Trending Topics

.

.

Monday, October 29, 2012

Musim Tanpa Warna



Putih untuk musim dingin, merah muda untuk musim semi, biru cerah untuk musim panas, dan oranye untuk musim gugur. Warna-warna tersebut seakan sudah melekat kesannya pada setiap musim yang mereka wakili, tapi untuk musim yang satu ini, aku rasa belum ada warna apapun padanya.

Dari beranda rumahku, ketika waktu menunjukan pukul tiga sore, dan orang-orang di Masjid tengah menanti tibanya ba’da Ashar, aku hanya melakukan hal yang kurang lebihnya sia-sia, menatap langit yang tak berwarna. Kulitku mengembun, bagai daun pisang pembungkus lontong yang baru keluar dari kukusan. Bukan karena kukusan tentunya, tapi sepertinya udara disini pun sudah hampir mirip dengan yang di dalam kukusan. Angin yang berhembus panas dan gersang. Aku bahkan tak percaya kalau diantara partikel yang menyusun angin itu masih ada oksigen, ia hanya membawa debu yang berserakan dimana-mana. Wajar sepertinya, mengingat pohon terakhir yang terdekat dari rumah ini adalah yang di dekat lapangan sana, sekitar dua ratus meter dari sini.

Dalam hati aku mengujar sepatah doa: Ingin rasanya aku lepas dari cengkraman kota ini. Tapi tetap sulit untuk meninggalkan tempat dimana aku menghabiskan setiap detik hidupku sejak dulu. Banyak noktah kenanganku yang tercecer di kota ini. Dan menghadapi kenyataan dengan menyaksikan noktah-noktah itu terhapus perlahan juga bukan opsi yang menyenangkan. Diantara keduanya, aku tak sanggup memilih. Selainpun aku meninggalkan semua noktah itu disini, mereka pasti akan meninggalkanku juga, dan tempat ini suatu hari akan benar-benar asing bagiku.

Dahulu, musim yang kira-kira dinaungi oleh bulan April sampai Oktober ini memiliki warna. Ketika tepat lurus dari halaman rumahku, berselang beberapa petak tanah kosong milik warga, berdiri pepohonan yang ratusan tahun usianya. Dan asal kalian tahu, ketika itu musim ini tak hanya memiliki satu warna tapi semuanya. Birunya langit musim panas, Merah mudanya kekembangan yang merekah, hijau-hijau segar daun-daun yang bersemi, oranye cerah langit sorenya, cahaya matahari yang kemasan dan putih bersih awan-awan yang berarak ringan melintasi horizon yang sedemikian luas benar benar tanpa beban, tanpa sedikitpun noda keabuan yang menandakan suram.

Udara disini tak seperti di dalam kukusan, tapi lebih, lebih sejuk dari yang di dalam lemari pendingin atau ruangan ber-AC bahkan. Matahari yang bersinar terik menghangatkan dinginnya udara sejuk tersebut sehingga suhunya jadi benar-benar nyaman. Pagi harinya bising dan semarak. Bukan oleh suara-suara benturan logam, gesekan roda gerigi mesin, atau desingan kendaraan bermotor, melainkan oleh kicau burung, kokok ayam dan suara-suara indah lainnya. Bahkan di siang hari, ketika semua anak yang bermain di luar diminta pulang untuk tidur siang, dan angin yang sepoi-sepoi membuai setiap orang untuk menikmatinya dengan tenang, desir angin bahkan terdengar nyanyiannya. Indah tanpa harus dengan musik genre apapun.
Seiring dengan pertumbuhanku, bergugurannya banyak waktuku yang lalu, banyak pula yang mesti direnggut pergi dariku. Aku masih beruntung mereka bukan orang yang kusayangi, tapi sialnya mereka adalah substansi hidup yang aku cintai. Dimensi waktuku yang lalulah yang pergi seketika dari sini, membuatku tidak kuasa lagi untuk sekedar melongoknya kembali di kemudian hari.

Latar tempat elok sarat warna dari kisah-kisah semasa kecilku digilas rata dengan tanah. Sebagai gantinya, para petinggi di pemerintahan sana, bekerja sama dengan kontraktor dan pihak asing mencanangkan bentuk baru dari penjajahan yang mereka juluki sebagai pembangunan. Pabrik-pabrik raksasa pun berdiri, dikiranya industrialisasi mungkin, tapi bagiku ini tak lebih dari percobaan membunuh negeri sendiri.

Aku pernah dengar cerita soal laba-laba betina yang mencari mangsa untuk tempat anak-anaknya dierami hingga menetas. Ia mencari serangga lain, tak jarang yang lebih besar darinya untuk disuntikan dengan telur-telurnya. Telur-telur itu akan menjadi parasit pada tubuh serangga yang sedianya masih hidup itu. Bakal calon serangga pembunuh itu menggerogoti tubuh serangga inangnya perlahan, hingga ia benar benar mati dan laba-laba kecil itupun bisa lantas merobeknya dan pergi. Mengerikan bukan? Dan akan jauh lebih mengerikan lagi jika kalian menyadari kenyataan bahwa sesungguhnya negara kita ini adalah si serangga inang tadi. Lama kelamaan kita bukan tidak mungkin akan terjajah lagi. Industrialisasi oleh pihak asing ialah telur-telur itu, para iblis-iblis kecil yang tengah menggerogoti kita perlahan lahan, bahkan tanpa kita sadari. Hingga kini kita telah mulai kehilangan banyak hal yang kita punya. Alam asri yang menggersang dan warna-warna semarak pada musim ini yang semakin memudar.

Hijau-nya pepohonan telah terenggut, tergantikan oleh substansi-substansi metal yang muram. Bangunan-bangunan raksasa yang menjulang tinggi telah mempersempit langit yang sedianya luas tak bertepi. Asap keabuan yang mengepul semakin memudarkan warna langit yang mestinya biru cerah jadi kusam. Komponen alam lainnya yang semestinya memadu selaras dengan semuanya kini hilang dengan sendirinya.

Ba’da Ashar berkumandang, diiringi dentangan metal dan suara desing mesin serta percikan kembang api dari kegiatan pengelasan logam yang tak tahu waktu. Tapi inilah musik yang dijanjikan pemerintah untuk mengganti apa yang telah mereka renggut dari kami. Musik yang tak berhenti sepanjang malam atau sepanjang hari, terus mengiringi ritme hidup kami yang semakin rancak oleh futurisasi yang mereka bawa.

Tak salah lagi, dimensi waktu yang lalu memang sudah terlempar terlalu jauh dari titik tempatku berada disini. Dan merupakan sebuah kemustahilan bagiku untuk mendapatkannya kembali. Bagaimanapun ini duniaku, dunia yang sekarang yang dinaungi musim tanpa warna. Sulit untuk membawa warna-warna itu kembali ke asalnya disini, oleh karenanya aku memilih untuk hanya berdiam diri. Selama ingatanku masih kugenggam kurasa warna-warna itu masih bisa kukenali, warna yang membuatku mengenang. Tapi nanti, jikalau entah karena apa ingatan-ingatan itu lantas pergi, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi. Mungkin segalanya akan tetap monokrom seperti ini, baik yang dihadapan mataku, atau jauh di dasar angan dan pikiranku di dalam sana, dimana noktah-noktah yang menyusun secuil dari latar kisah masa kecilku masih dapat kutemui, hingga saat ini.


