Trending Topics

.

.

Saturday, April 21, 2012

An Old Friend

Ini sebenarnya saya tulis hari senin lalu...


Satu, dua, engg.. empat ya? Hampir empat tahun lalu terakhir kalinya kita bersama setiap hari. Ahh.. aku cukup rindu, ralat, aku sangat merindukan saat-saat itu kawan.. sangaat…
Ketika aku lulus TK, aku fikir aku akan sangat merindukan masa masa itu. Masa singkat yang hanya setahun lamanya yang kuhabiskan dengan teman-teman ‘pertama’ku. Mengapa kusebut teman ‘pertama’? karena itu adalah masa dimana untuk pertama kalinya aku yang seorang penjomblo teman ini menemukan banyak teman sekaligus, dengar? BANYAK!
Yeah, masa-masa itu cukup menyenangkan. Dan ketika aku masuk SD, aku selalu menantikan masa-masa dimana nantinya aku lulus, lalu masuk SMP, dan akhirnya bisa kembali bertemu dengan para teman-teman ‘pertama’ku di TK. Tapi ternyata, setelah mengalaminya sendiri dengan raga dan jiwaku yang masih secara resmi kugunakan sampai detik ini, dengan memori perekam setengah abal yang sampai sekarang alhamdulillah masih belum terganti, penantianku selama enam tahun itu bukan apa-apa. Toh ternyata, pertemanan antar bocah yang hanya setahun lamanya, tak sebanding harganya dengan kisah perjuangan berbagai macam bocah yang terkumpul secara tidak sengaja dalam kukungan takdir yang sama, yang memenjarakan kami selama enam tahun lamanya, menjadi saksi hari-hari dimana kami tumbuh, dan akhirnya melepas kami setelahnya. Of course, masa-masaku di SD jauh lebih meaningfull  ternyata. Itu serius. Meski bagaimanapun, teman-teman TK-ku lah yang menjadi objek ceritaku pertama kali pada ‘Kevin’-ku.


Seperti yang sering kubilang; “Apapun, yang menduduki posisi pertama pasti selalu mendapat tempat yang lebih istimewa dibanding mereka yang duduk di podium setelahnya.”
Lain soal teman SD-ku. Bukan berarti mereka tak seistimewa teman TK-ku karena mereka bukan yang pertama. Menurutku, mereka, both, sama istimewanya, sama-sama menduduki peringkat pertama, hanya saja podium yang mereka tempati ada di panggung yang berbeda. Mereka istimewa pada kategori mereka masing-masing.


Di TK-lah pertama kalinya aku merasakan berteman dan apa itu teman secara bebas. Sedang di SD, itu adalah kali pertamanya aku merasakan keajaiban sebuah proses sosialisasi. Yang ajaib dari masa-masa SD akan sangat terlihat jika kau melihat seberapa unyu-nya dirimu di foto saat pertama kali masuk sekolah dan seberapa besarnya kau begitu keluar. Dan itu sangat menakjubkan Man! Kalian, dalam lingkup yang hanya berisi beberapa puluh anak, setiap hari yang kalian temui hanya mereka-mereka saja, dengan persoalan yang harus dihadapi oleh kalian yang menyulit seiring dengan naiknya tingkatan kelas kalian. Itu adalah soal bagaimana ajaibnya kau tumbuh dalam kurun waktu 6 tahun, oleh karenanya, tak ayal kesan yang ditinggalkannya begitu hebat. Naik tingkat, sedikit akan kubahas tentang SMP. Benar adanya jika orang bilang ini adalah masa dimana seorang remaja mencari identitas dan jati dirinya. Mencari kedudukannya yang hakiki dalam masyarakat. Karena di SMP, aku sendiri merasa jika mulai dari sanalah aku belajar mengenal diriku, belajar memupuk mimpi yang benar-benar didasari dari hati, bukan sekedar testimoni teoritis seperti halnya di SD dahulu. Yah, sebenarnya, bukan teoritis juga sih. Kadang kala, impian-impian SD juga diiringi dengan semangat yang luar biasa membara, tapi intensitas impian-impian itu untuk dapat diterima dengan akal sehat lah yang sepertinya harus dipertanyakan.


