Post kali ini saya dedikasikan untuk teman-teman kelas saya, XI.CI.IPA.1 yang tengah mencari referensi bahan UTS Seni Budaya, dan of course ekhem, untuk mempromosikan blog saya ini*tendang
Salam sukses untuk kita semua! :D
Seni tari tradisional aceh adalah salah satu kebudayaan
dari beragam kesenian yang ada di negara Indonesia. Tarian Aceh dapat disajikan
sebagai sebuah paket wisata yang sangat khas. Itu semua karena tarian
tradisional Aceh telah dikemas secara apik oleh tenaga kreatif yang benar-benar
memahami dan menggemari kesenian Aceh. Selain itu, tarian aceh juga didukung
oleh pemain-pemain seni tari yang penuh dedikasi belajar dan sungguh-sungguh dalam
melestarikan kebudayaan tersebut.
Setiap kesenian budaya yang dimiliki setiap daerah sangatlah
menarik, itu semua karena setiap kesenian budaya tersebut memperlihatkan ke
khasan dari daerah itu sendiri, tidak terkecuali daerah Aceh. Sebagai contohnya
adalah tarian tradisioal Aceh. Tidak main-main, proses pengolahan dari
tarian-tarian Aceh menuntut kemampuan estetika dan pandangan kedepan yang
sesuai dengan landasan ideal masyarakat dan tidak meyimpang dari ciri-ciri
kepribadian masyarakat Aceh yang islami. Dari hal itu, maka munculah sebuah kebudayaan
yang khas dan berkarakter sesuai dengan kepribadian Aceh.
Berikut ini, kami sajikan
beberapa seni tari yang ada di Aceh. Antara lain :
A. Tari Saman
Makna
dan Fungsi
Tari saman merupakan salah satu media untuk
pencapaian pesan (dakwah). Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan
santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. Sebelum saman dimulai yaitu sebagai
mukaddimah atau pembukaan, tampil seorang tua cerdik pandai atau pemuka adat
untuk mewakili masyarakat setempat (keketar) atau nasihat-nasihat yang berguna
kepada para pemain dan penonton.
Lagu dan syair pengungkapannya secara bersama dan kontinu, pemainnya terdiri dari
pria-pria yang masih muda-muda dengan memakai pakaian adat.Penyajian tarian
tersebut dapat juga dipentaskan, dipertandingkan antara group tamu dengan grup
sepangkalan (dua grup).Penilaian ditititk beratkan pada kemampuan masing-masing
grup dalam mengikuti gerak, tari dan lagu (syair) yang disajikan oleh pihak
lawan.
Paduan
Suara
Tari Saman biasanya ditampilkan tidak
menggunakan iringan alat
musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tepuk
tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha
mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian
ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech.Karena
keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam
menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi
yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna.Tarian
ini khususnya ditarikan oleh para pria.
Pada zaman dahulu,tarian ini pertunjukkan
dalam acara adat tertentu,diantaranya dalam upacara memperingati hari kelahiran
Nabi
Muhammad SAW. Selain itu, khususnya dalam konteks masa kini, tarian
ini dipertunjukkan pula pada acara-acara yang bersifat resmi,seperti kunjungan
tamu-tamu Antar Kabupaten
dan Negara,atau dalam pembukaan
sebuah festival dan acara lainnya.
Nyanyian
Nyanyian para penari
menambah kedinamisan dari tarian saman. Cara menyanyikan lagu-lagu dalam tari saman dibagi dalam 5 macam :
1.
Rengum, yaitu auman yang diawali oleh
pengangkat.
2.
Dering, yaitu regnum yang segera diikuti
oleh semua penari.
3.
Redet, yaitu lagu singkat dengan suara
pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah tari.
4.
Syek, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh
seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda
perubahan gerak
5.
Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh
seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.
Gerakan
Tarian saman menggunakan dua unsur gerak
yang menjadi unsur dasar dalam tarian saman: Tepuk tangan dan tepuk
dada.Diduga,ketika menyebarkan agama islam,syeikh saman mempelajari tarian melayu
kuno,kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang disertai dengan syair-syair
dakwah islam demi memudakan dakwahnya.Dalam konteks kekinian,tarian ritual yang
bersifat religius ini masih digunakan sebagai media untuk menyampaikan
pesan-pesan dakwah melalui
pertunjukan-pertunjukan.
Tarian saman termasuk salah satu tarian
yang cukup unik,kerena hanya menampilkan gerak tepuk tangan gerakan-gerakan
lainnya, seperti gerak guncang, kirep, lingang, surang-saring (semua gerak ini adalah bahasa Gayo).
Penari
Pada umumnya, tarian saman dimainkan oleh belasan atau
puluhan laki-laki, tetapi jumlahnya harus ganjil.Pendapat Lain mengatakan
Tarian ini ditarikan kurang lebih dari 10 orang,dengan rincian 8 penari dan 2
orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.Namun, dalam perkembangan di era
modern yang menghendaki bahwa suatu tarian itu akan semakin semarak apabila
ditarikan oleh penari dengan jumlah yang lebih banyak. Untuk mengatur berbagai
gerakannya ditunjuklah seorang pemimpin yang disebut syeikh. Selain mengatur
gerakan para penari,Syeikh juga bertugas menyanyikan syair-syair lagu saman, yaitu ganit.
B.
Tari Bines
Tari Bines Salah satu tarian suku
Gayo (baca; Tarian Gayo) Tarian ini muncul dan berkembang di Aceh Tengah namun
kemudian dibawa ke Aceh Timur. Menurut sejarah tarian ini diperkenalkan oleh
seorang ulama bernama Syech Samandalam rangka berdakwah. Tari Bines dimainkan
oleh wanita dengan cara duduk berbanjar sambil menyanyikan syair yang berisikan
dakwah atau informasi pembangunan. Para penari melakukan gerakan - gerakan itu
pelan kemudian berangsur - angsur menjadi cepat dan cepat sekali dan akhirnya
berhenti seketika secara serentak. Tarian ini masih sering di adakan dalam
acara2 adat di tanah Gayo terutama di kab: Gayo Lues.