Semenjak membuat cerpen kilat untuk lomba kemarin, saya mendadak jadi hobi membuat cerpen tanpa tahapam konflik yang kentara seperti ini. Temanya juga tak jauh dari kekecewaan-kekecewaan saya terhadap berbagai hal di sekitar saya, sebenarnya agak melankolis dan justru lebih mirip seperti sebuah testimoni yang persuasif. Tapi ya sudahlah, anggap saja ini cerpen oke? –Yuanita WP-

Catatan 28-29 Oktober '12

Selamat hari Sumpah Pemuda, semuanyaa!!

Nampaknya saya jadi terbiasa membuat tulisan tentang event-event nasional belakangan ini. Yah, sekali lagi karena saya cinta negara ini, dan tentunya saya cinta segala yang spesial untuk saya, termasuk hari ini.

Sebenarnya, diluar peringatan Sumpah Pemuda, hari ini hanya hari minggu biasa yang hendak mengeksekusi habis long weekend yang melanda dan menggantinya segera dengan hari Senin yang kejam. Tapi itu kan sekiranya ini hanya hari Minggu biasa, padahal nyatanya tidak. Tepat dua puluh delapan tahun yang lalu, ada peristiwa maha penting yang terjadi di bumi nusantara ini, terutama untuk kita, regenerasi dari para pemuda-pemuda tangguh yang menyelenggarakan Kongres Pemuda II dan menggalakan persatuan sebangsa dan setanah air kala itu.

Mengapa bangsa kita bisa terjajah oleh Belanda sekian lama? Anak SD pun tahu, setidaknya secara teoritis bahwasanya itu merupakan akibat dari kelengahan kita, ketidak sadaran kita akan sebuah senjata mutakhir yang kita miliki sejak sekian lama. Apa? Bagaimana wujudnya? Pandangi saja orang-orang disekitar anda, maka anda akan temukan begitu banyak warna, momentum tumbukan berbagai dimensi, keberagaman, ketidak seragaman, yang umumnya kita juluki pluralisme.

Pluralisme inilah yang sampai kini belum kita temukan cara pengoptimalan penggunaannya, padahal para pemuda hebat itu sepantasnya telah membuka pola pikir kita terhadapnya. Mereka menemukan dimana senjata mutakhir itu tersembunyi, dan itu sungguhlah merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa. Sejak dahulu, bukan hanya ketika diinangi oleh Belanda, tapi juga kala Indonesia kita ini masih menjadi bumi para Raja, kemudahan untuk diadu domba menjadi salah satu titik kelemahan paling fatal yang kita punya. Sriwijaya, Majapahit, Singasari, Medang Kamulan, dan masih banyak lagi. Boleh saya tanya, apakah kiranya yang membuat kedinastian semegah dan semakmur mereka dapat runtuh? Militer yang lemah? Raja yang kurang cakap dalam memimpin? Tak benar secara menyeluruh, itu hanya sebagian kecilnya saja. Sriwijaya punya angkatan Laut paling mutakhir semasanya, dan Hayam Wuruk merupakan salah satu raja terbaik Majapahit, didampingi Patih paling terkenal sepanjang waktu, Gadjah Mada. Titik kelemahan mereka yang paling mendasar adalah kemudahan untuk diadu domba. Mereka mungkin memiliki solidaritas yang tinggi, tapi hanya dengan lingkup kerajaannya saja, sementara dalam lingkup luas sebentangan nusantara tak hanya berdiri satu kerajaan saja, dan antara satu dengan yang lain selalu muncul persaingan untuk saling mendominasi, mengalahkan, dan menjadi yang terkuat. Itulah kelemahan kita yang sesungguhnya, paham kesukuan yang terlalu chauvinis, menganggap tinggi derajat bangsa sendiri dan merendahkan yang lain. Padahal andai kita sadar kita masih dinaungi oleh akar budaya, masa lalu, serta nenek moyang yang sama, persatuan yang dibubuhi kerukunan serta kesediaan untuk saling mendukung antara pihak-pihak yang terlibat sesungguhnya akan menjadi sebilah pedang maha tajam yang akan dapat menembus benteng manapun setebal apapun. Yang akan membawa bangsa kita sebagai salah satu yang terkuat, yang maju, yang ada di garis terdepan rotasi dan revolusi dunia dari zaman ke zaman.

Setelah sekian lama kita hidup tanpa hakikat persatuan bangsa, setelah sekian lama kita hidup dalam paradigma kesukuan, setelah sekian lama kita melempar pandangan tajam yang intimidatif antar satu kelompok dengan yang lain, setelah terlalu banyak yang kita miliki harus kita relakan pergi, kita akhirnya menemukan sebuah pegangan teguh yang tak lekang oleh gempuran waktu. Apa yang selama ini kita cari, inti dari kekuatan yang sesungguhnya, budaya luhur bangsa kita; persatuan, gotong-royong, telah kita temukan. Dan benar, setelah ratusan tahun kita diadu domba oleh para kaum pendatang, setelah kian banyak sudah hanya menerima pengaruh bangsa lain, setelah ratusan tahun kita dihantui rasa cemas oleh bayang-bayang serangan dari musuh dekat, ancaman perang saudara, akhirnya kita menemukan momentum yang tepat untuk memulai segalanya bersama-sama. Berjuang sebagai kesatuan yang sama, serupa, seragam dari ujung Sabang sampai pelosok Merauke. Dan tak butuh waktu lama hingga ratusan tahun setelahnya, karena pada akhirnya kita hanya butuh beberapa puluh tahun saja untuk mengecap angin merdeka. Sungguh betapa ruginya kita telah membuang waktu sekian lama, padahal jikalau persatuan ini sudah kita temukan sejak lama, bukan tidak mungkin kita tak mengalami penderitaan seberat apa yang pernah kita alami. Sebenarnya bukan membuang waktu juga sih, toh pengalaman soal masa lalu yang pahitlah, yang sama-sama kita alami, yang akhirnya membuat kita menyadari soal persatuan kebangsaan yang sudah waktunya untuk kita bangun bersama. Kita justru merugi jikalau hingga detik ini kita masih dirasuki oleh prinsip kesukuan, jika kita masih menjadi anggota dari kelompok yang chauvinis, jika setelah mengerti apa itu persatuan dan seberapa sulit usaha yang dilakukan untuk membentuknya kita masih kerap berkelahi sesama saudara sebangsa. Sadarilah, para penggemar tawuran, para penggila kerusuhan, para pencari keributan, satu-satunya hal yang menaungi kita semua untuk hidup di tanah yang kita tapaki masing-masing saat ini bukanlah suku, ras, agama, kelompok, klub sepakbola idola, almamater sekolah, atau apapun, melainkan negeri kita, Indonesia. Jadi tak seharusnya kita saling menghina dan menjatuhkan jikalau itu hanya membuat kita menjadi kelompok yang dijatuhkan dan dihina. Kita hidup berdampingan sebagai warga negara Indonesia, yang memiliki harta yang tak ternilai harganya yang bernamakan keberagaman, nenek moyang kita telah mewarisi pedoman yang seharusnya kita pegang teguh hingga saat ini; Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Jikalau kita menyadari betul apa maknanya, dan apa yang harus kita amalkan darinya, kita akan menjadi sebuah kesatuan maha kuat yang Pancasilais dan tak kurang sesuatu apapun untuk menjadi bangsa yang maju.

