Trending Topics

.

.

Saturday, September 29, 2012

A Crazy Who Need Help


Well, I am sorry for leaving this blog too long. And once more, a month without any post is really makes me feel regret but, I can do nothing. My beloved partner, Oentoeng, or if I made you confuse, you have to know that Oentoeng is my laptop, was sick. He have to get some repair and leave me alone for a while. You know what I feel? Oh man, I was depressed, okay, not as far as that maybe, but I smacked down by the truth. I put my newest story “when bitter feels like sweet” —that almost finished, which my spare time in holiday I spent to finish that— in program file, and they’re missing. That story has gone, that 20 pages story has gone before read by anyone except me.

Maybe I’ve being so crazy since long time. And now, I more than that. I just think about me, I was loving my self, do everything I want to do without care about others. I don’t know what people have in their mind, and it makes me really confused. I won’t be someone who just spend they time in vainly by just think what people think about them self and try to be the best of the best in front of people. Mustly, they know that people have so many pair of eyes, the have very various kind of perseption and it will just makes you crazy if you think you can standing on the top of them.

You can’t do any force to other people, so the truth which will force you to follow the colony or standing heavily by your self. And I choosed the second. I am standing, barely, by just smiling to the cloudy sky, while asking “when will they looking to me?” to no one. I got no answer, of course. So I just try to entertain my self, enjoy this unperfect life pervectly. I cook the best for my meal, I write a story, read it, admire it, and make another story, and read it, and admire it again. I draw a picture of my dream, see it, admire it, and make another one. Just like that, for a long time. I think it was better than waiting for people’s eyes to come and see arround you while doing nothing. At least, I am happy in this lonelyness.

I’ve waiting so long, but I just got tired. And now I am afraid to be more tired. Being underestimated is not easy. So please, anyone need me here? Please, help me, look at me, stay with me, accompany me to pass this dark way. Before my existantion is really dissapeared, forever.



I am a writer without any reader, I am a singer of the funeral house, a lonely hearted teenage of this year. Haha… Its perfect! Perfect time to give me all of those call name. Thank you!
If you’re bored, if you are a read lover, a sad ending romantic story crazy, come to me! I have many and I’ll give you free if you promised to read it and give a comment to me. I respect high everyone respect me! Bye~~

-219032-

Thursday, September 27, 2012

Perubahan dan Waktu



Cerpen yang juga dibuat dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja, selamat menikmati~

Di belakang rumah, mengalir sebentang sungai rakyat. Mengapa kusebut begitu? Karena nyatanya, sekotor apapun sungai itu, rakyat sepinggiran sungai masih tetap bergantung padanya. Mungkin karena itu juga air disebut sebagai “sumber kehidupan”. Entah itu sebatas untuk pengairan kebun atau sarana MCK. Dulunya, pemandangan di belakang rumahku bak latar desa-desa elok di FTV. Sebelum bertemu langsung dengan sungai, sehamparan kebun bertaburkan berbagai jenis sayuran terbentang luas di depannya. Dari mulai bayam, kangkung, terung, labu, sampai yang kecil seperti kemangi. Di tepian sungai, rimbun bambu tumbuh lebat seolah memagari sungai agar anak-anak tak sembarangan menceburkan diri lalu ditemukan mati mengambang.

Pagi hari sebelum berangkat sekolah, biasanya aku menjemput ibuku yang berangkat mencuci di sungai sedari habis Subuh. Sekedar untuk membawakan seember kecil cucian atau papan gilesannya memang, tapi aku selalu melakukannya dengan senang hati karena kesegaran udara paginya yang tak tertandingi, dan matahari bulat dengan cahayanya yang hangat yang menyembul perlahan dari balik rimbun pohon-pohon besar berusia ratusan tahun di depan sana. Jalan yang kulewati dari sungai bukanlah jalan aspal yang lebar, melainkan sebuah pematang yang membelah hamparan kebun ragam sayuran, yang sempit, panjang, dan berundak-undak.