C.
Tari Didong
Arita Didong Group
Sebuah kesenian rakyat Gayo yang dikenal dengan nama Didong, yaitu
suatu kesenian yang memadukan unsurtari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge
XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To`et. Kesenian didong lebih
digemari oleh masyarakat Takengon
dan Bener Meriah.
Makna
Ada yang berpendapat bahwa kata “didong”
mendekati pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil
bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Dan,
ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata “din” dan “dong”.
“Din” berarti Agama dan “dong” berarti Dakwah.
Fungsi
Pada awalnya didong digunakan sebagai
sarana bagi penyebaran agamaIslam melalui media syair. Para ceh didong (seniman
didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut
dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat
pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para
Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius,
nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam
ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita
religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku
baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki
kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan
ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar Agama Islam.
Menurut
Perkembangan
Penari Didong di masa Hindia Belanda
Dalam perkembangannya, didong tidak hanya
ditampilkan pada hari-hari besar agamaIslam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan, mendirikan
rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong dalam
mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang
diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki
yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pe-didong
harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan
cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara.
Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan
kesenian didong.
Penampilan didong mengalami perubahan
setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan”
bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan
bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo.
Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong
yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat,
tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah
Jepang. Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai
sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa
khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD
1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan
untuk mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana
guna membangun gedung sekolah,
madrasah, mesjid, bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika
terjadi pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti
karena dilarang oleh DI/TII.
Akibat dilarangnya didong, maka muncul suatu kesenian baru yang disebut saer,
yang bentuknya hampir mirip dengan didong. Perbedaan didong denga saer hanya
dalam bentuk unsur gerak dan tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting
dalam didong tidak dibenarkan dalam saer.
Dewasa ini didong muncul kembali dengan
lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan).
Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun
menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga menyengsarakan rakyat. Protes anti kekerasan sebenarnya bukan
hanya terjadi pada kesenian didong, melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.
Syair
Didong
Inilah salah satu Contoh syair didong oleh
Ceh kucak GayoKabri Wali.
Ama (Ayah)
Ama
Inë
Ini Pongotni gayo inë
Kute takengen besilo nge musarik
Ulahni politik jema si jago - jago
Bier pe i dusun bier pe isi lëngkik
Laingni kékék numé makin gurë inë…
Ini Pongotni gayo inë
Kute takengen besilo nge musarik
Ulahni politik jema si jago - jago
Bier pe i dusun bier pe isi lëngkik
Laingni kékék numé makin gurë inë…
Geré
Né aman Rakyat ngé usik
Mukim orom Gecik ke meh mukelö
Reje orom imem si musasat sidik
Bewene panik lagu cekakni benno inë…
Mukim orom Gecik ke meh mukelö
Reje orom imem si musasat sidik
Bewene panik lagu cekakni benno inë…
Beluhni
Nyawa gere neh tékëk
Ara bercengkék ara si berdere inë…
Dup Meta mara gere ara si macik
Sempat ilen kedek pemimpin ni jewe iné…
Ara bercengkék ara si berdere inë…
Dup Meta mara gere ara si macik
Sempat ilen kedek pemimpin ni jewe iné…
Dop
ara pe jeda mantong ilen mangik
umpama ni senik nge mujadi bute
Ara pe reta gere neh terdedek
Nge roloh mutik kupi pantan sile inë…
umpama ni senik nge mujadi bute
Ara pe reta gere neh terdedek
Nge roloh mutik kupi pantan sile inë…
Ama…..
Bayak bajungku inë…
Enge emeh merke jema si lisik
dele nge mu teldek kuren tembege inë…
Taring murense umah jamur unik
Kering nge repek ko supu serule inë…
Enge emeh merke jema si lisik
dele nge mu teldek kuren tembege inë…
Taring murense umah jamur unik
Kering nge repek ko supu serule inë…
Yatim
pe delë simen anak merek
Mongot orom kedek enge meh musede
Iwan atewe nge lagu si sewek
Gere ke macik ko musara Gayo inë…
Mongot orom kedek enge meh musede
Iwan atewe nge lagu si sewek
Gere ke macik ko musara Gayo inë…
Ama..aaaa
Ini pongotni gayo iné…
Ike kite engon sentan kite telek
Si tukang angik kara pihak ketige inë…
Akal iyayon kati rusak rasik
Sampe bersenik jema sara inë inë…
Ike kite engon sentan kite telek
Si tukang angik kara pihak ketige inë…
Akal iyayon kati rusak rasik
Sampe bersenik jema sara inë inë…
Kalang
iatas terbang puke kelik
Kurek orom itik i tuyuh nge cico inë…
Gere meteh lewen sahen si dedek
Bier pe ama ecek renye i pekaro inë…
Kurek orom itik i tuyuh nge cico inë…
Gere meteh lewen sahen si dedek
Bier pe ama ecek renye i pekaro inë…
Munyenoh
ken ulu ulahni si cerdik
Parok i pantik nyenohi ken Rejë ama …ooo
Rakyat si ogoh sabe kona pecek
Gere meteh ujung ralik si munangung risiko inë…
Parok i pantik nyenohi ken Rejë ama …ooo
Rakyat si ogoh sabe kona pecek
Gere meteh ujung ralik si munangung risiko inë…
Sentan
kite timang orom kite balik
Pongot orom kedik nge meh musede
ikeruhni berawang le jema munekik
Enge osop sampik emut si munire inë…
Pongot orom kedik nge meh musede
ikeruhni berawang le jema munekik
Enge osop sampik emut si munire inë…
Ama…aaaaaaa
Bayakku inë…eee
Wooo inë ee..ee..eeee
Wooo inë ee..ee..eeee
Itetahmi
cara boh ulaken ku ralik
Enti neh mupésék ko kerawang Gayo
Kati teduh mara kati rede sonek
Tekaren si kotek tengkamen si mulie inë…
Enti neh mupésék ko kerawang Gayo
Kati teduh mara kati rede sonek
Tekaren si kotek tengkamen si mulie inë…
Ike
masih ara ilén sifét si sérék
Lebah orom unik tetap we berdéwë inë…
Amaten agama edet pe iolek
Oya baru mersik kao urang gayo inë…
Lebah orom unik tetap we berdéwë inë…
Amaten agama edet pe iolek
Oya baru mersik kao urang gayo inë…
Agih
ni agih mongot bersebuku
Sampon ko lauh mujaril ari mata
Sampon ko lauh mujaril ari mata
Céh
Para ceh yang turut berjasa mengembangkan
dan melestarikan didong di tanah Gayo 'diantaranya adalah: Ceh Tjuh Ucak, Basir
Lakkiki Abd. Rauf, Ecek Bahim,
Sali Gobal,
Daman,
Idris Sidang Temas, Sebi,
Utih Srasah,
Beik,
Tabrani,
Genincis,
S. Kilang,
Ibrahim Kadir, Mahlil,
Bantacut,
Dasa, Ceh Ucak,
Suwt,
Talep,
Aman Cut,
Abu Kasim,
Syeh Midin,
M. Din,
Abu Bakar Gayo, Ishak Ali / Ceh Sahaq, Aris Teruna Jaya, Tirmino Jaya, Mahlil Lewa,
Dan Ceh kucak Kabri Wali, Yang Begitu Dikenal Dikalangan
Masyarakat Gayo.
