Trending Topics

.

.

Monday, May 27, 2013

Tujuh Belas

Suatu hari di Rengas Dengklok, Ir. Soekarno menjawab pertanyaan salah seorang dari golongan muda yang mendesaknya untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada hari itu. Dan jawaban beliau seperti ini:

“Tidak sekarang, tapi kami sudah menemukan tanggal yang pas yaitu besok, tanggal tujuh belas. Tujuh belas adalah angka yang baik, pada malam 17 Ramadhan kita umat Islam memperingati Nuzulul Quran, kita juga mendirikan shalat wajib tujuh belas rakaat dalam sehari. Maka dari itu, bangsa kita akan merdeka pada tanggal yang baik itu pula."

Yah, bukan hanya buat Bung Karno, Umat Islam, atau Bangsa Indonesia saja. Disamping mereka, teruntuk angka tujuh belas, bisa dibilang banyak yang menganggapnya lebih dari yang lain.

Dan adalah sebuah kabar bahagia, bahwa seminggu yang lalu, saya tepat memperoleh angka tujuh belas dalam sebentangan hidup saya sejak 1996 yang lalu. Kini seorang Yuanita Wahyu Pratiwi, seorang yang masih beranggapan bahwa dirinya hanyalah seorang bocah, yang tak menyadari betapa cepat usia menggulung waktu demi waktunya, sudah menginjak pada usia itu.

Meski kerap kali batas termuda untuk bekerja adalah 18 tahun, tapi tujuh belas tahun sudah diakui sebagai usia dimana seseorang mulai memperoleh kedewasaannya dalam bentuk kartu tanda penduduk. Kedewasaan juga berarti konsistensi kan? Oleh karenanya mulai saat ini saya tak boleh gonta-ganti tanda tangan lagi#plakk.

Tujuh belas tahun, hmm… apa artinya? Oh, banyak man. Baaanyaak sekali~
Terlebih lagi ketika saya memperoleh beberapa cuplikan masa lalu belasan tahun yang lalu yang beberapa masih saya simpan baik dibalik jalinan rumit serabut otak kanan saya. Rasanya, waktu jadi amat mahal, terlebih yang lalu, karena pahitnya, tapi ini kenyataan, bahwa ada banyak dari yang lalu yang sudah tak bisa saya ulangi dalam hidup saya ini.

Kadang ada sebuah peristiwa, atau perkataan seseorang yang begitu mengena dalam benak saya, sehingga ketika kembali saya mengingatnya, saya seolah berada pada ruang dan waktu dimana saya mendengarkannya atau mengalaminya dahulu sekali. Dan inilah yang namanya mesin waktu paling mutakhir sepanjang masa; pikiran manusia. Sayangnya, mesin waktu ini terlampau eksklusif, karena setiap orang memiliki persis hanya satu dan tak bisa saling menggunakan milik yang lain. Itulah mengapa siapapun tak akan bisa mengajak siapapun yang lain untuk mengunjungi masa lalunya. Selain mesin waktu ini, memang masih ada peralatan lain, tapi sekedar anyaman kata-kata atau bahkan gambar yang saya buat sekalipun, tak akan mendeskripsikan seapik bagaimana pikiran saya mengulangnya.

Haah, waktu, mengenang, dan sejarah hidup, mereka terkadang mengkombinasikan rasa sesak yang luar biasa dalam benak saya bahkan lebih dari ketika asma hampir memutus napas saya. Entah kenapa, pedih, pedih melihat apa yang kita merasa miliki selama ini ternyata tak pernah kita miliki sebenarnya. Mereka, masa-masa indah, hal yang menyenangkan, sahabat baik, seluruhnya milik Tuhan. Mereka hanya diinstruksikan untuk mengajari siapa yang mereka datangi. Mengajari entah itu kebaikan, keindahan, atau kepahitan sekalipun. Karena ketika kita lahir sampai di jenjang manapun kita berada saat ini, kita terus belajar, dengan atau tanpa kita sadari.