Hari ini ada yang ingin saya bagi. Banyak stasiun TV swasta yang menayangkan program spesial Sumpah Pemuda. Dari mulai konser akbar yang diiringi orkestra legendaris, sampai ke acara dakwah. Dan dari sekian banyak program itu, saya menikmati beberapa, dan mereka yang saya lihat mendoktrinisasi saya dengan beberapa nilai-nilai yang kiranya sangat bisa diterima dan sejalan dengan apa yang saya pikirkan.

Pertama, saya menonton acara dakwah siang hari di salah satu stasiun TV yang biasa saya dan ayah saya pantengi setiap harinya. Tayangan dakwah itu mengambil setting di sebuah masjid di pondok pesantren dan mengangkat tema soal para pemuda, serta hubungannya pendidikan umum serta pendidikan agama untuk mewujudkan sebuah kesuksesan. Pada hakikatnya pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari unsur pemuda, begitupun sebaliknya.

Di segmen pertama, Kiyai I memulai dakwahnya. Beliau bercerita soal pendidikan umum dan pendidikan agama yang semestinya adalah suatu kesatuan, tapi belakangan malah dipisahkan. Tokoh-tokoh muslim zaman dahulu jugalah para cendekiawan ilmu-ilmu umum yang lebih banyak dikejar orang dibanding ilmu agama sekarang. Sebut saja, Al- Khawarizmi, sang penemu angka nol, atau Ibnu Sina yang matematikawan sekaligus ahli kedokteran. Mereka belajar tak lain dan tak bukan dari esensi kitab kita, kitab Umat Muslim, Al-Quran. Saya juga pernah dengar dari guru saya bahwasanya kenapa ada pada masanya orang Islam mengalami kemunduran dan dikalahkan oleh bangsa barat yang berkembang pesat. Itu karena orang-orang barat tahu rahasia dibalik kesuksesan kita. Mereka bukan bangsa berperadaban tinggi, tapi mereka cerdik luar biasa.

Mengapa ada masa Renaissans setelah Dark of Ages? Karena mereka adalah bangsa yang tak ingin terpuruk terlalu lama, mereka tidak suka kalah, dan mereka memiliki strategi yang amat sistematis untuk merencanakan sebuah momentum pembalasan. Bangsa barat terdiri dari bangsa-bangsa berkemampuan intelegensia tinggi, seperti orang Yahudi, dan Arya. Mereka menjajaki hampir seluruh dunia dan mengukuhkan kekuasaan dimana-mana, tepat ketika mereka telah mengalahkan Islam. Tepat ketika kekuasaan Turki Usmani, Mughal, dan Syafawi runtuh. Tepat ketika Alhambra jatuh ke tangan Raja Ferdinand II dan Ratu Isabel I. Tepat ketika mereka telah banyak menyadap informasi, teknologi dan segala kecakapan yang kita miliki dan mengembangkannya di tempat yang jauh dari kita. Mereka tahu rahasia kita, mereka berusaha menelisik kedalam harta karun yang kita punya— Al-Quran itu sendiri—. Guru saya waktu itu bilang, bahwa orang Barat itu banyak yang fasih membaca Al-Quran dan mahir dalam menerjemahkannya, itu karena mereka bisa mendapatkan banyak sekali ilmu dari sana. Selepas mereka membawa pulang ilmu itu, mengkonversikannya menjadi mesin-mesin dan teknologi-teknologi yang aplikatif, mereka menjadikannya senjata untuk memukul mundur Umat Muslim—sang tuan yang sesungguhnya dari senjata yang mereka kerahkan—.

Yah, mungkin saya sudah bercerita terlalu jauh menyimpang, tapi ini sungguhan. Intinya hanya Al-Quran, yang menjadi dasar bagi segala cabang ilmu agama sesungguhnya juga merupakan gudang dari berbagai disiplin ilmu non spiritual. Itu terbukti dari bagaimana sejarah telah berbicara begitu banyak tentangnya. Dan benar sesungguhnya bahwa Ilmu agama tak seharusnya ditempatkan berpisah dengan ilmu umum. Ilmu agama dan ilmu umum sesungguhnya benar merupakan sebuah kesatuan yang saling mendampingi. Orang yang menguasai ilmu umum tanpa ilmu agama tak akan pernah sebaik orang yang menguasai keduanya. Sistem pendidikan kita yang memisahkannyalah yang salah.

Persis seperti apa yang saya pikirkan selama ini, sang Kiyai tersebut juga berpendapat bahwasanya ada yang salah dengan sistem pendidikan negara kita yang sekarang. Penyelenggaraan pendidikan tak menghasilkan generasi yang terdidik dan berkembang sesuai dengan minat dan kemampuannya, melainkan generasi yang lulus dengan menggenggam ijazah sebagai kupon untuk mendapatkan pekerjaan setelahnya. Padahal andai generasi bangsa dididik dengan cara-cara yang tepat, dikembangkan potensinya, serta diberi pondasi agama yang kuat, kemajuan bangsa kita hanya tinggal menghitung waktu saja. Dengan cara ini pula, selamanya kiblat pembangunan dan kemajuan dunia tak hanya berporos pada negara-negara barat saja, tapi juga negara-negara dengan populasi Muslim banyak seperti negara kita. Sehingga bukan tak mungkin akan muncul lagi masa keemasan Islam yang sediakala. Begitu pula soal pemudanya, dengan mengembangkan potensi pemuda sesuai minat dan bakatnya, makan tidak akan timbul paksaan, dan dengan dibubuhi oleh pembekalan ilmu agama yangc cukup maka tidak akan kita temui pemuda-pemuda yang tak berkarakter, yang liar dan main pukul, yang chauvinis, dan yang dekat dengan kriminalitas.

Ah, ada satu lagi. Hanya sebagai catatan kecil, hari Senin tanggal 29 Oktobernya saya bersama dua rekan saya yang lain—Firdha dan Naufal— mengikuti Olimpiade Pancasila di sebuah Universitas, dan ada yang membahagiakan soal itu. Tapi bukan hanya soal kemenangan yang akhirnya kami bawa memang, tapi untuk saya, arti dari acara kemarin lebih mengena lagi. Hari itu, pada acara tersebut, adalah kali pertamanya saya dapat mengikuti lomba semacam itu. Dari lomba itu juga saya jadi mengetahui bahwasanya generasi muda yang aktif dan peduli soal kesinambungan bangsa ini tidak sedikit. Dari sana juga saya mengetahui bahwa ternyata banyak yang memiliki alur pemikiran yang sejalan dengan saya, oleh karenanya saya sangat bersyukur atas hal itu. Semoga saja kenyataan yang membahagiakan ini juga membawa kenyataan yang membahagiakan untuk negara kita, Indonesia kedepannya.