Pemain
dan Peralatan
Satu kelompok kesenian didong biasanya
terdiri dari para “ceh” dan anggota lainnya yang disebut dengan “penunung”.
Jumlahnya dapat mencapai 30 orang, yang terdiri atas 4--5 orang ceh dan sisanya
adalah penunung. Ceh adalah orang yang dituntut memiliki bakat yang komplit dan
mempunyai kreativitas yang tinggi. Ia harus mampu menciptakan puisi-puisi dan
mampu menyanyi. Penguasaan terhadap lagu-lagu juga diperlukan karena satu lagu
belum tentu cocok dengan karya sastra yang berbeda. Anggota kelompok didong ini
umumnya adalah laki-laki dewasa. Namun, dewasa ini ada juga yang anggotanya
perempuan-perempuan dewasa. Selain itu, ada juga kelompok remaja. Malahan, ada
juga kelompok didong remaja yang campur (laki-laki dan perempuan). Dalam
kelompok campuran ini biasanya perempuan hanya terbatas sebagai seorang Céh.
Peralatan yang dipergunakan pada mulanya bantal (tepukan bantal) dan tangan
(tepukan tangan dari para pemainnya). Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada
juga yang menggunakan seruling, harmonika, dan alat musik lainnya yang disisipi
dengan gerak pengiring yang relatif sederhana, yaitu menggerakkan badan ke
depan atau ke samping.
Jalannya
Pementasan
Pementasan didong ditandai dengan
penampilan dua kelompok (Didong Jalu) pada suatu arena pertandingan.
Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi dengan
tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan
teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Dalam hal ini para senimannya akan
saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya.
Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga
berencana, pesan pemerintah (pada zaman Orba), keindahan alam maupun
kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang terjadi dalam masyarakat.
Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada, yang biasanya
terdiri dari anggota masyarakat yang memahami ddidong ini secara mendalam.
D.
Tari Guel
Tari Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di NAD. Guel berarti
membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah
panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan
hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri.
Dalam perkembangannya, tari Guel timbul
tenggelam, namun Guel menjadi tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi
terhadap wujud alam, lingkkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak
simbolis dan hentakan irama. Tari ini adalah media informatif. Kekompakan dalam
padu padan antara seni satra, musik/suara, gerak memungkinkan untuk
dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir
masyarakat setempat. Guel tentu punya filosofi berdasarkan sejarah
kelahirannya. Maka rentang 90-an tarian ini menjadi objek penelitian sejumlah
surveyor dalam dan luar negeri.
Pemda Daerah Istimewa Aceh ketika itu juga menerjunkan sejumlah tim dibawah koodinasi Depdikbud
(dinas pendidikan dan kebudayaan), dan tersebutlah nama Drs Asli Kesuma,
Mursalan Ardy, Drs Abdrrahman Moese, dan Ibrahim Kadir yang terjun melakukan
survey yang kemudian dirasa sangat berguna bagi generasi muda, seniman,
budayawan untuk menemukan suatu deskripsi yang hampir sempurna tentang tari
guel. Sebagian hasil penelitian ini yang saya coba kemukakan, apalagi memang
dokumen/literatur tarian ini sedikit bisa didapatkan.
Mimpi
Sengeda
Berdasarkan cerita
rakyat yang berkembang di tanah Gayo. tari Guel
berawal dari mimpi seorang pemuda bernama Sengeda anak Raja Linge ke XIII. Sengeda
bermimpi bertemu saudara kandungnya Bener Meria yang konon telah meninggal
dunia karena pengkhianatan. Mimpi itu menggambarkan Bener Meria memberi
petunjuk kepada Sengeda (adiknya), tentang kiat mendapatkan Gajah putih
sekaligus cara meenggiring Gajah tersebut
untuk dibawa dan dipersembahakan kepada Sultan Aceh Darussalam. Adalah sang
putri Sultan sangat berhasrat memiliki Gajah Putih tersebut.
Berbilang tahun kemudian, tersebutlah kisah
tentang Cik Serule, perdana menteri Raja Linge ke XIV berangkat ke Ibu Kota
Aceh Darussalam (sekarang kota Banda Aceh). Memenuhi hajatan sidang tahunan
Kesutanan Kerajaan. Nah, Sengeda yang dikenal dekat dengan Serule ikut dibawa
serta. Pada saat-saat sidang sedang berlangsung, Sengeda rupanya bermain-main
di Balai Gading sambil menikmati keagungan Istana Sultan.