Tapi sungguh, memiliki tujuh belas tahun dalam sejarah hidup saya bukan lantas hanya untuk diratapi. Hal yang patut disyukuri ada lebih banyak. Mereka tak henti menghiasi jalan setapak sederhana yang ada dalam keremangan yang saya telusuri selama ini, membuat tilas kaki saya lebih indah untuk ditelusuri kembali. Tak terhitung berapa kali sudah saya tersenyum, tertawa, atau bahkan terharu bahagia sepanjang tujuh belas tahun ini, dan saya amat bersyukur karenanya.

Tahun ini, spesial buat saya. Awesome. Karena banyak hal baik datang menghampiri saya. Ini adalah tahun dimana akhirnya saya lepas dari penjajahan pelajaran-pelajaran eksakta sepanjang hidup saya. Kado terbaiknya, tepat tanggal 27 Mei 2013, sekitar jam setengah enam sore, saya membuka laman web yang memuat informasi diterimanya saya di sebuah jurusan dalam salah satu universitas negeri ternama di negeri ini yang saban hari saya sebut dalam doa saya. Alhamdulillah semuanya tidak sia-sia, kesulitan yang pernah saya rasakan selama ini memang sudah jalannya menjadi bagian dari hidup saya, dan buktinya sangat nyata, saya pada akhirnya memang kembali ke tempat saya.

Soal ah, entah apa itu namanya, saya juga merasa beruntung. Sepenggalan dua tahun SMA saya memang sempat saya pikir hampa, tapi kini hal yang lalu seolah kembali lagi. Perlahan ada sebuah petunjuk yang menghampiri saya, menyeret saya kembali untuk dapat merasakan apa yang pernah membuat saya jatuh gila dulu. Lima tahun mungkin hanya soal pasang surut, karena entah kenapa, di detik dimana saya memiliki kesempatan untuk bebas dari bayangannya ini, detik dimana saya memiliki kuasa untuk menemukan pencerahan baru dan melupakannya ini, kami dipertemukan kembali. Takdir? 
Entah, saya juga tak bisa menjawabnya saat ini.

Semuanya dahulu hanya berbunga dalam kesunyian, dengan bunga-bunga kecil yang tak begitu kentara di kegelapan. Beberapa waktu belakangan, mungkin disini, semuanya memang dikuasai oleh kegelapan, tapi saya samasekali tak menyangka ketika sedikit saja cahaya menyeruak, masih berdiri beberapa diantaranya, kuntum-kuntum yang tengah mengembang, mereka yang sanggup bertahan selama ini. Dan menemukan mereka rasanya tak ubah kembali bernafaskan harapan, mungkin suatu saat nanti mata air yang selalu saya pandangi sekalipun dalam gelap itu akan berkenan mengaliri keajaibannya ke ladang ini.

Menjadi dewasa hanya impian anak-anak yang tak tahu menahu terhadapnya, dan samasekali bukan impian saya. Saya selalu nyaman berada di tengah keluarga kecil saya ini, bahkan samasekali tak terbesit ide sebelumnya untuk tinggal sendiri, berada jauh dari mereka, dan memulai kehidupan sebagai calon orang dewasa. Kini kedewasaan itu sendiri juga masih bukan impian, melainkan tantangan. Waktu telah menkredibelkan diri saya untuk meraihnya, maka inilah waktunya bagi saya untuk berjuang. Mungkin tidak mudah, tapi saya optimis untuk meraih kesuksesan yang lebih, berbahagia, dan membuat orang tua saya bangga terhadapnya.

Yuanita Wahyu Pratiwi, 27 Mei 2013


Monday, May 20, 2013

Bitterism

Sebuah devinisi rasa tidak enak oleh lidahh bagian pangkal, dan secara konotatif kerap diartikan sebagai sebuah keadaan yang tidak menyenangkan dalam hal apa saja. Meski ada beberapa pahit yang dicandu sebagian orang seperti pada dark chocolate, kopi, pare, daun pepaya, bahkan jengkol, tetap saja secara umum rasa pahit itu tidak enak. Sebongkah lidah yang pemiliknya menyukai rasa manis ada banyak, tapi tidak demikian dengan pecinta pahit. Mereka yang menerima dan mencintai kepahitan secara keseluruhan hanya mereka yang mampu memfilter dan lantas mereguk kenyamanan dari rasa pahit yang mereka rasakan, seperti misal, para masokis!#dor

