Trending Topics

.

.

Tuesday, December 01, 2015

IPK

Belum lama ini saya liat video di yutup, isinya kisah horror seorang pengejar IPK. Dari momen-momen kayak gini, saya percaya kalo hidup itu ada yang ngatur. Belakangan ini, paradigma semacam ini lagi melanda saya juga, dan ternyata masih saling sambung sampai saya lihat video tadi. Mungkin jadi semacam kasus yang cluenya lagi loading satu persatu. Kalo liat pandangan umum di medsos, rasanya, perbedaan paling mencolok dari kuliah dan sekolah adalah diinginkan dan tidak terlalu diinginkannya sebuah nilai. Kalo di sekolah, orang tua dipanggil pas bagi rapot. Yang dilihat apa? Nilai. Bahkan di film Sang Pemimpi, ada cerita kalo tempat duduk orang tua pas bagi raport disesuaikan sama peringkat anaknya. Intinya, what makes them proud are grades, bukan yang lain. Atlet sekolah yang kebanyakan dispen, juara setinggi apapun, dianggap cuma modal otot gak modal otak.

Keadaan berbalik ketika masuk kuliah. Entah gimana ceritanya, nilai gak terlalu menghibur. Apa karena luasnya dunia kampus atau labilnya usia setengah remaja setengah dewasa, prestasi lain diluar IPK dianggap lebih precious. Kalo di sekolah, kita tahu banget lah gengsinya anak sekolah swasta di lomba-lomba akademis kaya apa dibanding anak-anak yang nyambi jualan dan nilainya pas-pasan. Apakah ada semacam pembalikan, momen balas dendam, karma, atau apa, yang jelas cobaan bagi para pengejar nilai, derajat kalian turun.

Waktu SD, elit kali balap-balapan nilai sama temen. Pas SMP guru BK bilang boleh pacaran kalo nilainya jadi tambah bagus, dan seterusnya. Tapi hanya dalam satu dua tahun, indikator ini gak berlaku lagi. Ada segala macam sukses diperkuliahan. Ada sukses bisnis, sukses pimnas, sukses organisasi, sukses politis, sukses pacaran, dan masih banyak lagi. Sukses akademik cuma sukses kecil, nyempil tak terlihat diantara yang lain.

Yang kerap kali disandingkan sebagai tandingan sang nilai kognitif adalah softskill. Softskill itu semacam kualitas diri, kecakapan tak tertulis, tapi does meaningful in real life. Contoh softskill misalnya leadership, self-management,  kemampuan problem solving dan lain sebagainya. Dua hal ini kerap dianggap tak bisa berjalan beriringan, jadi ketika IPK kamu super, softskill kamu jelek, dan sebaliknya ketika softskill kamu bagus, pasti IPKnya gak bagus-bagus amat. Asumsi ini nyata tumbuh subur di masyarakat, dan menurut saya, ini mengerikan.

Ceritanya gini, saya anak 19 tahun yang masih sangat tidak dewasa, sedang kebingungan perihal ini. Saya tumbuh dengan anggapan bahwa berpassion adalah impian saya. Hidup dengan menekuni sebuah kesenangan adalah target masa depan saya. Oleh karena itu, saya meninggalkan hidup dalam usaha mengejar ranking 1 selepas SD. Saya sadar, kesempurnaan yang bisa saya usahakan mencapai puncaknya ketika itu. Nilai UN SD saya menegaskan bahwa kebodohan saya dalam hal hitung-hitungan sudah terdeteksi cukup parah. Matematika di SMP dan SMA semakin sulit, dan saya akan segera masuk ke SMP yang menyatukan saya dengan mantan-mantan rival di berbagai lomba ketika SD. Para rival yang banyak mengalahkan saya dengan menyedihkan. Ketika itu saya pikir, saya berhenti mengejar ranking 1.