STRUGGLING!
-Yuanita WP-


Sunday, October 21, 2012

The Beginning on October




Pertama, saya ingin mengucapkan kepada anda sekalian, atau kepada saya sendiri mungkin,

SELAMAT TANGGAL 20&21 OKTOBER!!!

Jikalau andaikata novel saya sudah meraja di pasaran, sudah usai dan sudah saya terbitkan, lalu sudah pula dibaca oleh banyak orang, mungkin saja posting kali ini menjadi posting yang kian ditunggu oleh banyak pembaca karena bagi rentetan kejadian di novel saya, apa yang saya kisahkan terjadi di tanggal 20 dan 21 Oktober adalah intinya, puncak emosi di tengah babak permunculan masalah.

Sejak dahulu kala, entah kapan, mungkin jauh sebelum negara api menyerang atau bahkan sebelum komet Sozin yang mengawali perang datang*ngawur*, saya sudah kebangetan cinta sama bulan Oktober. Sebab bulan ini yang di jazirah Eropa sana merupakan latar waktu dari pertengahan musim gugur yang memanja. Dan saya suka musim gugur seperti yang pernah saya katakan berulang kali. Selain itu, entah kenapa saya rasa bulan ini cukup romantis. 

Udaranya sejuk, matahari becahaya agak malu-malu, angin dinginnya kerap kali memaksa kita untuk menghangatkan diri, merapat di depan perapian  sambil menikmati langit sorenya yang luar biasa indah. Dalam sebentangan layar horizon yang tak bertepi, berkombinasi segala varian dari awan-awan, entah itu mereka yang berketinggian rendah, sedang, sampai yang benar-benar tinggi. Mereka merangkai diri satu sama lain, menguntai kisah seolah mereka adalah guratan-guratan cat minyak oleh kuas-kuas para pelukis agung. Menggumpal, berarak menyebar, membentuk diri seolah pulau-pulau bermassa jenis rendah yang mengapung tanpa dosa di udara. Semburat-semburat sirrus, baik yang stratus maupun kumulus memang tak ikut andil memainkan warna, tapi mereka yang membawa kesan megahnya tak kunjung lepas, melapisi seluruh permukaan horizon dengan transparansi yang memanja, cantik, dan memesona. Dan itu semua berlangsung dengan kejutan yang hadir bervariasi setiap harinya, tak pernah sama.

Langit siang hari yang terbaik memang hanya bisa ditemui di hari-hari musim panas. Tapi visualisasi langit sore yang eksotis milik musim gugur tak akan bisa tertandingi oleh musim apapun dimanapun. Jika tak percaya, boleh bandingkan mulai sore ini.

Intensitas hujan memang sudah mulai menunjukkan peningkatan. Ini yang sebenarnya tak terlalu kusukai. Tapi selama matahari masih belum terlalu nyaman dalam persembunyiannya, masih hanya grimis saja yang kerap meraja, dan belum datang musim petir dan badai, aku masih menyukainya. Jadi, yaah… diatas segala kombinasi itu, aku bertaruh kalian akan bersegera menyerukan persetujuan denganku, bahwa Oktober memang sempurna.

Oke, berikut ini adalah apa yang ada di novelku, yang membuatku semakin menggilai Oktober~

Tokyo, Oktober 20th 2012

§Butuh semalam suntuk bagiku hingga akhirnya kuputuskan untuk memberikannya pada partnerku. Partner yang selalu membuat kami canggung seperti orang yang baru berkenalan setiap aku berada bersamanya.

§ Naoya, kau mengalihkan kehidupanku. Aku tak yakin aku hanya sekedar menyukaimu. Mungkin aku mencintaimu, tapi aku tak berani mengakuinya, bahkan pada diriku sendiri.

§ Ini bukan soal masa depan yang hancur berantakan atau aset jutaan milyar yang mungkin akan hilang tapi ini soal hati. Organ yang begitu riskan meski abstrak.

§ Pada halnya aku takut kehilangan masa depanku yang telah lama kunantikan, takut kehilangan mimpi-mimpi dan asa hidup yang telah hampir seumur hidupku kuhabiskan waktuku hanya untuk merangkainya, mengabadikannya dengan menjadikannya tujuan akan kemanakah arus hidupku yang tak luput dari pasang surut ini bermuara. Aku takut nantinya, karena merasakan rasa sakit yang teramat sangat itu akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku.

§  Aku takut karenamu aku kehilangan hari-hariku kemudian, kehidupanku.
§ 
Personalitas kami yang bagaikan langit dan bumi adalah alasan mengapa aku sering menitik beratkan ruang pikir tentang Naoya dalam otakku ke arah pesimisasi. Ia 180˚ berbeda denganku.

§ Segala hal dapat dimilikinya dengan mudah, sedangkan aku? Disini aku tak ubahnya seperti siput berkerang tipis dan lusuh yang terdampar di kumpulan kerang mutiara. Dan ironisnya si siput jatuh cinta pada sang Pangeran kerang yang memiliki mutiara hitam paling berkilau diantara yang lainnya.

§ Kami berdua berjalan di tengah hujan lebat, berusaha untuk menembusnya. Dan kini perjalanan manis yang singkat ini akan segera berakhir. Sesungguhnya aku tak menginginkan itu. Meski kutahu ini lagi-lagi ironis. Menyedihkan! Aku mengharapkan sesuatu yang mustahil! Berharap rangkulannya ini tak pernah terlepas, berharap hangat tubuh kami yang membaur tak pernah terurai. Biarlah kami terus berada di tengah hujan seperti ini, biarlah hujan ini tak pernah mereda, biarlah hujan ini membunuh kami pelan-pelan, asalkan aku bisa terus seperti ini. Meski ini semua hanyalah sebuah kenyataan yang semu.

§ “Meck, bolehkah aku mengatakan sesuatu?” Tanyanya lirih.

§ “Dan kau juga telah mengajarkan padaku tentang satu hal yang teristimewa…”

§ Karena hati tak akan membohongi pemiliknya.”

§ “Dan hatiku berkata bahwa aku harus mengatakan ini. Meck, aku... Je’t Aime…”

§ Jikalau harus kulukiskan dengan metaforasi, mungkin rasanya aku seperti tengah terbang dan yang dapat menjatuhkanku adalah apa yang Naoya katakan setelahnya.

§“Tapi Meck, kumohon kau tetap mengizinkanku menyimpan perasaan ini. Karena perasaan ini sungguhlah istimewa, yang pertama bagiku, yang membuatku selalu merasakan kedamaian di setiap detik di hari-hariku yang melelahkan.”

§ Aku sangat senang tadi, sungguh tak terkira rasanya saat aku mengetahui jika perasaanku selama ini tak bertepuk sebelah tangan. Tapi seketika itu juga tukasanmu menjatuhkanku. Kau tahu rasanya, sakit...” Aku tersenyum pahit kearahnya. Dan ia hanya membalasnya dengan raut penyesalan yang semakin tergambar jelas.

§ “Ha? Kau bilang apa tadi?” tanyaku sekali lagi untuk memastikan segalanya.

§“Meck, jadilah pacarku...” pintanya lagi. Kali ini aku mendengarnya jelas karena konsentrasiku penuh terpusat padanya.

