Trending Topics

.

.

Tuesday, March 11, 2014

Welcome to East, Welcome to Asia~

Well, apa kabar semuanya? Hehe, saya lagi hepi-hepinya nih sama kuliah. Yaiyalah, baru mulai, baru kenal kenalan, tugas masih selo, dan masih jauh dari ujian hahaha~ Ya, meskipun selain dari pada hal-hal common diatas juga karena semester 2 ini adalah pintu gerbang baru buat saya dan 30an orang lainnya di sejarah 2013 dimana apa yang kami pelajari semakin luas dan menantang. Kalo di semester 1 kemaren cuma ada mata kuliah mata kuliah yang sifatnya pengantar dan dasar, sekarang, kami sudah sedikit lebih terbekali untuk menerjunkan diri ke ranah yang lebih pelik dan luar biasa luas. Ada tiga matkul yang gak bisa dianggap remeh semester ini, yakni Sejarah Asia, Sejarah Indonesia Sampai abad ke 16, dan of course, HISTORIOGRAFI HAHAHAHA~ #berisikwoy

Ya, selain tentunya Bahasa Belanda yang masih setia 4 sks menemani keseharian kami sampai semester depan~

Tiga matkul diatas itu kami juluki badass karena merekalah sumber dari segala sumber tantangan, atau cobaan#dor di semester ini. Referensinya bejibun. Buku buku sejarah yang segede gede batako buat bangun perumahan. Dua diantaranya yang baru saya miliki dan baru saya sentuh sedikit saja adalah Kerajaan-Kerajaan Awal di Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia dari Munoz dan Peradaban Jawa dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir oleh Supratikno. Yang lainnya masih belum punya~ Mungkin menyusul. Lain lagi sama Historiografi yang mewajibkan kami melahap sebuah kitab yang sudah diracik dari berbagai buku yang tebalnya juga cukup bikin kenyang duluan ngeliatnya. Selain daripada referensi, bahasannya juga gak nyante. Sejarah Abad 16 itu isinya perjalanan sejarah sebuah unit geopolitik yang sekarang kita tiduri dan injak-injak setiap hari ini dari jaman Holosen-Pleitosen sampe abad 16 bro~ begimana gak gile~ :v Belom lagi Sejarah Asia yang bahasannya Asia Barat-Timur-Selatan-Tengah-Tenggara-'Utara' otomatis plus perkembangan mereka, keterkaitan satu sama lain, dan hubungan mereka dengan bangsa-bangsa lain, terutama dengan para kulit putih di benua biru sana. Dan hal inilah yang akan saya bahas malam ini. :3

Kuliah Sejarah Asia hari ini dibuka dengan dosen kami, Mbak Ratih, yang membagikan sebuah selebaran ke tiap tiap individu yang konsentrasinya masih ketinggalan di jalan ini. "Hari ini ada kuis ya~", kata beliau, dibalas dengan celetukan nggak mutu dari salah seorang teman saya, "Oho, kuis, 2 juta rupiah~". Wkwk, ini seriusan~ tadi emang gini lho.

Dengan dramatis kami membuka selebaran kertas itu, dan tarra~ terpampanglah sebuah peta dari regional yang amat luas dan hanya dipenuhi oleh angka angka. Angka-angka itu sedianya adalah tanda tanya yang harus kami jawab, dan you know ada berapa angka tadi? 47 saja saudara saudara~

APA, SAJA? SAJA? SAJA WAN? BELAGU LOH

Gaak, bukan gitu maksudnya. Apanya yang saja?! Bisa jawab aja paling cuma setengahnya. Kerennya, diantara teman saya ada yang bisa jawab lengkap lho~ Tapi selain itu juga ada yang malah nyeletuk gak karuan kayak, "Wah peta buta!" atau "Aku belom belajar lagi~", "Sipp, gampang, kan sering main abc nama negara.", "Haha, kayak SD, makanya udah pada lupa.", sampai "RPUL MANA RPUL?!" 

-_______-

Secara keseluruhan, saya cuma bisa jawab kuis itu selingkup asia tenggara, timur, dan selatan saja. Untuk Asia Barat dan Tengah, saya buta total wkwk apalagi negara negara yang berakhiran -tan -tan itu atau negara negara yang berminyak sebagaimana wajah anda~#plakk Tapi itsokay lah, bukan masalah besar kok. Teman-teman saya yang kemarin mengaku menyukai sejarah Asia Barat dan Tengah pun nggak pada becus juga. Pas ditanya alasannya, orang yang kebanyakan pria-pria lawak itu malah berargumen gini: "Disana kan ceweknya cantik cantik, Mbak~" lagi lagi sweatdrop buat kalian~ wkwk

Usai kuis diselesaikan sampai titik pengetahuan penghabisan, kami dibawa ke sebuah slide dengan pertanyaan fundamental yang rumit, yakni

"What is Asia?"

"Apa?"
"Apa?"
"APAAA?!" 

"Benua, Mbak~" #gubrak

Oke, seandainya kami baru seusia adek saya yang kelas 5 SD, okelah benua, tapi buat insan intelektual setua kami, itu too simple. Jadilah banyak yang sok intelek dengan menyeletukkan "Continental" "Regional" "Kultural" dan lain sebagainya yang kalo diliat-liat juga nggak nggenah.

Bener sih, Asia itu secara simple adalah benua yang berbatas dengan Russia di sebelah Utara, Pasifik di sebelah timur, Hindia di sebelah Selatan dan Eropa serta Afrika di sebelah Baratnya. Tapi jika berbicara mengenai konteks yang lebih dalam, Asia bukan hanya sebidang tanah. Jika kita berbicara Asia kita juga berbicara ceritanya, iklimnya, flora dan faunanya, kulturnya dan bagaimana setiap hal yang berlainan ranah tersebut bisa saling berkaitan dan mempengaruhi.

Untuk itu, kami diseret ke pertanyaan fundamental lainnya di slide ke dua.

"Is Asia Important?"

Sejenak kami merenung. Merenungi sebuah benua raksasa yang memiliki moyang bernama Laurasia di suatu waktu yang lampau. Apakah raksasa ini penting? Rasanya jelas. Bagaimana kalau ia tiba-tiba menghilang dalam semalam. Maka dunia akan berduka sangat dalam kehilangan separuh jiwanya, setengah raganya, yang menjadi rumah bagi sebagian besar warganya yang telah tumbuh menjadi sedemikian berkembang sampai hari ini. Mewarisi kekayaan dari peradaban-peradaban masa lampau yang pernah meraja disini. Maka dari itu, rasanya jelas, luar biasa jelas, kalau raksasa ini, penting.

Ya tapi gak melankolis gitu juga kali penjelasannnya. Hahahaha~

Bener sih, kalo soal mewarisi peradaban mutakhir masa lampaunya. Kali ini kita bicara soal Asian Old Civilization alias peradaban kuno di Asia. Mereka ada 4, yakni Egypt, Mesopotamia, Indus Valley, dan China. Berikut ini adalah petanya.


Ada yang bisa anda deteksi dari peta diatas? Yeap! Semuanya di pinggir kali~

Atau ya, bahasa lebih tingginya di tepi sungai. Ini artinya, sebuah peradaban selalu terbangun di tempat yang dekat dengan air, karena air sendiri adalah sumber kehidupan. Teori yang sama juga menjelaskan kehidupan nomaden orang orang 'dulu' di era food gathering, mereka berpindah pindah dan katanya selalu mencari tempat di dekat sungai. Setelah beberapa abad berlalu, alam berganti dan manusia semakin banyak dan cerdas di muka bumi ini, peradaban yang masih dikenang kemutakhirannya ini pun menggunakan resep yang sama soal berada tak jauh dari sungai-sungai besar. Dapat disimpulkan pula bahwa mereka berkehidupan dengan bercocok tanam menggunakan air sungai tersebut.

Lanjut ke topik selanjutnya nih ya, ini soal yang lebih luas, lebih mengenai hubungan, sekali lagi, hubungan, ehem#dor

"Why do the European Came to Asia?"