Kekalahan itu pahit, dan saya sudah lama belajar tentang hal ini. Saking pahitnya, saya agak parno sama kekalahan. Akibat keparnoan ini, saya tidak terlalu kompetitif. Premis lain ada pada kesungguhan dan fokus. Saya sadar kalau fokus itu penting dalam sebuah lomba calistung ketika kelas 3 SD, konsen saya buyar karena asyik memandangi sebuah penggaris baru, dan tarra, saya tidak lolos seleksi kecamatan. Ketika SMP, ibu saya melarang saya masuk OSIS karena khawatir sekolah saya akan terganggu. Seolah mengamini hal itu, saya setuju tanpa banyak advokasi karena pada dasarnya saya memang sulit merasa nyaman dengan hal baru. Meski begitu, saya mengasosiasikan seorang pengejar nilai dengan kesempurnaan di segala bidang. Saya pikir saya berbeda, saya tidak seperti itu, karena saya tidak ingin menguasai segala bidang.

Semenjak SMP, saya menanti-nanti pelajaran favorit saya. Saya tentu ambisius dan berusaha keras di dalamnya, karena saya suka. Bagi saya, kalah di bidang lain tidaklah memalukan, tapi ia jadi pahit ketika terjadi di bidang yang saya sukai. Tapi diantara dorongan yang ada, dorongan dari rasa suka dan kesenangan memiliki spesialisasi lah yang saya nikmati. Pola seperti itulah yang terjadi sampai saat ini.

Rasa syukur saya sangat besar ketika diterima di jurusan yang saya geluti sekarang. Tidak ada penyesalan atau keraguan sedikitpun ketika itu. Tiap semester rasanya seperti berperjalanan jauh. Kisah demi kisah terbuka dalam alur yang total, tidak terputus-putus sebagaimana ketika di sekolah dulu. Bagian paling menyenangkannya, sejarah tak hanya jadi pemanis 40 menit di penghujung minggu dan sering kosong, tapi whole week, 24 SKS!
Berdasarkan kisah indah itu, otomatis yang ada adalah euforia dan euforia. Di penghujung semester pertama, nilai saya keluar belakangan. Ketika teman-teman SMA cerita soal IPK, saya hanya terdiam. Perasaan saya iri mendengar kata 3,7; 3,6;3,8. Saya tidak berharap banyak mengingat bagaimana mindblow mengacaukan kerangka rapuh yang telah saya bangun sejak SD dan menggantinya dengan yang baru. Sementara itu, kerangka barunya sangat asing, sulit dimengerti, bergerak sangat cepat dan banyak menuntut. Saya hanya berpikir bahwa saya telah sangat terhibur oleh prosesnya, mengapa saya harus serakah dan menuntut semua hal kepada saya? Apapun nilainya, yang penting saya menjadi lebih baik dari yang lalu, yang penting saya tahu apa yang sebelumnya tak saya tahu.

Di luar dugaan, IPK pertama saya cukup menghibur. Ketika sudah begini, hadiah tambahan ini dan hadiah yang sesungguhnya bergabung menjadi candu bagi saya. Antusiasme demi antusiasme terus mewarnai semester-semester selanjutnya. Semester yang paling saya nikmati, semester tiga, mencatatkan rekor tertinggi. Menurut saya ini bukti lain bahwa ‘perasaan menikmati’ dan hasil berjalan beriringan. Rasanya seperti saya telah menemukan apa yang selama ini saya cari-cari. Entah kesombongan dari mana, tapi menurut saya waktu itu, ketika mengerjakan tugas, saya menemukan diri saya bekerja dengan passion sebagaimana yang saya impikan sejak dahulu.

Di atas langit masih ada langit, dan selama kita masih hidup, semakin tinggi kita, yang kita rasakan adalah semakin panasnya matahari, bukan semakin sejuknya surga. Saya percaya kalimat itu. Mungkin ini alasan mengapa sombong itu dilarang. Di balik perasaan menyenangkan ketika dagu perlahan naik, literally or exactly, ada hati hati lain yang terluka, ada penyesalan di masa depan ketika kita terpaksa harus menelan kesombongan kita sendiri dengan kegagalan lain. Saya pikir selama ini saya hanya senang, tapi mungkin secara tak sengaja saya telah menjadi sombong. Mungkin orang-orang lain ada yang terluka oleh kesombongan itu. Maka beginilah manusia ini akhirnya terpukul lagi. Memang sih, orang lain diciptakan bukan hanya untuk mendukung, tapi juga menantang. Orang lain yang berbeda raga, jiwa, dan riwayat dengan kita sangat mungkin tidak mengerti apa yang kita percaya, sangat mungkin menganggap salah apa yang kita yakini benar. Namun demikianpun saya tahu, sulit untuk bisa menerima, dan semacam perasaan terpukul pasti ada.