Beberapa kelompok humanis sering mengelu-elukan slogan ‘hidup cuma sekali’ dan lantas memaknainya sebagai sebuah lingkup dimensi dimana kita semestinya mencoba apa yang membuat kita penasaran, melakukan apa yang kita sukai, dan hidup aman dengan menjaga jarak sejauh-jauhnya dari unsur yang tidak mengenakan, atau yang dalam hal ini bisa kita definisikan sebagai rasa pahit. Bagi orang yang berpandangan seperti mereka, melulu hidup hanya soal manisnya saja, tapi itu bukan puncak kehidupan saya rasa karena kehidupan berlatarkan dunia, bukan surga. Jika surga adalah tempatnya segala kebaikan, dan neraka adalah sarang dari berbagai bentuk keburukan, dunialah tempat kedua hal tersebut memiliki kedudukan yang sama dan saling berlomba untuk menyebarkan pengaruh mereka. Padahal slogan semacam ini pada akhirnya bisa melahirkan liberalisasi diri yang tak bertanggung jawab.

Ketika ada kelompok yang begitu optimis tentang kebaikan hidup, ada yang lain yang menempati posisi sebagai lawan mereka karena yah, kehidupan itu seimbang, persis rata antara hitam dan putih. Kelompok itu yang pandangan hidupnya selalu melukiskan kesuraman. Waktu mereka dalam hidup yang katanya cuma sekali jadi dipersempit dengan sempitnya pemikiran mereka. Mereka sibuk memprasangkai buruk sistem kehidupan, dan mereka hidup untuk diuji seberapa tinggi ketahanannya menghadapi persoalan. Yang mereka sebut optimis adalah membalut tubuh dengan perban ketika baru dihadapkan dengan sepuluh persen kemungkinan kecelakaan, dan mungkin mengubur diri ketika kemungkinan kecelakaannya mencapai lebih dari lima puluh persen. Dalam kasus ini, saya pernah membaca sebuah buku motivasi. Buku tersebut mendoktrinisasi seseorang untuk bermimpi, tapi mimpi dalam definisi mereka berbeda dengan apa yang saya tangkap selama ini. Mimpi selama ini buat saya adalah sebuah bintang yang kecemerlangannya membuat kita jatuh cinta dan tanpa tekanan, dengan kesediaan terdalam, kesetiaan, dan kepenuhan membuat tanpa sadar kita candu terhadapnya dan selalu menjadikannya sebagai etos kerja, penyemangat dan pembakar tekad. Sedangkan dalam buku itu, mimpi adalah misi yang harus dilengkapi dengan visi-visi rinci sehingga menurut saya justru terdengar seperti sebuah pengaruh yang bertekanan. Mungkin pengertian saya terlalu ideal dan terdengar terlalu ajaib bagi tempat sekejam dunia, tapi saya menyukai dan dapat memetik dampak positif dari pandangan tersebut, meski saya pun tak bisa menyebutnya benar.

Diantara kedua kelompok yang berlawanan, seperti biasa ada kelompok netral yang rentan kadarnya sedikit melebihi kadar kelompok pahit, sampai hampir menyamai kadar kelompok manis. Dari uraian diatas, kelompok tersebut sudah bisa didefinisikan.

Lalu dimanakan sudut pandang saya berada? Entahlah. Yang diatas hanya generalisasi tanpa landasan yang begitu kuat, tak perlu diambil pusing. Saya hanya kerap melihat orang-orang ada dalam kelompok kelompok tersebut. Saya ini sebenarnya berpandangan cukup optimis, dan saya akui itu kerap jadi kekuatan saya. Berpandangan optimis membuat kita merasakan setengah dari kemanisan yang kita impikan. Berpandangan optimis juga bukan berarti memenuhi hidup dengan kesenangan, bukan juga melukai diri sendiri. Tak dalam setiap posisi seseorang berhak beroptimis-ria. Optimis hanya ketika kita sudah merasa pantas karena sudah melakukan usaha yang maksimal. Optimis juga bukan berarti over convident yang bisa mengakibatkan goncangan hebat ketika jatuh. Saya hanya tak ingin kepahitan memenuhi benak saya. Saya tetap ingin bahagia, dan membalut luka saatnya bukanlah sebelum eksekusi, melainkan setelah eksekusi. 

