Cinta. Uh, rasanya aku yang sempat
mengagung-agungkan kata itu kini tak lagi bisa berkutik terhadapnya. Seketika
saja lidahku kelu apabila mengujarnya, padahal ada masanya dimana aku
mengucapkannya dengan penuh pengharapan dan kekaguman di waktu yang lalu,
samasekali tanpa beban. Jangan salahkan aku kalau kini kepercayaanku kepadanya
menurun. Yah, bagaimanapun ini buah dari rasa kecewa. Kecewa soal bagaimana apa
yang selama tiga tahun lebih berlayar dengan indahnya, kandas begitu saja tanpa
badai maupun angin yang mendera, menyedihkan.
Ketika aku masih menjadi seorang
penikmat cinta yang murni terhadapmu, yang betul bisa merasakan manis yang luar
biasa seduktif ditengah pedih yang menguar membabi-buta, aku mendapatkan banyak
inspirasi gila. Terdengar menyedihkan tapi sekarang aku merasa jauh lebih
menyedihkan, kini aku menggilai tulisan-tulisanku, testimoni-testimoniku ketika
aku masih gila soal cinta dan dirimu. Jarang, di hari hari yang sekarang, aku
punya semangat yang luar biasa soal sesuatu, atau sebut saja passion. Sesuatu yang sesungguhnya tak
pernah beranjak dari relung-relung jiwaku ketika aku masih secara penuh
mencintaimu. Sulit bagiku kini untuk menghasilkan karya yang ‘bernyawa’ dan
membuatku puas terhadapnya sebagaimana dulu.
Cinta adalah inspirasi, dan karena
kedudukannya yang sefundamental itulah ia tak hanya datang dan menguar dari
satu celah. Cinta bisa datang dari mana saja, dari sisi manapun di
sekelilingmu. Namun cinta yang menembus titik lemah tepat di lubuk terdalam
hatimulah, satu-satunya yang membuatmu jatuh lemas, bertekuk lutut tak berdaya,
dan menjadi gila seketika. Cinta semacam itulah yang membuatku rindu ditengah
cinta-cinta lain yang sesungguhnya masih dan akan selalu memberkati hidupku.
Meski terkadang cinta yang semacam itu yang justru berupa toxic yang luar biasa
mematikan, kejam dan sarkastik.
Bicara soal cinta yang kejam, aku
kenal seseorang yang juga menjadi korban dari kekejamannya. Atau sebenarnya aku
tak hanya kenal satu orang semacam ini, tapi orang ini yang akan kuceritakan
kisahnya yang pertama kali.
Tokoh utama dari kisah ini adalah
seorang pemuda kampung yang tinggal di sebuah desa yang terbaring damai
dinaungi bayangan tinggi salah satu gunung di Jawa Tengah. Ia tercatat sebagai
seorang siswa di sebuah Madrasah Tsanawiyah ketika ia menemukan cintanya.
Seorang gadis dari desa tetangga yang menyita hatinya untuk pertama kalinya.
Aku ingat salah satu paragraf
legendaris atas nama Kahlil Gibran yang menerangkan tentang kedudukan cinta
pertama bagi seorang pemuda. Mungkin kalian juga ingat, begini bunyinya:
“Setiap laki-laki muda mengingat cinta pertamanya dan berusaha untuk
menangkap kembali saat-saat aneh itu, kenangan yang mengubah lubuk hatinya, dan
membuatnya menjadi bahagia tanpa memedulikan seluruh kepahitan dan
kesengsaraan.”
Familiar kan? Ya. Dan bukan hanya
familiar, tapi juga betul mengena. Karena meski aku bukan seorang laki-laki
yang pada hakikatnya merasakan sendiri pengalaman ini, aku sering dengar soal
ini. Soal bagaimana seorang laki-laki mengagungkan cinta pertamanya, bahkan
lebih dari cinta yang menemani mereka menghabiskan hidupnya. Kejam? Ya. Teruntuk
para perempuan, dari satu sudut pandang ini memang kejam. Karena seorang
perempuan akan menempatkan cinta sejatinya pada titik keagungan tertinggi di
hatinya dan bersedia melupakan cinta pertama mereka untuk laki-laki yang akan
ia cintai seumur hidupnya, tapi laki-laki yang ia sembahkan singgasana itu,
belum tentu bakal menempatkannya pada posisi yang sama di hatinya.