Pada waktu itulah ia teringat akan mimpinya
waktu silam, lalu sesuai petunjuk saudara kandungnya Bener Meria ia lukiskanlah
seekor gajah berwarna putih pada sehelai daun Neniyun (Pelepah rebung bambu),
setelah usai, lukisan itu dihadapkan pada cahaya matahari. Tak disangka, pantulan
cahaya yang begitu indah itu mengundang kekaguman sang Puteri Raja Sultan. Dari
lukisan itu, sang Putri menjadi penasaran dan berhasrat ingin memiliki Gajah
Putih dalam wujud asli.
Permintaan itu
dikatakan pada Sengeda. Sengeda menyanggupi menangkap Gajah Putih yang ada
dirimba raya Gayo untuk dihadapkan pada tuan puteri dengan syarat Sultan
memberi perintah kepada Cik Serule. Kemudian dalam prosesi pencarian itulah
benih-benih dan paduan tari Guel berasal: Untuk menjinakkan sang Gajah Putih,
diadakanlah kenduri dengan meembakar kemenyan; diadakannya bunyi-bunyian dengan
cara memukul-mukul batang kayu serta apa saja yang menghasilkan bunyi-bunyian.
Sejumlah kerabat Sengeda pun melakukan gerak tari-tarian untuk memancing sang
Gajah. Setelah itu, sang Gajah yang bertubuh putih nampak keluar dari
persembunyiaannya. Ketika berpapasan dengan rombongan Sengeda, sang Gajah tidak
mau beranjak dari tempatnya. Bermacam cara ditempuh, sang Gajah masih juga
tidak beranjak. Sengeda yang menjadi pawang pada waktu itu menjadi kehilangan
ide untuk menggiring sang Gajah.
Lagi-lagi Sengeda teringat akan mimpi waktu
silam tentang beberapa petunjuk yang harus dilakukan. Sengeda kemudian
memerintahkan rombongan untuk kembali menari dengan niat tulus dan ikhlas sampai
menggerakkan tangan seperti gerakan belalai gajah: indah dan santun. Disertai
dengan gerakan salam sembahan kepada Gajah ternyata mampu meluluhkan hati sang
Gajah. Gajah pun dapat dijinakkan sambil diiringi rombongan. Sepanjang
perjalanan pawang dan rombongan, Gajah putih sesekali ditepung tawari dengan
mungkur (jeruk purut) dan bedak hingga berhari-hari perjalanan sampailah
rombongan ke hadapan Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam.
Begitulah sejarah dari cerita rakyat di
Gayo, walaupun kebenaran secara ilmiah tidak bisa dibuktikan, namun kemudian
Tari Guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang cerita unik Sengeda, Gajah
Putih dan sang Putri Sultan. Inilah yang kemudian dikenal temali sejarah yang
menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam begitu dekat dan
bersahaja.
Begitu juga dalam pertunjukan atraksi Tari
Guel, yang sering kita temui pada saat upacara perkawinan, khususnya di Tanah
Gayo, tetap mengambil spirit pertalian sejarah dengan bahasa dan tari yang
indah: dalam Tari Guel. Reinngkarnasi kisah tersebut, dalam tari Guel, Sengeda
kemudian diperankan oleh Guru Didong yakni penari yang mengajak Beyi (Aman
Manya ) atau Linto Baroe untuk bangun dari tempat persandingan (Pelaminan).
Sedangkan Gajah Putih diperankan oleh Linto Baroe (Pengantin Laki-laki).
Pengulu Mungkur, Pengulu Bedak diperankan oleh kaum ibu yang menaburkan breuh
padee (beras padi) atau dikenal dengan bertih.
Penari
Di tanah Gayo, dahulunya dikenal begitu
banyak penari Guel. Seperti Syeh Ishak di Kampung Kutelintang-Pengasing, Aman
Rabu di kampung Jurumudi-Bebesan, Ceh Regom di Toweran. Penari lain yang kurun
waktun 1992 sampai 1993 yang waktu itu masih hidup adalah Aman
Jaya-Kampung Kutelintang, Umer-Bebesan, Syeh Midin-Silih Nara Angkup,
Safie-Gelu Gele Lungi-Pengasing, Item Majid-Bebesan. Mereka waktu itu rata-rata
sudah berusia 60-an. Saat ini sudah meninggal sehingga alih generasi penari menjadi
hambatan serius.
Walaupun ada penari yang lahir karena bakat
sendiri, bukan langsung diajarkan secara teori dan praktik oleh para penari
pakar seperti disebutkan, keterampilan menari mereka tak sepiawai para
pendahulunya. Begitu juga pengiring penggiring musik tetabuhan seperti Rebana
semakin langka, apalagi ingin menyamakan dengan seorang dedengkot almarhum Syeh
Kilang di Kemili Bebesan.
Tari Guel dibagi dalam empat babakan baku.
Terdiri dari babak Mu natap, Babak II Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang
Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah (Munatap), Kepur
Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan. Sementara
jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan wanita
berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 ( Pria ). Penari Pria dalam setiap
penampilan selalu tampil sebagai simbol dan primadona, melambangkan aman manyak
atau lintoe Baroe dan Guru Didong. Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang
menabuh Canang, Gong, Rebana, dan Memong. Tari Guel memang unik, pengalaman
penulis merasakan mengandung unsur dan karakter perpaduan unsur keras lembut
dan bersahaja. Bila para pemain benar-benar mengusai tarian ini, terutama peran
Sengeda dan Gajah Putih maka bagi penonton akan merasakan ketakjuban luar
biasa. Seolah-olah terjadinya pertarungaan dan upaya memengaruhi antara Sengeda
dan Gajah Putih. Upaya untuk menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan kain
kerawang Gayo di Punggung Penari seakan mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang
taarian. Guel dari babakan ke babakan lainnya hingga usai selalu menawarkan
uluran tangan seperti tarian sepasang kekasih di tengah kegundahan orang
tuanya. idak ada yang menang dan kalah dalam tari ini, karena persembahan dan
pertautan gerak dan tatapan mata adalah perlambang Cinta. Tapi sayang, kini
tari Guel itu seperti kehilangan Induknya, karena pemerintah sangat perhatian
apalagi gempuran musik hingar modern seperti Keyboar pada setiap pesta
perkawinan di daerah itu.
