Trending Topics

.

.

Wednesday, October 30, 2013

The Shipwright and His Paper Plane

Sore semuanya~
Agak kurang membahagiakan buat saya, musim hujan kembali membawa Jogja dalam dekapannya. Miris sekali, tahun ini kemarau hanya mampir 3 bulanan saja dari keseluruhan 6 bulan jatahnya. Saya harus mulai merindukannya lagi sekarang.

Dua atau hampir tiga bulan yang lalu, saya untuk pertamakalinya diantar ke kost saya di daerah Sagan. Waktu itu saya berdua dengan ayah saya yang hendak berkunjung ke rumah mbah saya sambil mengantar saya test toefl dan TPA. Cuacanya mendung. Bagi sebagian orang mungkin cantik dan romantis, tapi buat saya nggak. Hujan itu gloomy.

Berangkat dari Wonosari setelah sehari menghabiskan waktu untuk beristirahat disana setelah menempuh semalaman penuh perjalanan dari Bekasi, kami sampai di Jogja hampir sore hari. Di dalam bis hujan deras, beruntung segera reda mendekati kami turun. Bisnya berhenti di depan sebuah rumah sakit katolik ketika gerimis masih menderai malu-malu. Saya turun dari bis, entah dengan kaki kiri atau kanan, dan pertama kalinya memijak sebuah tanah yang samasekali tak saya kenal tapi harus saya tinggali dalam waktu cukup lama sekitar sebulan setelahnya.

Lampu-lampu mulai dinyalakan karena mendung membuat malam menyergap agak lebih terburu-buru. Gerimis masih menderai, menghujam genangan-genangan air di jalanan. Sepatu yang saya kenakan basah, udaranya lembab, orang-orang dan tempat disini semuanya asing. Tak ada yang menyenangkan samasekali selain pengumuman baru-baru ini kalau saya diterima di sebuah universitas keren yang memang saya impikan. UGM.

Sekarang, dua hampir tiga bulan setelah hari mendung itu, hujan kembali tiba. Membawa serta kelam, remang, dingin dan muram atmosfernya kembali. Saya sudah cukup beradaptasi. Saya tak keberatan dengan udara panas di pertengahan bulan ini yang banyak dikeluhkan orang-orang, saya justru lebih menyukainya daripada hujan.

Kamar kos saya terletak di pojok atas belakang, sehingga melongok langit pun buat saya masih perlu perjuangan. Ketika pada akhirnya saya memutuskan untuk berangkat kuliah tadi ternyata gerimis sudah mendahului. Tapi apa boleh dikata, saya dengan pikiran pendek yang biasanya akhirnya memilih untuk menerjang gerimis, mencoba untuk terbuka dan lebih bersikap ramah padanya.

Di jalan, saya cukup memperhatikan sekitar. Baru gerimis, tapi orang yang lalu lalang dengan kendaraan mereka sudah bermantel, nyaris seluruh becak baik yang sedang menanti pelanggan maupun yang berjalan sudah menutup kerainya, dan suster-suster panti rapih jalan tergesa-gesa dengan payung mereka. Satu interpretasi kemudian muncul di benak saya; orang Jogja sedemikian takut hujan rupanya. 

Ketika akhirnya hujan menderas, saya baru menyerah. Tapi level saya tentu masih jauh diatas orang Jogja. Saya berteduh di bawah gapura depan UGM. Selama sekitar 15 menit, sampai hujan tak benar-benar reda tapi cukup berkurang intensitasnya. Gerimisnya lebih parah dari yang awal saya berangkat tadi, tapi saya tetap konyol dan melanjutkan perjalanan kaki saya. Hingga hujannya menderas lagi, tapi tak ada tempat berteduh yang cukup nyaman bagi saya. Dalam hal ini saya cukup konservatif untuk menolak tawaran orang-orang untuk berteduh. "Sedikit lagi," pikir saya.

Saya memasuki FIB dari parkir selatan, berusaha meraih atap yang terdekat karena saya mulai merasa kalau pakaian saya basah cukup parah. Dengan insting yang membimbing saya, akhirnya saya mendapati diri saya sudah di lantai 2 gedung Margono. Dengan pakaian setengah basah, saya masuk ke ruang multimedia, tempat kelas akan berlangsung sekitar satu jam setelahnya.

Kronologis, gamblang, dan demikian deskriptif, tapi saya rasa saya tak perlu melanjutkannya dengan gaya yang sama untuk saat-saat setelahnya.

