Trending Topics

.

.

Thursday, December 26, 2013

Antara Rasa Ayam dan Rasanya Jadi Ayam

Kemarin sore, saya berkunjung ke rumah mbah untuk meditasi menjelang ujian, dan tekanan dari kos yang hobi kebanjiran. Diluar dugaan dan target, ternyata saya malah berhasil menyelesaikan dua paper yang terlunta-lunta sekian lama hanya dalam waktu dua sore disana. Internet memang luar biasa pengaruhnya terhadap kemalasan saya~#dorTapi bukan itu yang hendak saya bahas disini. Mungkin post semacam ini sewajarnya saya post di blog dalam kesempatan-kesempatan lalu, tapi entah mengapa tidak untuk saat ini. Mungkin iya nanti, tapi saya ingin memasyarakatkan dulu post ini di jejaring sosial biru tua ini. Saya dapat ilham atas tulisan ini, ketika mbah saya menyembelih seekor ayam jago kemarin sore. Ayam itu ayam kampung, satu dari sekian banyak yang beliau pelihara. Prahara dalam benak saya kemudian muncul ketika ayam itu disembelih dan saya tak tega melihatnya. Bro, dia punya nyawa, dan ketika itulah nyawanya dicabut. Mungkin disembelih dan dijadikan makanan yang menjadi sumber gizi manusia adalah alasan dibalik eksistensinya, tapi meski tak punya akal, dalam menjalani kehidupannya, ayam juga punya perasaan disamping insting hewaninya.

Di bis tadi, sewaktu jalanan macet, saya duduk hanya berbatas kaca yang ditutup dengan truk ayam negeri. Untung kacanya ditutup, karena kalo nggak, pasti ambune wes mbreng-mbrengan kae. Dalam momen itu, entah kenapa, saya bisa catch eyes to eyes sama salah seekor ayam #ngarang. Dia ayam yang beruntung tjoy, karena meskipun baunya gitu ya, dia duduk (?) dipinggir, bisa menghirup udara segar dengan lebih bebas, bayangkan kondisi ayam-ayam yang ada ditengah! Ruang kelas baru dibuka pagi-pagi dan ACnya mati aja, udah pada kabur gara-gara apek dan sumpek. Gimana ayam ayam itu bro? Apa rasanya berjubel bersama ratusan individu, dikotak-kotakkan oleh penjara plastik oranye di tempat sebau itu? astaga~

Oke, saya tahu. Sungguh sebuah rekayasa yang teramat mellow untuk mempersonifikasikan hewan konsumsi semacam ini. Tapi mari ringankan perasaan, jangan emosi dan terlalu melankolis. Turunkan tensi emosi sampai ke taraf terdingin anda, lalu cermati bagaimana rasanya jadi mereka.

Mungkin fine jikalau kita membahas tentang ayam di masa lalu. Saya nggak tahu menahu soal evolusi dan nenek moyang ayam sih, toh saya nggak akan terlalu jauh melangkah sampe ke era jurrasic, tapi lebih ke yang deket aja. Suatu ketika, saya pernah dikisahkan tentang ayam yang dulunya bisa terbang. Ayam adalah burung-burung hutan yang hinggap dari satu pohon ke pohon lain yang cukup susah untuk diburu. Tapi karena dagingnya enak dan susah untuk diburu, beberapa orang kemudian berinovasi cara dengan memelihara mereka. Ayam-ayam pun di tempatkan di sebuah tempat yang jauh lebih sempit daripada habitat asli mereka di hutan dan diberi makan. Badan mereka pun menggemuk dan karena berada disana terlalu lama, mereka terlena dan lupa caranya terbang. Jadilah, ayam ayam itu tak pernah lagi mengenal terbang. Mereka beranak pinak, dan anak-anak mereka pun dibesarkan dengan cara yang sama, tanpa pernah mengenal dahan-dahan pohon yang tinggi lagi. Maka kita dapatilah ayam-ayam seperti sekarang.

Dulu, warga desa kelas menengah ke bawah memelihara ayam di pekarangan rumah mereka dan mengurungnya dengan kurungan bambu di malam hari. Ayam-ayam itu selain memiliki fungsi hiburan sebagai peliharaan, juga memiliki fungsi ekonomis. Beberapa ekor ayam adalah investasi yang bisa diandalkan ketika ada keperluan mendadak. Jika ayam-ayam itu mulai terlihat sakit, sebelum akhirnya mati dan mubazir, mereka disembelih dan dikonsumsi. Semua orang sehat, dan ayam-ayam itu terlihat bahagia dan sudah betul lupa akan angan mereka untuk mencapai angkasa di masa lalu.

Zaman berganti dan ayam semakin banyak di cari. Orang-orang kaya bisa membeli ayam yang enak setiap hari dari orang-orang desa yang setia memeliharanya. Permintaan semakin banyak, akhirnya dikembangkanlah apa yang disebut peternakan ayam. Peternakan itu hanya mengembang biakan mereka, memberi mereka cukup makan dan perawatan secara masal dan terorganisir. Satu wilayah karenanya bisa menghasilkan dua kali lipat jumlah ayam, harganya pun semakin terjangkau. Dengan ini, permintaan semakin banyak. Permintaan ini kemudian ditafsirkan sebagai kebutuhan. Ayam sudah menjadi gaya hidup orang-orang menengah ke atas. Dengan alasan untuk memperbaiki gizi masyarakat umum, genetika ayam mulai direkayasa untuk dapat menciptakan ayam konsumsi yang lebih cepat berkembang-biak dan cepat besar hingga harganya bisa semakin terjangkau oleh lebih banyak kalangan.

Mari membayangkan, berapa banyak jiwa ayam yang ditumbalkan untuk penelitian ini? Mereka menahan sakitnya disuntiki sana sini. Pada akhirnya ini memang berhasil. Terciptalah ayam jenis pedaging dan petelur yang bisa difungsikan sesuai kebutuhannya. Anak-anak ayam hasil proyek ini yang warnanya kuning adalah mereka yang secara genetik sudah dirubah sana sini. Ketika besar mereka tak akan bercorak warna warni seperti ayam sejatinya melainkan putih saja dengan wajah dan jengger merah. Takdir mereka jelas dan masa hidup mereka singkat. Tanpa lagi kebebasan untuk beterbangan di hutan, atau kesempatan untuk menjadi ayam kesayangan di pekarangan rumah. 

