara kini mengasap. Semakin lebar kesempatan untuk sekolah terbuka, semakin sedikit yang niat betul soal sekolah. Boleh di cek, sebarlah angket mengenai sebab seorang murid berangkat ke sekolah dewasa ini. Atau, setidaknya tanyai sajalah lima atau enam orang yang kalian temui mengenai apa motivasi mereka ke sekolah. Jawaban yang umum, untuk dapat uang jajan, agar tidak dipaksa menikah, daripada harus lelah-lelah bekerja, entahlah, atau yang paling masuk akal adalah untuk dapat nilai lalu dapat ijazah, lalu ijazahnya bisa digunakan untuk mencari pekerjaan yang bagus. Sulit dewasa ini menemukan siswa-siswa dengan motivasi tinggi, dengan tekad untuk berbuat sesuatu yang berarti untuk negeri ini. Mereka atau, harus kusebut kami, terlanjur dididik bebas dan individualis. Negara hanyalah soal sebongkah tanah yang kami diami, selepas itu kami tak punya ikatan apa-apa lagi. Karena mahalnya pendidikan dan aksi selap-selip dana yang berkedok pendidikan gratis ini membuat banyak orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah mahal agar anak-anak mereka mendapat pekerjaan bagus dan bayaran besar nantinya. Tolak ukur sukses semuanya telah berorientasi pada hal-hal yang bersifat materil. Mungkin hampir sulit ditemui yang namanya pengabdian dan apresiasi di Indonesia saat ini.

Di samping itu, sistem pendidikan di negeri ini juga semestinya dibenahi. Lihat negara-negara di Eropa seperti Finlandia yang membuat sistem pilihan mata pelajaran pada ujian kelulusan siswanya. Atau pendidikan menengah atas yang sudah berorientasikan profesi seperti di Australia. Di Indonesia, terutama ini saya rasakan betul saat duduk di bangku SMA, kami para siswa-siswi Indonesia dididik menjadi generasi bimbang yang otaknya habis terperas untuk banyak hal yang tak pernah ditekuni sepenuh hati. Kita dilatih untuk membuang buang waktu. Coba fikirkan, delapan belas mata pelajaran yang dipelajari secara teori sehari-harinya diujikan setiap ujian akhir semester. Di Australia saja, maksimal hanya enam pelajaran yang dipelajari oleh seorang siswa highschoolnya. Sedang disini jumlah itu adalah jumlah pelajaran kami saat masih kelas satu SD.
Lalu, yang menjadi purpose dari segala ocehan saya dalam segmen ini adalah tentang pemisahan kelas berdasarkan jurusan IPA dan IPS. Ini tentu sudah tak asing lagi karena sistem ini memang sudah diterapkan sejak zaman dahulu kala. Jadi, jikalau saya mengeluh tentang ini mungkin ini adalah keluhan yang sudah kesejuta kalinya. Well, pemisahan jurusan ini dimaksudkan supaya kita dapat berfikir lebih maju kedepan mengenai apa yang akan kita lakukan saat masa sekolah kita yang hanya tinggal 2 tahun lagi itu selesai. Entah bagaimana sistem aslinya, yang jelas dari penerapannya yang saya alami sekarang, pemisahan jurusan ini sarat unsur diskriminasi dan pembunuhan karakter. Pertama, pemisahan jurusan IPA dan IPS ini didasari oleh tingkat kecerdasan. Ini dimaksudkan baik sebenarnya, dikarenakan dalam jurusan studi IPA mata pelajaran yang dipelajari merupakan dewi durga-nya mata pelajaran yang dikenal luas dan ditakuti sebagai pelajaran yang rumitnya tingkat dewa akan lebih mudah dipelajari oleh mereka yang tingkat kecerdasannya cukup tinggi. Tingkat kecerdasan mereka dianggap dapat mengatasi segala rumus dan hitungan rumit dalam segerombolan mata pelajaran yang ada di dalam jurusan studi itu. Sementara bagi yang IPS, dikarenakan pelajaran yang dipelajari tak terlalu rumit, masih ber-basic menghapal dan penerapan langsung dalam kehidupan sehari-hari, dan cukup lenggang berurusan dengan rumus dan hitungan rumit, mereka yang tingkat kecerdasannya tak masuk daftar urutan di IPA dimasukkan ke kategori ini. Niatnya memang untuk MEMPERMUDAH tapi.. ayolah, jangan menarik kesimpulan sebelum mencoba berfikir dari berlainan sisi.

