Trending Topics

.

.

Friday, December 07, 2012

Romansa



Cinta. Uh, rasanya aku yang sempat mengagung-agungkan kata itu kini tak lagi bisa berkutik terhadapnya. Seketika saja lidahku kelu apabila mengujarnya, padahal ada masanya dimana aku mengucapkannya dengan penuh pengharapan dan kekaguman di waktu yang lalu, samasekali tanpa beban. Jangan salahkan aku kalau kini kepercayaanku kepadanya menurun. Yah, bagaimanapun ini buah dari rasa kecewa. Kecewa soal bagaimana apa yang selama tiga tahun lebih berlayar dengan indahnya, kandas begitu saja tanpa badai maupun angin yang mendera, menyedihkan.

Ketika aku masih menjadi seorang penikmat cinta yang murni terhadapmu, yang betul bisa merasakan manis yang luar biasa seduktif ditengah pedih yang menguar membabi-buta, aku mendapatkan banyak inspirasi gila. Terdengar menyedihkan tapi sekarang aku merasa jauh lebih menyedihkan, kini aku menggilai tulisan-tulisanku, testimoni-testimoniku ketika aku masih gila soal cinta dan dirimu. Jarang, di hari hari yang sekarang, aku punya semangat yang luar biasa soal sesuatu, atau sebut saja passion. Sesuatu yang sesungguhnya tak pernah beranjak dari relung-relung jiwaku ketika aku masih secara penuh mencintaimu. Sulit bagiku kini untuk menghasilkan karya yang ‘bernyawa’ dan membuatku puas terhadapnya sebagaimana dulu.

Cinta adalah inspirasi, dan karena kedudukannya yang sefundamental itulah ia tak hanya datang dan menguar dari satu celah. Cinta bisa datang dari mana saja, dari sisi manapun di sekelilingmu. Namun cinta yang menembus titik lemah tepat di lubuk terdalam hatimulah, satu-satunya yang membuatmu jatuh lemas, bertekuk lutut tak berdaya, dan menjadi gila seketika. Cinta semacam itulah yang membuatku rindu ditengah cinta-cinta lain yang sesungguhnya masih dan akan selalu memberkati hidupku. Meski terkadang cinta yang semacam itu yang justru berupa toxic yang luar biasa mematikan, kejam dan sarkastik.

Bicara soal cinta yang kejam, aku kenal seseorang yang juga menjadi korban dari kekejamannya. Atau sebenarnya aku tak hanya kenal satu orang semacam ini, tapi orang ini yang akan kuceritakan kisahnya yang pertama kali.

Tokoh utama dari kisah ini adalah seorang pemuda kampung yang tinggal di sebuah desa yang terbaring damai dinaungi bayangan tinggi salah satu gunung di Jawa Tengah. Ia tercatat sebagai seorang siswa di sebuah Madrasah Tsanawiyah ketika ia menemukan cintanya. Seorang gadis dari desa tetangga yang menyita hatinya untuk pertama kalinya.

Aku ingat salah satu paragraf legendaris atas nama Kahlil Gibran yang menerangkan tentang kedudukan cinta pertama bagi seorang pemuda. Mungkin kalian juga ingat, begini bunyinya:

“Setiap laki-laki muda mengingat cinta pertamanya dan berusaha untuk menangkap kembali saat-saat aneh itu, kenangan yang mengubah lubuk hatinya, dan membuatnya menjadi bahagia tanpa memedulikan seluruh kepahitan dan kesengsaraan.”

Familiar kan? Ya. Dan bukan hanya familiar, tapi juga betul mengena. Karena meski aku bukan seorang laki-laki yang pada hakikatnya merasakan sendiri pengalaman ini, aku sering dengar soal ini. Soal bagaimana seorang laki-laki mengagungkan cinta pertamanya, bahkan lebih dari cinta yang menemani mereka menghabiskan hidupnya. Kejam? Ya. Teruntuk para perempuan, dari satu sudut pandang ini memang kejam. Karena seorang perempuan akan menempatkan cinta sejatinya pada titik keagungan tertinggi di hatinya dan bersedia melupakan cinta pertama mereka untuk laki-laki yang akan ia cintai seumur hidupnya, tapi laki-laki yang ia sembahkan singgasana itu, belum tentu bakal menempatkannya pada posisi yang sama di hatinya.