Dari kuliah tadi, setelah sekian banyak diskusi, pemukaan pendapat dari mulai yang mutu dan berdasar sampe yang asal, disimpulkanlah bahwa sebabnya adalah karena 3G.

Gold, Glory, and Gospel. Kekayaan, Kejayaan, dan Misi Agama.

Konon kata guru SMP saya bu Nanik Purwati, ada sebab sebab lain, sebagai berikut.
  • 1453, Jatuhnya Konstantinopel (Byzantium) ke tangan Turki Usmani sehingga terputus hubungan dagang antara Eropa dan Asia Barat (utamanya perdagangan rempah-rempah).
  • Nah, karena itu mereka jadi ingin mencari rempah rempah ke daerah asalnya.
  • Ingin membuktikan teori Heliosentris oleh Nicholas Copernicus bahwasanya bumi bulat dan Matahari sebagai pusat tata surya.
  • Adanya semangat Reconquesta, yakni semangat balas dendam umat Kristen yang kalah pada Perang Salib pada Umat Islam.
  • Imago Mundi, buku yang ditulis Marco Polo atas pengembaraannya ke Cina yang menginspirasi.
  • Ditemukannya navigasi, perkembangan teknologi perkapalan, dan teknologi lainnya.

Secara umum, sama aja sih, cuman ya, kalo pas SMP belajarnya lebih terima apa adanya, sekarang harus lebih kritis dan dirunut dari mana asalnya sebuah steatment dikeluarkan. Kronologisnya, setelah kalah perang salib, umat Kristen di Eropa punya sakit hati mendalam karena dikalahkan. Selain itu, lebih sakit hatinya lagi, sumber kehangatan mereka menghilang *najongbahasanya* karena perdagangan rempah-rempah dari Asia Barat diputus oleh Turki Usmani. Akibatnya, mereka harus mencari kehangatan sendiri ke tempatnya di tropis yang jauh di sana~ #eak. 

Gospel yang merupakan salah satu sebab orang Eropa eksplorasi ke Asia katanya diakibatkan oleh Perang Salib meskipun orientasi Perang Salib pun tak melulu soal agama, melainkan juga soal ekonomi. Tapi bangsa Moor (muslim) memang menguasai Eropa dalam kurun 700 tahun. Wilayah terakhir yang ditaklukan dari Moor adalah Granada di Spanyol, yang sampai sekarang jejak ke-Islamannya masih bisa ditelusuri. 

Selama perang salib, teknologi Islam yang maju ternyata dipelajari oleh orang-orang Eropa. Pada masa Rennaisance inilah kesadaran pemikiran memuncak. Ilmu yang mereka dapatkan kemudian dikembangkan hingga mereka bisa mencapai kemutakhiran teknologi pada masanya yang kemudian bisa mendukung rencana penjelajahan mereka mencari the source of spices. 

Sedikit trivia nih, kenapa iptek itu di Eropa kesannya kaya maju banget, padahal aslinya, mereka bukan pioneer juga lho. Beberapa teknologi mereka merupakan pengembangan dari bangsa lain, misalnya saja Cina. Ini dikarenakan, bangsa timur itu semacam kebanyakan basa-basi. Yang namanya patron-klien, kesopanan, ekslusivitas golongan eksekutif itu dijunjung banget. Jadilah, ketika sebuah teknologi baru diketemukan, penikmat teknologi tersebut adalah golongan atas saja, yakni Kaisar dan sekitarnya. Hal ini kaitannya dengan superioritas dan tidak bisa disebar luaskan begitu saja sebagai tanda hormat kepada kaisar. Lain halnya dengan orang Eropa yang sepertinya, pada dasarnya memang efisien. Alkisah, sebuah teori menyatakan kalau jam, di Cina dan Eropa berkembang dengan sangat berbeda. Di Cina, jam yang sedemikian mutakhir teknologinya pada masa itu dikhususkan hanya untuk digunakan kaisar dan para petinggi di kerajaan sehingga 'resep' jam demikian terjaga dan otomatis pengembangan pun tiada, atau mungkin sangat kecil. Lain halnya dengan di Eropa. Jam digunakan di sebuah biara oleh para biarawan. Mereka yang hidup bersama memerlukan keteraturan. Ketika jam di aplikasikan dalam keseharian mereka, mereka menyadari bagaimana keteraturan akhirnya bisa tercipta. Kecenderungan yang tercipta adalah semakin fungsional suatu teknologi, maka pengembangan dan pemasyarakatannya akan semakin diprioritaskan. Amanatnya, kalo mau maju, jangan pelit ilmu hahaha~

Kembali ke eksplorasi Eropa ke Asia. Sekarang kita menginjak ke perjanjian Tordesilas. Sebuah agreement yang membelah dunia menjadi dua untuk dijelajahi masing masing Portugis dan Spanyol. Spanyol yang sebelah barat dan akhirnya menemukan New World alias Amerika, lalu berakhir di Filiphina. Dan Portugis yang melalui semenanjung barat pantai afrika, cape town, hingga ke Goa. Perjalanan inilah yang mempertemukan mereka dengan 'kehangatan' yang mereka cari, sekaligus mengajarkan mereka kerakusan.

Cukup soal yang kronologis ya. Waktu sudah semakin malam dan saya punya peer belanda yang belom kelar :v #siapasuruhnulisbeginian

Terakhir, beberapa trivia soal Sejarah Asia.
  1. Russia
    Apakah russia termasuk kedalam Asia? Bisa iya, bisa nggak juga. Artinya gini, secara kultural dan politis, jelas Russia adalah part of Europe. Tapi kalo diliat secara geografis ya masuk asia. Susah ya, terlalu gede sih#dor
  2. Golden Horde
    Semacam term yang mengarah kepada masa kekuasaan sangat besar di bagian tengah asia.
  3. Teh
    Pada abad ke 18, Cina menciptakan tren perdagangan baru yakni Teh. Komoditi ini sangat populer dan diminati. Negara Eropa pertama yang berhasil berhubungan dagang dalam urusan teh dengan Cina adalah Inggris. Kebanggaan akan inilah yang mereka bawa sampai sekarang dalam budaya 'nge-teh' mereka yang menjadi ciri kehidupan berkelas ala Inggris. Bahkan banyak pensiunan Inggris yang menghabiskan uang pensiun mereka untuk berkeliling Inggris dan menikmati teh-teh terbaik di Inggris dari berbagai negara di tempat-tempat terbaik untuk menikmatinya. Tapi bukan Inggris tidak mengalami kesusahan dalam urusan teh ini. Mereka bahkan harus sampai mengirim diplomat khusus ke Cina untuk menangani urusan dagang ini. Selan itu, bahasa yang digunakan dalam perdagangan dengan Cina, baik langsung maupun melalui surat hanyalah Cina, Arab, dan sedikit Thailand. Arab dan Thailand juga digunakan karena hubungan dagang antara orang-orang bangsa ini dengan orang Cina sudah terjalin sangat lama, dan juga menjadi penting bagi kedua belah pihak. Selain itu, Cina juga haya mengizinkan Perak untuk ditukar dengan Teh. Dalam hal ini, Inggris mendapatkan perak dari koloni kesayangannya, Amerika.
  4. Opium
    Masalah kemudian muncul ketika Amerika merdeka tahun 1776. Sumber perak inggis hilang. No Silver mean no Tea. Akhirnya Inggris dan Cina setuju untuk menukarnya dengan Opium. Opium-opium ini didapatkan Inggris dari India, dan sedikit dari Turki. Opium pada zaman itu tidak seberbahaya sekarang. Ia tidak dicampur dengan bahan kimia lain dan digunakan lebih sebagai suplemen penambah tenaga, terutama untuk perkebunan tebu yang pekerjaannya paling berat dan harus diawasi 24 jam. Namun dengan opium yang penggunaannya amat luas, dampaknya juga tidak kecil. Kaisar kemudian sadar, bahwa Opium telah merenggut satu generasinya karena kecanduan. 
  5. Jepang
    Seperti saya bilang tadi, Asia itu kesannya terlalu kaku. Persis personifikasinya Nihon di Hetalia Axis Power yang kalo mau ngomong selalu nggak jadi gara-gara ditahan. Gak kalah dengan Cina, Jepang juga tertutup. Sebelum Jepang membuka diri kepada bangsa barat, ada sebuah pulau buatan bernama Deshima (kadang dieja Dejima) yang menjadi titik terakhir persinggahan orang Barat di Jepang. Perdagangan dari Jepang hanya boleh sampai dan melewati pulau ini. Sebagai gantinya, Jepang lebih memilih pelajar-pelajarnya dikirim ke Eropa untuk mempelajari pengetahuan dan teknologi terbaru. Disini yang saya kagum dari Jepang. Dari fakta ini juga, kayaknya, setiap bangsa seperti mewarisi sifat khas yang kurang lebih sama ya~
  6. Opium War
    Masalah Opium antara Cina dan negara-negara Eropa kemudian menghasilkan Opium War. Perang ini terjadi dalam gelombang I dan II. Dampak terakhir Opium War adalah Hongkong yang sempat 'dipinjam' Inggris selama 100 tahun dan baru dikembalikan pada 1997. Begitu kembali Hongkong pun jadi mengalami masalah untuk bergabung dengan Cina, akibatnya, sampai sekarang Hongkong seperti memiliki otonomi khusus.
Yak begitulah kira kira, ilmu yang saya dapat dari kelas Sejarah Asia tadi siang yang kemudian saya muat ulang dan bagikan disini. Keren kan, pengetahuan yang sebegini luas hanya didapatkan dalam sekali kelas? hehe, sejarah gituloh~#dor. Mulai dari sekarang, saya janji, kalo sempet, saya bakal mempublikasikan kuliah-kuliah yang menarik di blog ini. Berbagi ilmu kan, biar maju wkwk