Tokyo, October 21th 2012
§
“ Bukan! Aku tidak menolaknya! Aku hanya berkata jika aku tak bisa menjawabnya saat itu juga. Aku hanya minta waktu untuk memikirkan semuanya dengan otak yang jernih karena malam itu aku sudah tak mampu lagi memikirkan semuanya dengan benar. Tapi sampai sekarangpun otakku belum jernih juga. Jadi, ada yang punya saran lebih baik dari yang diberikan Kimmy?” tanyaku.

§ Naoya, maaf  jika sekiranya aku telah menyita waktumu. Jika kau bersedia datang, kutunggu di taman belakang sekolah sampai pukul 5.pm nanti. Merci Beaucoup. Sara Meckino.

§ “Meck, tunggu! Kumohon..” kali ini kuraskan tangan teduhnya yang hangat persis seperti semalam menggenggam telapak tangan kiriku, menahanku. Tuhan sehebat inikah imajinasiku?

§“So,soal semalam, soal ppertanyaanmu yang semalam iituu… err, masih berhak kah aku menjawabnya?” tanyaku agak tergagap.

§ “Tentu Meck. Berapa tahun lagi pun kau baru ingin menjawabnya akan tetap kudengarkan.”

§ “Dicintai memang indah, tapi pernahkah kau berpikir apa yang aku pikirkan? Mencintai itu lebih indah dari dicintai.” DEG. Ia tersenyum, tapi aku, aku kini merasakan debar yang aneh. Bukan lagi seperti yang aku rasakan jika bersama Naoya belakangan. Tapi aku terhenyak. Mencintai lebih indah daripada dicintai, bukankah kebanyakan orang berpikir sebaliknya?

§ “Dan aku rasa jawabanku juga bukan tidak.” ujarku pelan. Sangat pelan malah.
§  “Jadi, kau, Meck…” ah, syukurlah Naoya mendengarnya. Aku jadi tak perlu mengulangnya,mengiyakan pertanyaanku kemarin..?”

§ “Terimakasih...” Aku tersentak, tiba-tiba saja Naoya membawaku dalam dekapannya. Hingga kini tak ada lagi jarak antara jantung kami kecuali belulang rusuk dan selapis kulit yang membungkus rusuk kami masing-masing. Dentuman dengan tempo yang sama cepatnya itu menyatu, membaur dan menciptakan keselarasan dalam sebuah tekanan yang tak terlukiskan. Hangat, atmosfer hangat yang nyaman ini berhasil menetralisir suhu tubuhku yang turun drastis karena nervous stadium tinggi tadi. Sungguh, aku tak pernah merasa senyaman ini dalam dekapan siapapun, bahkan sahabatku sekalipun. Semuanya serasa pas, suhu tubuhku dan suhu tubuhnya, ukuran tubuhku dengan ukuran tubuhnya, ukuran tangan kami yang saling menggenggam, suasananya, segalanya terasa sangat pas tanpa satu titik pun yang melenceng. Ya, rencana-Mu Tuhan, rencana-Mu yang kau paparkan hari ini sungguhlah indah. Tapi tak sampai beberapa menit ia melepaskannya. Membuat jarak kami semakin dekat, dekat, dekat dan akhirnya menghilang. Jarak itu membaur bersama dengan deru nafas kami yang mulai kembali ke keadaan normal.

§  Kapanpun, kapanpun selagi dan selama kami sama-sama terbuai perasaan ini. Dan kurasa itu akan jadi waktu yang sangat-sangat lama.

§ Lembaran di halaman pertama bab baru sejarahku. Sejarah cintaku. Yang pertama, dengan seorang pemuda dari kasta darah biru ini. Seorang yang dimana perasaan yang kurasakan terhadapnya adalah cinta yang berawal dari rasa kagum. Rasa kagum yang berlanjut menjadi keputus asaan sejenak yang melahirkan dilema yang begitu berat soal menentukan dimensi antara aku dan dirinya, apakah itu sekedar mimpi ataukah kenyataan. Kini aku telah menentukannya, apapun yang nantinya kuhadapi, aku telah menentukan bahwa aku memilih kenyataan. Dan ternyata kenyataan tidaklah sekejam yang kukira sepertinya. Toh nyatanya, perasaanku ini tak hanya bertepuk sebelah tangan.



Yak, itu kiranya, penggalan demi penggalan dari cerita yang saya karang setahunan yang lalu, dan berlatarkan waktu tepat hari ini. Awalnya saya tulis cerita ini dengan penuh harap jikalau kiranya tepat dalam momen ini saya bisa juga merasakan apa yang dirasakan oleh seorang Sara Meckino tadi, tapi ternyata nihil. Yah, yang namanya harapan itu bisa terkabul, bisa tidak kan? Haha, sudahlah, saya tak hendak bermuram durja. Mungkin memang belum saatnya kejutan sebesar Naoya sampai kepada saya di saat-saat ini. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk saya.
Bagaimanapun saya tetap cinta Oktober atas keindahannya, romantismenya, semangatnya, dan atmosfernya yang menyenangkan. Terimakasih Oktober karena telah membawa saya menciptakan kisah ini, dan tentu, saya berharap saya memiliki Oktober saya sendiri nantinya, bersama seseorang yang mungkin masih berada di jauh sana, dan memimpikan hal yang serupa dengan saya.
Untuk Meck & Naoya, selamat! Sekalipun belum banyak yang membaca fiksi seratusan lembar ini, saya tetap harus memberi selamat pada pasangan paling inspiratif sepanjang hidup saya hingga saat ini. Ini salah satu dedikasi saya untuk kalian yang sudah hidup dalam imajinasi saya empat tahunan belakangan ini dan membawa saya menikmati saat-saat menulis saya. Doakan saya semoga suatu hari kisah kalian bukan hanya ada dalam imanjinasi saya, tapi di angan-angan banyak orang yang juga terhipnotis oleh kalian sebagaimana saya.

Enjoy your joyful October! See you~



Friday, October 19, 2012

P.R.E.S.S.U.R.E

Bukan bermaksud untuk mengulas mengenai salah satu —entah apa namanya— besaran turunan atau apa begitu, yang ada kaitannya —entah dalam bentuk apa— dengan seorang cendekiawan maha penting semasa peradaban manusia sejarah yakni Archimedes-sama, melainkan hanya ingin, yaah… seperti biasa mengemukakan pendapat secara lisan dan tulisan selama pasal 28 UUD 1945 belum dihapuskan atau diamandemen hingga hanya menyisakan 5 % dari fungsi awalnya. Yeah, itu neraka. Jikalau pasal 28 UUD 1945 negara kita akan jadi negara otoriter yang rakyatnya samasekali dibungkam, bedanya dengan orde baru hanya soal transparansinya. Toh di masa orde baru, kita punya Undang-Undang yang menjamin hak asasi dalam segi apapun, negara kita jelas menyandang jubah demokrasi, tapi sistem didalamnya penuh konspirasi. Oke, yang lalu biarlah berlalu, ambil hikmahnya saja dan mari menjadi lebih baik di kesempatan selanjutnya.