Rumah yang kutempati ini sudah beberapa kali direnovasi sejak hari itu. Bentuk awalnya sangat sederhana, dengan hanya memiliki beberapa ruangan inti, berdinding bata merah, tanpa eternit, dan berlantaikan tanah. Di awal kepindahan kami kesini malah kami sempat harus bertahan beberapa bulan tanpa listrik yang memadai. Tapi untunglah semuanya sudah jauh membaik sekarang. Rumah kami telah berdiri dalam kondisi yang cukup nyaman saat ini. Meskipun pada kenyataannya definisi dari perubahan amat beragam macamnya. Perubahan tak selalu mendeskripsikan suatu predikat baik, bisa juga buruk. Tak selalu merupakan kemajuan, bisa juga kemunduran, atau setidaknya kemajuan, tapi pasti ada hal yang harus dikorbankan untuk itu.

Bertahun berselang setelah latar waktu yang kupaparkan tadi, aku masih meninggali rumah ini bersama keluargaku. Rumah yang bukan lagi berdindingkan bata merah dan berlantaikan tanah, tapi bentuk dasarnya tak terlalu banyak berubah. Lain halnya dengan apa yang ada di luar rumah, semuanya berubah, sangat banyak berubah malah.

Kebun sayuran warga yang ada di belakang rumah —yang membatasi rumahku dengan aliran sungai— kini telah ditumbuhi komoditi lain. Tumbuhan yang sempat memancing beberapa kerusuhan, menumbuh suburkan aksi premanisme dan pencaloan, tumbuhan keras yang tumbuh pesat; perumahan. Lahan yang semula ditumbuhi pepohonan berdiameter hingga tiga depa orang dewasa itu kini digunduli dan dibuat petak-petak rumah ekonomis yang harganya disesuaikan dengan daya beli masyarakat menengah kebawah tapi kualitasnya juga sangat menengah kebawah. Udara pagi hari yang segar sudah tidak ada lagi. Setiap pagi, pasti ada saja orang yang membakar sampah, dan asap beracunnya pun mengepul kemana-mana. Lahan bermain anak-anak kini terbabat habis sudah. Padahal mulanya kami bermain dengan bebas dan nyaman dibawah pepohonan tua yang rindang.

Laju pembangunan memang tak dapat di dihentikan sepakem apapun remnya. Kian hari, warga dari usia produktif yang berurbanisasi dan mengadu nasib di kota satelit seperti tempatku ini semakin membludak saja. Lahan strategis di tengah kota tentu sudah hampir habis dan tidak ekonomis lagi untuk memenuhi kebutuhan papan mereka, jadilah kebun-kebun kosong dan tabungan para tuan tanah di perkampungan pinggir-pinggir kota macam ini yang jadi bidikan para kontraktor.
Memang, angkutan umum menuju kesini yang semula sulit diakses kini jadi agak mudah. Infrastruktur seperti jalan dan jembatan banyak yang diperbaiki. Tapi tetap saja, kemacetan yang semula langka bak spesies tinggalan zaman purba kini bisa ditemui dengan mudah, setiap detik, setiap waktu. Lahan yang semulanya sawah juga banyak yang dijadikan perumahan dikarenakan permintaan pasar yang begitu tinggi. Jadilah kini harga beras juga ikutan melambung tinggi. Jika sudah begini dapat dipastikan, selamanya, pengulangan prestasi swasembada pangan akan hanya jadi wacana.

Aku memang tak lahir disini, tapi di bongkahan tanah ini aku menghabiskan 13 tahun dari 16 tahun keseluruhan usiaku sampai detik ini. Jika ditanya soal seberapa banyak tempat ini berubah, aku punya sepaparan jawaban yang akan membuat kalian tercengang, jauh dari ini. Hanya satu hal yang bisa disimpulkan; Boleh jadi ada undang-undang, program pemerintah, atau apapun sejenisnya, tetapi kelajuan waktu selalu dinamis tanpa pernah bisa terhenti, mengikutinya pula pergantian era dan revolusi zaman, maka dari itu  perubahan-perubahan adalah hal yang tak terhindarkan, dan ketahuilah, tak ubahnya norma hukum, sifatnya memaksa.