Jujur setelah kelas ini, I can't wait for European History in next Semester~ We'll talk more about Holy Roman Empire, Germania, Habsburg, and many more~ I must be great! XD



Akhir kata, semoga berguna, semoga anda sekalian turut merasakan antusiasme saya,
dan malam semuanya, See yaa~~ :3


Sunday, March 09, 2014

Sosiologi :v

Aduh, hidup ini emang let it flow banget ya~ atau saya aja yang gitu? ahahaha~
lagian, tahukah anda apa yang sedianya saya ingin lakukan di malam senin yang tenang nan syahdu ini? Simple, berhubung di HMJ kebetulan saya awak media. Minggu lalu kami mengadakan rapat kecil kecilan mengenai penerbitan mading bulan ini. Tanpa bisa direm, tiba tiba saya meracaukan ide yang saya punya, dan asemnya langsung diangguki setuju oleh yang lain. Akibatnya, saya harus memberi makan rasa lapar saya sendiri. Ide ini kembali kepada saya bak boomerang yang mendarat patuh pada tuannya. Usul saya kembali sebagai mandat untuk membuat review sebuah film yang lagi in, The Act of Killing. Gak usah serius amat karena ini cuma sebatas informasi buat mading yang gak mungkin ditongkrongin orang berjam jam kaya majalah konvensional, jadi cukup nonton, liat liat reverensi, dan nulis beberapa paragraf aja. Setelah itu, mungkin beberapa bab awal di bukunya Michel Munoz yang Early Kingdoms of Indonesian Archipelago and Malay Peninsula, bisa saya selesaikan.

Tapi apa? Saya malah nyasar ke blog, buka blog orang-orang dan tiba tiba jadi pengen nulis hal yang samasekali diluar rencana. Perihal mata kuliah pengantar sosiologi minggu lalu yang, cukup nyeleneh.

Jadi gini, pada hari Kamis yang lalu, kami mendapatkan sebuah mata kuliah wajib buat anak sejarah UGM yang katanya ciri khasnya ada di sejarah sosial, yakni kelas pengantar sosiologi. Kelas ini diisi oleh internal maupun eksternal kelas kami, yang didalamnya terdapat beberapa anak dari jurusan lain. Alhasil, kelas jadi lebih ramai jadi biasanya. Untuk atmosfer kelas yang ramai, kami sudah cukup dibuat trauma oleh kelas PKN yang juga hadir di semester ini. Gile aja, anak sejarah, dicampur sasindo, dan yang ngajar, sori, maaf banget pak, tapi luar biasa garing. Seisi ruangan ada yang bbman, tidur, makan, ngobrol, instagraman, selfie, dan masih banyak lagi, tapi beliau tetap asyik sama ppt yang isinya 149 SLIDE! Kalian tahu apa yang saya lakukan? Menertawai secara paspasan kelakar bapak dosennya yang gak lucu hahaaha~ yaabis gimana, saya paling depan, gak enak juga. Lagipula, saya udah sakit hati duluan sama dosen yang satu ini. You know? Beliau ngajar Pancasila dan Kewarganegaraan tapi gak ada semangatnya. Dia ngajar ini cuma karena punya sertifikat penataran P4 jaman jebot *baca: orba* dan aslinya adalah seorang dosen sastra jawa~ =3=
Di kali pertama pertemuan, si bapaknya ini bilang kalo kuliah ini gak usah dipusingin. Katanya, kita belajar PKN, menghadiri kelas ini, cuma sebagai syarat aja. Karena syarat ini mutlak dan wajib sebagaimana keputusan rektor, jadi TERPAKSA lah kita mengulang lagi apa yang sudah dipelajari sejak SD. Yang penting kalian hadir penuh, pasti nilainya bagus. LOL bikin patah semangat bangeet~

Oke, bro. Hari gini siapa sih yang masih percaya sama Pancasila? Dasar negaranya kayaknya udah ganti jadi apatisme dan radikalisme golongan deh. Tapi saya masih percaya. Saya percaya kalo Pancasila bukan dongeng. Ia adalah sebuah rumusan yang apabila dijalankan secara transparan, aplikatif, dan konsekuen tanpa internalisasi nilai-nilai ekstensi dari elit manapun bakalan sangat baik buat negara ini, dan itu udah teruji ya. Tapi ada ujian baru tjoy. Itu loh yang katanya sistem Khilafah yang diusung sama intelektual muslim. Tapi sori, saya gak setuju. Agama itu kebutuhan, religiusitas itu pribadi, negara adalah kesatuan yang majemuk dan tak bisa diseragamkan, terlebih dengan internalisasi yang mengindoktrinasi. Semua orang boleh punya tindakan dan argumen dibelakang tindakannya, tapi udah bukan jamannya lagi untuk memobilisasi masa, dan menciptakan dominasi satu atas yang lain.

Kembali ke kelas sosiologi. Begitu kelas ramai, datanglah seorang bapak yang udah cukup tua. Pastinya diatas 50 lah. Katanya aja, dia lulus kuliah taun 74. Trauma terhadap kelas PKN seketika datang lagi. Anjrit, masa iya kelas gua semester dua isinya begini semua, gimana IP bisa naik :v Pikiran saya tiba-tiba dikuasai oleh umpatan-umpatan seperti itu, meskipun ketika saya memperhatikan lebih jauh si bapak-bapak ini, ada yang aneh. Dia udah tua, tapi rambutnya masih item cuy, kaga ubanan. #bokap gua aja udah ubanan :v

Berhubung ketika itu papan tulis di ruang multimedia sedang entah kemana, beliau akhirnya mengurungkan niat untuk menggunakan papan tulis dan memilih sebuah laptop yang dihubungkan dengan proyektor dan sebuah mic sebagai alat bantu mengajarnya. 

'Aduh, nih bapak-bapak bakalan ceramah panjang lebar dah.' kira kira begitulah suudzon yang tercetus begitu saja di kepala saya.