Ayam-ayam petelur bisa bertelur tiap hari tanpa harus dibuahi. Ayam rekayasa yang terlahir jantan yang jelas tak bisa bertelur berakhir di pembuangan atau di penjual ayam warna warni di SD. Belum lagi berita baru-baru ini bahwasanya ada seorang anak manusia yang tega memperkosa 300 ekor ayam -_-

Sekarang, rasa ayam adalah rasa yang wajib ada di semua label produk makanan instan dan bumbu penyedap. Dalam dunia bisnis kuliner, ayam dijadikan standar untuk makanan yang pantas gizi dan pantas harga. Ayam kini dijangkau setiap kalangan. Ayam-ayam putih yang berjengger merah tadi setiap harinya disembelih entah berapa ribu ekor untuk menghuni kuali-kuali baik rumahan, restoran, maupun penjual-penjual kaki lima. Manusia sepertinya terlalu terbuai dengan rasa gurih ayam dan tanpa sadar telah merenggut haknya sekian banyak.

Oke, saya ngaku saya manusia bukan ayam. Dan sekali lagi, saya tegaskan tulisan ini ditulis oleh manusia dan dalam pengerjaannya, tak sepeserpun saya dibayar oleh ayam (?). Saya cuma mau menyimpulkan sebuah konsep dari uraian panjang tentang ayam ini. Alam telah berubah sedemikian ekstrim oleh manusia yang tak pernah merasa cukup. Ayam yang tadinya bisa terbang jadi kehilangan kemampuannya, terlebih lagi, bagaimana status ayam-ayam konsumsi itu? Rekayasa genetik telah membuatnya luar biasa berbeda.

Ini cuma opini saya yang juga seorang penyuka ayam. Lihatlah lagi apa yang telah kita perbuat guyes~ Buat memperbaiki kekacauan alam, menghentikan pembalakan liar, pencemaran sungai, dan lainnya itu, yang kita lihat harusnya bukan cuma momok global warmingnya dong, tapi juga perasaan mereka seandainya apa-apa saja itu, yang anda perlakukan semena mena punya perasaan tak ubahnya anda sekalian.

-Yuanita Wahyu Pratiwi, atas nama ayam di seluruh muka bumi-

Di Balik Propaganda Hujan

Aku tak suka hujan, berapa kalipun ia berusaha merubah persepsi kolot ini. Beberapa hari yang lalu kosku banjir. Tangga di sebelah kamar berubah jadi Niagara yang siap mengalirkan berliter-liter air ke kamarku yang hanya nyaman dalam kondisi kering. Alhasil, baju-baju kotor di ember menjadi amunisi pertama yang kukerahkan untuk pertahanan, aku memerasi mereka silih berganti dan mendapatkan hasil perasanku seember penuh.Tak sekalipun padahal, dalam sejarah hidupku aku pernah menghadapi banjir semacam ini, dan kukira juga tak akan pernah, karena kosku letaknya di lantai dua. Tapi seperti itulah, tetapan fisika selalu jadi omong kosong bila dihadapkan dengan takdir.

Hari itu hujan menjadi momok yang mendekap erat Jogja dan sekitarnya sehari semalam. Berangkat kuliah pun masih dalam keadaan hujan. Aku mendapati sosok rajinnya tak tiba. Seorang teman bilang ia sudah berperjalanan ke rumahnya berkenaan dengan libur seminggu penuh yang segera tiba. Hal itu melgakanku, entah kenapa, karena sebelumnya aku mendengar ia mengajak bersamanya teman baikku yang menurut kabar menjadi salah satu yang ada dalam jangkauannya.

Hari senin, ketika aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Mbahku di South Mountain selama beberapa hari setelah selesai kuliah tambahan pagi ini, ajaibnya aku melihatmu, utuh dengan beberapa hal aneh yang menyertai. Sehari tanpa tanda tanganmu di album presensi kemarin kelas begitu sunyi, atmosfernya tak seriang biasanya. Tak ada burung beo—ini sebutan dari seorang teman, bukan aku— yang meramaikan kelas seperti sebelum-sebelumnya. Ada semacam kehangatan ditengah dingin yang mendera. Aku tak melihat koloni mahluk lain jadi aku menghampiri kalian. Bergurau dan bercakap seperti biasanya, naik ke atas begitu ada koloni lain, menunggu Sang Profesor datang lalu masuk ke kelas. Aku mengambil tempat duduk di depan, di sampingmu tanpa kusengaja karena Profesor sudah ada di depan dan aku agak kikuk berjalan membelakanginya untuk memilih tempat duduk depan di sudut sana. Tapi rasanya berbeda sungguh, berdiskusi kecil denganmu di sela-sela penjelasan beliau yang memaparkan amat banyak hal mencengangkan yang selama ini tersembunyi rapat-rapat bagi semuanya kami.
Namun kesenangan sesaat dan liquid hangat itu jauh dari kata hakiki. Sesaat mendekati akhir penjelasan beliau, kau benar adanya akan berperjalanan dengannya. Aku berlari ke tempat lain, mengumpat takdir yang demikian fluktuatif memainkan irama hidupku. Tak ada yang bisa kusalahkan selain perasaanku sendiri, mungkin inilah kenapa orang banyak yang bunuh diri. Membunuh orang lain akan memberinya masalah baru, meski dengan bunuh diri pun bukan berarti masalahnya usai. Setidaknya mungkin ia berada di alam yang sama sekali berbeda, jauh dari masalah-masalahnya, kesakitannya, penderitaannya, orang-orang yang menyakitinya, tak peduli penderitaan yang akan dia hadapi justru penderitaan abadi.

Tapi itu terlalu konyol, aku mau belajar disini, master dan doktor di Eropa, membangun villa di pegunungan, membahagiakan dan membuat orang tuaku bangga, jadi mengapa aku harus mati konyol hanya karena seorang konyol di sana?

