Trending Topics

.

.

Tuesday, December 09, 2014

Saya dan Bahasa


Saya mau curhat dikit gapapa ya? Sebenernya, saya udah niat nulis ini sejak seminggu yang lalu, pas topik yang saya dapet dari kuliah umum ini masih seger. Tapi ada aja hal yang semakin menjauhkan saya dari dunia tulis menulis akhir-akhir ini. Pertama, jelas kesibukan. Yang namanya ngedeadline menjelang minggu tenang dan uas adalah ritual non resmi yang pasti akan menghampiri tanpa harus dinanti-nanti. Ada proposal PPS, ada eksposisi, artikel, storry telling abad 17-18, bahasa belanda dan segala kelengkapannya, dan lain sebagainya. Belum lagi, hampir setiap matkul di periode yang sedang kita bicarakan ini menugaskan tugas-tugas berbau presentasi, dan saya, sebagai tukang ppt di setiap kesempatan tak jarang menjadi pemilik dari lahan waktu luang yang kian menyempit.

Tapi semua itu bukan apa-apa gaes. Well, dari dulu saya bermasalah sama linguistik. Mungkin di blog ini atau yang satunya saya pernah cerita kalo dalam banyak kesempatan saya gagal mengompromikan peraturan dan keengganan diri yang flamboyan ini untuk diatur. Saya suka sastra. Urusan baca maupun buat dari mulai puisi, cerpen, sampe cerita panjang yang gak kelar-kelar saya oke. Tapi buat teknis, saya angkat tangan. Kampungan, kalo katanya dosen tata bahasa saya :v.

Dari SD kelas satu kita semua di tanah tumpah darah Indonesia ini kan belajar bahasa Indonesia, otomatis belajar perihal linguistiknya juga, lantas kenapa di usia yang hampir kepala dua ini kita masih punya banyak masalah? Selain dari beberapa faktor yang meski terlihat antara ada dan tiada pada praktiknya cukup menentukan, ya, kita lulus dengan substansi yang ada untuk dilupakan di kemudian hari (haha, akui saja lah~). Dari kelas satu juga kita sudah merasakan berupa-rupa jenis guru B. Indonesia. Anehnya ada yang sampai bagi raport tetap gak bisa berkompromi sama saya dan berakhir dengan memberi saya nilai pas-pasan, tapi ada juga yang akhirnya membuka mata saya untuk menyukai persoalan bahasa, bahkan sampai jatuh menyukai perihal tulis-menulis.

Guru B. Indonesia waktu SMP ganti dua kali. Salah satunya membuka mata saya dan membuat saya jatuh cinta pertama kali pada sastra, tapi yang lain menyalahkan jawaban saya pada soal membuat kalimat. Waktu itu saya buat satu kalimat sampe tiga baris dan menurut beliau itu salah karena kepanjangan. Saya gak ingat betul waktu itu kami udah belajar kalimat majemuk belum, tapi seingat saya pas sd kalimat majemuk pernah disinggung sedikit ketika menjelaskan tentang kata sambung. Tapi kan ya, pengalaman berkata kalau selama sekolah kita sering kali mempelajari teknik dan berpraktik secara terpisah. Kadang teknik hanya berupa hapalan dan praktik adalah pemraktikan penggunaan trik berdasarkan pola.

Percaya atau nggak, waktu itu saya punya pemahaman kalo kata ‘dan’ dan ‘atau’ bukan hanya bisa menyambung objek-objek berupa benda, kata kerja, atau partikel apapun yang cuma terdiri dari satu kata atau sebuah kata yang disertai sifat, tapi juga kalimat-kalimat kecil yang pada saat itu belum saya ketahui bernama klausa. Dari alasan itu saya berdalih saya benar, dan meskipun saya disalahkan, saya tetap menganggap kalau itu benar. Sebenernya disini saya sedikit sadar sih. Dari dulu, saya kerap mengulangi hal semacam ini. Menjatuhkan mental saya itu nggak cukup dengan mengatakan jawaban saya salah. Kalo bukan karena kepepet waktu, atau saya betul-betul terdesak dan gak  ngerti samasekali apa yang diminta sang soal yang mulia, saya sangat jarang mencontek dengan persis atau ya, menyalin. Jadi ketika jawaban saya disalahkan, saya punya pembenaran. Ketika saya memilih, saya meyakinkan diri saya bahwa alasan saya memilih cukup masuk akal, sehingga meskipun akhirnya tidak sesuai dengan suara kuorum, saya punya pembenaran yang sering kali, meskipun akhirnya kuorum membuktikan alasan dibalik pilihan mereka secara presisi, bukan saya yang salah, melainkan kami berdua sama-sama benar. Eh ini serius! Dan selama sekolah ini sering bikin saya bermasalah sama guru. Baru pas kuliah ini, jawaban saya salah tapi saya diberi kesempatan buat mengemukakan pendapat kenapa saya memilih jawaban tersebut.