Perubahan memang kerap dimaknai sebagai kemajuan, tapi untuk mencapai suatu kemajuan, pasti harus ada yang dikorbankan. Maka dari itu, dari setiap kemudahan yang diperoleh dari adanya sebuah kemajuan, akan ada juga yang hilang. Bukan hanya soal alam, lingkungan, atau yang lainnya, tapi juga soal diriku sendiri.
Beberapa tahun lalu, ketika rimbun pohon hijau berusia ratusan tahun masih banyak tumbuh disini, aku masih sangat kecil. Tinggiku masih setengah dari daun pintu yang hampir kusundul saat ini. Dan layaknya anak kecil lainnya, aku masih sangat manja, cengeng, dan tak bisa apa-apa. Kini usiaku sudah banyak bertambah sejak saat itu, tapi ketika menyadari bahwa waktu yang sudah kulalui di belakangku telah segini panjangnya, aku banyak menyesalinya. Bahkan dengan gilanya berpikiran untuk tak ingin jadi dewasa. Bagaimanapun, usia-usiaku yang sekarang adalah masa transisi yang sulit. Aku seorang remaja yang masih sangat kekanakan, yang sekaligus sedang dilatih keras untuk menjadi dewasa.

Setiap mengingat bagaimana sosok kecilku pernah berlarian di tempat-tempat sekitar rumahku yang sekarang sudah tidak ada, hatiku mencelos. Detik itu juga aku menyadari bahwa sosok kecil itupun kini sudah tidak ada. Jika kebetulan ada malaikat yang menghampiriku dan menawariku satu permintaan untuk diwujudkan, aku ingin aku punya ingatan yang kuat, yang cukup untuk menyimpan semua kenangan-kenanganku di waktu yang lalu tanpa terlewat sedikitpun, karena kesemuanya sungguhlah berharga.
Perubahan, ya, sifatnya memang memaksa. Aku masih ingat ketika pertama kali ibuku membiasakanku untuk dirumah sendirian saat ditinggal ke warung, atau di hari pertama masuk sekolah. Semuanya menuntutku untuk berubah, yang tadinya tidak berani menjadi berani, yang tadinya tidak disiplin menjadi disiplin. Namun di usiaku yang sekarang, bukan hanya perubahan seperti itu yang harus kuhadapi. Melainkan banyak perubahan-perubahan lainnya yang tentunya setingkat dengan levelku yang saat ini.

Sekarang, di setiap pagi seperti ini aku harus berangkat sendiri. Menyusuri jalan setapak hingga ke jalan besar lalu naik angkot tanpa pernah diantar lagi. Padahal, cara berangkat sekolah yang seperti ini terkadang memaksaku untuk berlari karena macet, atau bahkan bertaruh dengan waktu mendekati ditutupnya gerbang sekolah. Meski berat dan terkadang aku iri pada kawanku yang perjalanan dari rumah ke sekolahnya dijamin akomodasi pribadi, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa apa yang aku lakukan sekarang bisa membuatku menjadi lebih baik di waktu mendatang.

Dari dalam angkot, matahari yang baru muncul dari sebelah timur tak henti mengiringi perjalananku seolah sedang mengawasiku dengan intens dari tempat yang jauh di atas sana. Sama halnya dengan yang terjadi pada rumahku dan sekitarnya, di sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah juga banyak sekali yang berubah dibanding dulu saat aku masih menyusuri jalan-jalan ini dengan sepeda motor yang bermuatan empat orang—aku sekeluarga—, dan aku duduk di depan.