Beginilah rutinitas saya di kota yang masih asing ini. Meski ia sudah membuka dirinya pada saya, masih belum seratus persen saya menyerahkan kepercayaan saya. Karena jika seratus persen, saya tak pernah merasa nyaman di Cikarang lagi. Itulah kiranya, analogi yang membawa saya menemukan kemungkinan bahwasanya manusia memang hanya bisa terbiasa pada satu atmosfer saja. Itulah mengapa untuk mengimbangi kerumpangan itu, Tuhan memberi kemampuan sangat tinggi bagi manusia untuk beradaptasi.

Perihal kota industri nun di jauh sana itu, saya agak bingung. 17 tahun saya lahir dan tumbuh, juga menyendiri disana kecuali dengan cinta pertama yang mulai membuat saya menyadari perbedaan ekstrim antara imajinasi dan kenyataan. 17 tahun bayangkan! Sampai-sampai saya berhijrah kemari tanpa bekal yang cukup baik mengenai hal semacam itu. Saya bahkan pernah mendekati apatis terhadap kisah semacam itu dalam hidup saya, dan berpura-pura tegar kalau tanpa mereka pun hidup saya masih memiliki probabilitas besar untuk bahagia.

Tapi disini, segalanya entah kenapa berbeda sekali. Atmosfer kota yang seratus delapan puluh derajat berbeda mungkin yang membuat kisah hidup saya juga berjalan sangat berbeda. Ketika di Cikarang semuanya seolah impossible, tapi disini imajinasi-imajinasi gila itu mendekat ke permukaan bumi. Menyentuh dan hampir melewati tapal batas antara kenyataan dan yang bukan.

Dari seorang yang selama ini berada dalam penantian saya yang di kota ini seolah memberi saya harapan baru. Lalu ada orang baru yang agresif, terlalu saya pikir, dan saya sudah cukup menghindarinya. Sampai satu tokoh baru lagi yang brought me an everlasting hapiness. Dalam tiga bulanan saja, tiga orang itu serta merta muncul dan membuat saya terkaget-kaget. Saya belum pernah menghadapi kasus serupa disana, dan ini semua membuat saya kerap kali harus bingung.

Semalam, saya berdiskusi mendalam dengan seorang psikolog (calon sih, tapi amin) haha. Dia yang tak lain adalah kolega saya dalam suka duka yang sudah saya gondeli selama 5 tahunan ini, memberi saya masukan-masukan berharga. Ia bahkan sempat memuji kebingungan mendalam saya ini sebagai sebuah langkah anggun. Ah, entahlah. Mungkin definisinya bagi seorang psikolog dan sejarawan berbeda.

Saya amat terbuka pada 'ibu kedua' saya ini, dan semalam saya menceritakan semuanya. Tentang orang kedua dan tokoh baru. Ada liquid hangat yang mengalir di dada saya ketika saya menerima pesannya yang menyarankan untuk tetap menepi di pinggiran dermaga, bersama dengan seorang pembuat kapal yang menerbangkan pesawat kertas di sela-sela kerja beratnya, dan melihat bagaimana pesawat-pesawat kertas itu meluncur berani tanpa pengamanan dan amunisi. Seorang eksentrik yang luar biasa menyenangkan, yang membuat saya mengerti makna kebebasan, seperti pesawat-pesawat kertas yang diterbangkannya, yang sepenuhnya menyerahkan diri pada angin, melupakan bahaya, melepas segala sakit dan ketakutan demi kebahagiaan dan sensasi yang tiada berakhirnya.

Bulan terlalu samar, pelaut itu hanya seorang bajak laut egois, tapi ketika saya merambah tepian, si pembuat kapal itu mengenalkan saya pada perasaan senang. Tak seindah bahagia memang, tapi dengan senang, segala pedih bisa terlupakan. Bahagia yang amat tinggi maknanya kadangkala hanya bisa terkatakan tanpa tersentuh, tapi senang sangat sederhana. Anak-anak tak merasa bahagia, tapi mereka senang. Kami berbincang di tepi dermaga seperti mereka, melupakan kepedihan, menyerahkan diri pada angin dan memilih untuk senang ketika tawa kami lepas bersama pesawat kertas yang makin tinggi mengudara.




Aku harap, hujan tak menghancurkannya. Aku harap, ia bisa terus bersua dengan angin yang dicintainya. Aku harap, pesawat itu akan berbahagia di atas sana, meski tanpa harus melupa suka duka yang pernah ia kecap di bumi sebelumnya.

Semoga.



Monday, October 28, 2013

Dark Colors

Ada 4 soal ujian tengah semester take home yang masih menunggu untuk saya kerjakan, tapi sulit untuk menahan diri untuk tidak memilih menganulir mereka sejenak dan menumpahkan segalanya disini, di dimensi dimana saya adalah saya, dari perspektif manapun dengan segala kejujuran.