Oh God, saya dapet tabiat gini dari mana ya? Tapi ini betulan dan mungkin ini juga yang bikin saya susah sekali belajar linguistik. Karena apa? Ya, saya sulit mengaku salah. Titik koma dan bla bla bla itu emang susah dan ribet. Salah satu hal yang bisa membuat hal susah dapat kita pelajari dengan sedikit lunak adalah dengan menganggap bahwa usaha untuk belajar ini bukan praktik penyulitan terhadap diri kita, melainkan fasilitas untuk membuat kita lebih baik di hal lain. Naasnya prinsip yang kedua ini belum secara sukses bisa saya berlakukan terhadap diri saya dan linguistik.

Guru-guru saya yang bisa membuat saya menyukai bahasa membawa barang super duber ajaib ini dengan cara yang berbeda-beda. Guru saya pas SMP, yang buat saya suka sastra pertama kali memberi kebebasan yang liar buat kami berekspresi. Beliau sering nyuruh kami buat tulisan-tulisan dengan tema alur yang sesuka hati, kuantitas yang pula sesuka hati. Beliau jarang mengikat diri pada aturan baku kecuali di saat ujian. Akibatnya, saya dan banyak teman-teman seusia ketika itu yang tengah menggilai beberapa jenis budaya pop menuangkan fantasi dan antusiasme kami kedalam tugas-tugasnya. Alhasil, disanalah saya jatuh cinta pada menulis untuk yang pertama kali. Kami semua para muridnya mengakui kritikan beliau pedas, tapi beliau akan menaruh respect besar kepada mereka yang beliau anggap berhasil baik.

Guru saya yang lain, tepatnya ketika SMA, menggunakan metode yang mirip dengan guru saya yang sebelumnya saya sebutkan. Beliau ya deeply involved pada kehidupan kami, menyukai hal-hal yang juga kami para bocah SMA sukai, dan dalam banyak hal cukup pengertian. Beliau juga menggunakan trik yang sama dalam memberi tugas yang kami sukai dan bernafaskan kebebasan berekspresi. Yang khas dari beliau, beliau mengajar dengan jujur yang dalam artiannya disini cukup heart to heart. Beliau tahu betul apa yang kami suka dan tidak, termasuk kedudukan materi-materi teknis di mata kami. Saya ingat, beliau juga sangat persuasif dalam menumbuhkan minat baca salah seorang teman yang bahkan belum menyelesaikan satu novelpun seumur hidupnya. Ketika materi menginjak persoalan teknis biasanya beliau akan bilang kalau memang materi itu rumit tapi setidaknya ini nantinya diperlukan dan gak semua bagian hidup itu menyenangkan jadi untuk kali ini kami harus berusaha, begitu. Haha~

Mereka guru-guru super buat orang seperti saya karena ya, memang mereka mendukung tesis asal saya soal argumentasi pribadi dan kekeraskepalaan. Dan bukan cuma itu, cara-cara mengajar tadi saya sukai karena setidaknya kami bebas dan ini menjadikan kami lebih berani untuk salah dan mengevaluasi diri, bukan menghantui pikiran kami dengan banyak tanda seru sehingga sejengkalpun pada akhirnya bagi kami sukar untuk maju karena terlalu takut —atau setidaknya enggan— salah. Tapi, yaa, ini dunia. Alam pendidikan pun tak selalu menempatkan murid sebagai sarana pendidik menyesuaikan diri, tapi juga sebaliknya. Lagipula bukankah perdamaian terbaik lahir dari kompromi.

Betapa indahnya dunia yang apa adanya tanpa formalitas, tapi akan ada banyak hal yang hilang jika ia sebetul-betulnya menjadi seperti itu kan? Mungkin kali ini memang kesempatan saya untuk betul harus mengaku bersalah dan membenarkan banyak hal dalam diri saya.

Halah, tuhkan, jadi gak jadi nulis, padahal tadinya mau nulis tentang sejarah komoditi lho :v