Tari Ratéb Meuseukat merupakan salah satu tarian Aceh
yang berasal dari Aceh.Nama Ratéb Meuseukat berasal dari bahasa Arab yaitu ratéb asal kata ratib
artinya ibadat dan meuseukat asal kata sakat yang berarti diam.
Diberitakan bahwa tari Ratéb Meuseukat ini
diciptakan gerak dan gayanya oleh anak Teungku Abdurrahim alias Habib Seunagan
(Nagan Raya), sedangkan syair atau ratéb-nya diciptakan oleh
Teungku Chik di Kala, seorang ulama di Seunagan, yang hidup pada abad ke XIX. Isi dan
kandungan syairnya terdiri dari sanjungan dan puji-pujian kepada Allah dan sanjungan kepada Nabi, dimainkan oleh sejumlah perempuan dengan pakaian adat Aceh. Tari ini banyak berkembang
di Meudang Ara Rumoh Baro di kabupaten Aceh Barat Daya.
Pada mulanya Ratéb Meuseukat dimainkan
sesudah selesai mengaji pelajaran agama malam hari, dan juga hal ini tidak terlepas sebagai media dakwah.Permainannya dilakukan dalam posisi
duduk dan berdiri.Pada akhirnya juga permainan Ratéb Meuseukat itu
dipertunjukkan juga pada upacara agama dan hari-hari besar, upacara perkawinan
dan lain-lainnya yang tidak bertentangan dengan agama.
Saat ini, tari ini merupakan tari yang
paling terkenal di Indonesia.Hal
ini dikarenakan keindahan, kedinamisan dan kecepatan gerakannya.Tari ini sangat
sering disalahartikan sebagai tari
Saman milik suku
Gayo.Padahal antara kedua tari ini terdapat
perbedaan yang sangat jelas. Perbedaan utama antara tari Ratéb Meuseukat dengan
tari Saman ada 3 yaitu, pertama tari Saman menggunakan bahasa
Gayo, sedangkan tari Ratéb Meuseukat
menggunakan bahasa
Aceh. Kedua, tari Saman dibawakan oleh laki-laki, sedangkan tari
Ratéb Meuseukat dibawakan oleh perempuan.Ketiga, tari Saman tidak diiringi oleh
alat musik, sedangkan tari Ratéb
Meuseukat diiringi oleh alat musik, yaitu rapa’i dan geundrang. Tarian Meuseukat adalah
tarian yang sangat pupuler di Aceh yang berasal dari Kab. Aceh Selatan. Tarian
ini dimainkan oleh 10 atau 12 penari dan 2 orang penyanyi. Khusus untuk wanita
mengambil posisi dengan cara duduk/berlutut dalam satu barisan dan membuat
gerakan tubuh dengan tangan dan kepala. Nyanyian yang berisi pujian atau doa
yang dimulai dengan gerakan lambat sampai dengan gerakan cepat.
Keterkenalan tarian ini seperti saat ini
tidak lepas dari peran salah seorang tokoh yang memperkenalkan tarian ini di pulau Jawa yaitu Marzuki Hasan atau biasa disapa Pak Uki.
Tari Seudati adalah nama tarian yang berasal dari provinsi Aceh. Seudati berasal dari kata Syahadat, yang berarti
saksi/bersaksi/pengakuan terhadap Tiada Tuhan selain Allah,
dan Nabi Muhammad utusan Allah.
Seudati
adalah perpaduan antara seni suara dan seni tari. Seni Seudati adalah jenis
kesenian yang diciptakan setelah berdiri masyarakat islam Aceh yang berfungsi
sebagai dakwah dan hiburan. Seudati juga bernama Saman yang berasal kata dari
bahasa Arab yang berarti delapan. Dinamakan saman karena para pemainnya terdiri
dari delapan orang yaitu Syekh dan para pembantunya berpakaian seragam, yaitu
celana pantalon hitam atau putih, baju kaos putih berlengan panjang, di kepala
para penari memakai tangkulok.
Tarian ini juga termasuk kategori Tribal
War Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan
semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu
tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang tarian
ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.
Tari Laweut adalah tari yang berasal dari Aceh.Laweut berasal dari kata Selawat,
sanjungan yang ditujukan kepada junjungan NabiMuhammad
SAW.Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama
sekali disebut Akoon (Seudati Inong).Laweut ditetapkan namanya pada Pekan
Kebudayaan Aceh II (PKA II).Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh.Tarian
ini juga termasuk kategori Tribal War Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya
selalu membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan.
Oleh sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang
tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.
Tari seudati masuk bersamaan dengan
penyebaran agama Islam ke Aceh. Media tari ini dimanfaatkan oleh penganjur-penganjur. Islam dalam pengembangan agama Islam di
Aceh.Sebelum seudati, tari ini bernama RATOH yang artinya menceritakan. Dalam
Ratoh ini dapat diceritakan segala sesuatu yang menyangkut aspek kehidupan
masyarakat. Umpamanya: kisah sedih, gembira, nasehat dan membangkitkan semangat. Penganjur-penganjur Islam yang kebanyakan
berasal dari Arab maka secara langsung bahasa atau istilah yang dipergunakan
dalam penyebaran agama dititik beratkan pada istilah bahasa Arab. Maka
sekaligus media ratoh ini dipengaruhi dengan istilah-istilah Arab. Syahadati
dan syahadatain menjadi seudati, kemudian saman menjadi meusaman (yang artinya
delapan) orang. Kedua istilah ini digunakan sampai sekarang. Adapula pendapat
lain mengatakan bahwa kata seudati berasal dari kata serasi ( artinya
harmonis/serasi).