Kelas beliau dimulai dengan amat standar, nyambungin proyektor, meminta sukarelawan untuk membantu beberapa urusan teknis lainnya, lalu menyampaikan perkenalan. Dia bilang, dia satu satunya pria yang jadi kepala pusat studi wanita, dan seketika itu juga suudzon di kepala saya hilang. Bapak ini, dari gaya bicaranya, kayaknya kelasnya bakal cukup menarik.

Tapi semua kesan yang sempat terelevasikan itu kemudian turun lagi ketika dengan horror *terutama buat saya yang duduk paling depan* beliau bertanya pada kami semua tentang apa itu sosiologi. Dan yang kena, siip, pas banget rekan di sebelah saya. Untung, bro, untung bukan saya.

Mbak, apa itu sosiologi mbak?

MAMPUS. Sosiologi ya? Ilmu tentang masyarakat? Masa sesederhana itu sih? Aduh gak mutu banget jawaban gue. Ya abis gimana dong, dulu gue belajar sosiologi gak nyampe setaun, itu pun beberapa kali pak Adar gak masuk. Meski kelasnya asik dan gue masih inget beberapa materi, tapi kan pasti jauh lebih cetek dibanding para IPS sejati ini~ AAA kenapa tadi gue duduk didepan??!

Kira-kira begitulah, yang ditanya sebelah saya, malah saya yang kalap. Saya tetap bertahan gak ditanya :3

Dari sebuah estimasi akan slideshow membosankan, kuliah ini justru jadi sangat menyenangkan. Si pak dosen yang kepala pusat studi wanita ini, ternyata orang yang kakkoi, sebagaimana guru-guru sosiologi lain yang pernah saya kenal. Beliau ini selain jadi dosen dan peneliti juga jadi pembina model. Dan coba kalian bayangkan, kehidupan macam apa yang dia jalani? 

Beliau sempat membahas tentang lokalisasi? Kalian tau apa? Yoman, itu lho, Gg. Dolly, Sarkem dsb. Kok saya tahu? Yaiyalah, pengetahuan saya luas :v Maklum, ini obrolan saya sama Nadiah Juwairiah Karimah yang calon anak UI itu~ Dan kami punya cita-cita, kapan kapan mau main ke Red Light District. Jadi kata beliau, penutupan lokalisasi itu salah. Katanya di Jogja, selain sarkem ada lokalisasi lagi, saya lupa namanya, tapi tempatnya di Kota Baru. Beberapa tahun yang lalu, lokalisasi tersebut di tutup. Kata beliau, menutup lokalisasi itu sama halnya kayak mbakar sarang tawon. Kalo rumahnya diancurin, tawonnya bukan mati, tapi kabur kemana mana, dan malah membahayakan orang luar. Seandainya terkumpul dalam sebuah lokalisasi, akan lebih mudah buat mengontrol dan memantau mereka baik secara psikis maupun kesehatan. Karena prostitusi itu penyakit lama yang pastinya susah disembuhin. Menurut beliau, yang dibutuhkan para PSK di lokalisasi itu cuma 3, maaf saya sebutkan, tapi ini pengetahuan juga sih. Pertama jelas kondom, buat mencegah penularan penyakit dan pengaman paling dasar. Yang kedua tissue basah, dan yang ketiga, lubricant. Kalo nggak tahu, jangan di search di google ya, nanti yang keluar malah yang nggak-nggak. Lubricant itu sejenis pelumas, karena praktek prostitusi itu pekerjaan kan ya, jadi kalo nggak ada perasaan ya otomatis 'sakit', ya jadi itu, dikasih lubricant :v

HAA INI BAHASAN PALING DEWASA DI BLOG INI~ #woy

Tapi mending kalian baca ya, nah saya mendengarkan secara langsung, ditengah teman-teman saya yang malah ikutan meracau. Bayangkan saya baru 17 tahuuun~~ :v

Selain lokalisasi, ilmu lain yang juga beliau bagikan adalah bagaimana mendeteksi invirginitas pada seseorang *laki laki maupun perempuan* secara sederhana dan akurat. 
  • Pertama lingkar kepala, kalo lingkar kepala anda besarnya sama kaya dari ujung paling bawah akar rambut sampe ke bibir, itu berarti masih virgin, dan sebaliknya.
  • Kedua, di belakang lutut, di sekitar garis lipatan ada urat-urat yang keliatan warna biru-biru, nah kalo uratnya masih lurus lurus, berarti masih virgin, sedangkan kalo udah bengkok, bengkok, nggak.
  • Ketiga, tulang selangka. Kalo di bawah tulang selangka ada semacam lipatan kaya kejiret karet gitu, berarti sudah tidak virgin, dan sebaliknya. 
Percaya nggak percaya sih, coba aja dites bandingin hasil kamu sama ibumu. Kata beliau ini akurat, meski penjelasan medisnya gak perlu dijabarkan~ 

Disamping itu, beliau juga mengajari kami membaca garis tangan, berbicara soal zodiak, berbagi hikmah dari pengalaman hidup beliau dan masih banyak lagi. Meski sosiologi itu asing, sekilas pertemuan kemarin sudah cukup membuka lebar pandangan mata kami. Sosiologi yang katanya ilmu serakah itu ternyata cukup aneh juga. Kalo dibandingin sama psikologi, kayaknya orang-orang sosiologi lebih punya cara yang nyeleneh. Ah, kayaknya saya jadi tertarik nih, haha~ Siplah, bismillah aja~


Tuesday, March 04, 2014

Wirausaha, Such a Nightmare

Menjelang tahun ajaran baru dan bakal adanya 'korban-korban' baru yang nyasar ke jurusan saya, kami, angkatan baru yang sebentar lagi akan menjadi 'kakak' ini mulai melakukan berbagai persiapan untuk menyambut mereka. Ya, wajar lah, mahasiswa baru gitu kan, yang memasuki sebuah mega instansi harus melalui beberapa lapis orientasi sebelum memasuki ranah perkuliahan yang sebenarnya. Pertama opkors, ospek universitas-atau di univ kami dikenal dengan PPSMB PALAPA-, yang kedua ospek fakultas yang kalo di FIB, tahun lalu bertajuk Bratasena 2013. Tapi kalian, para new comer *kaya lu udah kawak aja wan~* gak usah khawatir sama ospek yang mengerikan. Ospek universitas pada umumnya itu asik kok, aman dan samasekali gak mengerikan, hanya sedikit merepotkan#ups. Cuman ospek fakultas emang kadang kadang nyeleneh dikit, ya, kalo ditanya serem apa nggak sih tergantung jurusannya. Kalo jurusan kalian macam teknik, kehutanan, ya pokoknya yang membutuhkan ketahanan fisik dan mental yang cukup sih ya siap siap aja. Tapi kalo kalian di fakultas-fakultas nyante macam psikologi atau ilmu budaya sih yaaa, asik asik aja, nyante. Meski demikian, belumlah pada tempatnya jika kalian sudah menghela napas lega sesudah ospek fakultas. Meski hanya di jurusan-jurusan tertentu, masih tetap ada ospek JURUSAN. Dan kalo kalian nyante nyante sepanjang ospek-ospek lain kemaren, bersiap-siaplah disini.

Oleh sebab akan diadakannya acara maha dahsyat tersebut, angkatan kami, 2013, lagi getol-getolnya mengumpulkan dana. Untuk urusan ini, kami dikoordinir oleh seorang Era Tazkiyah yang sebenarnya sulit dipercaya, tapi mental wirausahanya lumayan. Nah, itu dia yang mau saya bahas, bukan soal ospek, bukan soal Era, tapi soal wirausaha. Sesuatu yang entah kenapa buat saya such a nightmare.