“Gimana sih caranya biar IPK tinggi?”

Buat saya itu bukan pujian. Jawaban yang saya berikan pun akan terdengar sangat naif jika hanya “Suka”. Persoalan passion dan menikmati itu sangat pribadi, jadi orang lain tidak akan mengerti. Jadi itu tak terlalu menghibur.

Di sisi lain, ketidakbecusan saya dalam berbagai hal memang menyebalkan. Dalam sebuah agenda yang menuntut pergerakan, apa gunanya siput diantara rombongan kepiting? Saya sulit mengikuti, saya tidak mengerti banyak hal, dan saya tak terlalu berguna. Saya sulit berkomunikasi dengan orang, terutama merasa nyaman dengan komunikasi itu. Saya juga sulit melakukan hal-hal yang tidak biasa saya kerjakan. Terbukti sekali kan, kalau softskill saya lemah? Kejadian ini seolah mengamini teori IPK tinggi = lemah softskill. Teman kerja saya juga sempat marah dan bilang kalau saya harus kerja sebelum lulus supaya saya tahu bahwa dunia luar itu bukan soal akademik. Otomatis saya terpukul sama kata-kata itu. Di saat-saat itu saya kehilangan kepercayaan. Jangan-jangan benar kalau selama ini saya bersenang-senang dalam wacana. Bahwa apa yang saya percayai betul-betul naif dan saya hanyalah seorang pengejar nilai.

Saat kepercayaan saya kembali, saya membenahi masa lalu saya dalam sudut pandang yang sebelumnya. Saya seorang pecandu, bukan pengejar. Nilai itu hadiah. Tapi memang betul bahwa ada prioritas tinggi yang saya letakkan pada persoalan akademik. Betul juga bahwa saya seorang introvert yang takut dunia luas. Bahwa buat saya kenyamanan nomor satu dan sulit untuk tidak bergantung pada hal itu. Saya telah lama belajar artinya fokus. Saya telah belajar bahwa orang-orang punya potensi yang sama untuk berkembang di bidangnya masing-masing, dan sesuatu yang diasah secara kontinyu dalam waktu lama akan membuahkan hasil. Waktu masih kecil, sayamenangis hanya dengan mengupas bawang, tapi sekarang saya bisa mengupas dan mengiris semangkuk bawang tanpa air mata sedikitpun. Saya tak tahu apa-apa soal eksekusi acara, teknis pelaksanaan, dan berkomunikasi dengan banyak orang karena saya tak terbiasa dengan itu. Saya tak punya pengalaman yang mengajari saya soal itu. Begitulah proses bekerja. Kita belajar dari pengalaman, dan dari sanalah kita semakin baik. Rangkaian pengalaman akan membentuk spesialisasi, dan apabila kita selalu memilih berdasarkan kata hati, itulah passion. Mungkin terdengar seperti iklan rokok, tapi seperti itulah saya bekerja.

Sedikit banyak, apa yang terjadi belakangan menakuti saya. Saya khawatir bagaimana dunia akan menampilkan wajahnya pada saya selepas lulus BA nanti. Apakah akan ada yang memberi saya pekerjaan, apakah saya akan tertelan oleh idealisme iklan rokok yang saya pegang, atau apakah kenyataan selalu semengerikan yang diceritakan teman saya, semua itu semakin dipikir semakin menciutkan diri. Saya juga tak punya banyak rencana. Tapi pilihan terakhir tetap akan saya jatuhkan pada kebiasaan lama saya, berusaha untuk waktu dekat, pelan-pelan saja, jangan lupa menikmatinya, dan mungkin dengan sedikit tambahan: belajar terbuka.

Mungkin buat kalian, tulisan ini hanya pembelaan seorang pengejar IPK, tapi bagi saya bukan. Saya tidak akan memberikan apa saja untuk nilai, tapi betul jika bagi saya, urusan akademik, urusan dalam bidang yang saya sukai ini adalah prioritas. Saya bukan orang yang skipping class karena kelelahan oleh banyak organisasi. Saya tidak ambil banyak, tapi kalau saya ikut kegiatanInd ekstra, cuma diri saya yang bisa dikorbankan karena itu pilihan saya. Lelah itu risiko tapi semuanya harus berjalan karena tanggung jawab itu nilainya tinggi.