Aku menghampiri seorang teman yang akan berperjalanan denganku, mengajaknya ke perpustakaan dan disana aku bertemu kalian lagi. Aku rasa semuanya hampir serba salah. Kau menyebut namanya berkali-kali, ia teman baikku. Apa yang sebenarnya kau atau siapapun maksudkan dari semua ini. Aku ingin mengabaikanmu, mengabaikan kesesakkan ini tapi teramat sulit ketika kau dengan ekspresi konyol yang biasa memulai sebuah kontak komunikasi, tak ada yang bisa kulakukan lagi. Akhir kisah kalian pergi, diiringi hujan yang masih menderai dan percakapan-percakapan manis. Aku menunggu pesan dari teman yang membawa bukuku, menunggu kepastian yang membawa aku bisa melupakan perasaan kuso ini.

Aku tak pernah memimpikan kisah sepicisan ini akan menimpaku, turut mengambil beberapa plot di kisah hidupku. Ini terlalu sinetron, kau tahu? Dan di sinetron hasilnya hanya ada dua, kau mendekatinya karena sebuah sebab konvensional tanpa maksud apa-apa, selain daripada untuk mengecek responku, memastikan perkiraanku kalau selama ini spekulasiku benar kalau pengaruhmu memang sudah mencuci otakku, lalu happy ending. Sial, ini terlalu tidak mungkin. Sinetron macam apa yang terakhir kutonton sampai otakku sebegini terpengaruhnya. Atau jika tidak, ini semacam bukan sinetron, tapi film layar lebar. Aku hanya pintu yang membawamu kembali bernostalgia, kau ingin pindah, maju dan melaju jadi kau pilih untuk meninggalkanku di titik ini dan mengejarnya, lalu tara~ SAD ENDING. Entahlah, aku tak tahu. Aku berdoa agar Tuhan memberiku yang terbaik. Dikala semuanya sudah berbahagia dengan dunia baru mereka, lebih-dari-teman-mendekati-pasangan-mereka, dan masuk ke dalam fase mengenalkan pada orang tua, lalu orang tua saling menitipkan untuk saling menjaga di perantauan, aku masih berjudi dadu.

Kau, ini sialan sekali, sungguh! Aku tak pernah merasakan dentuman seperti dahulu di dadaku ketika melihat atau berada di dekatmu, tapi kenapa hati ini sedemikian kacau ketika kau menjemput langkah ke arah lain? Rasanya mungkin ada sesuatu yang salah dengan radarku, ia tak pernah sekalipun menemukan yang tepat kuinginkan dan menginginkanku yang dalam ringannya kusukai dan menyukaiku. Ayam-ayam yang kumakan pun aku sukai tanpa pernah kutahu mereka menyukaiku atau tidak, begitupun dengan makanan favoritku yang lain. Seorang sohibku di Little Netherland sana berandai dia mengenal si konyol—yang entah kenapa— ia juluki biduan dangdut itu. Ia menyemangatiku untuk kembali pada diriku yang optimis seperti sediakala. Meski pada kenyataannya aku memilih pesimis, memilih untuk menyewa toko kecil supaya ketika aku merugi, kerugian yang kuderita tak sampai membuatku harus menggadaikan nyawa di tali gantungan, melupakan master dan doktor di Eropa, dan villa manisku di pegunungan. Aku sayang hidupku, aku sayang semua orang yang menyayangiku dan kehidupan ini seberapapun ia mengombang-ambingkanku sebegini tak pastinya.

“Kalo lu pacaran wan, pasti bikin heboh.”

Oh, manisnya, aku bahkan tak bisa membayangkannya. Entahlah. Mungkin karena aku tak bisa membagi konsentrasiku. Jika aku melakukan hal seperti itu, kuliahku akan terganggu. Oleh karenanyalah Tuhan tak memberiku kesempatan itu sampai aku bisa lebih baik dalam memecah konsentrasi. Tapi tak ada yang tak mungkin, toh, pada akirnya aku bisa naik sepeda kan ?

Sekalipun semua kisahku yang semacam ini akan mengalami akhir yang tak menyenangkan, aku akan menulis sebuah roman akan mereka. Dan menikmati secangkir kopi di balkon villa pegununganku dengan seekor kucing di pangkuan dan perpustakaan pribadi dengan koleksi banyak. Sesekali aku akan berkunjung ke rumah orang tuaku di akhir pekan, bernostalgia akan masa kecil dan cinta pertamaku yang telah beranak-pinak di suatu tempat, dan makan masakan ibuku sepuasnya. Minggu depannya, aku akan mengadakan penelitian di Belanda, menulis sejarah dan roman-roman lebih banyak lagi. Persis Shrek yang memagari rawanya tinggi-tinggi.
Aku cinta kehidupanku, aku ingin hidup bahagia, aku berprasangka baik terhadapmu, jadi tolong, ramahlah kepadaku~

Oh, betapa menulis hal konyol seperti ini membuatku merasa lebih baik :3

24/12/13


Thursday, December 19, 2013

Menarik Kupon Undian Baru

Selalu saja, begitu hidupku bertautan dengan urusan semacam ini, segalanya seolah langsung berubah menjadi se-tak-pasti kupon undian. Siapa yang tahu, diantara ratusan juta nama yang ada di dalam tabung kaca, namamulah yang kudapat. Selanjutnya akan ada pengundian lagi secara berkala, dalam episode-episode depan yang tak pernah bisa kuduga, diantara jutaan carik kertas didalam tabung kaca, akan muncul skenario-skenario lanjutan kisah ini. Kisah panjang yang mengombang-ambingkan perasaanku tak ubahnya yang dulu, yang sepelenya diawali oleh namamu, hanya namamu.

Sekian lama waktuku bergulir tanpa sensasi semacam ini. Kau tahu, diantara musim semi dan bunga-bunga yang merekah senada dengan senyum-senyum sarat kebahagiaan, aku hampir menjadi satu-satunya yang masih tertinggal di penguhujung desember. Membeku sendirian ditengah sinar matahari yang sarat optimisme dan harapan hanya karena sebuah di waktu yang lalu, yang menghabiskan seluruh energiku untuk kembali bersemi dan membuka diri pada kehangatan matahari. Sampai di sebuah gang dalam perjalanan panjangku, aku menemukan tabung undian lagi sejak sekian waktu yang lalu. Aku menarik secarik kertas dan yang keluar adalah namamu. Kukira semuanya hanya akan jadi angin lalu, sampai kusadari, di waktu-waktu setelah namamu masuk ke kehidupanku, keping-keping es ini mulai luruh dari hatiku.