Pressure dalam Fisika selalu memberi pressure tersendiri bagi para unPHYSICable students macam saya. Tapi bukan hanya preassure man, hampir setiap bab, setiap subbab, setiap paragraf, setiap ulasan, setiap contoh soal dan latihannya, setiap ulangan, atau ujian penting akan lebih parah lagi, yeah, semuanya selalu berselaras dengan sangat padu bersama yang namanya pressure. Selain itu, pahitnya, ternyata, atau memang tak usah melibatkan kata ternyata, semua eksakta, Matematika, Kimia, dan bahkan kini Biologi pun hampir demikian. Aaahh…

Kalian, sesungguhnya dan sebetul-betulnya saya penasaran substansi mana yang sesungguhnya hakiki, persepsi mana yang sesungguhnya lurus, teorema mana yang sesungguhnya tak melenceng dari sunatullah? Bahwa sebenarnya kehidupan anak SMA normal itu seperti apa?

Saya bertanya demikian dengan entah naif atau polos, atau konyolnya mungkin, karena memang saya merasa batasan normal telah jauh terlampaui oleh siklus hidup saya belakangan, sebagai seorang kokousei. Kalau memang apa yang dimuat di film, komik jepang, atau anime yang biasanya saya tonton tentang kehidupan bahagia, seru nan menyenangkannya para penyandang seragam putih abu-abu—atau seragam SMA lainnya— memang salah karena terlalu membahagiakan, lantas seperti apa yang sepatutnya disebut normal?

Saya rasa, soal itu saya hanya memiliki tak lebih dari satu patokan saja, oke siklus hidup yang semacam ini: Bangun pagi, terpaksa harus gesit padahal saya tidak tergolong cukup gesit, tak punya waktu bersantai barang sedikit selepas bangun tidur pagi, buat sarapan sendiri, berangkat sendiri karena sakit hati sebab jika saya minta antar yang ada malah diomeli—oke, saya lelah dengan yang satu itu—, terperangkap dalam jurang neraka modern yang namanya macet, jalan kaki ribuan langkah setengah berlari karena buat saya terlambat datang adalah soal harga diri, belajar eksak dengan hanya setengah hati, uang jajan yang pass-nya kadang melampaui batas kewajaran#apamaksudnya?!, hampir setiap malam, mengatur jadwal untuk membantai satu persatu tugas, menumpas ketidak adilan oleh kediktatoran akibat kapitalisme dan imperialisme para PR dan Tugas hingga waktu tidur banyak tersita, akibatnya mengantuk di sekolah, belajar tak maksimal, remedial memberondong kemudian, masalah dengan teman, dan jujur, kesepian…#plakk—sadar wan!— =3=

TAK SEPANTASNYA YANG SEPERTI ITU DISEBUT NORMAL KAN??!!

Entah kenapa, yaah… meski sekarang saya punya lebih banyak waktu untuk mengurusi diri saya sendiri, kepentingan saya, tugas-tugas saya, dan rencana masa depan saya, saya merasa waktu-waktu saya bergulir tak seindah yang sediakala, ketika saya masih gila, meneriakkan variabel lima huruf yang sekarang kembali terdengar tabu di telinga saya, apalagi?—cinta—, tentu saja, yang pertama, dan sekarang sudah mengudara hingga entah kemana.

Meski saya tak mendapat apa-apa, kecuali sebesit kecewa yang tak hilang-hilang juga seberapapun lamanya, dan, oh! Inspirasi, jangan lupakan itu! Saya banyak menulis, menggambar, dan menghasilkan karya yang membuat saya sendiri tercengang dan melongo tak percaya apakah benar kiranya saya yang membuatnya kala itu. Tapi diluar itu, terutama soal apapun yang berhubungan langsung dengan dirimu, nothing, semuanya pergi tanpa sisa, bung! Sayang ya? Tentu saja, apalagi untuk saya sendiri, anda kan tak tahu apa-apa. Yeah, tentu saja.

Saya tak mengatakan apapun soal ini, jadi mungkin ini memang salah saya yang terlalu pengecut. Padahal, andai anda tahu, saya dulu berharap cukup banyak terhadap yang pertama ini, diri  anda, tapi ternyata harapan saya sedemikian mudahnya lepas mengudara.

Dalam satu tahun belakangan, rupanya banyak kenyataan pahit yang harus saya terima. Pertama, tentunya soal dirimu, disaat-saat terakhir saya masih menggenggam erat perasaan terhadap anda, saya mendapati pengakuan gamblang anda soal penolakan yang baru saja anda terima, kasihan, kita. Haha. Lalu, hubungan kita, maksudku entah dalam konteks apa, dan saya rasa lebih dalam konteks interaksi sosial biasa, mengalami cukup banyak kemajuan, tapi… sayang, aahh sial! Stadiumnya sudah turun drastis, saya tak lagi menggilai, atau gila sendiri, dan kala itu saya mendapati kenyataan bahwa sembuh terkadang tidak menyenangkan. Saya punya banyak kesempatan berkontak baik secara langsung maupun tidak dengan anda, tapi sayangnya saya sudah tak gemetaran lagi, semuanya kembali biasa. Lalu, saya juga harus melepas cinta saya yang pergi meninggalkan saya untuk sementara waktu, cinta yang lebih hakiki dari yang tadi, yang tak akan terganti sebentanganwaktu hidup saya, Cinta saya terhadap disiplin ilmu sosial. Saya sudah cerita, berdeklamasi, berorasi, berkali-kali, dimanapun, dan kiranya anda pernah mendapati bagaimana saya berbicara soal ini, anda sekalian tentu mengerti seberapa kecewanya saya ketika dijebloskan ke kelas IPA dan tak lagi diperkenankan bersua dengan IPS tercinta.

IPS dan anda, dikau, atau entahlah. Kalian yang teganya meninggalkan saya yang depresi berat tanpa keberadaan kalian ini sendirian. Kalian tahu, saya tertekan, saya kehilangan, berat, saya tidak pernah lantas mengatakan iya, dan menyetujui untuk kalian tinggalkan begitu saja, tapi kenapa kalian melakukannya? Dan kompak, dalam waktu yang hampir bersamaan.

Kini hanya ada beberapa yang saya cintai; Tuhan, Orang Tua saya, Keluarga saya, dan Negara saya.  Itu kiranya cinta-cinta yang akan saya perjuangkan dalam hidup saya kedepannya. Meski saya sangat sangat berharap untuk cinta yang lainnya, biarpun tidak lagi untuk yang pertama, mungkin untuk yang sejati.


Yaampun… pressure. Luar biasa sekali dampaknya. Saya dalam kondisi-kondisi tertentu tak bisa dipungkiri tetap stress, meski saya termasuk salah satu dari yang berpemikiran cukup santai. Dan dalam kondisi yang sedemikian melas begini keadaan saya lebih miris lagi. Terkadang, dikala tekanan itu mencapai puncaknya, dimana kepala saya rasanya seperti ingin pecah dan secara egois tiba-tiba saya berkeinginan untuk rehat sebentar dari babak dalam skenario yang sedang klimaks itu, melintas pemikiran lain di otak saya, jika sekarang saya dipaksa membiasakan diri dengan yang seperti ini, akankah nanti tiba waktunya saya akan terbiasa bekerja dibawah tekanan dan merindukannya ketika tak lagi saya dapati tekanan dalam hidup saya? Mungkin saja. Oleh karenanya, sesulit apapun keadaannya, meski masih dalam teori yang masih terlalu ideal, saya berusaha untuk menikmati hidup ini selagi mesin waktu belum dapat ditemukan, toh, apa yang kita dapati dan punya sekarang belum lagi tentu dapat kita punya di waktu mendatang.


