Trending Topics

.

.

Monday, April 09, 2012

Bukan Sekedar Untuk Menghibur Diri


Well, sebenarnya, ini tulisan udah saya buat beberapa minggu lalu. Kala saya masih berada dalam puncak kekesalan terhadap takdir yang ternyata tak memihak pada saya. Namun, kali ini nampaknya saya sudah mulai menyadari jika tak ada gunanya berlarut-larut dalam ironi, dan mulai menerima kenyataan kini adalah satu-satunya cara untuk tetap bertahan hidup...

TAPI AKU TETAP MENCINTAI KALIAAANN!! XD



Perpisahan itu memang menyedihkan, tapi sayangnya itu ada. Oh, tak apa! Sungguh! Jika tak ada hal menyedihkan di bumi ini, maka tak akan pernah ada hal menyenangkan, dan yaahh.. kalian bisa bayangkan akan seberapa mirisnya kita. Hidup datar, hanya terlarut dalam laju gerak kehidupan yang pasif, tak menuntut, dan semu.
Sebuah tekanan, mungkin tak semacam dengan tekanan yang ditemukan Archimedes berabad lalu, tapi.. tekanan yang rumit, lebih rumit karena rumus secantik apapun tak akan mampu terka persamaannya, tapi jelas semua orang mengerti maknanya. Ini soal perasaan, soal hati…

Dengarkan ya, aku akan menceritakan sebuah kisah..

Seorang professor yang genius dan itu sudah jelas terbukti oleh banyaknya rentetan gelar yang teruntai di belakang namanya, mungkin bisa saja mengujar bodoh dihadapan seorang filsuf. Professor itu bilang, hati yang selalu dikatakan oleh jutaan bahkan milyaran pujangga soal tempat dimana mereka meletakkan objek terindah dalam setiap penggalan bait puisi mereka-cinta-berada, adalah jantung. Tak ayal, si filsuf pun tertawa. Ia lalu bertanya pada lelaki botak didepannya. “Professor, menurutmu dimana cinta itu berada?”. “Tentu di otak.” Jawab si professor yakin. Lelaki botak itu fikir, semua kendali atas kesatuan sistem gerak, perasa, dan pemikir manusia ada dalam sebuah mesin tercanggih yang pernah ada, sebuah prosessor tercepat dengan memori terbanyak yang pernah tercipta, otak. Lagi-lagi si filsuf tertawa, “Kau salah, itu ada di hati.” . “Bagaimana mungkin, jika hati bukan jantung, maka ia adalah liver, dan fungsinya hanya berupa penyaring racun dalam tubuh. Tak ada kaitannya dengan perasaan manusia. Perasaan manusia hanya dapat di proses di otak.” Ia mulai berargumentasi seenaknya, lalu si filsuf mengerutkan keningnya. “Kita tak sedang berbicara soal anatomi tubuh manusia, melainkan cinta. Jika yang kau maksud dari organ hati adalah yang tadi itu, berarti masih banyak yang tak kau tahu, professor… Tentang sebuah organ yang penting, yang begitu riskan meski abstrak, meski dengan jutaan kalipun kau belah tubuh-tubuh manusia, kau tak akan menemukannya. Di tempat tersembunyi itulah apa yang kusebut cinta berada, pusat kendali dari Id, dimana manusia bisa memandang segalanya dengan indah, bukan dengan nafsu ataupun keinginan untuk memiliki seutuhnya, tapi untuk menyadari sesuatu yang penting dan ia tak bisa hidup tanpanya, oleh karenanya ia merasa wajib merawatnya. Membiarkan segalanya yang indah tumbuh dengan indah hingga dapat memperindah apa yang dilihatnya. Itu cinta, dan aku tak akan pernah rubah soal jika hati adalah tempat dari apa yang kumaksud cinta itu.”

Hanya sekilas cerita mengenai percakapan seorang filsuf dan professor karangan saya. Tapi jika difikir fikir, tak ada salahnya juga membenarkan hal ini. Bahwa hati adalah tempat berpusatnya segala hal yang dianggap tabu untuk dibahas dengan Science. Science itu keras kepala, bagaimanapun pintarnya manusia abad ini, yang namanya hal hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika itu pasti masih ada. Dan kalian para Science memaksa segala hal untuk dapat dijelaskan dengan jalan fikiran otak kalian yang kaku itu saja. Mungkin, hati bisa jadi adalah kambing hitam dari semua karangan pujangga-pujangga yang sarat gombalisme itu. Tapi mereka hanya bercerita, jadi tak ada salahnya, dan jangan kalian pungkiri jikalau sudah banyak orang yang sudah tersugestikan soal hati. Hati yang abstrak itu nyatanya benar ada. Atau setidaknya, diakui keberadaannya.
Lewat hati, kita mengenal apa itu cinta. Dewasa ini mungkin banyak sudah ilmuwan yang sudah berhasil menkonversikan cinta dalam bentuk sederet rumus yang terlihat mengerikan untuk sebagian orang-aku termasuk-. Ya, aku akui itu baik, tapi kalian tak perlu berfikir rumit soal yang satu ini. Terserah, jika di dalam kepala kalian memang sudah begitu adanya dan kalian juga lebih nyaman mengekspresikan soal cinta kedalam bentuk mengerikan semacam itu.