Beberapa kali aku sudah berkunjung ke tempat undian lagi setelah hari dimana aku menemukan namamu itu. Aku sudah mendapatkan beberapa penggal skenario, dan dari keseluruhannya sampai sekarang, ia benar-benar adidaya dalam memainkan perasaanku. Ajaibnya, setelah es ini seluruhnya luntur dan suhuku normal, semua hal tentangmu selalu menuai optimisme di kepalaku. Seburuk apapun kemungkinan terlintas dalam benakku, ketika aku bertemu denganmu semuanya menghilang entah kemana. Dan selalu saja berpola seperti itu. Saat-saat menyenangkan bersamamulah yang menghapus ketakutanku akan fluktuatisme perasaan ini, meski tak bisa kupungkiri, ada beberapa titik terendah dan aku tak berdaya terhadapnya.

Aku tahu, tak seujung jaripun aku berhak mengklaim atas kasus ini. Aku tak punya kuasa untuk menjatuhkan vonis atas kasus apa ini sebenarnya. Sampai detik inipun aku masih ragu karena rasanya benar-benar berbeda dengan yang dulu. Aku tak bermaksud mendahului takdir, tapi aku mengaku bahwa di saat-saat tertentu perasaan ini tak bisa berbohong. Aku merasakan hal-hal yang alien dalam kepalaku, desiran lucu dalam arus darahku, dan ketidak berdayaan dalam mengontrol emosi. Jadi kesimpulan apa yang bisa kutarik dari premis-premis konyol itu? Akupun tak tahu.

Dengar ya, ini samasekali tak ada hubungannya dengan masa lalumu. Kalau boleh aku jelaskan, aku samasekali tak menduga ini sebelumnya. Di waktu-waktu sebelum kerja berat seminggu itu, aku melihatmu dari sudut yang sangat biasa. Bahkan, saking mayornya kau dikelas, aku sempat berpikir kalau orang macam kita, tak akan berada dalam satu lajur yang setara. Kau yang mayor dan aku yang tak banyak memilih berprahara dengan resiko. Kau yang menjadi bagian penting dan dimiliki seluruh kelas, sementara aku hanya bagian kecil dari kelas yang memilikimu. Aku hanya turut tertawa diam-diam dalam joke-mu, dan semuanya pun kukira hanya akan tetap seperti itu sampai ada sinyal lain yang tertangkap oleh GPS-ku. Awalnya aku mengabaikan sinyal itu, pikirku barangkali itu hanya interpretasi program GPS-ku yang apatis teknologi baru. Sampai dalam perjalananku, aku kembali menemukan tabung undian dan begitu kutarik, muncul skenario baru. Itu terjadi beberapa kali, menguji interpretasi GPS-ku yang ternyata meski tua, masih cukup bisa diandalkan. Sadisnya, interpretasi itu menghadirkan merah muda kembali ke lembaran hidupku sekarang. Dengan tokoh utama kali ini dirimu.

Selesai satu prahara internal diriku, interpretasi baru muncul dan aku tersengat lagi. Sial, kenapa semua ini demikian rumit? Dunia ini sudah tua, manusia sudah semakin pintar untuk tak lagi percaya pada undian yang kredibelitasnya sama dengan cenahyang kuno. Tapi aku mau berkata apa kalau memang hal yang terjadi tak pernah kuketahui dan membawa labilitas yang demikian dahsyatnya. Dalam episode-episode terakhir, kasus ini terangkat ke permukaan, beberapa orang memojokkanmu dihadapanku, menarik saksi baru, dan menyimpulkan sebuah steatment yang kau anulir kebenarannya. Kau bilang, this case is no more than a joke. Dan yah, kurasa benar, semua ini hanya sebuah joke. Jadi aku hanya harus tertawa dan melupakan semuanya. Yeah, andaikata dalam hal ini, tertawa dan lupa dapat dilakukan demikian mudahnya.

Di hari berikutnya kau mencoba meluruskan semuanya. Menjadi lebih dewasa dari di kasus pertama. Awalnya ada banyak hal yang kukhawatirkan mengenai kelangsungan relasi ini, tapi kau berhasil mengatasinya dengan sangat baik. Ah, mungkin kesimpulanku ini hanya sebuah interpretasi yang hiperbolis dan anti objektif samasekali. Tapi ini duniaku, hak prerogatif mutlak ada ditanganku. Aku tak menyebut namamu, menjabarkanmu secara gamblang, dan menghasut orang-orang agar menuding keji ke arahmu, aku hanya menulis apa yang kurasakan, sebagai diriku sendiri.

Sampai sekarangpun, semuanya masih rumit. Kukira benar adanya kalau selalu ada masokisme dalam kasus seperti ini. Aku bagaimanapun menikmati ketersiksaan ini, ketika disiang hari aku tertawa dan semalaman setelahnya aku tak henti bertanya pada diriku bagaimana sebenarnya takdir membahasakan kisahnya padaku dibalik tawa-tawa yang mengalir begitu saja ketika bersamamu tadi. Aku tak tahu tabung terakhir mana yang akan kutemui dan eksekusi macam apa yang ada dalam skenario terakhirku mengenai kasus ini nanti. Aku menunggu, menyiksa diriku oleh spekulasi dan kejungkirbalikan perasaan yang tak terdefinisikan untuk sesuatu yang semoga saja membahagiakan, amin. Untukku, dan tentunya untukmu, juga semuanya.