Susahnya Cari Uang

Semenjak sistem barter kalah oleh sistem baru yang memperkenalkan alat tukar sebagai media transaksi ekonomi, uang mulai merangkak naik dan bercokol di tahta luar biasa tinggi jauh diatas mahkota para penguasa. Kalo dirunut, dan kalo keberadaan manusia purba itu benar sebagaimana apa yang saya pelajari di sekolah selama ini, transaksi demi pemenuhan kebutuhan atau kegiatan saling memenuhi kebutuhan ada sejak manusia bertambah banyak pada era food producing. Sebelumnya, di era food gathering, makanan di dunia surplus tanpa harus dikelola karena jumlah manusianya memang masih sangat sedikit. Tapi karena manusia jugalah makhluk hidup yang memiliki kecenderungan untuk bereproduksi, jadilah jumlah mereka berlipat ganda. Semenjak itu, alam seperti berubah menjadi pelit, kebutuhan mereka sudah tak bisa lagi secara penuh ditanggungkan kepada alam. Dengan kapasitas otak yang entah seberapa persennya manusia saat ini ketika itu, mereka akhirnya menemukan sebuah terobosan baru yakni food producing. Dalam era ini, mereka hidup dalam kelompok yang lebih besar, mengelola lahan dan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan yang biasa mereka konsumsi. Dari sini, saya rasa mulai muncul keangkuhan manusia. Di era sebelumnya, manusia sepenuhnya bergantung pada alam, jadi mereka mendewakan mereka dan memiliki rasa syukur yang tinggi terhadapnya, tapi di era ini, manusia merasa mereka sudah bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dari sini juga berbagai kreativitas dan inovasi berkembang. Makanan yang dikonsumsi semakin beraneka ragam. Satu kelompok manusia tidak memakan hal yang sama dengan kelompok lainnya, akibatnya ada kecenderungan untuk mencoba milik yang lain. Setelah saling mencoba, terciptalah kerjasama diantara mereka. Semacam simbiosis yang saling membutuhkan. Akibatnya berkembanglah barter, dan begitu seterusnya sampai alat tukar yang bentuk paling mutakhirnya adalah uang-entah itu kartal atau giral- ditemukan.

Dulu, jasa ditukar dengan barang. Barang yang populer dijadikan alat tukar adalah garam. Di Eropa, garam dikenal sebagai 'emas putih' yang artinya hampir sama berharganya dengan emas. Buktinya kata 'gaji' dalam bahasa Inggris adalah 'salary' yang asalnya dari kata 'salarium' yang dalam bahasa latin artinya garam. Kita, para penduduk tropis yang tengah bersantai dibawah sinar matahari hangat sambil membaca tulisan ini mungkin malah tertawa, menertawai betapa anehnya selera orang-orang kelas atas bangsa Eropa yang menyetarakan bumbu-bumbu dapur dengan emas. Tapi begitulah kenyataan yang terjadi. Eropa dan kita, dataran tropis yang kaya ini berada di belahan bumi yang berbeda. Mereka yang dingin dan kita yang hangat, mereka yang catur musim, dan kita yang dwi musim saja. Mereka yang pemikir dan kita yang katanya, apa, lumbung? hahaha~

Oke, cukup lah. Kenapa sih saya jadi ngelantur ke sejarah uang gini. Tapi itulah, melalui proses yang demikian panjang itulah, raja dari segala raja bernama uang ditemukan. Awal penciptaannya memang ditujukan untuk 'mempermudah' tapi begitu fungsi-fungsi sekunder dari uang dipopulerkan oleh para materialistis, uang mulai memunculkan wajah aslinya yang mengerikan. Dari sesepele alat tukar ia bertranformasi jadi alat penyimpan kekayaan, penciri status sosial, dan sebagainya. Akibatnya uang seperti membagi-bagi masyarakat kedalam kelas yang nyata. Ketika penggunaan uang semakin luas, segala hal seperti bisa dibeli oleh uang. Hedonisme menjadi gaya hidup yang diimpikan semua orang dan seketika itu pula uang berubah menjadi 'magic spell' yang bisa mengabulkan apapun. Disinilah drama tentang uang dimulai di sebuah panggung sandiwara raksasa bernama dunia. Kalau para humanis berpikir yang dicari manusia dalam kehidupannya adalah kebahagiaan, orang-orang sekarang, yang katanya 'realistis' menggantikan kebahagiaan dengan uang, karena kebahagiaan sekalipun, bahkan kesehatan, dan kesejahteraan bisa dengan mudah dibeli dengan uang. 

Akibatnya segala regulasi diberlakukan mengenai uang. Uang bukan lagi kulit kerang atau daun kering seperti di masa-masa jahiliyah dahulu kala. Uang sekarang adalah sebenda berharga yang dijadikan tujuan mayoritas orang untuk dikejar. Jika tercetus sebuah pertanyaan, 'Apa yang dicari oleh orang yang bekerja?', jawaban yang paling mainstream adalah uang. Karena di era kapitalisme ini uang semakin kuat kekuasaannya. Meski diantaranya pun masih ada kelompok kelompok humanis yang tak berpikiran demikian.

Ketika lulus SMA kemarin, banyak teman seangkatan yang memutuskan untuk kerja. Alasannya jelas uang. Katanya, untuk melanjutkan kuliah tak ada biaya, meski pada kenyataannya sudah banyak sekali regulasi yang melonggarkan sektor tersebut. Sebenarnya alasan utamanya adalah motivasi. Kalau memang motivasi mereka sudah untuk kerja dan bukan untuk sekolah lagi, dipaksakan pun tak ada gunanya, begitu pula sebaliknya. Saya, seorang lulusan SMA yang belum pernah sekalipun mengecap rasanya mencari uang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan. Entah kenapa, kalau bicara soal uang, saya tak punya ide. Saya melanjutkan pendidikan untuk belajar, untuk mendalami lagi apa yang saya sukai, bukan untuk menambah kualitas diri demi mendapatkan pekerjaan baik di waktu kedepan, dan jujur, karena belum merasa siap terjun ke kehidupan yang sebenarnya. Banyak dari teman-teman saya yang hidup dengan pola yang begitu sistematis. Bagi perempuan, lulus sekolah cukup bekerja sebentar, tak usah terlalu serius, lalu menikah dan beranak pinak. Selanjutnya tinggal menjadi ibu rumah tangga sebagai mana mestinya, menua, sembari bergantung pada suami sepenuhnya. Yang laki laki pun tak jauh beda, lulus lalu bekerja, mestinya serius karena kedepannya akan menanggung nafkah dari banyak kepala. Tak ada yang salah sih sebenarnya, tapi entah kenapa, rasanya hal tersebut buat saya terlalu mengerikan. Sejauh ini saya lebih suka merasa aman duduk di balik meja dengan pikiran kemana-mana, mengamati dari kejauhan bagaimana 'kehidupan' berlangsung dan berteori soal mereka. 

Selama ini saya tutup mata soal uang. Saya hidup dari nafkah orang tua saya, seratus persen sampai sekarang. Bagi banyak orang, hal seperti ini memalukan. Tenaga saya sudah cukup untuk menghasilkan uang, tapi saya justru masih hanya berpangku tangan. Jujur, I have no idea about this. Mata saya tertutup sampai masalah danus ini menghampiri. Kami, 30an orang, berusaha mengumpulkan dana 10an juta untuk acara tersebut di sekitar bulan September dan rasanya sulit. Tiap hari kami harus memutar otak bagaimana modal yang ada dikembangkan agar bisa mencapai target pada waktunya. Hasil kami tak pernah banyak. Tiap ribu-ribu kami kumpulkan hari demi hari, dari penjualan-penjualan sepele yang ternyata cukup berat jika dilakukan. Cari uang itu susah, itu yang sekarang saya pikirkan. Ayah saya, bisa mencukupi kebutuhan kami dengan gaji yang nominalnya sudah dibangun oleh karir kerjanya yang sangat panjang. Di awal? Gaji itu tak ada apa-apanya.

Sekarang, saya kuliah dan setelah lulus nanti saya belum kepikiran akan bekerja apa. Tujuan saya selama ini, saya ingin serius belajar agar selepas ini ada yang menghargai keseriusan saya dan bersedia membiayai saya belajar lagi sampai saya bisa mumpuni untuk menghasilkan sesuatu yang cukup berharga. Tapi apa akan semudah itu? Selama ini saya tak pernah berpikir ia akan sesulit apa. Saya selalu berpikir bahwa yang harus saya tembus adalah target yang dekat. Kalau saya selalu bisa maksimal, pasti hasil akhir yang saya dapatkan pun bisa maksimal. Selalu seperti itu, tanpa berpikir soal uang. Samasekali tanpa pikiran soal uang.