Usia remaja yang menaungi hubungan
berlandaskan sesuatu bernama cinta bagi mereka itu berlangsung dengan cepat
ketika tak sekalipun mereka memaksanya untuk berjalan cepat, hingga tiba
saatnya si pemuda itu lulus dari Tsanawiyah dan memutuskan untuk bekerja di
sebuah pabrik roti di kota. Semasa mendulang pengalaman di kota, pemuda yang
berniat melanjutkan sekolahnya tahun depan itu tetap menjaga ikatan semunya
bersama cinta pertamanya yang sudah putus sekolah kala itu. Namun kehidupan di
desa, bersama tata adatnya yang kolot dan serba mengikat tak serta merta
mengizinkan hal itu.
Di tahun yang selanjutnya, dengan
menagih janji orang tuanya, pemuda itu kembali melanjutkan sekolahnya ke
tingkat madrasah aliyah. Dan di saat yang sama ketika ia sedang memulai untuk
menata masa depannya ke arah yang lebih baik untuk kelak ia isi bersama
cintanya, gadis yang ia cintai menjauh dan tak kunjung mengabari. Meski
demikian asa meluap luap dan tak berlandaskan si pemuda tak juga padam.
Si pemuda kemudian lulus dan
merantau ke ibukota. Ia mendapatkan sebuah pekerjaan yang lumayan baik. Asanya
mengembang kala ia kembali ke desanya untuk menyampaikan berkas cahaya surga
yang menjatuhkan berkat padanya ini kepada cintanya yang ia kira setia
menunggu, namun dunia yang indah seketika terasa ribuan kali lipat lebih kejam
dari neraka. Ia kembali, dan gadisnya sudah tidak ada lagi. Pemuda itu berharap
menemuinya, tapi yang ia temui tak lain justru sosok gadis itu dalam keadaan
mengandung dan diperisteri orang.
Boleh jadi hatinya hancur
berkeping-keping, remuk, dan terbang tinggi-tinggi hingga rasanya ia tidak lagi
punya hati. Setelah hari itu kepercayaannya pada cinta dan wanita—dua hal yang
semula ia agungkan karena begitu apik memperindah hidupnya— kini runtuh tak
bersisa. Seketika dunianya berubah kejam dilihat dari sisi manapun, dan
pribadinya yang semula lembut pun menajam. Banyak wanita setelah itu hanya
datang padanya untuk ia sakiti dan sakiti lagi, tanpa pernah memberi mereka apa
yang sebenarnya mereka cari dalam dirinya, cinta, karena cintanya sudah tersimpan
rapi dalam sebuah peti tanpa kunci teruntuk gadisnya yang telah mencampakannya
tadi.
Lain lagi kisah tentang seorang
gadis di sebuah kota besar. Ia baru lulus SMP ketika harus menelanpil pahit
bahwa orang tuanya —dalam keadaan membesarkan 7 orang anak— tidak bisa
membiayainya untuk melanjutkan sekolahnya. Jadilah dari desanya ia pergi ke
kota, membantu kerabatnya berjualan bakmie jawa.
Kota tempatnya bernaung kini harum
sebagai kota pelajar. Disana banyak perguruan tinggi-perguruan tinggi terbaik
berdiri, dan orang-orang dari seluruh negeri datang ke kota itu untuk
menghampiri ilmu. Sungguh sebuah sarkasme ketika ia yang terbilang tak
berpendidikan tinggi harus berhimpitan dengan orang-orang semacam itu.
Suatu hari, seorang pelanggan
mengetuk gerobak bakmienya dan mengaku lapar di malam hari. Hari itu juga,
gadis muda itu merasakan secercah perasaan yang hangat dan menenangkan lewat
tanpa permisi di hatinya yang sunyi dan penuh kekecewaan. Sejak malam itu,
pelanggan yang ternyata seorang mahasiswa dakwah itu mendatangi warung bakmie
tempatnya bekerja setiap hari, bertatapan bahkan berbincang dengannya, membuat
kian hari kedudukan dari lelaki mahasiswa itu semakin tinggi di hatinya.