Cinta, cinta, cinta… Ahh, gombalisme para pujangga itu nampaknya menjadi salah satu aliran yang kuanut kini. Aku tak bisa pungkiri bahwa cinta itu indah. Ia adalah sebuah temuan terhebat dalam sepanjang sejarah alam semesta. Dan aku sudah katakan ini berkali-kali. Cinta, seperti kata si filsuf tadi-sebenarnya itu kata-kataku juga sih- merupakan sebuah hal yang membuat kita berfikir bukan dengan nafsu, atau hasrat menggebu gebu untuk memiliki -ini dalam konteks apapun- melainkan sebuah perasaan yang membuat kita tersadar akan seberapa pentingnya suatu hal yang kita cintai, yang membuat kita selalu berusaha untuk menjaganya, dan membiarkannya memperindah segalanya yang kita lihat lewat sepasang mata kita.  

Oke, aku memang tak punya pengalaman apa-apa soal cinta yang lumrah disebut oleh para gombalis-gombalis itu. Aku belum pernah merasakan secara langsung yang semacam itu. Aku terlalu polos, naif, atau bahkan bodoh dan bebal untuk dapat membiarkan serabut-serabut halus cahaya warna-warni yang indah itu membias kedalam hatiku? Tapi, aku pernah memilikinya, meski itu kufikir untuk seseorang yang membuatnya hanya terlihat sebagai seonggok hal bodoh yang sia-sia. Bagaimanapun aku pernah merasakannya. Iya, aku akui. Tapi, soal cinta.. kita tak hanya bicara yang itu saja kan? Kita juga bisa bicara soal cinta kepada yang lain, Tuhan, keluarga, teman, atau bahkan sesuatu yang tak bisa disebut hidup. Hei, mereka juga cinta, meski efek kala mendengarnya tidaklah sedramatis saat kita mendengar soal romansa antara sepasang kekasih, mereka juga sarat akan keindahan.

Aaahh… sial! Aku tak tahu. Aku seenaknya memfonismu sebagai cinta pertamaku dulu. Meski itu tak kulakukan secara eksplisit juga. Saat ini, setelah semuanya hampir memusnah tanpa bukti, artefak, atau fosil apapun yang bisa kutelusuri kala aku merindu soal ini, semua yang terjadi antara kau dan aku hanyalah hal biasa. Aku tak mau munafik, aku pernah menyebutmu, dear, prince, atau apapun yang terdenar begitu ah, berwibawa sebagai sesuatu yang penting untukku. Meski itu semua cuma-cuma karena toh, kau tak pernah berbuat apapun untukku. Tidakpun untuk menunjukan sebentuk sinyal jikalau kau menyadarinya. Tapi itu tetap tak menjadi terlalu mahal untuk kuberikan padamu, karena bagaimanapun kau memang pernah menempatinya, sebuah posisi prestisius dihatiku yang masih tak menutup kemungkinan kau pun masih bisa menempatinya lagi. Atau orang lain mungkin nanti, haha…

Tapi jauh sebelum dirimu, aku mencintai sesuatu hal lain. Yang… tak bisa disebut hidup tapi jelas ia menjadi nafasku sejak hari dimana aku jatuh cinta padanya. Cinta pertamaku yang sebenarnya karena waktu berlangsungnya memang sangat lama, dan indah yang ia ciptakan di hatiku sungguh tak terkira, duniaku sudah semarak oleh warna-warna indahnya entah sejak kapan, dan kini aku harus terjebak dalam sebuah kemonokroman.
Mungkin ini terlihat bodoh lebih daripada saat aku pernah terlihat bodoh sebelumnya. Aku tak ingin mengintimidasi diriku sendiri, tapi ini memang terdengar konyol untuk orang yang tak tahu apa rasanya menjadi aku saat ini. Dua tahun ajaranku kedepan akan kulalui tanpa kalian cinta pertamaku.

Aku berteriak, bernyanyi selagu-lagunya, bersenandung sejadi-jadinya, tertawa hingga organ pernafasanku yang difonis berasma kembang kempis karenanya. Aku tak tahu, rasanya selesai ulangan umum tak sebahagia saat aku akan menghadapi ulangan IPS esok harinya. Masih ada yang mengganjal dalam fikiranku, soal keputusanku yang sangat berat untuk meninggalkan kalian sementara waktu ini.