-Gun and Roses- 

Wednesday, December 18, 2013

Seminggu di Penghujung Semester Satu

Terlalu mainstream kalo saya bilang 'rasanya baru kemarin', tapi ya gimana lagi, kalo diliat dari sisi dimana saya berdiri detik ini, waktu-waktu dibelakang rasanya memang terlalu cepat berlalu. Lucunya, hari dimana saya membaca tulisan ijo di snmptn.ac.id kalo saya diterima di Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada itu terjadi tujuh bulan yang lalu. Ketika itu tanggal 27 Mei, pengumuman dimajukan. Paginya dengan tampang tak terdefinisikan, saya masih main ke sekolah, melihat tampang-tampang lain yang juga tak terdefinisikan. Lawakan dan tawa-tawa tanpa kata anggun dan santun mungkin mengalir seperti biasa, tapi tiap-tiap dari kami tahu, kalau kami satu sama lain memelihara bisul sama besar yang akan meletus sorenya.

Sekarang, setelah melalui berbagai proses, sempat menganggur dan menikmati sesi penggemukan yang tak disengaja (ya mana mungkin saya menyengaja menggemukan diri?!) selama beberapa bulan, dan mencicipi apa yang dinamakan perkuliahan, bertemu dan menyegani banyak orang serta menjadi candu oleh atmosfer baru, ternyata saya sudah sampai di penghujung semester. Ada banyak sekali hal yang terjadi, bagaimana saya yang males ini harus membiasakan diri mengurusi kerapihan diri serta tempat tinggal seorang diri, bahkan sampai sempat mendapat teguran dari Yang Maha Kuasa dengan dua butir (?) kelabang, menunaikan kewajiban dengan waktu yang tak seragam setiap harinya, dan menjalani hidup secara normal dan bahagia sebagaimana anak muda pada umumnya.

Pola pikir saya sedikit sudah terpengaruh oleh kuliah-kuliah selama empat bulanan ini. Well, sekarang, gak tau kenapa, bawaannya kalo orang awam berkoar-koar tentang sejarah dengan pedenya (sama saja seperti yang saya lakukan dahulu sebenarnya) bawaannya sweatdropped. Soalnya guyes, terlalu banyak, terlalu banyak kegelapan dibalik kegemilangan yang hanya kita ketahui selama ini. Ibarat kata seperlima dari gunung es yang nampak di permukaan laut, sejarah yang ditutup-tutupi dari orang awam adalah gunung es yang gak kebagian tempat untuk eksis dan lantas dendam hingga menelan tumbal Titanic yang jadi legenda Atlantik Utara. Sejarah itu bukan benar atau salah, kanan atau kiri, pahlawan atau pemberontak, hitam atau putih, tapi semua warna. Kekuatan sejarah adalah eksplanasi yang empiris sekaligus dekat dan menyeluruh dengan bantuan "multidimensional approach". Objektivitas hanya ada di peristiwa aslinya, subjektivitas mutlak ada, dan metodelah yang membedakannya dari sekedar omong kosong dan cenahyangan belaka.

Adaptasi saya disinipun sudah meraih posisi yang nyaman. Doa saya sekian lama benar-benar terkabul, dan rasanya luar biasa. Rasanya saya masih ingat sensasi gundah yang luar biasa menjelang kepindahan, bagaimana saya merasa benar benar jauh dan sendirian, dan seberapa parah saya homesick sampe nangis tiap malem di kamar. Dalam hari hari awal itu, doa saya masih sama, saya meminta untuk didekatkan kepada orang-orang yang baik dan bisa membahagiakan saya, dan sekarang semuanya benar-benar terjadi. Kelas dimana saya berada ini adalah kelas ternyaman yang pernah saya tempati. Mungkin homoegnitas minat dan pola pikir yang menyatukan kami. Meskipun diantaranya ada beberapa orang diluar kelompok, mereka hanya individu atau kelompok kecil yang sangat minor dan tak demikian membelot. Yang lain hanya menanggapinya ringan sejauh apapun dampak kekacauan yang bisa mereka timbulkan sebenarnya bisa memecah belah kami.

Beberapa kali, nampak seolah ada masalah serius yang datang menghampiri. Kami kemudian membuka forum untuk meluruskannya, tapi di kemudian hari forum tersebut malah menghasilkan masalah baru. Tapi sebagaimana yang saya katakan, persoalan pelik semacam ini hanya untuk sebagian kecil orang, minor, amat minor. Sementara yang lain sewarna dengan pemikiran saya, tak pernah betulan menganggap ini masalah.

Satu semester yang diawal terlihat amat sangat panjang kini sudah menyentuh akhir. Beberapa mata kuliah sudah menutup buku presensi dan menuntaskan evaluasi. Untunglah di semester depan, mata kuliah yang diambil masih paket dan kesemuanya wajib, karena buat saya pribadi, rasanya pasti sulit mendapati kelas ini tak lagi berpadu dalam satu kesatuan. Ketika nanti kami telah dipisah-pisah oleh spesialisasi, entah akan seperti apa jadinya. Sementara itu masih lama, saya ingin fokus menikmatinya.

Seminggu terakhir ini, kami dibebani beberapa tugas paper yang amat menyita waktu dan pikiran. Belum lagi, minggu depan adalah minggu tenang yang notabene merupakan garis start menuju ujian akhir semester. Beberapa diantara kami memutuskan untuk pulang, yang rumahnya agak jauh memilih untuk berhemat ongkos dan menahan diri, sementara yang rumahnya lebih jauh lagi harus lebih bersabar dan bersabar.

Pertemuan pertama kelas awesome ini secara keseluruhan terjadi di sebuah sore yang saya lupa tanggalnya. Jadwalnya ketika itu sebenarnya adalah technical meeting untuk Bratasena 2013. Dalam pertemuan itu, saya melihat beberapa wajah lama yang saya lihat di gathering selepas test toefl, dan wajah-wajah baru.

Kuliah pertama kami berlangsung di ruang A 203 dengan kuliah orientasi Pengantar Sejarah Indonesia oleh Prof. Bambang. Beberapa orang terlambat ketika itu dan saya sempat kena tegur akibat main ballpoint. Kami kemudian melalui sebuah step wajib maba sejarah yang dinamakan Siwaramudya. Dalam event itu saya mendapatkan sebuah nama. 