Oke, soal tingkat kecerdasan itu memang bisa diterima tapi, tidakkah mereka para kreator sistem ini berfikir soal unsur ajaib lain selain tingkat kecerdasan yang dapat memengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar? Tidakkah mereka pernah mendengar soal minat, niat, tekad, dan semangat? Itu adalah unsur unsur lain yang bahkan lebih kuat kedudukannya dibanding sekedar tingkat kecerdasan. Seorang pencinta fisika dengan IQ yang tidak memungkinkan dirinya untuk masuk IPA bisa saja menguasai Fisika lebih daripada mereka yang duduk di program IPA. Itu karena adanya tekad, minat, niat, dan semangat itu tadi. Yang namanya sudah minat, ditambah dengan tekad dan niat yang sungguh-sungguh akan melahirkan semangat yang betul betul kuat. Sekalipun ia akan menuai kegagalan satu dua kali kala mecoba, itu tak akan menyurutkan apapun. Tingkat kecerdasan seseorang kan juga berorientasi pada apa yang diminatinya. Bisa jadi, seseorang dengan tingkat kecerdasan tinggi yang sebetulnya minatnya ada pada musik dipaksa masuk IPA. Itukan berarti membunuh insting seni yang ada dalam dirinya. Jikalau sistem pendidikan kita membiarkan ia dengan bebas memilih apa yang ia inginkan, mungkin kita tak perlu membunuh bakat dan karakter seorang pemusik hebat dalam dirinya.

Ini juga saya alami kiranya. Hari ini, hari di musim hujan dimana presipitasi harusnya marak terjadi tapi malah cerah benderang begini, saya harus mengerjakan soal ulangan geografi untuk yang terakhir kali setelah hari minggu dan sore plus setengah malam saya yang kemarin saya dedikasikan untuk mereview kembali apa yang selama ini saya pelajari soal geografi dan mengingatnya. Saya lupakan, bahkan buang jauh-jauh soal fisika yang nyatanya ikut mendampingi sang geografi di hari ulangan esok paginya. Semuanya karena saya boleh dibilang terlanjur jautuh hati pada bidang studi yang satu ini. Dan itu bergulir hampir seumur dengan adik saya, sejak saya duduk di kelas tiga SD.

Saat itu, seorang saya yang masih belum membuka mata menemukan sebuah jendela baru. Lewat sebuah sampul belakang buku yang saya masih simpan baik hingga detik ini. Hari itu adalah hari pertama saya tahu tentang sebuah mata pelajaran lain yang ternyata ada untuk kita pelajari, IPS. Saya mendapat buku bersampul biru bergambar banyak foto-foto dari kegiatan manusia sehari-hari. ‘Menarik’, pikir saya kala itu. Dan akhirnya, didorong oleh rasa penasaran yang tengah meninggi saya baca sampul belakangnya. Kiranya disana tertulis begini:

IPS adalah salah satu mata pelajaran baru yang kita pelajari di kelas tiga ini. Belajar IPS sangat menyenangkan. IPS bisa membawa kita seolah berpetualang ke masa lalu, IPS bisa membawa kita seolah terbang keliling dunia, IPS juga memberitahu kita tentang hal-hal menarik yang kita bisa temui pada apa yang kita lakukan sehari-hari.

Itulah untuk kali pertamanya saya jatuh cinta. Benar adanya seperti yang tertulis pada sampul belakang buku itu, mempelajari IPS betul terasa seperti berkeliling dunia atau berpetualang ke masa lalu. Buku IPS itu yang membawa saya berkeliling dunia dalam fikiran saya, membuat saya berfikir seolah dunia yang begitu luas itu bisa saya genggam di dalam tangan saya. Membuat saya mencintai betul negara saya ini, membuat saya mengenal banyak orang hebat dibalik perjuangan untuk memerdekakan negara ini, dan membuat saya mengagumi mereka.