Sebagai contoh, pernah ketika SD dulu, sekitar kelas tiga atau kelas empat, sampai sekitar kelas lima, aku memupuk impian, cita-cita, dan tekad baja untuk menjadi seorang penerbang pesawat tempur di TNI-AU. WHATTA GREAT AMBITION!! Hahaha keren kan? Aku, dengan tinggi pas-pasan ini konsentrasi mengurus gigiku dengan cara lebih rajin menggosok gigi, berdiri tegap di depan ketika upacara bendera, hormat dengan tegas dan keren layaknya seorang anggota Air Force sungguhan, rajin mengukur tinggi badan sambil terus berharap mendapat kenaikan tinggi secara ajaib, dan berbangga hati dengan mataku yang masih normal kala diantara temanku sudah banyak yang bermata empat. Aku pernah menangis sekali waktu, saat aku mengeluh pada ibuku belakang mataku terasa agak pusing dan beliau bilang jika itu adalah gejala mata yang memiliki minus. Dunia serasa runtuh Man! Kalian tahu, yang kutahu saat itu untuk menjadi seorang penerbang di TNI-AU hanyalah bisa mengemudikan pesawat-dan itu bisa dipelajari nanti- memiliki gigi rapi dan bersih, bertinggi badan cukup, disiplin, juga yang terpenting, matanya tidak boleh mengalami cacat mata jenis apapun, entah itu miopi, presbiopi, atau hipermetropi. Dan menurutku kala itu, jika tiba-tiba aku difonis berminus, hancur sudah impianku. Haaahh.. poloos.. dan yang lebih lucu lagi, kalian tahu? Aku ingin menjadi penerbang di TNI-AU karena ketika itu, marak sekali terjadi kecelakaan pesawat, dan para pilotnya yang turut gugur kemudian dikebumikan secara militer. Kau tahu, itulah impianku yang sesungguhnya, diluar niat dan angan-angan untuk menjadi seorang personil TNI-AU, aku hanya ingin jika mati kelak, aku dikebumikan secara militer. Kurasa, itulah impian asliku, intinya aku ingin kematianku adalah sebuah perhelatan besar, aku ingin banyak yang berduka oleh kepergianku nantinya, aku ingin mati setelah melakukan sebuah kontribusi besar bagi negara ini, orang-orang yang kusayangi, bahkan dunia jika aku bisa. Hingga setelahnya, aku bisa menjadi seorang dengan nama harum yang terkenang, yang abadi, yang berusia sungguh jauh lebih lama dari ragaku, yang dihormati dan disayangi banyak orang, yang menuai kekaguman, dan yang dikenang sebagai bagian dari sebuah Sejarah.


Sampai sekarang, aku sadar soal TNI-AU itu memang patut dipertanyakan dengan nalar normal. Tapi untuk menjadi sosok yang kurang lebihnya seperti apa yang kuterangkan diatas, kukira itu masih bisa diterima akal sehat meski nyatanya nampaknya itupun akan sangat sulit untuk diraih.


Aku memang gila hormat, dan mau diapakanpun ternyata itu memang tabiatku. Aku ingin menjadi seorang yang terkenang, sungguh! demi apapun yang kupunya. Aku suka menuai pujian, karena kuanggap mereka yang menyatakan pujian adalah mereka yang menghargai usahaku, dan menyukai style-ku.  Entah apa bedanya itu dengan riya yang dilarang kelas dalam agamaku itu. Tapi, setahu diri dengan wawasan islamik yang luarbiasa dangkal ini, riya  itu jika tidak salah artinya mengharapkan pujian kan? Menurutku, riya itu ada dalam konteks ketika sebuah pujian membuat seorang pelaku riya besar kepala dan jadi memandang rendah orang lain. Nah, yang salah ada disitu, memandang rendah orang lain. Seperti yang kupelajari dari guru Agamaku di SMA yang benar-benar membuka fikiranku soal Islam, Islam adalah agama yang logis, dan dosa tak akan berjuluk dosa jika ia tak menghasilkan sebuah keburukan atau tidak menghasilkan kegunaan samasekali, entah itu bagi diri kita sendiri atau bagi orang lain. Sebuah hal yang menghasilkan dampak buruk, entak bagi individu atau lebih, yang bahkan terkadang sebenarnya merupakan hal baik, adalah dosa. Dan itu bernamakan dosa agar orang tak melakukannya, agar para hamba ini setidaknya segan untuk melakukannya kala mengingat bahwa Tuhan kami, Allah swt. melarangnya. Tapi kufikir, apa yang kusukai dari pujian yang kuterima belumlah sampai pantas untuk disebut dosa, dan semoga saja ini benar.