Dahulu seudati berkembang dikabupaten Pidie
dan Aceh Utara, sekarang sudahberkembang di kabupaten dan kotamadya lainnya
dalam daerah Istimewa Aceh. Dalam penampilannya tari seudati ini dipimpin oleh seorang Syekh
(pimpinan). Syekh ini dibantu oleh wakil yang disebut Apet Syekh.Tari ini ditarikan
oleh delapan orang penari dan dibantu oleh dua orang penyanyi sebagai pengiring
tari (Aneuk Syahi). Dituliskan oleh Taloe (sebuah lembaga kesenian independen non pemerintah) yang eksis
menggali dan mengkaji sejarah kesenian tradisional aceh serta peduli terhadap
pembangunan kesenian aceh.
Gerak tari ini, yaitu penari dari arah kiri
atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pentas dan langsung
membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat
dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan
gerakan-gerakan tarian.
Tari Likok Pulo adalah tari yang berasal dari Aceh. Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang ulama tua berasal dari Arab yang hanyut di laut dan
terdampar di Pulo
Acehdan menetap di desa Ulee Paya.Tarian
ini sebagai media pengembangan dakwah Islam dimasa era kesultanan Aceh yang
dibawakan oleh 12 orang penari pria. Tari ini diadakan sesudah menanam padi atau sesudah panen padi, biasanya
pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian dipertandingkan
dapat berjalan semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan dengan posisi duduk
bersimpuh, berbanjar, atau bahu membahu. Gerak tari Likok Pulo
komposisinya dimulai dengan gerakan salam anggukan kepala dan tangan yang
diselangi gerakan pinggul. Ritme tarian saling membentang dan seling ke kiri
dan ke kanan sambil melantunkan syair-syair pujian kepada Sang Khalik yang
diiringi dengan musik Rapai dan vokalis nyanyian syair Aceh.
Seorang pemain utama yang disebut cèh
berada di tengah-tengah pemain.Dua orang penabuh rapa'i berada di belakang atau sisi kiri
dan kanan pemain.Sedangkan gerak tari hanya memfungsikan anggota tubuh bagian
atas, badan, tangan, dan kepala. Gerakan tari pada
prinsipnya ialah gerakan oleh tubuh,
keterampilan, keseragaman atau kesetaraan dengan memfungsikan tangan sama-sama
ke depan, ke samping kiri atau kanan, ke atas, dan melingkar dari depan ke
belakang, dengan tempo mula lambat hingga cepat.
Tari Likok Pulo dewasa ini
sudah menjadi salah satu tari wajib bagi murid sekolah dalam Kota Banda Aceh sebagai mata pelajaran kesenian muatan lokal. Karena
pada akhir tahun 1980an nasib tarian ini hampir punah dan kembali diperkenalkan
pada PKA (Pekan Kebudayaan Aceh) III tahun 1988 hingga sudah berkembang dan populer
di kalangan masyarakat.
I. Tari Pho
Tari Pho adalah tari yang berasal dari Aceh. Perkataan Pho berasal dari kata peubae,
peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan atau sebutan penghormatan dari rakyat hamba kepada
Yang Mahakuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom.
Tari Pho dipimpin oleh
seorang Syech dan ditarikan wanita (gadis), memakai pakaian
adat wanita Aceh. Tarian ini
dibawakan oleh para wanita dengan
membuat lingkaran ataupun baris berbanjar sambil berdiri. Biasanya Syech berada
ditengah-tengah atau di luar pemain-pemain lainnya. Dahulu tari Pho dilakukan
pada upacara-upacara kematian tetapi sekarang sudah menjadi luas yaitu pada
peralatan perkawinan, bersuka ria, memandikan pengantin, sunat rasul, turun
mandi, melepas hajat dan penyambutan pembesar-pembesar serta pada waktu padi
diserang hama penyakit. Kalau dilihat sepintas lalu tentang latar belakang
tarian Pho ini, tampak oleh kita bahwa tarian ini merupakan manifestasi dari
kehidupan masyarakat Aceh, yaitumasyarakat agraris, dimana dalam tarian ini
tampak dengan jelas gerakan-gerakan simbolis dalam mengolah sawah lading.
Gerakan para penari menghentakkan kaki ke lantai berarti bahwa tanah yang telah
dibajak harus diinjak-injak supaya rata. Kata “O bineu lon balek laen”
menggambarkan bahwa tanah itu harus sering sekali dibajak dan disikat.Tepuk
tangan adalah simbolis mengusir burung dan mengetam atau mengumpulkan
ikatan-ikatan padi yang telah diketam.Pesatnya perkembangan tarian Pho ini
terutama sejak berkembangnya dan meningkatnya kegiatan-kegiatan kaum ibu di
Aceh yang disponsori oleh “Putri Phang” isteri Raja Aceh Sultan Iskandar Muda.
Di dalam lagu Pho juga disebut “Putri” Phang atau “Putroe Phang”. Karena
perkembangan tari tersebut, Drs. Ichsan Ibrahim menciptakan Kreasi dari tari
PHO tersebut menjadi versi Penampilan di Panggung.
Dahulu biasanya dilakukan pada kematian
orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan kepada Yang
Mahakuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau
meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak
berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak
lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang
sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.
Rapai
adalah salah satu alat tabuh seni
atau jenis
tamborin dari Aceh. Rapai (rebana) terbagi
kepada beberapa jenis permainan, rapai geleng salah satunya. Rapai Geleng dikembangkan
oleh seorang anonim Aceh Selatan. Permainan
Rapai Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap keseragaman
dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan
masyarakat.