Tapi, bak Romeo dan Juliet, ternyata kini kami tak lagi diperkenankan untuk bersua. Habis sudah masaku untuk menelusuri sekepal dunia dalam fikiranku itu bersamanya. Kini, nyatanya sistem di sekolahku memaksaku masuk ke jurusan IPA. Aku sungguh berharap aku tak akan terjebak disini bersama rumus rumus yang melilit kepalaku ini selamanya. Aku pasti akan merindu akan kalian, sayap sayapku. Sesekali nanti, aku akan baca buku-buku sejarah, geografi, dan sosial-politikku yang akan ada di meja belajarku selamanya, dan kala itu tolong ajak aku berkeliling dunia lagi. Kita lihat seberapa tinggi Eiffel dan Big Ben, seberapa miring Pissa, seberapa tua Colosseum, kita rasakan seberapa panas Sahara di siang hari dan seberapa dingin Gobi di malam hari, kita tapaki seberapa tinggi Himalaya, dan kita telusuri seberapa dalam Palung Mariana. Kita kecap seberapa asin laut Kaspia, kita telusuri seberapa luas samudera Hindia, seberapa dalam samudra Pasifik, dan seberapa dingin Atlantik Utara ketika Titanic tengelam. Kita menyelinap untuk tonton Opera di Vienna kala Austria-Hungaria masih bersatu, dan jangan lupa untuk makan di restoran Wurst di Prussia. Kita longok perang dingin yang hancurkan Nazi itu, dan ah, aku ingin sekali saja menghadiri persidangan Hitler saat ia didakwa, ah, hei.. aku juga ingin tahu kabar Pluto setelah jabatan planetnya dicabut..!

Oh, nampaknya hidupku akan semakin sulit dengan tiadanya lagi kalian semua di sisiku. Padahal, ketika rumus-rumus itu menyiksaku selama ini, kalianlah yang menghiburku. Kini, eksistensi rumus-rumus itu menguat ketika kalian harus pergi dari sisiku. Semoga saja Tuhan berikan aku jalan dan kemudahan agar nilai matematika, fisika, dan kimiaku tak seburuk yang lalu-lalu. Hahaha..

Jangan khawatir, meski aku dan IPS bak Romeo dan Juliet, aku tak segan untuk membelot, dan menjemput kalian wahai Juliet-Julietku jika kita hendak bercengkrama sewaktu-waktu. Kalian cinta pertamaku, dan bagaimanapun, pertamakalinya ada mata pelajaran yang aku benci adalah si rumus-rumus itu. Saat aku duduk di kelas 7 SMP, untuk pertamakalinya aku mengantuk dan hampir tertidur di jam pelajaran sepanjang sejarah hidupku, dan saat itu adalah pelajaran Fisika. Nilai IPA di SKHUN SD-ku hanya 8,75 padahal pada bidang studi Bahasa Indonesia aku bisa meraih nilai 9,60. Sedang lebih mirisnya, nilai matematika di SKHUN SMP-ku hanya 7,25. Entah akan berapa nilaiku nanti jadinya, apalagi aku tak akan pernah lagi mendapat nilai hampir sempurna dalam mata pelajaran IPS yang biasanya berperan penuh menunjang nilai mata pelajaran eksakta-ku yang minim bak pakaian para penari ular.

Ini hanya sebuah penjara, yang harus kulalui persis kala aku bermain monopoli. Nanti akan tiba gilirannya aku bebas, lalu akan kembali pada kalian Juliet-Julietku. Lalu aku berjanji, aku akan memperjuangkan tentang eksistensi kalian, agar kalian dan para pecinta kalian sepertiku tak disebelahmatakan, karena aku takut jikalau bukan aku yang berjuang soal ini, nantinya akan semakin banyak kisah-kisah Romeo dan Juliet lain dalam dunia Pendidikan kita yang menunggu uluran tangan para reformator yang rela mengabdi padanya.