Nafas bagi orang-orang dengan profesi yang kudambakan, yakni para seniman, tak lain adalah apresiasi. Apresiasi memang tak lantas soal pujian, kadang kala ia juga berupa royalti, sekedar komentar, dukungan, atau bahkan kritik. Tapi dari sanalah seniman-seniman hebat itu tak pernah kehabisan api yang menyulut semangat mereka dan menguapkan sekian ban dan menguapkan sekian banyak inspirasi bagi mereka. Dan itu yang aku inginkan bung, seandainya mengharap pujian itu salah, apresiasi dalam bentuk lain pun akan kuterima dengan suka cita.


Cukup soal cita-cita, niat, atau angan masa SD, mari kita kembali pada bahasan awal kita, yap, An Old Friend, atau teman lama.


Hari ini aku sebenarnya malas saat menerima pesan singkat dari seorang kawanku yang memberitahukan sebuah berita baik yang tak terlalu tepat diperdengarkan dikala liburan mendadak semacam ini melanda. Dan itu adalah… Guru Les Kimia kami yang bersedia mengajar hari ini, HARI LIBUR INIII…. AAAAA


Keadaanku sangat uhm, no. Aku belum mandi, masih dengan pakaian yang kupakai sejak tadi sore, rambut yang tak tersentuh sisir, muka kacau, mata sayu, dan nyawa yang masih bertebaran di alam mimpi dan belum terkumpul sepenuhnya membaca pesan itu. Hanya satu niat jahat yang ada di otakku kala itu, TAK BISAKAH INI DIBATALKAN SAJA??!  Aah… ya, selain hari ini acara TV lumayan banyak yang bagus, ibuku sedang masak besar, hari ini seharusnya LIBUR, selain itu aku juga belum sempat tidur sepuasnya sejak Jumat kemarin, dan ongkos bulananku juga hampir limit, padahal ongkos ke rumah temanku tempat Guru Les kami biasanya mengajar itu cukup menelan jumlah besar.


Alhasil, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku menyerah pada ego dan masa depanku. Masa depanku ketika ongkos bulanan ini sudah habis nominalnya, sudah menggelinding entah kemana angka-angka nol-nya nanti. Masa depanku selama akhir bulan ini yang aaah.. miris pastinya. Tapi lumayan, kenyataan ternyata cukup manis, tak seburuk yang aku fonis sebelumnya. Beruntung, Tuhan dengan mudah mematahkan fonis mengerikanku tersebut. Fikirkan saja, otakku sedang kacau dan tak ada lagi yang kufikirkan selain semua hal yang tampak begitu menyiksa dan membosankan. Beruntungnya, aku tak perlu melewatkan acara televisi yang menayangkan salah satu anime favoritku, dan berangkat dengan santai di siang hari, lalu tak perlu pula aku menguras tenaga kian banyak lagi, karena akhirnya aku dijemput di depan gang oleh mereka kawan-kawan penjemput setiaku, yang masing masing mengendarai ‘taring putih’ dan ‘kilat kuning’. Hahaha~


Kami mengobrol cukup lama, dan di waktu les pun pokok bahasan yang belum kumengerti di sekolah akhirnya bisa masuk secara baik meski perlahan ke otakku yang sesungguhnya begitu anti science ini. Kau tahu? Otakku hanya berisi tentang ilmu-ilmu sosial yang kusenangi, selain itu, prinsip-prinsip seni, pokok-pokok ajaran hidup para tokoh yang kukagumi, dan selebihnya adalah mengenai memori unvalueable –ku lengkap dengan berbagai hal tentangku, prabot kenarsisan dan keegoisanku hohoho…