Uang shit. Saya tak pernah bermimpi jadi kaya. Mungkin saya termasuk humanis yang lebih cinta menjadi bahagia daripada kaya. Uang itu buat saya, semacam tak memiliki jiwa. Ia hanya energi abstrak yang ikut menjadi motor penggerak dunia, bukan seperti kebahagiaan yang lebih seperti sebuah jiwa. Tapi saya juga tak bisa memungkiri bahwa sekecil apapun kebutuhan hidup di dunia ini selalu hanya bisa diwujudkan dengan uang. Meskipun begitu, tetap saja, bekerja dengan pola monoton dan dikendalikan oleh uang adalah mimpi buruk buat masa depan saya. Sungguh, mau dikata naif pun, saya lebih ingin bahagia.


Wirausaha: MAKAN ATI!

Indonesia itu negara berkembang yang dikuasai sama modal asing. Kenapa? Karena wirausahanya kurang menggeliat. Karena warganya lebih suka main aman jadi kuli dibanding menanggung resiko atas kerugian dengan buka usaha sendiri meskipun kalo sukses hasilnya menjanjikan. Ya kayak saya ini. Aah, lama-lama saya semakin mirip figur general orang Indonesia jaman sekarang. 

Abisnya kenapa coba? Ya itu. Wirausaha itu bukan hal asing buat saya. Saya memang nggak pernah secara benar-benar individu terjun langsung ke dunia mencari uang, tapi dikit dikit saya berkali-kali ngerasain wirausaha itu gimana. Dan buat saya gak asik, gak cocok banget, makan ati, tjoy~ Saya gak habis pikir sama seorang wirausahawan partai kecil yang benar-benar bisa menikmati apa yang dia kerjakan, mungkin ini yang namanya bakat dagang, tapi kalo buat saya, sejak kecil pun saya gak pernah siap sama beginian. Masalahnya urusannya jadi sentimentil kalo sama saya. Main perasaan, makan ati.

Keluarga saya bukan keluarga kaya, dulu waktu saya masih kecil, keadaan kami gak sebaik sekarang. Bokap saya adalah pencari nafkah tunggal, dan gaji beliau ketika itu ngepres banget buat sekedar biaya hidup kami. Oleh karena itu, nyokap coba-coba usaha. Waktu saya SD, nyokap sempet jualan kacang bawang. Serius, kacang bawang nyokap dibuat dengan totalitas, mengutamakan rasa, dan banyak diminati, tapi tetep aja usaha itu gak bertahan. Kalo kalian tanya saya, saya tahu gimana cara buat kacang bawang yang enak. Masalahnya, kalo buat dagang kan otomatis buatnya jadi sering, di kali pertama, kedua, boleh jadi rasanya standar, tapi semakin sering, kami berimprovisasi, denger resep dari kanan kiri, dicoba-coba, dan dipertahankan rasa terenak yang pernah kami dapatkan. Pertama, kacang yang masih ada kulit arinya lebih renyah daripada kacang kupasan. Jadi meskipun kami hanya pengusaha mikro, kami tetep ngupas kulit kacang secara manual. You know? Itu kacang sebaskom gede, direbus, didiemin sampe dingin, terus dipelecetin satu satu sampe kelar, copot copot deh jempol, tapi demi rasa kami tetap melakukannya tjoy~ 

Pemasaran juga jadi masalah selanjutnya. Yang paling penting disini adalah relasi. Karena mode penjualannya adalah dititipin, semakin banyak kita punya kenalan warung, semakin bagus. Dan karena kita orang Indonesia, lagi-lagi, kenalan warung itu gak berarti kita cuma kenal, terus bisa nitip ya, tapi ya paling nggak entah berapa ribu belanja disitu. Hal tersebut ya dimaksudkan untuk menjaga hubungan, karena sesama pengusaha pantasnya saling menguntungkan. Masalah penting lainnya adalah jangka waktu. Seenak apapun dagangan lu, kalo lu cuma jual satu jenis dalam jangka waktu yang lama tanpa inovasi apapun, orang pasti pada bosen. Disinilah nyeseknya.

Yang namanya wirausaha, terutama kuliner, itu pasti ada golden age-nya. Di masa-masa awal, biasanya orang pada penasaran, terus nyoba, terus kalo suka ya jadi langganan, tapi semua berubah di masa-masa bosan. Pengusaha kecil kecilan yang gak terbekali kiat-kiat usaha berguguran disini. Boro-boro mikir inovasi, mental pasti udah mendem duluan. Anda tahu? Kalo strategi pemasarannya adalah dititipin ke warung, berarti barang yang gak laku bakal balik lagi ke kita. Dan itulah bagian yang paling nggak nguatin buat saya yang sangat mellow ini. Seenak apapun kacang bawang bikinan nyokap, saya mblenger, saya muak sama kacang bawang pada masa-masa itu. Di awal, saya selalu minta sisain, tapi udah belakangan nggak lagi. Dan lo tau, rasanya makan kacang yang 'kembali'? Kadang dengan ekspresi yang sulit dijelaskan nyokap jembreng-jembreng kacang itu. Dan saya memilih untuk memakannya dan bilang 'masih enak kok bu'. Haah pahit bro~ bukan soal kacangnya yang udah agak lama, tapi soal bagaimana usaha kami. PAIT BANGET.

Saya gak cuma jadi penonton, ketika itu saya turut berpartisipasi nitipin kacang bawang di sekolah. Untung Bu Yayat, ibu kantin yang saya titipin itu baik banget tjoy. Beliau kalo ada sisa ngomongnya alus banget sama saya. Tapi nyokap pernah ngadepin yang jauh lebih hardcore. Ada yang menggerutu 'habis sama anak saya, bu', bahkan ada yang minta gak usah dititipin lagi aja. Saya juga sering bantuin naro kacang di warung-warung, dan saya liat gimana ekspresi gak enak beberapa oknum tukang warung waktu ngasih uangnya ke saya. Dan ya, pokoknya gitu lah. Wirausaha itu berat banget cobaannya. 

Sekarang kacang mahal, kacang bawang ketengan 500an atau bahkan 1000an sekalipun udah gak masanya di warung-warung. Tapi pelanggan setia ada yang masih suka mesen kacang bawang toplesan kalo lebaran. Ya kalo lagi dapet hasil banyak sebenernya seneng banget, tapi ya itu, sedihnya lebih banyak kalo menurut saya. Selain dari pada kacang, nyokap juga pernah jualan lauk mateng. Dan untuk kasus ini cobaannya beda. Tiap hari nyokap harus kepasar, bangun jam 2-3 pagi buat masak, selain itu sayurnya juga di anter langsung ke pelanggan dengan sepeda~. Mungkin nyokap ketika itu harus nyepeda 4-5 km bolak balik. Setiap dagang, ada yang abis ada juga yang nggak, dan lauk yang kami sekeluarga makan pasti ya dagangan itu. Enaknya gitu sih, jadi gak ada yang basi. Yang paling baru, kami ngewarung kecil-kecilan di rumah. Jangan sangka ini gak ada cobaannya juga. Memang andaikata dibandingkan sama jualan lauk mateng dan jualan kacang bawang, ngewarung ini jauh lebih baik. Tapi you know, orang ngutang yang kabur itu bikin nyesek juga, apalagi kalo inget untung dari setiap item yang disediakan di warung kecil itu cuma seper sekian persen aja. 