Tarian ini mengekspresikan
dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan, kustum dan
gerak dasar dari unsur [tarian meuseukat]. Fungsi dari tarian ini
adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga
menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial, biasanya dipakai untuk mengiringi sebuah lagu atau
tarian. Rapai
geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan.Saat
itu Tarian Rapai Geleng di bawakan pada saat mengisi kekosongan waktu santri
yang jenuh usai belajar.Lalu, tarian ini dijadikan sarana dakwah karena dapat
membuat daya tarik penonton yang sangat banyak.
Jenis
tarian ini dimaksudkan untuk laki-laki.Biasanya yang memainkan tarian ini ada
12 orang laki-laki yang sudah terlatih.Syair yang dibawakan adalah sosialisasi
kepada mayarakat tentang bagaimana hidup bermasyarakat, beragama dan
solidaritas yang dijunjung tinggi.
Tarian
Rapai Geleng ada 3 babak yaitu:
1. Saleum (Salam)
2. Kisah (baik kisah rasul, nabi, raja, dan
ajaran agama)
3. Lani (penutup)
Nama
Rapai diadopsi dari nama Syeik Ripai yaitu orang pertama yang mengembangkan
alat musik pukul ini. Syair
yang dibawakan tergantung pada Syahi.Hingga sekarang syair-syair itu banyak
yang dibuat baru namun tetap pada fungsinya yaitu berdakwah.
Contoh :
Rapai-i
Geleng; Pesan Perlawanan dalam Tarian Aceh, Alhamdulilah Pujo Keu
Tuhan Nyang Peujeut Alam Langet Ngon Donya Teuma
Seulaweut Ateuh Janjongan Panghulee Alam Rasul Ambiya (Segala Puji kepada Tuhan
yang telah menciptakan langit dan dunia selawat dan salam pada junjungan
penghulu alam Rasul Ambiya),
Nanggroe
Aceh nyo Tempat loun lahee Bak Ujoung Pantee Pulo Sumatra Dilee Baroo Kon Lam
jaro Kaphe Jino Hana lee Aman sentosa (Daerah Aceh ini Tempat lahir ku di ujung
pantai pulau sumatera Dulu berada di tangan penjajah Kini telah aman dan
sentosa).
Kostum
yang dipakai berwarna hitam kuning berpadu manik-manik merah, serempak
menggeprak panggung dengan duduk bersimpuh.Gerakannya diikuti tabuhan rapai
yang berirama satu-satu, lambat, lama kemudian berubah cepat di iringi dengan
gerak tubuh yang masih berposisi duduk bersimpuh, meliuk ke kiri dan ke
kanan.Gerakan cepat kian lama kian bertambah cepat. Pada dasarnya, ritme gerak
pada tarian rapai geleng hanya terdiri dalam empat tingkatan; lambat, cepat,
sangat cepat dan diam. Keempat tingkatan gerak tersebut merupakan miniatur
karakteristik masyarakat yang mendiami posisi paling ujung pulau Sumatera,
berisikan pesan-pesan pola perlawanan terhadap segala bentuk penyerangan pada
eksistensi kehidupan Agama, politik, sosial dan budaya mereka.
Pada
gerakan lambat, ritme gerakan tarian rapa-i geleng tersebut coba memberi pesan
semua tindakan yang diambil mesti diawali dengan proses pemikiran yang matang,
penyamaan persepsi dan kesadaran terhadap persoalan yang akan timbul di depan
sebagai akibat dari keputusan yang diambil merupakan sesuatu yang harus
dipertimbangkan dengan seksama. Maaf dan permakluman terhadap sebuah kesalahan
adalah sesuatu yang mesti di berikan bagi siapa saja yang melakukan kesalahan.Pesan
dari gerak beritme lambat itu juga biasanya diiringi dengan syair-syair
tertentu yang dianalogikan dalam bentuk-bentuk tertentu. Sebagai contoh bisa
tergambar dari nukilan syair dari salah satu bagian tarian;
Meu
nyo ka hana raseuki, yang bak bibi roh u lua
Bek susah sare bek sedeh hatee, tapie kee laen ta mita (Kalau sudah tak ada
rezeki, yang sudah di bibirpun jatuh ke luar jangan lah susah, jangalah
bersedih hati, mari kita pikirkan yang lain untuk di cari) Kata “raseuki” yang
bermakna “rezeki” dalam syair di atas, merupakan simbol dari peruntungan. Bagi masyarakat Aceh,
orang yang melakukan perbuatan baik kepada mereka dimaknakan sebagai sebuah keberuntungan makna
sebaliknya, ketika orang melakukan perbuatan jahat, maka masyarakat Aceh
mengartikan ketakberuntungan nasib mereka, dan ketakberuntungan itu merupakan
permaafan.
Gerakan
beritme Cepat adalah gerak kedua, sesaat pesan yang terkandung dalam gerakan
beritme lambat namun sarat makna usai dituturkan. Pada gerakan ini, pesan yang
disampaikan adalah pesan penyikapan ketika perbuatan jahat, yang dimaknakan
sebagai ketakberuntungan nasib, kembali dilakukan oleh orang atau institusi
yang sama. Penyikapan tersebut bisa dilakukan dalam bentuk apapun, tapi masih
sebatas protes keras belaka. Seperti bunyi syair di bawah;
Hai
Laot sa, ilak ombak meu Aloun kapai die eik
troun meu lumba Lumba hai bacut teuk, salah bukon sa Lah loun salah mu, lah
poun awai bak gata (Wahai
Laut yang berombak mengayunkan kapal naik dan turun sedikit lagi kemasukan air,
itu bukan salah ku, engkaulah yang mengawalinya). Gerakan beritme cepat ini
tak lama, kemudian disusul dengan gerakan tari beritme sangat cepat
mengisyaratkan chaos menjadi pilihan dalam pola perlawanan tingkat
ketiga.Sebuah perlawanan disaat protes keras tak diambil peduli.Tetabuhan
rapa-i pada gerakan beritme sangat cepat inipun seakan menjadi tetabuhan perang
yang menghentak, menghantam seluruh nadi, membungkus syair menjadi pesan yang
mewajibkan perlawanan dalam bentuk apapun ketika harkat dan martabat bangsa
terinjak-injak.Cuplikan sajak “perang” nya (alm) Maskirbi yang biasa
dilantunkan menjadi syair dalam gerakan beritme cepat pada tarian rapai geleng
ini bisa menjadi contoh sederetan syair-syair yang dijadikan pesan.