Ini baru tahun 2012, sudah 13 tahun sejak kepindahanku di tahun 1999 memang, tapi waktu setelah ini masih panjang. Dan di waktu-waktu kedepan aku masih ingin melakukan banyak hal. Bukan ingin mencegah perubahan meski aku sebenarnya menginginkannya. Toh percuma, perubahan tetap tak bisa dihentikan. Berbanding lurus dengan guliran waktu, perubahan akan datang dengan sedikit paksaan.

“Ayo cepat! Gerbangnya hampir ditutup!” seseorang menepuk pundakku seturunnya aku dari angkot. Memecah lamunanku yang sudah teruntai sejauh perjalanan berangkat sekolahku.

“Ah, iya!” kesadaranku langsung kebali seluruhnya begitu melihat petugas keamanan sekolah telah mengambil posisi untuk menutup gerbang. Aku berusaha bergerak secekatan mungkin. Berharap Tuhan memperlambat sedikit waktu-Nya, atau mencerahkan hati mereka untuk mau memberiku toleransi sekali lagi. Aku berjanji akan berusaha datang lebih pagi lagi setelah ini.

Aku, salah satu bagian dari perputaran roda kehidupan yang tengah berotasi dengan cepat. Rotasi yang begitu cepat yang akan membawa lebih banyak lagi perubahan. Bahkan, dalam satu tahun kedepan aku yang samasekali tidak mandiri ini dituntut untuk mengalami perubahan yang lebih ekstrim lagi. Entah akan seperti apa nanti jadinya, aku akan kemana pun aku belum tahu. Tapi yang jelas, jika memikirkan masa lalu menimbulkan kerinduan yang pedih dan memperkirakan masa depan memancing kegelisahan muncul, bukankah lebih baik menikmati waktu-waktu sekarang sebaik-baiknya? Bagaimanapun, kisah yang  kita ciptakan di waktu sekarang adalah apa yang kita perkiraan di saat yang lalu dan apa yang akan kita rindukan, suatu saat nanti.


Yuanita Wahyu P
XI.CI.1

Matahari Salzburg



Cerpen yang dibuat dengan tjara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, selamat menikmati, semoga menghibur~

Mana yang lebih cocok, kota musik atau musik yang memenuhi kota? Aku berani bertaruh kalian akan segera menjadi sebingung diriku kala kaki kalian berpijak di sini, sama seperti yang dilakukan seorang jenius bernama Mozart berabad lalu, dibawah naungan langit biru Salzburg yang terkesan dingin dan elegan. Sebongkah tanah bagian dari bumi yang ajaib, dimana kicau burung, nisbi angin, dan irama kehidupan lainnya bisa terdengar selaras, padu, dan melodis bak orkes akbar yang digelar di Gedung Opera setiap tamu penting berlawat kesini.

Salzburg yang indah, elegan, dan historis. Sungguh, aku bangga jadi bagian dari kota ini. Betapa tidak? Banyak orang dari seluruh penjuru dunia datang keseini untuk sekedar berwisata atau bahkan tinggal beberapa lama untuk menggali sebanyak-banyaknya berbagai disiplin ilmu dari kota ini, terutama soal musik. Banyak betul dari mereka yang jatuh cinta pada tempat ini, bahkan bermimpi terlahir disini. Itu sekali lagi menegaskan, betapa beruntungnya posisiku sebagai warga Salzburg. Meskipun diantara semua hal yang Salzburg miliki, aku masih merasa ada yang kurang.

Sekalipun aku mencintai Salzburg, dan akan sangat sulit hidup tanpa kota ini, kota ini nyatanya akan tetap berdiri pada porosnya yang stagnan tanpa aku. Eksistensiku baginya setipis satin halus buatan Prancis. Aku hanya seorang warga negara dengan profesi sebagai pemain junior biola di sebuah orkestra kelas menengah. Mungkin jika aku tinggal di tempat lain nun jauh disana, menyusuri jalanan kota dengan kotak biola di tangan bisa dibilang cukup eksentrik, tapi tidak disini, semua orang melakukannya. Tapi bagiku, selama aku dan biolaku masih bisa menikmati hidup dengan semestinya, aku tak keberatan.