Di tengah perjuangan sengit ortu saya itu, dari TK saya banyak sekolah di sekolah favorit yang sesuai dengan kualitas memungut uang spp lebih tinggi dari sekolah lain. Tapi ortu saya lebih dari support soal itu. Mereka pokoknya jor-joran banget kalo buat pendidikan, baik saya maupun adek saya sekarang. Tapi sejauh ini, saya bersyukur punya orang tua kaya mereka dan termotivasi banget sama kerja keras mereka sih jadinya. Saya cuma bisa berdoa, suatu saat, saya bisa bikin mereka lebih banga lagi. Saya gak bakal bisa bales jasa mereka tapi saya pengen mereka puas dan merasa sudah memilih jalan paling benar buat membesarkan saya dengan cara yang seperti ini. Cuma itu...

Tuh kan, yakan, wirausaha itu sucks! Hal ini juga yang bikin saya mundur dari cita-cita mau jadi fashion designer. Ya secara, profesi tersebut membutuhkan relasi, komunikasi, dan mental pengusaha juga selain daripada kreatifitas dan kesukaan terhadap fashion yang jadi satu-satunya modal yang saya punya. Saya rasa jadi akademisi lebih cocok buat saya. Ini bukan berarti saya menentang wirausaha lho~ Saya support banget kalo wirausaha di Indonesia berkembang. Tapi sepertinya bukan untuk saya. Ya, manusia kan dilahirkan dengan bakat yang berbeda-beda, jadi kalo ini nggak fit di saya, mungkin di anda pas kan? Gitu aja sih post saya kali ini yang cukup penuh dengan emosi ini.

Bagi seorang anak nggak tahu diri yang sampe sekarang masih nodong emak bapak, yang saya bisa lakukan cuma menggunakan amanah berupa nafkah dari bapak ibu dengan sebijak-bijaknya yang saya bisa. Saya belom becus cari uang sendiri bu, pak. Insyaallah kalo ada jalan ke profesi sambilan yang sekiranya cocok dan nggak terlalu memberatkan saya baik secara psikis maupun fisik saya mau kok. Tapi kalopun nggak, ya doain aja saya bisa sekolah bener, belajar maksimal, biar bisa meraih hasil maksimal pula buat ngejar beasiswa. Amin~

Sekedar saling mengingatkan sesama perantau, buat kalian yang udah bisa cari uang sendiri saya kagum, saya support. Teruskan! Kalian orang hebat! Buat yang sama halnya dengan saya, mari belajar bijaksana. Yang dikasih ke kita itu amanat, ibarat galah buat nyengget mangga di pohon yang tinggi. Kalo itu buat nyengget mangga, ya dipake jangan buat yang lain. Ayo belajar bertanggung jawab, kalo bisa justru kreatif gimana bisa kita pake galah itu buat mencapai mangga yang paling tinggi, yang paling manis. Cari uang itu susah, makanya buat mengeluarkannya harusnya ada alasan yang cukup kuat juga.



Yuanita Wahyu Pratiwi,
tumben lagi nggenah pikirannya~


Monday, March 03, 2014

I NEED TO WRITE SOMETHING

Well, ini saat saat yang sangat genting buat anak kelas 3 SMA. Bagaimana tidak? Dalam rentan waktu tiga tahun yang didurasikan penuh untuk mengenyam pendidikan, tempaan pendewasaan mental bertumpuk hanya pada satu periode waktu di beberapa bulan terakhir. Sejak masa orientasi, sampai ujian semester yang kelima, peringatan untuk itu hanya berupa himbauan, preventif yang luar biasa samar, angin yang berhembus sambil lalu, tapi frekuensinya langsung naik seribu kali lipat di saat-saat terakhir ini. Belajar hanya soal menghapal, bercengkrama dengan alat tulis di meja belajar, mengotak atik rumus, mendengarkan ceramah guru dan sebagainya. Semua berulang bak pola, evaluasi hanya dilakukan untuk skala waktu yang pendek, dan kebanyakan hanya dari sisi akademik saja. Sedangkan masuk triwulan akhir 12 tahun karir pendidikan ini, yang ditagih evaluasinya bukan hanya akademis, tapi juga kesiapan mental, dan tentunya tanda tanya besar yang di awal kerap jadi angin lalu, dipikir sambil melaju, dan tanpa sadar garis finish sudah terlihat tapi ia masih kelabu; tujuan. Beberapa pendidik menyadari ini, menyadari kalau sistem adalah aturan maha kaku maha baku, dan tugas mereka sebagai makhluk yang berasa dan berindera adalah menafsirkannya kedalam bahasa manusia, mengalirkannya sebagai ritme hidup untuk para siswa bingung yang jadi tanggung jawabnya. Tapi kelabunya gelap sekali, warna putihnya masih jauh dari sekedar takaran yang seimbang dengan yang hitam.

Apa yang dulu saya pikirkan di saat saat seperti ini? Bohong kalau saya tak dihujam berbagai hantaman. Rasanya sekolah adalah tidur panjang, dan besok juga saya akan terbangun, menghadapi sesosok monster mengerikan bernama kenyataan. Universitas negeri adalah satu-satunya gerbang yang tak terlarang bagi saya untuk bisa terus melaju dalam ranah keilmuan. Subsidi pemerintah amat berharga buat warga menengah macam kami, maka tak ada ampunan atau opsi kedua berselam di institusi swasta. Sedangkan keadaan saya? Oh luar biasa. Saya minim persiapan. Teman-teman banyak yang telah mengambil kelas tambahan di luar sekolah demi meraih kursi emas yang ditargetkan. Berbagai jalur dilewati, berbagai latihan ujian dijalani demi meraih harga yang telah ditetapkan sejak awal. Tapi saya tidak. Salah jurusan di SMA membuat saya buta arah. Satu yang saya tahu, cukup sudah saya bersakit-sakit disini, di universitas, saya tak akan mengambil arah yang serupa dengan yang ini, hanya itu. Selepasnya pikiran saya benar benar kosong.

Oke soal pilihan, bisa dipikir dan direnungkan setiap sebelum tidur, tapi soal kesiapan? Saya juga nol besar. UN, kompetensi terdasar yang harus dilalui setiap kepala yang mau lolos dari pancungan predikat 'tidak lulus' pun harus saya perjuangkan mati-matian. Sementara untuk tes jurusan-jurusan yang saya minati, saya juga tak punya bekal. Saya berada di jurusan yang tidak mempelajari apa yang saya minati? Bimbel pun rasanya terlalu menguras biaya, apalagi harus ada back-up dana cukup bagi keluarga kami yang akan memodali saya kuliah. Semuanya seperti palu godam yang menghantam kepala saya setiap 30 detik sekali, tapi bukannya berlarut-larut stress dan jatuh gila, saya memilih untuk memikirkannya dengan cara lain. Bukannya belajar lebih keras, saya justru menutup rapat mata dan telinga saya dan menetapkan target pendek saja. Target utamanya, saya harus keluar dari jurusan kelam ini, dan target terdekatnya adalah lulus UN. Akhirnya saya ikut teman saya yang memanggil guru privat ke rumahnya dan belajar 3 hari dalam seminggu sepulang sekolah. Rasanya lelah bukan main, bahkan di hari libur pun, buku latihan UN dan soal-soal fotokopian dari sang guru tetap jadi santapan. Bukan karena saya ingin mengejar nilai. Usaha sekeras itu hanya untuk mengejar kata lulus yang saya butuhkan untuk keluar. Selama ini saya tak pernah belajar dengan gembira di kelas, oleh karenanya banyak kompetensi yang saya tinggalkan. Maka untuk periode ini saja saya berkeras hati, saya memaksimalkan semuanya selagi saya masih bisa, sampai batas-batas terpahit pun saya sentuh, hanya untuk lulus. Dan akhirnya, target tersebut saya dapatkan. Saya lulus, meski dengan nilai yang pas-pasan, saya tetap lulus, dengan usaha saya.