Sebelum pulang, aku dan kawan-kawan disuguhi soto oleh sang tuan rumah. Kebetulan, akibat termakan oleh propaganda seorang presenter acara wisata kuliner kemarin pagi, aku jadi tiba-tiba nyidam soto. Oke, aku bukan wanita hamil! Tapi ayolah, beritahu aku kata lain selain nyidam yang tepat untuk mendeskripsikan perasaan menggebu-gebu untuk merasakan suatu menu yang sebenarnya cukup familiar barang sesuap saja. Dan keinginan sesaatku itu kurang lebihnya sudah terkabul. Ketika waktunya pulang, aku dan seorang kawanku yang berlokasi tempat tinggal tak jauh dariku, diantar lagi oleh mereka para pengendara taring putih dan kilat kuning, bahkan sampai hampir setengah jalan, sehingga kami berdua bisa naik angkutan umum lewat jalur yang aku sukai, jalur yang jauh lebih kondusif dibanding jalur satunya. Dimaksudkan untuk menukarkan uang karena uang receh itu mutlak keberadaannya ketika kau memutuskan untuk naik angkot, kami akhirnya mampir ke sebuah minimarket. Disana, aku yang tadinya hanya berniat membeli sekotak jus atau sebungkus snack kentang hobiku untuk menukarkan nominal uang yang kupegang kedalam bentuk pecahan yang lebih kecil, akhirnya malah menemukan sebuah mie instan cup dengan rasa ekstra pedas favoritku yang lama sudah tak kurasakan. Akhirnya, dengan berbunga-bunga aku membeli mie cup itu. Lain denganku, kawanku yang bersamaku itu membeli minuman bersoda dengan rasa lime. Geezz.. lime mengingatkanku pada sesuatu. Sempat ketika aku menunggu antrian di kasir, aku menyusun beberapa kata untuk membuat sebuah tulisan tentang lime. Namun niatan itu tergeser ketika aku melihatnya, bergerombol dengan teman-temannya, tak banyak berubah dari yang dulu, hanya bertambah tinggi sedikit, dengan gaya yang masih sama, mengagetkanku. Anak laki-laki itu, menyapaku…


Sejenak jabatan tangan hangatnya yang dingin membuatku tertegun selama sepersekian detik sembari membawa anganku ke masa dari sepuluh sampai empat tahun lalu, masa sejak kami untuk pertama kalinya berjabat tangan seperti ini. Cukup menyenangkan rasanya mengingat yang seperti ini sudah kuangankan sejak lama. Selesai acara tertegunku, anak laki-laki yang berusia lebih tua empat belas hari dariku itu menyapaku, sekedar menanyakan aku dari mana memang, tapi kata-kata dengan intonasi khasnya, cengirannya, ah hal yang dulu hampir bosan kulihat itu nampaknya jadi begitu istimewa ketika lama aku tak menemukannya.


Beberapa temanku yang lain, yang dulu juga senasib, terkurung dibalik dinding-dinding keropos pagar SD kita yang begitu mudah dilompati itu, bahkan kali ini hanya melengos jika bertemu denganku, entah pura-pura lupa, memang sudah lupa, atau agak lupa dan khawatir salah orang, yang jelas itu memang terkadang menyakitkan bung, membuatku seperti terbuang dari memori SD-ku yang indah itu, tapi kau membuatku beruntung. Kau langsung berhenti dari lajumu begitu menyerukan namaku, mempersilahkan teman-temanmu yang tak kukenal itu untuk berjalan lebih dahulu dan meninggalkanmu beberapa langkah kedepan hanya untuk yaah, sekedar saling sapa, menegaskan ikatan antara kita yang sepertinya masih sangat kuat sampai saat ini, kita pernah, dan akan selalu berkawan akrab. Hei, dengan begitu kau membuatku merasa beruntung pernah mengecap masa enam tahun di SD tua itu. Pernah mengenalmu dan membagi banyak kisah denganmu.


Sobat karibku, kapan lagi ya waktu menyisakan beberapa menit lebih lama untuk saling bercerita? Aah, banyak yang harus kuceritakan padamu dan wajib kau ceritakan padaku. Dulu semasa enam tahun tolol kita, kita sering saling berkisah. Dan kisah demi kisah yang kau perdengarkan kepadaku membawaku perlahan semakin mengenalmu. Bahwa kau sama kerasnya denganku, selain itu selera humor kita juga hampir sama gilanya, juga bahwa kau pribadi yang sangat mencintai keluargamu, bahwa kau adalah orang yang selalu bangga dengan keadaanmu dan orang tuamu bagaimanapun adanya, bahwa kau kakak yang baik, dan bahwa kau pun sahabat yang baik.

Bukan tidak pernah, dalam masa-masa enam tahun itu kita berseteru. Pernah, kala aku sedang klop-klopnya dengan teman teman perempuanku, dan kami mendirikan semacam geng begitu, kami mengintimidasi salah seorang dari kawanan teman main bolamu, dan kau tahu bahwa aku yang memprofokatori aksi ini dan aku yang membuat temanmu itu menangis dengan mencengkram lengannya mengunakan kuku-kuku jariku yang tajam sampai hampir berdarah, kau dengan amarah yang meluap luap menghujatku, seenaknya memfonisku dan menatapku tajam dengan mata bulatmu yang memerah. Sebenarnya aku berniat membalas dan berkata jika ini hanya sebuah permainan, persaingan biasa, perseteruan normal, dan kalian sebagai para boys seharusnya bisa bertindak jauh lebih gentle dari ini, tapi nyatanya aku tak terlalu suka bertengkar denganmu dan memilih untuk kabur dari sana. Meninggalkanmu yang mungkin speechless kala itu.