Tak jauh dari jalan sempit dimana terdapat rumah nomor sembilan tempat seorang ikon Salzburg dilahirkan dahulu, aku punya hal lain yang bisa menghiburku. Secangkir kopi panas ditengah dera angin musim gugur yang mendekap raga dalam atmosfer yang hampir beku. Maklum, ini dataran tinggi, negara beriklim dingin, Eropa Tengah, di pertengahan November. Tapi setidaknya, atmosfer yang dihasilkan dari dekorasi interior café ini hangat, sangat hangat.

Pintunya pintu kaca berdaun dua, dimana setiap terbuka akan ada lonceng yang bergemerincing mengikutinya. Dindingnya dihiasi kertas dinding bermotif berwarna cokelat, kusen pintu dan jendelanya keemasan, dan ornamen kayu bertebaran dimana-mana. Jendela-jendela besar —yang membuat kehidupan membekukan diluar seolah hanya drama dalam akuarium— berjajar rapi di salah satu sisinya, sementara sisi yang lain diisi lukisan, foto-foto kuno, kasir dengan mesin tua, dan menempel pula padanya sebuah meja berisikan seperangkat gramafon yang masih jernih betul suaranya. Untuk hari ini, gramafon itu memutarkan Liebestraum No.3, gubahan Komposer kondang dari negara tetangga—Hongaria—, Ferenc Liszt.

Tempat favoritku, di dekat jendela tak terlalu jauh dari gramafon itu. Sehingga seramai apapun café ini, aku tetap bisa menikmati pertunjukan drama dalam akuarium dengan iringan musik klasik yang sempurna. Hari ini, seperti biasanya, tempat itu kosong. Bukan karena sudah kupesan, melainkan jika boleh jujur, café favoritku ini sebenarnya memang tak terlalu ramai. Entahlah, mungkin ritme kehidupan penghuni kota ini memang selalu presto oleh musik, sehingga lebih parah dariku, tak banyak dari mereka yang mau meluangkan waktu untuk hal seperti ini. Aku tidak peduli, yang penting aku mendapatkan apa yang aku mau, estetika yang tak mereka tahu, sebuah pementasan drama dalam akuarium dengan iringan musik dari gramafon tua yang eksentrik ditemani biolaku dan secangkir kopi diatas meja kayu.

“Permisi, boleh aku duduk disini?” aku cukup tersentak. Drama akuariumku terhenti meski musiknya tidak. Orang itu baru saja merusak acaraku.

“Boleh saja.” maaf, aku memang tak begitu ramah. Apalagi kepada seseorang yang telah menginterupsi ketenanganku. Aku harus segera menoleh dan memastikan bahwa si pengganggu ini memang harus menggangguku karena sudah tak ada kursi lain lagi.

Danke!” kosong. Café ini bahkan kosong. Satu-satunya pelanggan disini adalah aku, dan orang ini yang kedua. Seorang wanita, dengan wajah cerah, senyuman ramah, aksen bicara Magyar yang rancak, bahasa tubuh yang bersemangat, dan… entahlah, ia membuatku harus berpikir dua kali, tapi… oke, gadis pengganggu, kau, menarik.

Untuk beberapa detik rotasi pikiranku terpaku padanya. Apa pernah aku kehilangan kendali atas kinerja otakku sebegininya sebelum ini? Sungguh, di tengah dingin dan berkabutnya musim gugur kali ini, sosok dihadapanku ini berpendar begitu cerah.

“Ada yang mengganggumu? Jika begitu aku akan pindah.” kau memecah lamunanku, menarikku kembali ke alam sadar secepat kilat.

“Tidak, silahkan.” oh, pria kikuk, betapa malangnya dirimu. Gadis yang cukup menyita perhatianmu baru saja mendapatimu terbengong dihadapannya dan kini ia hampir pergi. “Jadi, hanya berkunjung, atau akan berdomisili?”