Ironisnya di saat-saat krusial tersebut, saya juga harus menentukan masa depan dengan memilih. Belum lagi pilihan yang dibatasi, bagaimana meyakinkan orang-orang sekitar, dan rasanya diremehkan. Ketika saya datang ke BK, dan bilang kalau saya minat di Sejarah yang passing gradenya rendah, mereka mensupport saya. Yang saya rasakan ketika itu, seolah menemukan penopang ditengah badai yang menghembus kejam ke arah saya, tapi hal yang sama tidak diterima oleh orang-orang yang memilih Pendidikan Dokter atau jurusan lain dengan passing grade tinggi. Bagaimanapun mutu sekolah adalah yang nomer satu, semakin banyak siswa yang diterima di SNMPTN, semakin baik nama sekolah. Semua orang bergerak dengan motivasi masing-masing. Memang sih, siswa juga akan kecewa jikalau tidak diterima, tapi motivasi berbanding lurus dengan tekad dan usaha. Mereka yang berani memilih, tentunya berani berkorban untuk pilihannya, dan sebagai konseling yang baik seharusnya mereka percaya itu.

Beberapa minggu kemudian, saya datang ke BK lagi. Kali ini air mata sampai turut campur tangan akibat emosi yang tak bisa ditahan dan tingkat kecengengan saya yang tinggi. Masalahnya tembok impian yang sudah saya bangun diatas penopang yang mereka berikan, mereka runtuhkan oleh sebuah steatment yang katanya dikeluarkan oleh beberapa universitas kalau mereka tidak memperkenankan acara pindah jurusan. Dan seketika itu juga, bendungannya pecah. Saya nggak tahu lagi yang harus saya perbuat, di rumah saya mencari info sebanyak-banyaknya di internet, untuk sekedar menemukan argumentasi yang bisa membantah mereka. Dan pada akhirnya, meski tak cukup kuat saya dapatkan argumentasi semacam itu, saya tetap nekat, mempertaruhkan seluruh modal kesempatan paling emas yang saya punya untuk sebuah harga yang saya inginkan.

Belum lagi problem dengan orang tua. Saya bersyukur saya punya orang tua yang seperti mereka. Tapi bukan berarti semuanya tanpa ganjalan. Miris juga jika mendengar kisah teman-teman yang berbelok sangat jauh dan malah 'gagal' karena tuntutan orang tuanya. Meskipun begitu, jika komunikasi dalam sebuah keluarga berjalan dengan baik, orang tua adalah pribadi yang sangat mengerti kita. Mungkin adakalanya komunikasi kita dengan mereka tidak seintens dulu, tapi mereka tetap orang yang mengenal kita paling baik dibandingkan siapapun. Saran orang tua adalah yang paling dicari ketika kita tak tahu harus kemana. Tapi lain halnya dengan memaksakan. Ada kalanya orang tua memang menganggap kita belum bisa bertanggung jawab. Orang tua kerap memilihkan jalan karena khawatir kita salah jalan. Mereka itu lebih kaya pengalaman, mereka sudah belajar dari banyak kegagalan, dan tak ingin kita merasakan hal semacam itu. Oleh karenanya, yang dipilihkan orang tua kerap kali adalah 'jalan aman'. Berlawanan dengan itu, bocah minim pengalaman seusia kita justru memiliki keinginan kuat terhadap hal-hal yang diminati. Sering kali hal-hal tersebut adalah hal-hal baru yang mengundang banyak kekhawatiran para orang tua. Begitupun dengan orang tua saya.

Ayah saya, adalah orang yang mengajari saya menjahit pertama kali, tapi ketika dulu saya pernah ingin menjadi desainer, beliau nggak berkomentar sama sekali. Ayah saya juga yang menularkan kecintaan luar biasanya pada sejarah, tapi ketika saya memutuskan untuk masuk sejarah, ia sempat kecewa. Waktu saya masih berkeinginan menjadi desainer di masa-masa SMP dulu, saya disarankan untuk menjadi guru bahasa Inggris. Dan saya menolak itu. Sering kali diskusi yang diawali dengan gurauan-gurauan berakhir kolot. Tapi sungguh, meski saya kenal guru-guru hebat, saya ingin bisa lebih jauh dari itu. Pikiran saya ketika itu, dunia ini bukan hanya untuk ditonton dari balik meja, tapi untuk dijelajahi dengan sebenar-benarnya. Seiring dengan waktu, saya mulai menemukan potongan baru dari puzzle kehidupan saya, kelas satu SMA, saya sempat berkeinginan mejadi diplomat atau profesi lain yang semacam tukang bicara internasional lah, dan ke HI lah tujuan saya yang selanjutnya berlabuh. Tapi semuanya berubah lagi ketika saya masuk ke jurusan IPA. Saya mulai memiliki sudut pandang lain. Orang-orang di jurusan ini, jelas memiliki pandangan yang jauh bersebrangan dengan saya. Saya sempat mengira bahwa orang-orang di jurusan sebelah lah yang berpandangan seperti ini, tapi nyatanya tidak. Saya mulai melihat segala hal menjadi sangat sentimentil, dunia ini dipenuhi abstraksi yang gila dan tak bisa diterka dengan sekedar konverensi ilmuwan atau penelitian bersama. Hal-hal berbau humaniora terdengar ajaib dan menggelitik. Kita bisa melihat sisi biasa dengan aneh, begitu pula sebaliknya. Selain itu, entah mengapa, saya tak suka hidup di tempat terang yang disoroti banyak orang, hidup di tempat aneh yang orang lain tak betah berlama-lama di dalamnya justru yang kerap kali saya minati, dan disinilah akhirnya saya, menemukan satu lagi keanehan yang nampak seperti sudah terpola dengan rapi pada diri saya sendiri. Saya, berbelok ke sejarah. Bidang keilmuan ajaib yang menurut saya penuh dengan perasaan.

Meski beberapa orang kecewa, beberapa kali saya tersinggung, dan beberapa-beberapa lain yang juga cukup menyakitkan, saya sudah melupakan rasa pahit semacam itu dan sekarang saya bahagia. Lebih bahagianya lagi, ada banyak orang yang ternyata seperti saya. Tertarik dengan hal yang sama, memiliki latar belakang dan kisah yang mirip, dan kini terkumpulkan menjadi satu di sebuah komunitas akademik resmi, Ilmu Sejarah FIB UGM, angkatan 2013. Saya menikmati buku-buku yang saya baca disini, kuliah para dosen yang seru, dan teman-teman yang 'sejalan'.

Seorang guru saya sempat bilang di hari setelah saya diterima SNMPTN, "Yuan, harus diambil ya, bersyukur." Bukannya bilang selamat, beliau malah bilang begitu. Saya nggak tahu apa yang ada dipikiran beliau ketika itu. Mungkin jurusan ini dikira sebagai tempat pelarian saya, dan ternyata saya keterima, kenyataan yang penuh kejutan dan sepele, mungkin begitu. Dan karena saya main main, mudah buat saya meninggalkan ini dan hancurlah reputasi sekolah di universitas saya sekarang. Padahal ini pilihan serius yang saya sangat syukuri. Kalau beliau nggak bilang apa-apa, mungkin saya bakal lebih berkenan. Haahhh~ Orang tua saya juga sempat menuduh saya menghindari persaingan, ya dalam bahasa yang lebih halus sih. Tapi saya akhirnya bisa menjelaskan sampai mereka menerima alasan saya. Meski saya yakin mereka masih sedikit kecewa. Masih, kali ini masih dalam tahap saya menjelaskan kalau mereka nggak akan kecewa.

Di saat-saat genting menjelang pengumuman UN, SNMPTN, dan lainnya, saya lebih memilih untuk menutup rapat mata dan telinga seperti kata saya tadi. Dan saya rasa itu yang terbaik. Saya menyerahkan semuanya kepada Tuhan, karena usaha saya hanya bisa sampai disini, sambil meyakini dalam hati kalau saya akan mendapatkan apa yang terbaik bagi saya dan beberapa saat kedepannya, satu bulanan lagi setelah saat itu, saya akan baik baik saja, berbahagia dengan dunia baru saya, entah seperti apapun mereka.





SEMANGAT BUAT ANGKATAN 2014!
kalian sudah berjuang selama ini, tinggal sedikit lagi~

sebagai hiburan, ini video yang suasananya cocok XD