Usia remaja yang menaungi hubungan berlandaskan sesuatu bernama cinta bagi mereka itu berlangsung dengan cepat ketika tak sekalipun mereka memaksanya untuk berjalan cepat, hingga tiba saatnya si pemuda itu lulus dari Tsanawiyah dan memutuskan untuk bekerja di sebuah pabrik roti di kota. Semasa mendulang pengalaman di kota, pemuda yang berniat melanjutkan sekolahnya tahun depan itu tetap menjaga ikatan semunya bersama cinta pertamanya yang sudah putus sekolah kala itu. Namun kehidupan di desa, bersama tata adatnya yang kolot dan serba mengikat tak serta merta mengizinkan hal itu.

Di tahun yang selanjutnya, dengan menagih janji orang tuanya, pemuda itu kembali melanjutkan sekolahnya ke tingkat madrasah aliyah. Dan di saat yang sama ketika ia sedang memulai untuk menata masa depannya ke arah yang lebih baik untuk kelak ia isi bersama cintanya, gadis yang ia cintai menjauh dan tak kunjung mengabari. Meski demikian asa meluap luap dan tak berlandaskan si pemuda tak juga padam.

Si pemuda kemudian lulus dan merantau ke ibukota. Ia mendapatkan sebuah pekerjaan yang lumayan baik. Asanya mengembang kala ia kembali ke desanya untuk menyampaikan berkas cahaya surga yang menjatuhkan berkat padanya ini kepada cintanya yang ia kira setia menunggu, namun dunia yang indah seketika terasa ribuan kali lipat lebih kejam dari neraka. Ia kembali, dan gadisnya sudah tidak ada lagi. Pemuda itu berharap menemuinya, tapi yang ia temui tak lain justru sosok gadis itu dalam keadaan mengandung dan diperisteri orang.

Boleh jadi hatinya hancur berkeping-keping, remuk, dan terbang tinggi-tinggi hingga rasanya ia tidak lagi punya hati. Setelah hari itu kepercayaannya pada cinta dan wanita—dua hal yang semula ia agungkan karena begitu apik memperindah hidupnya— kini runtuh tak bersisa. Seketika dunianya berubah kejam dilihat dari sisi manapun, dan pribadinya yang semula lembut pun menajam. Banyak wanita setelah itu hanya datang padanya untuk ia sakiti dan sakiti lagi, tanpa pernah memberi mereka apa yang sebenarnya mereka cari dalam dirinya, cinta, karena cintanya sudah tersimpan rapi dalam sebuah peti tanpa kunci teruntuk gadisnya yang telah mencampakannya tadi.

Lain lagi kisah tentang seorang gadis di sebuah kota besar. Ia baru lulus SMP ketika harus menelanpil pahit bahwa orang tuanya —dalam keadaan membesarkan 7 orang anak— tidak bisa membiayainya untuk melanjutkan sekolahnya. Jadilah dari desanya ia pergi ke kota, membantu kerabatnya berjualan bakmie jawa.

Kota tempatnya bernaung kini harum sebagai kota pelajar. Disana banyak perguruan tinggi-perguruan tinggi terbaik berdiri, dan orang-orang dari seluruh negeri datang ke kota itu untuk menghampiri ilmu. Sungguh sebuah sarkasme ketika ia yang terbilang tak berpendidikan tinggi harus berhimpitan dengan orang-orang semacam itu.