Aku selalu menunggu hari dimana aku bebas dan dapat bersua lagi dengan kalian, cinta pertamaku..


Wednesday, February 08, 2012

Pidato: "Jas Merah"


 Assalamualaikum wr.wb.

Yang terhormat bapak kepala sekolah,
Juga Dewan Guru dan Staf TU yang saya hormati,
Dan teman-teman sekalian yang berbahagia..
Sebelumnya marilah kita haturkan sebanyak banyaknya rasa syukur dan terima kasih kepada Allah SWT, karena hanya oleh rahmat dan hidayah-Nya sajalah pada kesempatan yang berbahagia ini kita bisa berkumpul disini. Berkumpul di tempat ini untuk turut memeriahkan hari jadi Indonesia kita tercinta yang ke 67.

Merdeka! Merdeka!

Hadirin sekalian, kita semua tentu tahu bagaimana peliknya sebuah proses yang  kita tempuh hingga sebentuk kemerdekaan bisa benar-benar kita genggam. Dan tak terasa, kemerdekaan kita telah berlangsung selama 67 tahun. Meski itu merupakan waktu yang lama, bangsa kita hingga detik ini masih belum bisa disebut merdeka seutuhnya. Itulah mengapa masih menjadi tugas kita sebagai yang wajib berjuang di zaman ini untuk mengisi kemerdekaan yang telah bangsa kita raih.

Hadirin yang saya hormati, berbicara soal mengisi kemerdekaan, banyak sebenarnya cara yang dapat kita lakukan. Salah satunya adalah dengan menjalani apa yang kita tekuni dengan sebaik yang kita bisa. Bukan hanya sebatas melakukan pekerjaan, tapi juga mengabdi padanya. Karena untuk kita, perjuangan bukan lagi soal menghunus pedang dan menjunjung bambu runcing. Kita bisa berjuang dengan cara kita masing-masing.

Selain dari pada itu, Hadirin sekalian, masihkah anda ingat istilah ‘Jas Merah?’ Ya, salah satu quotes Bung Karno yang terkenal itu pasti kita semua tahu. Seperti bunyi ungkapan itu, ‘Jas Merah, jangan sesekali melupakan sejarah.’ Disini diterangkan bahwa adanya sejarah itu sangat penting sehingga tak pantas dilupakan. Mengapa? Karena sejarah sendiri adalah identitas bangsa, sejarah adalah catatan masalalu kita. Catatan dimana semua hal buruk dan baik yang pernah kita alami tercatat.

Hadirin yang berbahagia, dengan mengingat sejarah, kita bisa mendapatkan banyak hal. Pelajaran, kala kita mengingat hal buruk yang pernah terjadi. Tekad, kala kita mengingat kemenangan yang pernah kita genggam. Dan kecintaan terhadap bangsa dan negara saat kita menyadari seberapa banyak yang telah negara berikan pada kita. Setelah itu, tentu akan muncul pertanyaan di benak kita ‘Apa yang sudah kita berikan pada negara?’ Dan mengabdi padanya adalah satu-satunya cara yang bisa kita lakukan untuk negara. Mungkin akan sangat sulit menghapus KKN, membersihkan pemerintahan dari suap menyuap, membebaskan rakyat dari kemiskinan, mewujudkan pendidikan murah, dan masih banyak impian-impian negara kita yang selama ini seolah hanya sekedar testimoni belaka, tapi dengan memiliki anggapan ini, dengan mencintai negara sepenuhnya, itu semua bukan hal yang mustahil.

Sekali lagi hadirin sekalian, dari sepenggal kalimat itu saja kita bisa merasakan banyak hal, kita bisa bangkitkan jiwa patriotisme kita yang selama ini tertidur. Kita hidup dalam satu kesatuan, dalam satu wilayah dan identitas yang menaungi sejak moyang-moyang kita. Kita tak seharusnya hidup secara egois dan terpisah-pisah, karena sesungguhnya kita berakar pada sebidang tanah yang sama. Jika kita bisa memberikan sedikit saja bagi negara, maka seluruh bagiannya akan turut merasakan.