Ia sadar itu perasaan yang asing,
dan bisa jadi itulah cinta. Oleh karenanya ia yang tak siap sakit hati kemudian
menarik diri. Ia tak ingin terlalu jauh bermimpi dan terjatuh dengan kejam
nantinya. Ia mengubur cinta pertamanya dalam pesimisasi karena nyatanya jurang
yang membatasi personalitas dirinya dan pangerannya memang terlampau kejam
untuk diseberangi.
Dua kisah lain tokoh yang agaknya
sama-sama kejam namun siapa yang tahu bahwa tragisme yang menaungi hari-hari
muda mereka membawa mereka pada sebuah takdir yang cukup membahagiakan. Suatu
ketika datang hari bagi mereka dimana mereka menemukan sang perubah orientasi
persepsi mereka yang terlanjur menghakimi dunia karena kekecewaan mereka yang
berlarut-larut. Dua orang malang tadi kemudian dipertemukan di bawah
mesin-mesin pengolah kertas raksasa, di jam istirahat, dimana petunjuk-petunjuk
takdir akhirnya membawa mereka untuk saling mengetahui, dan mengenal lebih jauh
lagi hingga akhirnya saling mengubah persepsi dan menaruh harap pada tatanan
dunia yang baru. Menggantungkan pesimisasi hanya dalam masa lalu.
Bertahun tahun sudah berlalu dan
kisah itu mengusang dalam batu. Sang gadis mungkin sudah lupa tapi entah dengan
prianya. Dalam hati seorang lelaki, dari penuturan perempuan itu sendiri,
adalah lautan yang luar biasa dalam dan tenang. Tak sedikitpun riak nampak
meski gunung api bawah laut di dalamnya bererupsi, dan itulah sulitnya.
Sekarang perempuan itu hanya fokus untuk menikmati hidupnya, mencintai pria itu
sepenuhnya dan membesarkan anak-anak mereka. Ia, sejauh yang perempuan itu
ketahui adalah pria yang luar biasa baik dan setia. Tak peduli masa lalu apapun
yang melatar belakanginya yang ada sekarang adalah dia mencintai pria itu, ayah
dari anak-anaknya, lebih dan lebih dalam dibanding cinta pertamanya yang tragis
dan hanya memberikan tak lebih dari sekedar kebahagiaan emosi yang semu.
Mereka mengajarkan pandangan hidup
bawa cinta adalah soal menerima. Mereka membuka pikiranku soal bagaimana
indahnya dunia ketika kita melihatnya tanpa kacamata penilaian dan pembanding,
ketika kita melihatnya sebagai suatu hal tunggal, dimana segala macam keindahan
didalamnya juga tunggal dalam sisinya masing-masing, tak berbanding, sehingga
mereka memiliki keindahan dan eksentrikme mereka sendiri-sendiri. Ketika kita
menerima dengan ikhlas, apa yang ada dihadapan kita tak lain adalah apa yang
sesungguhnya terbaik dan terindah.
Kalau aku boleh mengaku, lelaki dan
perempuan beruntung yang lahir dari kemalangan itu adalah mereka, orang tuaku
sendiri, bapak dan ibuku yang sama-sama tak beruntung soal cinta pertama tapi
kini bahagia dengan cinta sejatinya. Maka karenanya, cinta pertamaku yang
menguap dan mengarang dalam hitam cukup hanya sebagai kenangan, karena nanti
akan tiba ketika aku akan menemukan yang jauh lebih indah, yang membuat orang
tuaku bahagia dengan kisah mereka, cinta yang hakiki, sejati, hingga nanti.
Kekejaman dunia lah yang terkadang membuatnya terlihat indah dan berkilauan,
kalau boleh aku bilang.
Daughter of love, 6-12-12
No comments:
Post a Comment