Doda
idi hai doda idang Geulayang balang ka putoh talo Beureujang
rayeuk banta sidang Jak tulong prang musoh nanggro (doda idi hai doda idang
–nyanyian nina bobo untuk anak- layangan sawah telah putus talinya cepatlah
besar wahai ananda pergilah, perangi musuh negeri) Pada titiknya, semua gerakan
tadi berhenti, termasuk seluruh nyanyian syair.Ini merupakan gerakan akhir dari
tarian. Gerakan diam merupakan gerakan yang melambangkan ketegasan, habisnya
semua proses interaksi.
K. TARI RANUP LAMPUAN
Secara harfiah
berarti sirih di dalam cerana. Tari Ranub Lampuan berasal dari Banda Aceh, Tari Ranub Lampuan yang diciptakan oleh Almarhum
Yuslizar pada tahun 1959 diangkat dari adat istiadat yang hidup dan tetap
terpelihara di Aceh, khususnya adat menerima dan menghormati tamu. Biasanya
tamu yang diterima dengan penuh hormat disuguhi sirih didalam rumah atau
gedung. Tari ini juga di tampilkan pada acara-acara khusus, seperti
para acara Preh linto, Tueng Dara Baro. Tarian ini
dimainkan oleh tujuh
orang penari wanita dan diiringi dengan instrumen musik tradisional Seurunee
Kalee. Penari ditangannya memegang Cerana atau Puan yang yang didalamnya berisi
sirih (ranub) yang akan diberikan kepada tamu-tamu sebagai tanda kemuliaan bagi
tamu-tamunya. Tari Ranub Lampuan gubahan dari Tarian Aceh.
Hal ini terlihat melalui simbolik gerak tari penari
maupun perlengkapan tari dan sirih yang disuguhkan kepada tamu. Melalui gerak
tari terlihat gerak yang tertib dan lembut sebagai ungkapan kehikmatan
mempersilahkan tamu duduk, dan suguhan sirih adalah perlambang persaudaraan
sebagai mukaddimah dari setiap hajat dalam pergaulan hidup bermasyarat. Karena
itu menurut jenis tari, Ranub Lampuan digolongkan sebagai tari adat/upacara.
Penampilan adalah guna menghormati tamu dalam satu acara, dapat pula
dipentaskan secara langsung ditempat upacara penyambutan tamu Negara seperti
dilapangan terbang dan lain-lain. Tari ini diciptakan oleh almarhum Yuslizar,
dan iringan lagu pengiring diciptakan oleh almarhum Manua.
Tari Ula-ula
Lembing
merupakan tarian daerah Aceh
Tamiang. Tarian ini ditarikan oleh 12 orang atau
lebih berputar-butar ke sekeliling panggung bagai ular. Tarian ini harus dibawakan dengan penjiwaan
yang lincah dan ceria.
4 Tarian Ula – Ula Lembing, yaitu :
1. Tarian ini adalah tarian pesisir pantai laut Tamiang, dimana dahulu diceritakan saat bulan purnama sedang bersinar terang,
ungkapan kisah seorang pangeran melawan rintangan, untuk mencari putri idaman
hatinya, Tetapi hubunganya dengan sang gadis
tidak direstui oleh sang orang tua dan masyarakat, karena seorang gadis
itu berasal dari keturunan rakyat biasa, sehingga sang pangeran mencari cara
bagaimana menemui gadis tersebut. Kemudian pangeran berubah menjadi seekor ular
untuk menemui sang gadis, pangeran pun langsung menulusuri pantai yang diterjang
ombak untuk mencari sang gadis itu di tepian sungai. Jadi Tarian Ula – ula
Lembing menggambarkan tekad pemuda untuk
menghadapi berbagai tantangan atau rintangan dalam mencapai cita – citanya
menemui dan mendapatkan kekasih idaman hatinya. Bagaimana jika seseorang akan membangun kehidupan
baru tampa restu dari orang tua dan masyarakat, tentu hal ini menjadi kendala
yang sangat besar.
Tarian Ula – ula Lembing
merupakan sebuah ini tarian drama bermusik, jadi setiap gerakan memiliki
maksud – maksud atau arti –arti. Pengiringan adalah lirik – lirik atau lagu – lagu berbahasa Tamiang.
Motif
Tarian
Gaya ular menjalar:
meliputi keuletan, kelincahan, kewaspadaan gerak (ada kepala dan ekor dengan
langkah sudut tiga melingkar bundar).
Pemain
Atau Pelaku Tarian Ula – Ula Lembing
Tarian Ula – ula Lembing
dimainkan oleh tujuh orang atau lebih, Tarian ini di perankan oleh
laki – laki, tetapi bisa juga dengan di
perankan oleh wanita, karena tarian ini merupakan tarian penghibur. Jadi tidak
termasuk dalam ritual – ritual yang mengkhus kan antara laki-laki atau wanita
yang melalukakan Tarian Ula – ula
Lembing ini. Untuk pakaian atau ragam
hias, penari menggunakan baju adat asli Aceh Tamiang.
Gerak,
Irama dan Makna Tari Ula – Ula Lembing
Tarian Ula – ula Lembing
memiliki arti atau makna dalam setiap gerakan – gerakannya. Tarian
Ula – ula Lembing dibuka dengan suatu upacara pembuka sebagai
acara penghormatan dengan di iringin lagu patam – patam (patam – patam adalah suatu irama pengantar : gerak
tarian dan ketangkasan silat).
No comments:
Post a Comment