Owari
10-18-2012
12:21

Monday, October 01, 2012

Vampire Knight Guilty: NYESEK


Sabtu, 29 September 2012. Saya punya PR, tugas remed, dan banyak betul tuntutan belajar untuk bombardir ulangan minggu depan, tapi ada yang jauh lebih penting dari semua itu. Jiwa saya tengah bergejolak hebat, emosi saya baru saja usai dipermaikan, oke, Matsuri Hino-senpai, dikau totally memenangkan pertarungan ini, karyamu yang satu ini…

KEREEENN..! *fangirling*

Beberapa menit yang lalu saya baru saja usai menonton rangkaian 13 episode Vampire Knight Guilty*telat banget ya? Bodo~*, dan hanya satu kata yang bisa saya ungkapkan, demi apapun, NYESEK.

So, bagi yang udah nonton VK Guilty, tau dong kenapa saya nyesek? Karena absolutely I am a fans of you, Kiryuu-kun! Semenjak saya nonton VK I jaman kelas 8 dulu, saya udah simpatik sama Zero. Bahkan fangirlingan terhadapnya ketika teman saya sesama penonton setia VK menggemari Kaname =3=. Saya fans of himself, pendukungnya, dan dengan loyalitas penuh akan selalu berada di kubunya.



Saya nggak peduli Kaname itu keren kek, loving and care person kek, dewasa kek, charming kek, darah murni kek, darah biru kek, kurang darah kek, seperti biasa, diatas segala ke’wah’an yang dimiliki Kaname, saya selalu lebih tertarik sama tokoh cowok yang kebagian tempat sebagai orang ketiga yang nyesek. Coba liat, tokoh-tokoh semacam ini adalah mereka yang punya dedikasi terhadap tokoh cewek utama, tapi juga mereka yang akhirnya harus berkorban demi si tokoh utama cewek yang nggak tau diri *ARGGHH*. Coba kalian juga kayak saya, lihat baik-baik Zero, kagumi, dan resapi sekelumit plot Vampire Knight —yang sangat nggak memihak ke dia— dari sudut pandang seorang Zero, gimana? GIMANAA?!



Sedikit bocoran cerita nih~

Jadi di season I kita udah sama sama liat bagaimana kisah mereka semua. Bagaimana cerita karangan Matsuri Hino ini berawal pada sepuluh tahun lalu, dimana seorang bocah vampire darah murni, Kaname, membawa seorang anak kecil yang nggak bisa pakek baju sendiri ke kediaman Kaien Cross yang waktu itu masih muda. Bak pahlawan kesiangan, Kaname bertindak seolah menyelamatkan Yuki yang diserang oleh vampire yang seperti monster. Yah, kenyataannya memang begitu sih, tapi selama season I kita hanya tahu soal monster itu, salju itu, Yuki yang ketakutan, dan Kaname. Mungkin aja nasib Yuki itu sama kaya Zero yang keluarganya dibantai vampire, tapi ternyata nggak. They both are totally different. Ada cerita di balik Yuki, cerita kenapa Kaname begitu perhatian dan peduli sama dia, cerita kenapa Kaname nembak Yuki—didepan Zero, hiks— dan bikin Ruka—yang notabene lope-lope sama Kaname— frustasi dan mengurung diri di kamar. Dan yap, cerita itu yang dipaparkan di season II atau Vampire Knight Guilty ini.

Woy, tau gak, kenapa diantara semua anime yang saya punya di folder saya, hasil bajak laptop temen-temen saya, saya milih nonton VK duluan? Karena, yap, cerita ini keren! Genrenya mantap, plotnya lope-lope deh!#bahasamanaini?!. Saya lebih suka anime romance aksi beginian daripada yang genrenya future-future. Haha, maklum saya orang yang memang lebih suka melihat ke belakang dari pada kedepan. Futurisme itu membuat justru ada kekhawatiran yang timbul dalam diri saya, secara, di film atau anime-anime itu dilukiskan bahwasanya dunia di masa depan itu akan sangat serba mudah. Nggak ada kayu, semuanya serba metal dan kaca. Warna yang mendominasi hijau android, silver, dan putih. Akan jadi sesilau apa coba? Itu berarti akan banyak sekali perubahan kan? Sedangkan dibalik satu saja perubahan, pasti akan ada hal lama yang harus hilang. Dan saya nggak sanggup memikirkan berapa banyak yang akan hilang dari kita. Selain itu saya juga nggak terlalu suka genre fantasy. Sampe sekarang aja, nggak satupun seri film Harry Potter yang saya tamatkan haha~

Jauh sebelum ada Vampire Knight, atau bahkan Twilight, saya udah berpikiran dan mendoktrinisasi banyak orang bahwasanya Vampire itu memang keren. Ia adalah mahluk entah gaib atau tidak, yang jelas tokoh film horror yang menurut saya lebih cocok main film romance daripada horror. Gak Cuma vampire ala Orleans, Dracula ala Romania juga mantap, Van Helsing! Uuu~. Tapi kalo vampire China? Kurang sekseh ah~#plakk.

Vampire itu identik dengan mawar. Yakan? Hehehe gak ada yang bisa nyangkal. Dan saya suka mawar! Liat aja blog ini. Selain itu, Vampire juga erat kaitannya sama malam. Man, segala yang ada di malam hari itu misterius, sekaligus romantis*mimisan*. Then, perak. Untuk ukuran logam mulia saya lebih suka perak (Ag) daripada emas (Ar)#kenapajadikimia?! Lalu jubah, howaa~ mengingatkan saya pada The Phantom of The Opera#plakk. Dan yang terakhir, Taring! Wohoo~ kesenian Cirebon itu ya? Itu Tarling mbak =3=. Yeah, taring itu sekseh, demi apapun ;9. Naoya saya juga taringnya agak panjang lho~. Dulu saya hobi beli taring-taringan di abang-abang mainan waktu TK sama SD. Selain itu kalo liat orang yang taringnya panjang itu gimana gitu. Pokoknya keren lah, sayangnya vampire gak pake kacamata, coba pake#plakk.