Jadi, Hadirin sekalian, mulai sekarang kenanglah kembali sejarah, hingga akan bangkit rasa cinta kita kepada negara. Indonesia saat ini sudah sebegini carut marut keadaannya, jika bukan kita, siapa lagi yang bersedia mencintainya. Hingga saat kita telah mencintai negara, kita akan mulai belajar untuk mengabdi, dan pengabdian itu akan menjadi kunci yang akan membuka pintu menuju kemerdekaan utuh yang kita impikan.

Semoga apa yang sama sama kita cita-citakan untuk dapat segera mewujudkan kemerdekaan yang utuh bagi Indonesia dapat terwujud. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha dan berdoa, sementara Allah yang akan tentukan. Dan sesungguhnya tak ada sesuatu apapun yang mustahil bagi-Nya. Asalkan kita tetap pada prinsip untuk memberikan yang terbaik, Insya Allah kita akan senantiasa diberi kemudahan.

Yang terakhir, saya ucapkan banyak-banyak terimakasih karena hadirin semua telah bersedia menyimak sejak awal hingga akhir. Mohon juga dimaafkan apabila terselip salah-salah kata. Selamat berjuang, selamat mengabdi pada bangsa dan negara kita tercinta!

Dirgahayu Indonesia! Merdeka!

Wassalamualaikum wr. wb.





Tuesday, February 07, 2012

Sebuah Istilah,


PHP




Oke, kali ini saya yang biasanya sok klasik*baca:tua* ini mencoba untuk sedikit melongok keadaan sekitar diluar mimpi-mimpi dan khayalan saya. Menelaah sedikit bagaimana sih ternyata keadaan di dunia ‘nyata’ setelah lama saya tinggal berlawat ke alam khayal#plakk
Baiklah, mari kita mulai. Oiya, disini saya mungkin juga tak akan berbalai pustaka ria lagi dengan menggunakan bahasa yang ruwet dan belibet seperti biasanya, tapi mungkin sedikit lebih emm.. ‘muda’. Ya, seperti bahasa yang pada kodratnya digunakan oleh mahluk sebangsa, se-spesies, dan seusia saya. Mungkin saya juga nggak akan menggunakan bahasa ‘aku dan kau anak kerbau’ seperti pada tulisan-tulisan saya yang sok gombal itu, setidaknya, disini subjeknya adalah seorang ‘saya’, dan tak menutup kemungkinan saya menggunakan kata ‘lu’ dan ‘gua’ sebagai kata ganti orang pertama dan kedua. Mengerti? Oke cukup tutorialnya..