Coba kau tanyakan padaku, apa yang pertama kali membuatku yang sudah kenyang dibuat kecewa ini akhirnya dengan hati terbuka dan kepercayaan penuh menerimamu sebagai sahabatku? Itu terjadi di musim hujan, tahun 2003 atau 2004, tepatnya aku agak lupa. Kala itu, nomer ulangan umum disusun secara sistematis, dan kenyataan itu yang membuat kita akhirnya duduk bersebelahan berbagi meja. Aku beruntung, kau teman yang baik, aku sungguh beruntung kala itu man, karena selama aku bersekolah di SD itu, seseorang dengan nomor absen tepat dibawahku adalah orang yang kupercaya sejak hari itu, itu kau. Kau ingat, dulu aku hobi datang di pagi buta. Bahkan, terkadang terlebih saat musim hujan, aku sudah datang ketika matahari samasekali belum nampak. Dan ketika itu, aku selalu senang karena tak lama setelah kedatanganku aku selalu melihatmu. Datang dengan tas dorong yang kau gendong bergambar entah kamen rider, power rangers atau apa itu, dengan jaket merahmu yang sudah menjadi bagaikan ciri. Kita mengobrol sampai tak terasa sekolah sudah ramai, mengobrol di depan tukang mainan tanpa membeli apapun. Topik obrolan kita pun begitu sederhana dan ordinary, film kartun dan anime yang tempo hari tayang di televisi, namun entah mengapa mengobrol denganmu membuatku bisa dengan mudah menghabiskan banyak waktu. Dibawah langit yang menyendu kala itu, langit yang selalu membuatku berat untuk tersenyum, langit yang tak kusukai itu, kau menghapus segala kesan buruk olehnya.

Di tahun berikutnya, kita kembali duduk bersama di masa-masa ujian. Aku ingat, suatu waktu kakimu terkena paku yang menganga di salah satu sudut meja yang dekat dengan kakimu. Kau ngotot bilang jika kau baik-baik saja, kau memintaku untuk diam sampai ujian selesai tapi aku tak menindahkannya. Aku dengan setengah takut pada darah dan khawatir karena tak bisa bayangkan aku sudah menangis sekencang apa jika aku yang terkena, akhirnya melapor pada wali kelas kita yang tengah mengawas. Beliau mengobati lukamu dan ujian pun sejenak terhenti. Tak apa, kau marah pun aku tak peduli, toh seandainya kau marah, Bu guru pasti membelaku, dan nilai PPKn-mu yang nantinya rendah di raport.


Kau ingat, di beberapa konteks kita senasib. Di kelas 3 SD, kau pernah tertabrak motor sepulang sekolah, dan kaki kananmu patah karenanya. Ketika itu, aku tetap melihat senyummu, tapi itu tak sebagus yang biasanya, lalu aku bersama dengan teman-teman yang lain menemanimu setiap istirahat, menawarkanmu untuk membelikan sesuatu di kantin, dan memaksamu untuk latihan berjalan. Hingga akhirnya semua itu membuahkan hasil dan kau bisa kembali kepada keadaanmu yang sedia kala. Dua tahun setelahnya, tepat tanggal 11 April 2007, ternyata tiba giliranku. Di kelas lima, ketika aku hendak berangkat kursus bahasa Inggris, aku juga naasnya tertabrak motor sama sepertimu. Dan yang jadi korban, juga sebatang kaki kanan, hanya saja kali ini milikku. Aku berterimakasih, sangat berterimakasih karena kau jadi satu-satunya teman laki-lakiku yang ikut menjengukku ke rumahku. Tak hanya itu, kau juga memberiku motivasi, atau malah berupa ancaman bahwa aku harus sembuh sebelum lomba yang kuikuti di akhir Aprilnya. Kau juga membatuku latihan berjalan, hingga seperti apa yang kau minta, aku bisa mengikuti lomba “Murid Teladan” itu dengan baik meski dengan kaki yang masih pincang. Tapi ayolah, juara III! Juara III dengan kaki pincang. Dan juara satu dan duanya itu kakinya normal, bayangkan! Itu berarti aku adalah juara satu peserta dengan kaki pincang, andai itu masuk kategori.