“Eh, kau tahu aku bukan orang sini?”

“Sebagai salah satu penghuni Salzburg aku tahu seperti apa para penghuni Salzburg, sepertinya, dan nona, dirimu, samasekali tak seperti kami.” tema ringan yang kuusung cukup berhasil. Aku berbincang cukup banyak dengan gadis matahari musim gugur itu.

Perbincangan yang manis. Entah bagaimana aku bisa berada pada posisi yang sangat nyaman ketika berbicara dengannya. Tutur katanya mengalir deras, intonasinya ia permainkan dengan sempurna, bersemangat, alami. Surai keemasannya yang panjang tergerai jatuh, berkilauan. Sesekali matanya yang sewarna zamrud mengerling, lalu terpejam dan terbuka lagi. Cantik. Ia benar-benar matahari musim gugur.

“Jadi kau pemain biola? Pekerjaan yang hebat!” pandanganmu sekilas menyapu biolaku yang tergeletak diatas meja.

“Tidak, nona. Hampir semua orang melakukan itu disini. Aku hanya salah satu, junior, dan samasekali bukan apa-apa.”

Belum pernah perhatianku tersita sebanyak ini pada seorang gadis yang baru kukenal. Kau mempermainanku, Matahari Musim Gugur. Kau menarikan pikiranku sehingga semuanya yang termuat disana mendadak hanya dirimu. Kau menggulingkan kontrol atas diriku dan mempermainkannya, entah bagaimana caramu tapi aku benar-benar menikmati perbincangan singkat kita ini. Seketika aku telah kau bawa melambung tinggi, dengan semua hal tentangmu yang membuatku bingung apa yang sebenarnya terjadi padaku. Tapi kemudian mendadak kau pergi. Menghilang bagai bintang di pagi hari. Lenyap, tanpa jejak apapun untuk kutelusuri. Kau pergi tiba-tiba tanpa meninggalkanku setidaknya sebuah nama untuk tak dilupakan sepanjang aku masih bisa mengingat.

“Ah, tidak. Sudah jam segini, aku harus pergi.” Seketika penuturanku terhenti. Kau pergi? Serius? Kisah kita kukira baru akan dimulai.

“Begitukah?”

“Sialnya iya. Baiklah, terimakasih tuan…” kau menjeda bicaramu.

“Edelstein, Roderich Edelstein.”

“Ah, danke, Roderich! Auf Wiedersehen!” Ia lantas berlalu. Kemerincing bel dari pintu café yang ia buka terus terngiang ditelingaku. Duniaku berputar-putar. Kala kutatap jendela, aku melihat sosoknya yang berlari menjauh dalam drama akuarium yang kunikmati sebelum ia sampai disini. Menjauh dan menjauh hingga kendaraan yang berlalu lalang akhirnya menelan sosoknya tanpa sisa. Bersih, benar-benar tanpa sisa kecuali yang di benakku saja.

Kedatangan si Matahari Musim Gugur yang tiba-tiba itu agaknya membuatku menyesali kemonotonan hidupku selama ini. Aku tak punya gairah dan kharisma sebagaimana dirinya tadi, aku tak pernah jadi orang yang penuh ekspresi dan meluap-luap seperti dia.

Ia membuatku sadar apa yang kurang dari kota ini. Salzburg yang elegan ternyata begitu sepi. Bukan oleh suara, karena berbagai suara indah terlantunkan disini. Melainkan Aku oleh gairah yang meluap-luap dalam kota ini. Sebagaimana diriku, Salzburg ternyata memang terlalu tenang. Hidup yang kuanggap sempurna selama ini ternyata hanya skrip opera sabun yang monoton.

Diam berarti melepaskan banyak kesempatan untuk pergi. Sama seperti ketika si Matahari Musim Gugur berlalu tadi. Aku hanya diam, mematung, dan kaku, padahal seandainya aku lebih cepat sedikit saja, aku mungkin bisa tahu namanya.