Saturday, May 18, 2013

Minggu Pertama

20, 24, 28, tercatat sebagai tanggal maha penting di bulan ini buat seorang saya, Yuanita Wahyu Pratiwi yang lahir tepat di peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang ke-88, tujuh belas tahun yang lalu. Korupsi satu tahun dengan menyelinap kedalam sebuah koloni akselerasi di sebuah sekolah di regional tempat tinggal saya membuat saya mencekik leher dengan tambang ujian nasional setahun lebih cepat. Oleh karenanya, tiga tanggal itu menjadi momen penentuan yang teramat sangat penting buat saya. Setiap mata ini terbuka dan kesadaran saya kian terkumpul seirama dengan anggunnya langkah sang surya menuju singgasana pagi-nya, panik menghampiri, mencuri kesempatan ketika hormon penenang pikiran dalam tubuh saya baru menjajaki masa produksi.

Ini sulit, sangat sulit. Berkali lipat dibanding soal matematika di UN kemarin, karena letaknya amat sangat dekat dengan sebentangan masa depan saya. Entah kenapa, di minggu pertama nafas tujuh belas tahun saya, saya harus mengalami penentuan yang sebegini krusialnya. Saya harap usaha saya untuk berjuang di jalan yang luar biasa berat bagi saya selama dua tahunan ini berbuah manis. Toh saya tak ingin terlalu banyak, sebuah kunci untuk kembali membuka dunia dimana saya semestinya berada adalah kado yang paling saya impikan untuk pembuka tahun yang ke tujuh belas ini.

Tadi siang, ketika sejenak saya memejamkan mata, sebuah mimpi tiba-tiba datang menghampiri. Saya sering kali tak ambil pusing dengan hanya menganggap bahwa mimpi hanyalah sisa pemikiran saat kita terjaga yang terbawa hingga tidur ketika ia tak begitu bercerita baik, ataupun bermaknakan tidak bagus. Tapi untuk mimpi yang tadi siang, saya berharap itu benar adanya, benar akan jadi kenyataan beberapa hari kedepan. Amin.

Pasalnya di mimpi itu, saya diterima di universitas dan jurusan yang saya impikan lewat jalur undangan.

Yeah, bung. Sederhana, tapi itulah impian saya untuk saat ini.

Memikirkan beban yang akan ditanggung orang tua saya, tak enak hati saya meminta harga tambah untuk mengambil bimbel. Beberapa pelajaran mungkin bisa saya kejar sendiri sepahitnya saya tak diterima lewat jalur undangan dan harus mengambil jalan tes nanti, tapi untuk matematika dan ekonomi, semua yang berurusan dengan angka entah di IPS atau di IPA, saya tak berdaya. Yang akan saya jadikan pegangan palingan hanya buku soal.

Susahnya, pada saat yang sama saya selalu saja sibuk menenangkan diri sambil mempersiapkan mental sekalinya saya tak mendapatkan apa yang saya inginkan nantinya. Karena mereka adalah kedua hal yang berlawanan. Saya, bergantung pada peluang demi salah satu dari hanya beberapa kursi yang diperebutkan sekian banyak orang. Berbagai prestise dipertaruhkan didalamnya, juga soal kepuasan hati, amanat, dan banyak hal rumit lainnya. Setiap saya berspekulasi, selalu saja pikiran buruk yang menghantui, dan itulah yang membuat saya pada akhirnya, sebagaimanapun saya menutupinya, tetap saja khawatir terhadap individu ini.

Sampai pada tulisan ini pun, saya tetap tak mau berspekulasi. Itu hanya akan menyakiti saya dan memperparah kekhawatiran ini. Saya sudah berusaha, oleh karenanya pantas kiranya saya memohonkan doa untuk terkabulnya impian saya. Amin…




Yuanita Wahyu Pratiwi, 18 Mei ‘13