P(e)H(a)P(e), begitu bacanya. Itu bukan nama unsur atau apapun yang berkaitan dengan mata pelajaran yang mengharuskan saya ulangan ditengah terjangan badai. Sebenernya dikelas sih, tapi kan diluarnya badai, udah sore lagi*curcol#plakk*. Jikalau anda sekalian tahu, PHP ini adalah sebuah istilah yang lagi booming di bongkahan bumi tempat saya berpijak  setiap detiknya untuk berjuang dalam kemelut peperangan nafsu dan pengendalian diri dalam hidup saya hingga saat ini.=___= #ribet amat deskripsinya. Intinya, “PHP” ini sekarang lagi booming, setahu saya gitu, dan kalaupun misalnya ini boomingnya sudah lama, hanya saya yang kelewat kudet, mohon dimaafkan dan tinggal diganti saja kata kata ‘lagi booming’ disini dengan ‘pernah booming’. PHP ini kalo ditelaah maknanya secara istilah memang sebangsa dengan ‘galau’ begitu. Bukan bahasa baru, melainkan bahasa tua yang dipopulerkan kembali untuk menggambarkan suatu keadaan yang sangat lumrah dialami orang pada masa ini, atau biasanya juga untuk menyebut atau menjuluki sesuatu. Fungsinya, tetap fungsi deskripsi sepertinya. Nah, ada yang tahu apa itu singkatan dari PHP? Yap, anda benar!*apaan, jawab aja nggak* Kepanjangan dari PHP sendiri adalah Pemberi Harapan Palsu. Uwwidiihhh.. dangdut juga nih bahasa kalo di denger denger, hahahaaha#ditamparorangsekampung. Lho, ya memang kan? Akui sajalah, saudara-saudara sekalian jikalau apa yang saya katakan memang benar adanya. Tapi, well, khas sekali anak muda, mainnya singkat-singkatan. Pemberi Harapan Palsu, begitu disingkat jadi PHP, enak-enak aja nyebutnya, ya kan? Semua aksen melayu yang mendayu-dayu sirna sudah menjadi sebentuk singkatan yang enak saja untuk diucapkan. Kasus seperti ini kadang menimbulkan anak kasus baru, saking tenarnya si PHP ini dalam bentuk singkatan, tanyakan saja, orang-orang di sekitar anda yang sering mengatakan ‘PHP’ mungkin nggak semuanya tahu apa kepanjangannya. Yang mereka tahu, mungkin yang namanya PHP itu pokoknya begitu saja.# =o=a
Istilah baru dari bahan lawas ini agak beda dengan ‘galau’. Sebenarnya, saya agak meminimalisir penggunaan kata ini dalam percakapan, tulisan, maupun ocehan saya di j-sos. Kenapa? Bukan saya sirik sama yang udah bikin itu kata-kata booming, tapi gak enak aja lah. Masalahnya, nih ya.. Lihatlah judul profile saya yang panjangnya hampir menyerupai autobiografi itu, ‘I Proud to Be Different’ itu bukan berarti saya ini anak panti yang cacat fisik maupun mental, alhamdulillah mental dan fisik saya baik baik saja, kecuali gangguan agak sableng dan kelebihan sedikit berat badan#ngek. Itu artinya saya bangga menjadi berbeda dari yang lain dalam berbagai hal, dalam berpakaian, bergaya, berbicara, menulis, menyampaikan pendapat, apa saja yang penting saya harus berbeda. Bukan juga berarti orang jalan dengan kaki sedang saya dengan dahi, masih dalam batas kewajaran, yang penting sesuai dengan apa yang saya mau dan berbeda dari yang lain. Dan jika dihubungkan dengan kenapa saya meminimalisir penggunaan kata galau, adalah karena saya tak ingin sama dengan orang lain, itu. Apalagi yang akan sama dengan saya itu banyak. Jadi lebih baik sedikit aneh tapi berbeda dan berciri, HAHAHA*ketawalaknat

Sebenernya salut deh, sama yang punya ide mem-booming-kan kata ‘galau’. Ini kata, sebenernya saya udah tau dari dulu, dari sebuah bacaan yang bergaya bahasa agak lawas. Sejak saat itu saya sering menggunakan kata tersebut dalam tulisan saya, biasanya dalam bentuk sudah ditambah dengan imbuhan ‘me’ dan ‘kan’, menggalaukan. Karena ya.. memang katanya cukup aplikatif dan masih terdengar unik dan langka–kala itu–. Tapi di telinga saya kedengerannya jadi agak gimana gitu jikalau sekarang kata dasar ‘galau’ banyak ditambah imbuhan gak jelas jadi ‘ngegalau’. Jika niat anda memang untuk berbahasa Indonesia, mengapa tak sebut itu dengan ‘menggalau’?! Nah, oke. Setelah si ‘Galau’ ini booming, ada keuntungan tersendirinya juga. Kita, terutama si pemulai, jadi berperan dalam melestarikan salah satu kata dalam bahasa Indonesia yang sudah mulai beralih menjadi asing di telinga kita orang Indonesia sendiri*tepoktangan*. Ttapi… MIRISNYA.. selain ada oknum pengguna kata ‘galau’ yang merasa pernah mendengarnya lalu penasaran dan membuka-buka lagi Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk menelaah maknanya yang sebenarnya, ada oknum pengguna juga yang justru menganggap ‘galau’ sebagai sebuah inventory baru alias rekayasa manusia berbudaya masa kini !! Aduhh…*ngelusjidat* oleh karena itu, dari pada menggunakan yang sudah banyak disalahgunakan orang dan sangat mudah ditemui ibarat penjual garam, lebih baik mengganti kata ‘galau’ dengan kata ‘gundah gulana’. Melayu sedikit, nggak apa.. di mata dan telinga saya tetap terkesan keren kok asalkan masih eksklusif dan sedikit penggunaannya#plakk.