Lagi-lagi aku terlibat dalam peliknya masalah semacam ini. Aku menyadari satu kesalahan, berjalan meninggalkan satu kisah lama, dan terperangkap dalam satu kesemuan baru. Meski sebenarnya, untuk yang terakhir, aku tak ingin lekas mengambil keputusan maupun sekedar spekulasi. Ketika semuanya mungkin saja meleset nanti, ah, itu pasti sangat menyakitkan. Dalam detik detik yang berada dekat dengan yang kupijak sekarang, silence is golden. Aku membiarkannya mengalir dengan ritme yang menenangkan dan menyenangkan, hingga suatu saat nanti, kisah indah ini mungkin saja membawaku pada samudera yang sama dengan tempatnya bermuara dimana kami bisa lebih saling menyelami dalam kebersahajaan.


Aku hanya sempat terkejut beberapa mikro sekon, dan selama itu anda berada disana. Tolong, aku tak suka berada dalam pengaruh yang cenderung memobilisasi. I'd love to be free. Aku tak menyelami dunia semacam ini hanya untuk diikat oleh peraturan baru. Aku ingin menemukan jiwa lain untuk berbagi, kebahagiaan baru, yang menjawab harapanku, yang membuatku dibahagiakan tanpa harus merelakan diri terluka demi membahagiakan terlebih dahulu. 


Suka atau tidak, aku tinggal di dunia dimana standar kesempurnaan berada pada equibilium ideal antara baik dan buruk. Di dunia, baik tak akan pernah ada tanpa buruk, begitupun bahagia tanpa terluka. Seseorang yang bediri dalam garis kehidupan siap diombang-ambingkan takdir, dan diharuskan untuk selalu memilih bagaimana ia akan melanjutkan garisnya kemudian, begitupun aku, dan mungkin anda.


Menyakitkan untuk mengetahui apa yang tak ingin kita ketahui, sedih ketika apa yang kita inginkan tak benar-benar terjadi. Tapi aku percaya kemudian, semakin banyak aku merasakan sakit, maka semakin besar kebahagiaan yang menantiku di depan sana. I'll always do my best to be happy. 





Dark colors have the true beauty: provide as much without ask for too much.





Tuesday, October 22, 2013

One Half

Well, lagu ini sangat memorable, entah itu dulu maupun sekarang. Itulah mengapa, saya yang nota bene langka banget posting lyric bisa kepikiran dan lantas kepincut untuk berbuat begini. 


ONE HALF-Kawamoto Makoto
Ost. Rurouni Kenshin



Senaka ni mimi wo tsukete dakishimeta
kyoukaisen mitai na karada ga jama da ne 
dokka ichai-sou na no sa

damatte'ru to chigire-sou dakara, konna kimochi
hankei san ME-TORU inai no sekai de motto
motto hittsuitetai no sa

kawaribanko de PEDARU wo koide
ojigi no himawari toorikoshite
gungun kaze wo nomikonde, sou tobe-sou jan
hajimete kanjita kimi no taion
dare yori mo tsuyoku naritai
attakai RIZUMU
niKO no shinzou ga kuttsuite'ku 

kuchibiru to kuchibiru me to me to te to te 
kami-sama wa nanimo kinshi nanka shitenai
aishite'ru aishite'ru aishite'ru

atashi mada koritenai
otona ja wakan'nai
kurushite setsunakute
misetakute PANKU shichau
soppo mite matte'ru kara
POKKE no mayotte'ru te de 
hoppe ni furete
koishite'ru CHIKARA ni mahou wo kakete

[Instrumental]

itsumo issho ni toomawari shiteta kaerimichi
daidai ga koboreru you na sora ni
nandaka HAPPY & SAD

atashi-tachi tte doushite umareta no,
hanbun da yo ne
hitori de kangaete mo miru kedo
yappa hetappi na no sa

mienaku naru hodo tooku ni
BO-RU wo nagereru tsuyoi kata
urayamashikute otoko no ko ni naritakatta
sunda mizu no you ni yawarakaku
dare yori mo tsuyoku naritai
chiccha na goro mitai
hen ne namida koborete'ku 

kuchibiru to kuchibiru me to me to te to te
onaji mono onaji kanjikata shite'ru no
aishite'ru aishite'ru aishite'ru

atashi mada koritenai
otona ja wakan'nai
todokanai tte iwaretatte
kono mama JANPU shitai
BAIBAI no KISU suru kara
saigo no ippo no kyori
gutte daite
taiyou ga zutto shizumanai you ni

ikko no yuuhi potsun to futari de mite'ta
kirei dake domo sa
nanka ienai ne nanka tarinai ne na no sa 