Kalian itu… masalah!
Masalah yang memaksa semua yang ada dalam otakku bisa kukeluarkan, kuargumentasikan di depan orang banyak. Kalian yang membawaku pertamakali merasakan bagaimana hebatnya berbicara di depan khalayak ramai, menyadari bahwa dari sekian banyak kepala yang kulihat semua isinya berbeda, dan semua itu bisa disatukan dalam sebentuk hasil perundingan yang kompleks dan hebat, atau bahkan kerusuhan karena tak mampunya pendapat-pendapat itu disatukan. Kalian adalah masalah yang membawaku menjadi seorang argumentator yang cukup sulit tergoyahkan dalam debat.

Kalian itu… bencana!
Bencana kala aku kecewa dengan hasil tak memuaskan yang kuperoleh kala kalian dievaluasikan. Aku merasa bahkan seperti hidupku gagal. Untuk matematika atau fisika, nilai empat atau tiga bagiku biasa. Kebal sudah bahkan aku terhadapnya, tapi.. kala aku hanya dapat delapan dan temanku yang seorang eksakta lovers mendapat nilai delapan koma satu, hatiku runtuh oleh gempa, hanyut oleh tsunami, dan melebur bersama segala lava-lava pecundangisme yang meletus dari gunung looser yang entah tumbuh dari lempeng sebelah mana.

Kalian itu… Kabar buruk!
Kabar buruk kala kemungkinanku untuk masuk program IPA tak bisa dianulir lagi. Aku, bagaimanapun, tak akan bisa memperjuangkan keegoisanku soal kalian seorang diri saja. Selama yang lain setuju, aku sungguh tak punya kuasa. Yaah, apa boleh dikata hanyutlah sampanku pada arus yang berbadai untukku nantinya. Sementara kalian hanya melambai pasrah di kejauhan. Aku hanya merantau dua tahun ajaran, yang bagi program ini hanya enambelas bulan lamanya. Tak apa, itu tak seberapa dibanding semua hal indah yang pernah kita lalui selama ini. Toh setelah itu, aku akan tetap berjuang di jalur kalian. Aku memang masih bingung akan jadi apa aku nantinya, untuk misi itu bisa difikirkan pelan-pelan, yang jelas visi sudah kukantongi. Aku akan memperjuangkan hak-hak yang masih terbengkalai di negeri ini, aku akan kampanyekan soal diskriminasi dan pembunuhan karakter yang menurutku merupakan kendala besar mengapa bangsa ini tak kunjung maju. Entah lewat apa, mungkin aku akan menulis buku, berorasi, mendirikan partai atau yayasan, berkarya, atau apapun lainnya. Yang jelas aku punya tujuan, dan meski kita harus terpisah disini, tujuanku tak lain tetap adalah kalian.

Aku punya tujuan mengapa aku sekarang berdiri sebagai seorang siswa di negeri ini. Aku mungkin akan menjadi salah satu pemimpin atau orang yang memegang peranan penting di negeri ini beberapa tahun lagi. Ini karena aku punya amanat dan aspirasi yang kukantongi, dari diriku sendiri atau bahkan banyak orang yang juga merasakan hal yang sama denganku. Kita lihat saja bagaimana jadinya negeri ini limabelas tahun lagi.

Aku mencintai cinta pertamaku, ilmu sosial yang selalu berhasil membuka cakkrawalaku tentang banyak hal yang sebelumnya kuanggap tabu. Kalian hebat, selamanya! Dan aku cinta negeriku, bukan sebagai supporter sepakbola yang hanya mampu melaseri kiper negara tetangga agar team kita menang, tapi juga selalu berusaha untuk bangga padamu bagaimanapun keadaannya. Ingat, aku tak pernah menyalahkanmu Indonesia sayang, aku tak pernah mendakwamu sebagai tersangka atas seberapa bobroknya keadaan kita saat ini, melainkan hanya kaki tanganmu saja yang penuh cela. Kau tetaplah dirimu yang selalu kami agungkan, yang kami cintai, lebih dari sekedar status tempat tinggal atau sebongkah tanah yang kami tinggali, lebih dari sekedar sebidang lahan yang kami gerogoti sumberdayanya seumur hidup kami, tapi juga sebuah identitas. Dasar dari kecintaan, dan harapan yang akan kubawa untuk melanglang buana di pucuk tertinggi dunia. Aku akan membuatmu bangga, bangga pernah memiliki diriku sebagai bagian dari rakyatmu, sedapatku nantinya!


Ini janjiku, dan kuharap kau mau percaya juga doakan agar sebentuk keberhasilan itu kelak dapat kita bawa pulang.


“Tuhan, ini niat baik ‘kan? Kuharap Engkau-pun berkenan kiranya mempermudah jalanku untuk meraihnya..”




Yuanita WP,
,-masih dalam kemelut kekecewaan-,
©2012

No comments:

Post a Comment