Baik, cukup dengan ‘galau’ dan mari kita kembali pada topik awal kita, PHP. Saya dapat ide menulis soal PHP ini karena kata ini saya temui dan dengar istilah anyaran ini dimana-mana. Ah, hampir saya lupa, pengertian dari PHP sendiri, adakah yang tahu? Yeah, bukan tahu lagi, mungkin bahkan sudah hapal. Well, sesuai namanya, PHP adalah sebuah situasi dimana terdapat dua belah pihak, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan-atau mungkin sejenis#plakk-, yang terlibat dalam sebuah keadaan dimana salah satu pihak diantaranya memberi perhatian lebih, terlihat ramah pada pihak yang satunya, sangat baik, dan mungkin masih banyak bentuk sinyal-sinyal lain yang ia berikan, hingga si pihak satunya yang mungkin saja sebelumnya tak punya perasaan sama sekali beralih mulai menaruh perasaan hingga harapan pada si pemberi sinyal, tapi ternyata si pemberi sinyal malah tak menanggapi harapan tersebut, dan tara.. terfonislah si pemberi sebagai pelaku PHP.

Kasus ini bisa dibilang marak sekali terjadi, lebih dari hipnotis maupun korupsi. Dari mulai dikalangan remaja sampai pemimpin dunia. Mungkin ini sudah biasa jika terjadi di kalangan remaja yang masih banyak bimbang soal cinta, tapi di kalangan pemimpin dunia yang sudah matang soal fikiran, yang berprinsip, dan yang sudah biasa keluar dari masalah pelik. Pastilah anda sekalian bertanya-tanya atau bahkan mengira saya hanya mengada-ada. Beberapa pelaku PHP itu diantaranya adalah dua orang hebat yang saya kagumi. Pertama, mari kita alihkan sekalian fikiran kita kepada tokoh bangsa ini, sang bapak bangsa, yea.. Ir. Soekarno. Bukan saya bermaksud menjelekkan, toh saya justru mengagumi betul sosoknya. Dibalik sosoknya yang dikenal luas idealis, nasionalis, pekerja keras, dan otoriter, ia jugalah seorang pecinta seni dan pengagum segala bentuk keindahan, termasuk wanita. Itulah juga mengapa ia memiliki 9 orang istri, dan hebatnya semuanya berjalan sejalan dengan kepentingan kenegaraannya tanpa ada gangguan apapun di kedua belah pihak. Tapi ke 9 wanita yang beruntung menjadi isterinya itu belumlah seberapa dari semua wanita yang pernah punya hubungan khusus dengannya. Salah satu kasus PHP ini terbilang tragis. Ini terjadi pada Sakiku Kanase, seorang Jepang yang sebetulnya sama posisinya dengan Naoko Nemoto atau Ratna Sari Dewi yang pada akhirnya beruntung menjadi istri Soekarno. Sedang Sakiku yang patah hati karena terlanjurr sudah berharap banyak pada Soekarno mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri tiga minggu setelah Naoko dan Soekarno menikah.