Berikutnya ada History Week, disinilah skuadron artistik pertama kalinya mengalami pelatihan resmi. Selama sekitar sepuluh hari, kami pulang hampir tengah malam untuk mengurusi tata letak, dekorasi dan artistik HW 2013. Dari acara inilah, dibentuk skuadron artistik yang tersiagakan untuk acara-acara berikutnya. Yang terakhir ada inagurasi. Event ini yang paling kerasa pahit manisnya. Event dimulai dari rapat pleno awal, disana kami menentukan susunan panitia dan saya kembali mendaftar di skuadron artistik. Selain itu, dibentuk skuadron darurat untuk menggalang dana yakni Skuadron Nasi Kucing. Skuadron ini menangani produksi nasi kucing demi penggalangan dana untuk inagurasi, dan saya turut terlibat didalamnya. Inagurasi ini prosesnya berlangsung cukup lama, mungkin sekitar 2 bulan, dan banyak letupan-letupan didalamnya. Tapi darisinilah saya semakin mengenal dekat beberapa orang. Meski hasilnya kami belum beruntung untuk menang di acara penutupan Bratasena ini, saya pribadi puas. Kami sudah mencoba apa yang kami bisa, selain itu, kami memiliki kompetensi mumpuni yang tak masuk kategori penilaian. Yang jelas, setiap usaha baik menghasilkan kebaikan, dan itu bisa kami rasakan sekarang.

Dalam dinamikanya, kelas ini sempat melakukan sebuah trip angkatan ke Semarang. Meski kunjungan itu terlampau singkat, lagi-lagi kami juga mendapatkan banyak hal dari sini. Kunjungan ini juga menjawab salah satu ambisi saya untuk pergi ke Little Netherland ini.

Disini saya memiliki beberapa dokumentasi perjalanan kami.

masterpiece squadron artistik yang diarsiteki oleh Rama

foto sama Gatot Rp 5000,-

WIP with Habib, sekarang ancur :v

posenya -_-

depan lawang sewu, kaya abis demo~


dibis mau ke Semarang

masih di lawang sewu

detik detik menjelang tampil~

poster inagurasi dalam semalam
Gatot dan Soeharto, dua ikon~

anglenya lumayan :v

isi posternya mantap XD

mau berangkat kirab~~


malam puncak History Week 2013, semuanya cokelat~


begitu kostum gatot jadi, foto bersama crew


Saturday, December 14, 2013

Di Pojok Barat Laut FIB

Guyes, sisakan sedikit celah dari sekian banyak kertas putih yang masih tak ternodai di muka bumi ini untuk kutulisi sebuah testimoni. Karena menulis itu sendiri adalah kompetensi terdasar yang pantasnya kami miliki setelah metodologi, daya jual kami kedepannya, para sejarawan yang bertugas untuk meninggalkan jejak-jejak yang dapat ditelusuri generasi berikutnya, para treasurer kisah, makna, dan peristiwa.

Aku belajar banyak di tempat baru ini, dari sejarah di balik kisah di buku sekolahan yang mencengangkan sampai cara main kartu ketika menunggu hujan reda selepas kuliah. Menemukan begitu banyak orang baru, dan pola-pola baru. Tapi sungguh, masalah apapun yang terjadi disini sekarang, aku menikmati dan mensyukuri saat-saat yang berlangsung setiap harinya. Untuk kali pertamanya sepanjang hidupku, aku menemukan orang-orang yang seselera denganku, bahkan dalam lajur dan pola yang sama, dosis mereka berada jauh diatasku. Bagi kalian yang awam kelas ini dan pernah mengenalku, menurut kalian orang-orang di kelasku sekarang mungkin lebih Yuanita Wahyu Pratiwi daripada Yuanita Wahyu Pratiwi sendiri.

Di lingkunganku sebelumnya, aku banyak diasumsikan sebagai mahluk konservatif yang jadul, apatis teknologi, berselerakan musik aneh, Soekarnois, dan saking kritisnya jadi terkesan gemar menuai keributan. Tapi di kelas ini keroncong jadul adalah lumrah, orang yang jauh lebih konservatif dariku juga banyak, Soekarnois yang radikal pun ada, dan pengetahuanku seketika jongkok ketika ditempatkan dalam podium yang sama dengan mereka. Orang-orang ini luar biasa. Dengan cara mereka sendiri, mereka demikian berapi-api menyusuri jalan yang mereka tentukan masing-masing. Beberapa orang, termasuk didalamnya orang itu, bahkan sangat influental. Seketika mereka menjadi sosok yang dimiliki seluruh kelas, bagian tak terpisahkan dari kelas, mengambil pos-pos minor dalam gerilya humor di jam-jam selepas kuliah.

Dalam rezim baru negara hidupku ini, aku lepas jauh dari masterku di Bandung sana. Ada dua sisi yang sepertinya berlawanan dari ini, aku bisa lebih mandiri darinya, satu-satunya orang yang dipercaya tidak lagi sebagai sayap kanannya melainkan penerbang utama, sekaligus berada jauh dari bimbingannya, dan minim progress tentunya. Seketika nanti kami bertemu dan menggambar bersama lagi, karya kami pasti tidak lain lagi akan berupa bak langit dan bumi. Bakat itu seperti prerogatifnya, mencatatkan angka pasti dalam kualitas dirinya, dan banyak orang mengakui itu, ia memang luar biasa. Selanjutnya, dunia yang pernah kujelajahi bersama masterku ini membawaku menemukan posisi dalam negara ini. Aku, veteran artistik.

Selepas makrab jurusan, ada event lagi beberapa bulan setelahnya. Ketika itu, opening recruitment dibuka, dan aku menuliskan namaku di kolom 'seksi artistik'. Beberapa hari setelahnya, dibuka sebuah sesi wawancara, kami dipertemukan satu sama lain dan dengan koordinator kami. Detik itu, orang-orang yang kemudian menjadi veteran artistik ini mulai mengidentifikasi satu sama lain. Dan entah takdir atau apa, kami dipertemukan lagi dalam otoritas sama di waktu-waktu selanjutnya. Dari kelompok kecil yang ambisius dan telaten ini aku menemukan apa yang membuatku amat mensyukuri keberadaanku disini.