Selain itu, menjelang ujian kelas 6, saat dilakukan pendataan ulang tentang orang tua, wali kelas kita memanggil kita ke mejanya. “Yang nama bapaknya Wahyudin itu siapa, yang nama bapaknya Wahyudi itu siapa?” Tanyanya sambil menunjuk beberapa daftar yang nama Wahyudi dan Wahyudinnya masih ditulis dengan pensil. Kolom berikutnya yang menunjukan daftar pendidikan terakhirpun ternyata sama, dan tahun lahirnya juga sama. Perbedaan data kedua orang bapak-bapak itu sungguh hanya berupa dengan ‘n’ atau tanpa ‘n’ saja. Seketika itu juga kamipun tertawa dulu sebelum memberikan informasi yang benar. Bagaimana mungkin kita, sebegini senasibnya…


Pernah sekali waktu juga aku iri padamu. Kau tahu saat lomba nyanyi sekecamatan disaat kita kelas 4 kalau tidak salah. Aku, kau, dan beberapa orang lain yang juga anggota vocal grup diseleksi untuk ikut lomba. Tapi karena aku baru datang dan nafasku masih ngosngosan ketika di tes, aku jadi tak lolos seleksi, sementara dirimu lolos dengan mulusnya. Oke, kuakui suaramu bagus, tapi seandainya aku tidak ngos-ngosan aku juga pasti akan lulus, dan sekolah kita bisa lebih baik dari sekedar juara 2 jika aku ikut serta.
Sayangnya, masa-masa menyenangkan bersamamu itu hanya berlangsung selama enam tahun saja. Salahku juga sih, aku jugalah oknum yang menyarankanmu untuk daftar di sekolah yang tak terlalu jauh dari sekolah tempat aku diterima, dan kau mengabaikan niatmu sebenarnya untuk mengikuti saranku. Tapi ternyata dugaanku meleset. 


Peruntunganmu yang tepat bukan di sekolah itu, al hasil kau pun jadi harus mencari sekolah yang jauhnya berkali-kali lipat dari sekolah yang awalnya kau pilih. Tapi kau tak menyalahkanku, dan itu yang aku heran. Selepas SD, kita jarang sekali bertemu. Ketika SMA kufikir kita bisa bertemu lagi, ternyata tidak. Takdir belum memperkenankan kita untuk berrekanan lagi. Sejak Lulus SD, kita hanya bertemu sesekali waktu. Terhitung olehku, paling tidak ada saja kesempatan bagi kita untuk saling menyapa setahun sekali. Tiga tahun lalu, seorang kawan kita mengundang kita ke acara reuni kecil-kecilan di rumahnya. Dan itu adalah kali pertamanya aku melihatmu lagi setelah SD. Sebenarnya, beberapa bulan setelah lulus, aku masih sering menemukanmu sedang asyik menghamburkan uangmu di game station di mall-mall dekat rumahmu. Tapi semakin bulan itu berganti tahun, kau semakin jarak kutemui. Di tahun setelah itu, kita bertemu jika tidaksalah dalam event upacara PGRI, kau sepulang dari stadion mampir untuk membeli es di warung depan sekolahku. Kebetulan aku lewat dan kita saling menyapa. Setahun terakhir ini, aku memang tak pernah melihatmu, pernah ada desas-desus kau pindah ke Bandung, dan apabila itu benar, aku bersiap sudah terlupakan olehmu. Tapi aku tertegun sekali lagi, kau sempat memang beberapa bulan di Tambun, tapi kau masih mengingatku.


Begitu banyak hal yang sama diantara kita, kegilaan-kegilaan kita yang ternyata saling cocok satu sama lain, situasi yang menjebak kita untuk akhirnya tumbuh bersama, membuatku merasa takdi mengguratkan sesimpul ikatan kuat diantara kita. Ikatan yang bukan apapun, bukan saudara, keluarga, atau antar kolega, apalagi pacar atau sejenisnya. Kau tahu, aku bukan tipemu, dan kau bukan tipeku. Kita hanya saling menyarankan, saling memilihkan dan mengkonsultasikan pasangan. Dulu aku cukup banyak membantumu, dan sekarang harusnya giliranku. Aku ingin menuntut bantuan darimu. Heii…








Ya, terserahlah, asalkan kau tidak lupa saja padaku.


Oiya, saat ini tiba bagiku untuk menarik kesimpulan.  Ternyata aku samasekali tidak sedang tidak beruntung, aku beruntung, sangat beruntung malah hari ini…

No comments:

Post a Comment