Lain Soekarno, lain pula lelaki kharismatik yang satu ini-begitu kata fuhrer saya8D-. Right, Adolf Hitler. Siapa coba yang tak kenal Hitler. Seorang diktator yang terkenal kejam ini juga punya sisi-sisi unik. Diantaranya, pernah ada orang yang menyatakan jika dilihat dari tulisannya, sisi feminitas Hitler cukup tinggi, hmm.. Lalu, ia juga seorang yang misterius dan sulit ditebak secara kepribadian. Dan menurut saya, ia juga termasuk orang yang idealis, berselera tinggi, dan cenderung soft hearted. Korban PHP dari sang fuhrer ini tak lain dan tak bukan adalah wanita yang setia mendampingi hidup penuh resikonya, Eva Braun. Seumur hidupnya Eva Braun di PHP-in sama Hitler. Permintaan Eva untuk dinikahi oleh Hitler baru di kabulkan oleh sang fuhrer di satu hari tepat sebelum mereka bunuh diri. Haaahhh…*ngelapairmata*

Oke, guys. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk menarik kesimpulan. Intinya, meski saya tak tahu menahu, dari yang saya dengar dan saksikan, di PHP-in itu gak enak, mas. Nyesek luar biasa pastinya. Pernah saya mendengar salah seorang oknum teman saya bicara soal ini, katanya PHP itu cuma karena ceweknya aja yang kegeeran (kasusnya biasanya dari cowok ke cewek).  Mungkin itu bisa jadi bener, tapi yang namanya cewek ya, kita ambil manusiawinya saja, siapa sih yang nggak senang jika seseorang memberikan perhatian lebih ke kita? Gak normal kali yang nggak seneng. Itulah mengapa kita yang beranggapan begitu sangat rawan menjadi korban PHP. Motif PHP yang umumnya dilakukan oleh oknum laki-laki kepada perempuan bisa jadi berlandaskan dua hal. Pertama, kepekaan yang terlalu dari pihak perempuan sehingga ia merasa sampai seperti diperlakukan lebih saat sebenarnya bukan begitu maksud si laki-laki. Dan yang kedua saat si laki-laki benar-benar berniat untuk mem-PHPkan si perempuan. Biasanya ini berlandaskan atas suatu dendam atau ganjalan, juga paksaan dari keadaan yang kurang mendukung dan kurangnya komunikasi antar kedua belah pihak.

Cara untuk mencegahnya adalah selalu positive thinking tapi berfikirlah sewajarnya. Susah memang, tapi cobalah dari pada harus terluka dalam di akhir. Perasaan berbunga-bunga yang melambungkan itu memang tak bisa ditolak karena, yaa.. saya tahu kiranya rasanya. Tapi, lebih baik tak usah terlalu mengharap di awal, tapi jangan terlalu pesimis juga. Sekalinya sinyal-sinyal itu datang, nikmati saja apa adanya, tapi jangan sampai terlarut terlalu jauh berharap. Jikalau memang kita sudah membiasakan diri untuk tak terlalu mengharap padanya, kita akan siap mengenai seburuk apapun kemungkinan yang akan terjadi. Dan sekalinya apa yang ia tunjukkan selama ini memang mengarah ke arah yang sebenarnya, bersiaplah untuk terkejut dan berbahagia.

Yang namanya PHP itukan, tetep ngerasain yang baik-baik dulu. Jadi benar dong jikalau saya bilang nikmati saja. Setidaknya, anda dan dia pernah berada dalam posisi singkat yang menyenangkan. Intinya, cukup nikmati saja dan jangan terlalu mengharap. Maaf sekali jikalau ternyata saran saya ini tidak practical dan menyon semua pada keyataannya. Yang jelas, dilihat dari sudut pandang saya ya, beginilah adanya. Toh saya memang juga gak pernah merasakannya#muahahaha. Mending lah, diberi harapan, dari pada tidak ada apapun samasekali. Dan anehnya, meskipun tak ada sama sekali apapun, mengenai respon maupun tanggapan, apalagi harapan, saya masih tetap terjebak disini, di sebuah kemelut rumit yang tak bisa ditolak untuk dinikmati.

 Hanya ini yang saya mampu simpulkan dan kemukakan. Semoga berguna, atau setidaknya cukup menghibur kala nilai gunanya mencapai angka nol.

“Rahasia umur panjang dari relationship jenis apapun ialah  Komunikasi, Kejujuran, dan Toleransi.” –menurut saya~

Au Revoir~~