Konsep bahagia yang kutemukan disini bukan lagi sekedar tertawa, tapi tulus merasa bahagia tanpa harus menahan diri dan mengorbankan lebih banyak hal-hal yang harus membuatmu menahan kebahagiaanmu terlebih dahulu. Bahagia adalah konsep timbal balik yang seimbang, tanpa tekanan dan keterpaksaan, dan di sebidang teras luas di pojok paling barat laut fakultas aku membuktikan bahwa teorema-teoremaku atas ini benar adanya. Bagaimana kelompok-kelompok dalam society terbentuk kadang secara sederhana disebabkan oleh kesenangan yang sama. Ketika mereka menyenangi sesuatu, mereka akan berbicara tentang itu, yang lain yang juga senang akan menanggapinya, dan diantara mereka kemudian akan timbul timbal balik seimbang yang menyenangkan satu sama lain, demikianlah konsepnya, dan itu terbukti aplikatif diantara kami.

Kadang aku bertanya, demikian banyak intrik terjadi antara hanya segelintir orang di kelas ini, satu yang demikian membekukan apabila dipertemukan dengan yang panas tetap akan saling menghancurkan, dan wilayah sekitarnya tetap akan mengalami anomali karenanya, tapi di pojok barat laut ini semuanya terkesan damai. Orang-orang yang memiliki kerelaan lebih ini semacam dibayar oleh nilai yang tak kasat mata. Yang jelas, ada suatu motivasi diantara mereka yang membuat banyak petang dalam hari-hari mereka yang melelahkan dengan sukarela mereka habiskan disini, dengan kegiatan yang hanya begitu-begitu saja, bahkan tak jarang menelan korban berupa jejak permanen cat di pakaian-pakaian mereka, dan konsumsi yang apa adanya. 

Kini kerja kami hampir usai, seperti periode pertama penugasan kami, aku merasa seolah waktu-waktu merepotkan tiap petang ini amat berharga untuk berlalu. Istirahat di kamar sambil lebih memperhatikan kerapihannya sedikit tak cukup menyenangkan untuk menggantikan saat berharga di pojok barat laut fakultas tersebut. Kami, orang-orang yang memiliki kesediaan lebih ini, yang dibayar oleh nilai yang tak kasat mata ini, yang bahagia ini, akan mendapati lubang besar sarat kekosongan diantara satu angka dengan yang lain dalam jam-jam dimana kami biasanya berkarya bersama.

Pembicaraan mengalir tentang banyak hal, kadang disisipi keluhan oleh udara dingin, tugas, hujan yang tak kunjung reda dan rasa lapar. Lagu-lagu dari genre yang kami sukai mengontrol harmonisasi mood kami. Lagu-lagu yang datang dari waktu yang lalu membawa kisah lalu ke atmosfer baru. Yang lain tak mengerti, tapi rasanya akan sangat lucu sekali mendapati diri mendengarkannya di dua atmosfer yang luar biasa berbeda. Kami, masing-masing, datang dari latar belakang berbeda, tak pernah saling mengenal sebelumnya, dengan kisah masing-masing di waktu yang lalu, membuka lebar tangan untuk menangkup kisah baru yang akan semakin memperkaya warna dalam hidup kami.

Petang yang berharga bersama kalian, waktu yang menyenangkan di kelas. Rasanya pasti berat ketika kita mulai mengambil spesialisasi pilihan yang tak serta merta sama. Aku tak bisa secara selengkap ini merasakan desiran darahku beritmekan nada bahagia. Karenanyalah aku tak ingin ini lekas berlalu.


Di suatu petang yang lalu, dalam kamarku yang amat jauh dari sini,
dalam khawatir dan segala gundah yang membuncah aku mengucap doa,
aku akan tinggal di tempat yang jauh, jauh dari orang-orang yang menyayangiku disini, maka pertemukanlah aku dengan orang-orang yang membahagiakanku, Ya Tuhan.



Big thanks,
to God,
to people who has become God's agent to realized my pray.

Yuanita WP, 12-14-13

Wednesday, December 11, 2013

Equality of Life

Saya berani bertaruh, kalimat diatas menjadi terminologi yang akan membawa anda ke cabang pemikiran lain soal Amon di Avatar Korra, atau Karl Marx kalau anda memang seorang intelektual dan bukan cuma bocah penggemar Nickelodeon yang sebenarnya tak amat paham apa itu Equality of Life. Memang yang sebenar-benarnya kalau itu bukan kalimat saya, saya terinspirasi dari Amon, kemudian merasa bahwa kalimat itu betul ajaib dan aplikatif sebenarnya dalam kehidupan, lalu menyadari bahwa itu sebenarnya konsep Marx beberapa saat kemudian.

Kadang saya memang hobi menggali pemikiran-pemikiran konyol saya semacam ini. Mungkin sangat nggak match dengan layout blog yang demikian aduhai ini haha, tapi ya, blog ini representasi identik dari diri saya. Amburadul, kebanyakan embel-embel, masih punya selera, suka estetika meski gak disiplin dengan kerapihan, melankolis, tapi kadang kritis juga, saya rasa sejauh ini saya masih berada pada batas-batas yang saya kenali.

Anda sekalian tahu? Tulisan yang nggak akan menambah satu poin pun nilai mata kuliah saya ini saya tulis ditengah kebuntuan dalam mencari ide akan tugas yang deadlinenya tepat besok, jam sebelas siang. Pikir saya, daripada saya buka internet dan googling dengan niat awal mencari ide dan ujung ujungnya malah lupa waktu di fb atau ffn, lebih baik saya semedi di blog ini. Siapa tahu, dengan meneliti pemikiran saya sendiri, tulisan-tulisan yang demikian abstraknya ini, saya bisa bangkit dari keterpurukan dan segera menemukan pencerahan akan ide yang tak kunjung datang itu. Semacam membongkar lemari lama dengan harapan menemukan harta karun.