[Instrumental]

NOSUTORADAMUSU ga yogen shita toori
kono hoshi ga 
bakuhatsu suru hi wa hitotsu ni naritai
attakai RIZUMU
niko no shinzou ga kuttsuite'ku

kuchibiru to kuchibiru, me to me to te to te
kami-sama wa nanimo kinshi nanka shitenai
aishite'ru aishite'ru aishite'ru

atashi mada koritenai
otona ja wakan'nai
kuyashikute setsunakute
misetakute PANKU shichau
soppo mite matte'ru kara
POKKE no mayotte'ru te de
hoppe ni furete
koishite'ru CHIKARA ni mahou wo kakete
taiyou ga zutto shizumanai you ni


English Translation

I put my ear against your back and held you.
My body is kind of like a borderline, a hinderance. 
It's as if you're going to go somewhere.

But if I keep them in, such feelings will tear me apart.
I want to get closer and closer [to you]
in a world that's no more than 3 meters away from you.

Taking turns pumping the pedals
Passing over bowing sunflowers
Taking in the steady wind, yeah, as if we could fly.
For the first time, I felt your heat.
I want to be stronger than anyone else!
With warm rhythm
Two hearts beating as one 

Lip to lip, eye to eye, hand in hand. 
God doesn't forbid anything at all.
I love you. I love you. I love you.

I haven't learned my lesson yet;
but an adult wouldn't understand.
It's painful and distressing,
wanting to show you my feelings; feels like I'm gonna burst.
I'm looking the other way, waiting, so
take the hand that's hesitating in your pocket 
and touch my cheek.
Put a spell on me with loving power.

[Instrumental]

We always took the long way home together.
The sky seeming to overflow bitter orange
Sort of happy & sad

Why were "we" born?
We're 1/2 of each other, right?
I try thinking by myself, but

as I expected I'm not very good at it.
I envied the strong person who was able to throw
a ball so far that it went out of sight,
and wanted to become a boy.
Softly, like calm water
I want to be stronger than anyone else!
Like when I was small
Isn't it strange, my tears are falling 

Lip to lip, eye to eye, hand in hand.
The same entity, feeling the same thing.
I love you. I love you. I love you.

I haven't learned my lesson yet;
but an adult wouldn't understand.
Even though I was told I wouldn't be able to reach,
right now, I just want to jump!

I'll give you a bye-bye kiss,
the distance of the final step,
so hold me even more,
as if to keep the sun from setting.

[Instrumental]

We watched the lone sun setting together, just the 2 of us.
It was absolutely beautiful.
It's just somehow I can't say it, somehow it's not enough. 

[Instrumental]

On the day when this world explodes, 
just like Nostradamus predicted,
I want to become one with you!

With warm rhythm
Two hearts beating as one

Lip to lip, eye to eye, hand in hand
God doesn't forbid anything at all.
I love you. I love you. I love you.

I haven't learned my lesson yet;
but an adult wouldn't understand.
It's frustrating and distressing,

wanting to show you my feelings; feels like I'm gonna burst.
I'm looking the other way, waiting, so
take the hand that's hesitating in your pocket
and touch my cheek.
Put a spell on me with loving power,
as if to keep the sun from setting.


Thursday, October 03, 2013

Jangan Bangunkan Aku Sampai Pagi

Aku tak melihatmu lagi
Kupikir enyah sudah segala
Ternyata kau ada, sedikit menjauh tapi masih bisa kuterka
Eksistensimu masih bisa kuhirup lega

Emosi bermain di panggung hitam putih
Aku tak mengerti manusia
Bagaimana mereka dihidupkan, hidup, dan dibuat pergi darinya jauh-jauh
Sebagaimana aku tak mengerti akar
dari bunga yang kini tumbuh di pekarangan kalbuku

Kau tak pernah menyiramnya, aku tahu
Tapi disanalah oksigenmu menyinambungkan hidupnya lagi dan lagi
Candu atau mati
Seperti itulah korelasi mereka bermula dan berakhir

Sampai pagi,
Sampai tingkap menyisir cahaya mentari
Kau bermain dalam teater mimpi-mimpiku
Aku ingin menikmatinya hingga usai, maka jangan bangunkan aku

Wangi pun itu, elok pun itu, jangan bangunkan aku
Karena mimpi ini hanya sekumpulan camar yang migrasi di sore hari
Bukan balon-balon gas dengan tali

Jangan bangunkan aku sampai pagi.







30/s’13