Ah, jadi ini yang namanya kejutan. Dengan bertahan dalam kemonotonan selama ini aku menarik diri jauh-jauh dari yang namanya kejutan. Tapi saat ini aku justru terperangah dibuatnya. Aku hanya pemain junior biola, warga negara biasa, lelaki dua puluh tahunan biasa. Tapi sekarang kiranya aku sadar bahwa sangat disayangkan jikalau diatas semua hal ‘biasa’ yang kumiliki aku hanya menjalani hidupku dengan biasa. Selentingan terkadang mungkin perlu, dan kemonotonan bukan sesuatu yang bisa mencegahku untuk menikmati hidup ini lebih jauh lagi.

Jauh di dalam hatiku, pertemuan denganmu bisa jadi lebih dari sekedar pertemuan. Dalam sekejap, dengan beberapa untaian kalimat saja kau telah membuatku melihat banyak warna. Aku masih ingin kau menunjukan warna-warna lainnya karena dimataku semuanya monokrom. Sosokmu yang bercahaya tak akan bisa kulupakan dan di dalam sana, di dasar hatiku, aku merasakan bahwa kau lebih dari sekedar matahari musim gugur di kafe langgananku. Kuharap kau bisa menjadi kejutan-kejutanku yang selanjutnya, yang membawakanku lebih banyak warna ke hidupku.

Seperti katamu,  Auf Wiedersehen (sampai jumpa)…


Yuanita WP.( XI CI 1)

Tuesday, September 11, 2012

11 September-mu


Oioii~ saya kambek setelah mati suri, dan dalam kesempatan ini saya kembali tanpa keegoisan dan kenarsisan saya yang biasanya. Kalau memang anda sekalian kerap meluangkan waktu untuk menengok kotak harta karun saya ini, pasti anda hanya akan menemukan segala aspek tentang saya, pemikiran saya, agenda saya, karya karya saya, yah pokoknya everything here is absolutely about me. Tapi untuk kali ini saja, saya mengalahkan keegoisan itu dan mendedikasikan satu posting untuk seseorang, bukan saya.

Oke, saya akan mulai.

Tepat pada tanggal dua puluh Mei silam, ketika momen pergantian usia saya yang keenam belas tiba, seseorang dengan begitu romantisnya mengetuk pintu kesadaran saya di tengah malam yang dingin dan mendedikasikan waktu tidurnya yang berharga bukan hanya demi mengucapkan sekelumit kalimat ucapan selamat, tapi juga sebuah posting di blognya. Hoho, romantis kan? Itulah mengapa, saya juga tak sudi kalah dalam kompetisi beradu keromantisan ini.
Anda tahu apa tanggapan saya soal posting di blognya itu? Haha, konyol, tapi bagi orang yang benar mengenal saya, juga orang ini saya rasa, pasti mudah untuk menebaknya. Saya ini individu yang mudah tersanjung*ngaku* wakakkak… Yaa, berakar dari kenarsisan tak beradab saya sepertinya.

Maafkan saya tapi kadang tak ada salahnya memiliki sudut pandang yang lebih dari orang lain. Karena ketika saya memiliki pandangan seperti itulah saya akan menganggap segalanya dalam hidup saya ini lebih dan lebih berharga. Dan soal mendapat perhatian dari orang lain, aah… itu keren~ sangat menyenangkan.
Lagipula, meski dalam kancah kehidupan saya masih dibilang junior, saya kira saya sudah dapat menyimpulkan beberapa fakta menarik soal hidup ini. Entah betul atau salah, tapi menurut saya memang apapun yang akan kita beri akan kembali kepada kita, dan apapun yang kita terima asalnya pun dari kita. So, jika saya bisa merasa bahagia oleh perhatian orang lain terhadap saya, niatan saya untuk ini pun simpel saja, saya ingin orang ini juga bahagia oleh dedikasi saya terhadapnya.