Jadi sesuai judulnya, saya berpikir jikalau Equality of Life itu nyata. Kehidupan yang berlangsung ini memiliki konsep dasar berupa kesetaraan. Oke, siapa lo wan berani ngomong gini? S3 Filsafat? Yaelah bro, nyante, ini lapak gue kok. Saya memang tak berpegang pada apa yang dinamakan dengan metode, tapi inilah yang ditafsirkan otak saya oleh gejala-gejala yang saya tangkap selama ini. Memang benar bahwa metode lah yang membedakan seorang cenahyang dan sejarawan, tapi bagaimana dengan Da Vinci yang tak pernah berguru dan menemukan ilmunya sendiri dari alam? Oh, lancang sekali saya menganalogikan pemikiran saya dengan seorang ber-IQ diatas 200, tapi bisakah dengan segala kerendahan hati, saya meminta anda sekalian mempertimbangkan analisis konyol ini?

Kerangkanya bermula pada steatment umum yang menyatakan bahwa hidup adalah pilihan. Saya nggak tahu siapa yang pertama kali mengutarakan kalimat mainstream ini, tapi yang jelas, hampir semua orang pernah mendengarnya. Tiap detik, menit, jam, kesempatan, kita memang selalu dihadapkan pada pilihan, kadang rumit, kadang pula sulit. Saya jarang sekali mengganti keputusan saya, tapi selalu sulit ketika memutuskan sesuatu. Seperti ketika memilih pakaian di toko, saya bisa mendatangi gantungan yang sama berkali-kali, berputar lagi, dan mengulang pola itu untuk beberapa jam, padahal apa yang saya punya kemudian hanya satu dari sekian banyak yang saya putari tadi, sebanyak apapun saya memuji dan mendewakan pakaian-pakaian disana, selama apapun saya bingung soal mereka. Saya kemudian ingat kata-kata Bapak saya, "Halah, nanti kalo dirumah, gak ada temennya juga ini bagus. Disini keliatannya biasa aja karena banyak temennya." Apa yang sebetulnya tersirat dalam konsep yang kemudian tertanam pada saya ini adalah perasaan 'nrimo' yang muncul sebagai stimulus dari keterbatasan. Perasaan nrimo ini cukup melegakan, dan membuka kesadaran untuk bersyukur bahwa pilihan saya tidak buruk, saya setelahnya bisa berbahagianya karenanya, kalau saya mengambil yang tadi atau yang satunya lagi, tak menutup kemungkinan hal yang kemudian terjadi tidaklah sebaik ini, jadi apa yang terbaik bagi saya adalah apa yang saya miliki, detik ini. 

Kesannya mungkin terlalu St. Agustinus, amor fati begitu. Tapi sebetulnya ini lebih Ibnu Khaldun kok. Konsep nrimo ini bukan semata mata menerima takdir, tapi lebih mensyukuri setelah memilih, dan merepress apa yang dinamakan penyesalan. Manusia memiliki kuasa untuk berusaha dan berjuang demi nasibnya, Tuhan bukanlah musabab tunggal, apa yang kemudian terjadi adalah karena ikhtiar manusia juga. Pengertian dangkal saya dari teori ini kemudian adalah equality of life itu tadi. Yang kemudian terjadi adalah keseimbangan antara usaha manusia dan restu Tuhan.

Mudahnya, apabila hidup ini diibaratkan sebagai labirin, ketika kita dihadapkan pada tiga percabangan baru yang gelap, adalah murni pilihan kita untuk menentukan satu diantara yang lainnya. Setiap dari percabangan itu memiliki suka dukanya sendiri, dengan porsi yang persis sama. Persoalannya kemudian hanya soal selera dan pandangan yang murni subjektif mengenai kisah yang terjadi dalam labirin itu setelah orang-orang yang berbeda melewatinya.

Selain itu, kecenderungan untuk bimbang erat kaitannya dengan kepribadian yang konservatif. Orang yang konservatif, tertutup atau setidaknya tak selalu berprasangka baik terhadap perubahan akan mudah terjebak pada zona aman akibat perasaan nrimo tadi dan otomatis sulit untuk menentukan pilihan yang akan membawa kebaruan pada dirinya. Dan konyolnya, saya termasuk orang-orang ini.

Tapi teori equality of life ini ada untuk meredam dosis prasangka buruknya orang-orang konservatif. Bahwa hidup ini murni pilihan. Berhentilah menjadi demikian kaku karena apa yang benar adalah yang dianggap baik oleh mayoritas orang, dan apa yang buruk adalah apa yang dianggap baik oleh minoritas orang. Janganlah berprasangka buruk pada kehidupan karena ia masih memiliki batas yang jelas.

Mungkin ini terdengar berbahaya, tapi Mencuri sekalipun punya sisi baik, yakni untuk pelakunya, dan sisi buruk untuk yang kecurian. Orang beradap tak suka merugi dan merasa memiliki cara untuk menengahi kriminalitas ini yakni dengan berusaha sedikit lebih berat tanpa terlalu beresiko untuk tidak memiliki apapun dengan bantuan instrumen yang dinamakan hukum dan instansi berisi aparatur untuk menegakkan pilar-pilar tersebut. Jalan tengah yang diambil itu jugalah keseimbangan hidup. Mereka rela untuk tak menjadi demikian dimudahkan demi takt terlalu mudah dirugikan pula. Iya kan?

Marx saya rasa, punya konsep besar untuk menerapkan keseimbangan ini bukan lagi hanya dalam kapasitas individu, tapi juga negara, sebuah instansi yang menaungi banyak sekali manusia. Konsep ini sudah teruji oleh zaman dan terbukti tak bisa bertahan. Menurut saya, karena manusia sendiri sudah memiliki kredibilitas atas keseimbangan ini dan jikalau mereka sadar, kehidupan yang seimbang akan tercipta tanpa harus dengan konsep rumit yang mengatur banyak orang. Yang masih belum saya temukan jawabannya ialah bagaimana cara membuka kesadaran tersebut. Yaah, lagipula, jika sudah ditemukan, ini adalah kunci dari segala kunci. Dan jika sudah begitu, permasalahan terbesar dalam hidup ini akan terselesaikan. Tapi, apabila dikaji dengan teori keseimbangan hidup, akan ada permasalahan lagi, yang lebih besar, yang akan muncul untuk diselesaikan, entah itu apa. Jadi biarlah seperti ini, karena apa yang kita dapati sekarang adalah apa yang terbaik untuk kita.



Oh, kepala saya sakit. Apa yang sebenarnya saya tulis ini?
Salam Amon!



11/12/13
Yuanita WP