Kalo kalian hobi juga nontonin Fairy Tale jaman jebot kayak saya nih ya, kalian pasti ngerti tipe character favorit saya. Yap, dari pada seorang Pangeran, saya lebih cinta sama seorang Ksatria. Keren, faithful, loyal, perhatian, sekaligus care. Mengorbankan segalanya demi tuan putrinya, bahkan nyawanya sekalipun. Itu semua ia lakukan bukan hanya sebatas karena pekerjaannya, tapi juga karena perasaan sucinya terhadap tuan putrinya. Perasaan suci yang ia tahu salah, yang ia tahu sampai kapanpun hanya akan memberikannya harapan semu dan malah menghancurkannya dari dalam. Tapi apapun yang terjadi padanya, sekalipun harus tubuhnya melebur menjadi buih, ia rela asalkan tuan putri yang ia cintai bahagia. GYAAAA#plakk—sadar,wan—

Dan sesuai judulnya, Vampire Knight, alias Ksatria Vampire. Tanpa konfirmasi yang jelas kepada Matsuri Hino, saya menyimpulkan bahwa seseorang yang ada di balik judul tersebut memang Zero Kiryuu. Seorang Zero Kiryuu yang sepanjang film nyesek sana sini, anytime anywhere, dan dibully di setiap episode. Seorang Ksatria, sang korban yang sesungguhnya.

Episode-episode awal, masih biasa-biasa aja. Udah mulai ketengah, itu nyeseknya udah lebih dari sekedar pemanasan. Oke, seorang Zero yang notabene menyukai Yuki sebagai satu-satunya pelipur laranya, kawan hidupnya, obat kesepiannya, bank darahnya*salah*, eeh, Kaname-senpai kudut itu malah nembak—maksudnya, menyatakan perasaannya pada Yuki dan meminta Yuki jadi pacarnya— di depan sepasang mata rich grey-nya Zero yang indah. Bahkan bukan Cuma itu saudara-saudara, dari mulai ngedate dan lain sebagainya, dengan kurang ajar mereka gelar pertunjukan-pertunjukan menyakitkan hati macam itu di depan Zero dengan meriah.

Sampai di akhir cerita pun, Zero yang selama ini kebahagiaannya dijual demi terciptanya plot yang indah ini ternyata hanya pion dari rencana spektakuler seorang Kaname yang hanya bisa bergerak dengan gemulainya di belakang layar.



Lalu, soal bintang film kita, artis kita dalam film ini. Omae, Yuki Cross! eh maaf, maksud saya Kuran Yuki-sama#emangAidoh. Oke, napa sih harus Yuki gitu? Kenapa yang diperebutkan bukan saya aja?#mulaigila. Apa bagusnya Yuki, bocah kelewat unyu, badan gak tinggi-tinggi gitu juga =3=. Seperti biasa sih, tak ubahnya dalam anime-anime lain, selalu tokoh utama itu kehebatannya hanya kepeduliannya yang luar biasa pada orang lain, dan kekeras-kepalaannya yang luar biasa.



Then, Aidoh Hanabusa: dia banyak berubah ><, makin dewasa. |Ichijou Takuma, bagian yang paling keren: “Kaname, mungkin sebagai Vampire, aku telah mengkhianatimu, tapi sebagai teman, aku tidak akan pernah mengkhianatimu” howaaa~. | Ruka Souen: Kita sama, NYESEK. | Kain Akatsuki: Omae suka sama Ruka ya? Sabar yak! | Rima&Shiki: Kalian ternyata absolutely cocok! | Rima Yuya: You know well who Shiki is! Cool! |Shiki: biasanya kau hanya jadi tritagonis pendiam yang kerja keras cari duit, karena dikala vampire-vampire lain tidur, kalian malah modeling dan ngumpulin uang, tapi sekarang Shiki jadi orang penting. Shiki, You have to say much thanks to Rido Rhoma*salah* Rido Kuran~



Yagari & Kaien: Kalian terlihat seperti papa mama.
Dan yang terakhir, soal si kembar Kiryuu. Kalo ditinjau dari masa kecil kalian yang begitu damai, saya agak sangsi dari awal kalo kalian bener-bener bakalan musuhan. Ternyata bener kan, Ichiru tetep sayang Zero apapun yang terjadi. Takdirmu memang ada padanya, Ichiru, yakan? Kau adik yang baik! Tapi saya mengerti bagaimana perasaanmu, bagaimana kau tidak punya banyak hal sementara kakakmu punya segalanya. Tapi, anda beruntung Zero itu bukan orang yang semena-mena. Diatas segalanya dia tetep sayang sama Ichiru. Dan kelengketan kalian itu bagai hints bagi para fujoshi.*apabae*

Soal ending cerita yang sumpah sad banget buat tim sukses Zero macam saya, saya cukup puas. Yaah.. akhirnya memang sulit untuk memulai sesuatu yang baru. Apa yang dicita-citakan Kaien dan Juri ternyata terlalu ideal untukk diwujudkan. Dalam sebuah akademi, Vampire dan Manusia hidup berdampingan ternyata hanya bisa bertahan beberapa lama. Bagai air dan minyak yang bisa menyatu ketika dibawa ke bulan, tapi di bumi, mereka nggak bisa bersatu lagi. Bagaimanapun, vampire dan manusia adalah dua mahluk yang dibentuk oleh komponen yang berbeda. Meski wujudnya hampir sama.

Akhirnya, Cross Academy yang segitu gedenya cuma diisi sama segelintir murid day class yang sebenernya muat ditaro di gedung SD negeri sederhana dua lantai. Orang dikumpulin di satu auditorium aja cukup, eeh, sekolahnya malah segitu gedenya. Dan hanya tersisa satu vampire disana, yaitu, Zero sendiri. Yah, meskipun Yagari masih nggak nerima kalo murid kesayangannya itu adalah vampire. Yagari masih tetep beranggapan kalo Zero ya Zero, bocah manusia yang dia asuh sejak dulu.

Tapi, dari lubuk hati yang terdalam tetep saya nyesek. Kalo Yuki akhirnya memilih untuk pergi sama Kaname, Zero berarti sendirian dong. Dia bakalan hanya tinggal bersama si Nijichou Kaien. Tapi… coba perhatikan nasib Vampire Hunter kaya Kaien sama Yagari, kalo nantinya Zero jomblo seumur hidup kayak mereka berdua gimana huwaa TwT

Oke, sudah saya putuskan. Dari pada Zero jomblo selamanya lebih baik saya daftar masuk ke Cross Academy dan menggantikan posisi Yuki sesegera mungkin di hati-mu Zero~ dan pada saatnya nanti, kita akan jadi legenda vampire hunter yang membunuh putri Kuran! Mari kita bunuh Yuki!

Khukhukhukhu~#plakk

Oke, sekian ya ulasan yang seperti biasa malah berakhir jadi ajang curhat saya. Semoga anda terhibur, kepincut buat nonton juga Vampire Knight Guilty, dan of course, mendukung Zero! :*

Sebagai penutup saya akan paparkan dua quotes yang unforgetable dari Zero di bawah ini.


“Dari dulu kau hanya membual. Seolah-olah kau benar-benar membutuhkanku. Tapi kau salah Yuki, yang kau butuhkan hanya Kuran Kaname. Dari dulu juga begitu.”

“Aku akan melihatmu dari sini. Aku akan melihatmu seperti kau melihat Kuran Kaname.”

Yang terakhir, sumpah! Arghhh kok kayaknya kenal ya? Yaampun, ternyata kita beneran senasib Zero! Hehe~

Sudahlah, saya sudah melupakan kemelasan itu. Bukan lagi saatnya saya untuk menyerah pada takdir yang membully saya terhadap anda.  I prefer to be with Zero, than you! Hahaha :D



29 Sept 2012