Suatu hari, seorang pelanggan mengetuk gerobak bakmienya dan mengaku lapar di malam hari. Hari itu juga, gadis muda itu merasakan secercah perasaan yang hangat dan menenangkan lewat tanpa permisi di hatinya yang sunyi dan penuh kekecewaan. Sejak malam itu, pelanggan yang ternyata seorang mahasiswa dakwah itu mendatangi warung bakmie tempatnya bekerja setiap hari, bertatapan bahkan berbincang dengannya, membuat kian hari kedudukan dari lelaki mahasiswa itu semakin tinggi di hatinya.

Ia sadar itu perasaan yang asing, dan bisa jadi itulah cinta. Oleh karenanya ia yang tak siap sakit hati kemudian menarik diri. Ia tak ingin terlalu jauh bermimpi dan terjatuh dengan kejam nantinya. Ia mengubur cinta pertamanya dalam pesimisasi karena nyatanya jurang yang membatasi personalitas dirinya dan pangerannya memang terlampau kejam untuk diseberangi.

Dua kisah lain tokoh yang agaknya sama-sama kejam namun siapa yang tahu bahwa tragisme yang menaungi hari-hari muda mereka membawa mereka pada sebuah takdir yang cukup membahagiakan. Suatu ketika datang hari bagi mereka dimana mereka menemukan sang perubah orientasi persepsi mereka yang terlanjur menghakimi dunia karena kekecewaan mereka yang berlarut-larut. Dua orang malang tadi kemudian dipertemukan di bawah mesin-mesin pengolah kertas raksasa, di jam istirahat, dimana petunjuk-petunjuk takdir akhirnya membawa mereka untuk saling mengetahui, dan mengenal lebih jauh lagi hingga akhirnya saling mengubah persepsi dan menaruh harap pada tatanan dunia yang baru. Menggantungkan pesimisasi hanya dalam masa lalu.

Bertahun tahun sudah berlalu dan kisah itu mengusang dalam batu. Sang gadis mungkin sudah lupa tapi entah dengan prianya. Dalam hati seorang lelaki, dari penuturan perempuan itu sendiri, adalah lautan yang luar biasa dalam dan tenang. Tak sedikitpun riak nampak meski gunung api bawah laut di dalamnya bererupsi, dan itulah sulitnya. Sekarang perempuan itu hanya fokus untuk menikmati hidupnya, mencintai pria itu sepenuhnya dan membesarkan anak-anak mereka. Ia, sejauh yang perempuan itu ketahui adalah pria yang luar biasa baik dan setia. Tak peduli masa lalu apapun yang melatar belakanginya yang ada sekarang adalah dia mencintai pria itu, ayah dari anak-anaknya, lebih dan lebih dalam dibanding cinta pertamanya yang tragis dan hanya memberikan tak lebih dari sekedar kebahagiaan emosi yang semu.

Mereka mengajarkan pandangan hidup bawa cinta adalah soal menerima. Mereka membuka pikiranku soal bagaimana indahnya dunia ketika kita melihatnya tanpa kacamata penilaian dan pembanding, ketika kita melihatnya sebagai suatu hal tunggal, dimana segala macam keindahan didalamnya juga tunggal dalam sisinya masing-masing, tak berbanding, sehingga mereka memiliki keindahan dan eksentrikme mereka sendiri-sendiri. Ketika kita menerima dengan ikhlas, apa yang ada dihadapan kita tak lain adalah apa yang sesungguhnya terbaik dan terindah.

Kalau aku boleh mengaku, lelaki dan perempuan beruntung yang lahir dari kemalangan itu adalah mereka, orang tuaku sendiri, bapak dan ibuku yang sama-sama tak beruntung soal cinta pertama tapi kini bahagia dengan cinta sejatinya. Maka karenanya, cinta pertamaku yang menguap dan mengarang dalam hitam cukup hanya sebagai kenangan, karena nanti akan tiba ketika aku akan menemukan yang jauh lebih indah, yang membuat orang tuaku bahagia dengan kisah mereka, cinta yang hakiki, sejati, hingga nanti. Kekejaman dunia lah yang terkadang membuatnya terlihat indah dan berkilauan, kalau boleh aku bilang.


Daughter of love, 6-12-12

No comments:

Post a Comment