Orang ini bukan siapa-siapa, atau oke, saya salah. Lebih tepatnya belum siapa-siapa. Seyakin itu? Yeah… asal kalian tahu, kami—saya dan orang ini— punya banyak rencana besar soal apa yang akan kami perbuat di waktu-waktu kami kedepannya. Tunggu saja sampai sejarah mencatat nama kami. Orang ini hanya seorang perempuan, atau… yah, dia tetap perempuan, yang lahir tepat hari ini tanggal 11 September, enam belas tahun yang lalu, yang di usia keenamnya teroris merayakan ulang tahunnya dengan mengebom gedung World Trade Centre, tinggal di Jalan Bumi II, ingin jadi dokter atau psikolog, berkacamata, dan sedang menyukai seseorang di sebelah sana—nii-sama nya. Eits, frontal? Heihei, ini dunia saya ya, jadi everyone have to obey my rule here HAHAHA#laknat
Saya sudah kenal orang sejak bertahun tahun yang lalu. Yah, baru empat tahunan mungkin, tapi itu sudah lebih dari satu tahun kan? Jadi sudah cukup disebut bertahun tahun. Oke, samasekali tak penting. Dan selama empat tahunan tersebut saya telah menjadi saksi dari berbagai hal yang terjadi padanya, soal transformasinya, perjalanan hidupnya, love story-nya, dan macam-macam lainnya. Jadi saya rasa itu sudah cukup untuk memantaskan diri saya berbicara cukup banyak tentang beliau ini(?).

Kesan awal saya terhadap orang ini, jujur, agak mengerikan. Yah, bukan begitu juga sih tapi, saya sempat beranggapan jikalau si orang yang duduk di bangku pojokan dekat pintu semasa kelas tujuh SMP ini adalah tipikal yang bagaimanapun nggak bakal jadi temen deket saya. Dulu, bagaimanapun, saya melihat sosoknya sebagai seorang eksak lovers yang agak anti sosial. Dalam fikiran saya seolah kami berbicara dengan bahasa yang berbeda, tapi begitulah, tanpa disangka perbedaan yang akhirnya mempersatukan kami(?).

Sampai sekarang, banyak yang telah kami lewati. Beberapa kali, saya sempat membuatnya marah, entah itu betulan atau tidak karena nyatanya beberapa kali saya malah dikerjai. Sebagai seorang pecinta kedamaian jujur saya nggak suka punya musuh, apalagi sampai saling mendiamkan, pelotot-pelototan dan mendendam. Ogah beud sumfeh =__= Saya itu nggak bisa marah itulah kenapa ujung-ujungnya saya pasti minta maaf duluan. Demi perdamaian, men! Makanya, nggak usah pake marah lah kalo sama saya mah, saya bukan orang jahat kok~

Then, berhubung niat awalnya ini memang sebuah ucapan selamat ulang tahun yang malah berhujung menjadi testimoni kepanjangan dan curhatan abal ini, tetep harus ada intinya dong. Ya, saya dan my beloved Prince Naoya mengucapkan JOYEUX ANNIVERSAIRRE buat anda~ semoga apapun yang dicita-citakan tercapai, semoga segera menemukan sang blusherman, semoga sukses, lebih dan lebih baik lagi dari yang sebelumnya, makin dewasa, makin jarang ngambek, makin kurus, dan makin ngefans sama saya! XD

Jangan gentar oleh paradigma kesepihakan, nikmati saja kerlingan bintangmu selagi langit masih gelap, karena bukan tak mungkin ketika siang hari akhirnya menjelang kau akan merindukannya lebih dari kerinduan-kerinduanmu yang sekarang~*eeaa*

Yang terakhir, saya mohon maaf atas keterlambatan ini. Anda tahu saya orang Indonesia, saya cinta Indonesia dan ngaret merupakan budaya Indonesia, jadi saya cinta ngaret#plakk. Semoga kiranya anda cukup terhibur :*



Dedicated for  Rere Harits Ariyanti