Trending Topics

.

.

Thursday, April 05, 2012

Of Course, They’re on My Shoulders


Emm, cukupkan dulu soal menghayal ya?
Mari kita, sedikit berbicara tentang kenyataan..
Entah kenapa hasratku terhadap menulis semakin menggila semenjak aku merintis berdirinya blog yang masih miris ini beberapa bulan lalu. Aku memang tak menulis diary, tapi aku selalu berusaha untuk meng-“capture” inspirasi-inspirasi yang biasanya tanpa sengaja kudapat. Dan itu cukup sering berlangsung, jadi intinya sama saja. Dengan mengabadikan inspirasi-inspirasi tersebut, aku bisa mengingat-ingat kapan aku mendapatkannya. Karena setiap aku baca ulang tulisanku, kejadian demi kejadian yang melatarbelakanginya turut terlintas di otakku, terputar ulang, dan itu tak ubahnya sebuah jurnal bagiku, karena dalam tulisan-tulisanku yang berorientasikan tema ini, aku mengimplementasikan memoriku, memroyeksikan hidupku kedalam hal yang kurang lebihnya implisit. Karena hidupku adalah tentang diriku, dan hanya Tuhan, aku, dan orang-orang yang kukehendaki untuk tahulah yang akan mengerti apa yang sesungguhnya ada dibalik celotehanku, omong kosongku.

***


Sekarang, aku ingin membicarakan tentang masa depan. Yeah, future. Mendengarnya pun aku sudah tak tertarik, berhubung kata tersebut terdengar sangat jauh dan kelabu. Aku sudah berkali-kali berceloteh mengenai orientasi hidupku yang cenderung berbalik. Aku belajar dari apa yang kulihat dimasa lalu. Aku membaca ulang memoar-memoarku untuk mengenal diriku sendiri, aku mendapatkan panutan dari sosok-sosok hebat yang kulihat dimasa lalu, aku menghadapi masalah-masalahku dengan melihat keberhasilan orang lain mengatasi masalah yang serupa dengan milikku, dan aku mencintai diriku dan orang-orang disekitarku karena aku menyadari bahwa banyak hal hebat yang telah kureguk manisnya karena adanya mereka, dan tanpa mereka hidupku tak akan seberharga ini, tak akan seberarti saat ini.

Aku lebih suka melihat kebelakang, mengenang hal-hal indah yang pernah terjadi. Selama ini, apa yang terjadi kedepannya selalu menjadi kejutan untukku, baik itu membahagiakan atau menyedihkan. Kenapa? Karena aku tak pernah merencanakan betul secara sistematis soal masa depan. Selama ini aku hanya menganggapnya sebagai misteri yang akan terbuka sesuai dengan jadwalnya di kemudian hari. Aku tak pernah berminat untuk memikirkan terlalu masa depan karena aku merasa lelah jika melakukannya. Aku juga tak berminat untuk kecewa. Kesannya, memikirkan masa depan berarti mengira-ngira hal yang terlalu abstrak sementara kita terus dikejar waktu yang singkat.

Kejadian yang berlatarkan langit jingga di halaman rumahku sore ini rupanya membuka mataku lebih lebar lagi soal hal ini. Soal keharusan bagiku untuk menatap lurus pada takdirku kedepannya yang masih buram di mataku sampai saat ini.

Aaah.. waktu rupanya berjalan begitu cepat. Seingatku kemarin fikiranku belum berat samasekali, masih ringan dan tak berisi. Tapi detik ini aku sudah mulai dipaksa berlari, menembus kelam kabut yang menutupi, menutupi takdirku di depan sana. Tadi, seorang kerabat datang berkunjung, dengan mengendarai mobil klasik keluaran lama yang sudah sejak lama pula jadi incaran ayahku. Salah satu impian kecilnya. Sebenarnya, bukan jadi hal yang mustahil juga, toh dari hasil kalkulasi yang kusimpulkan, dengan sedikit lebih rajin menabung, sebenarnya bukan hal mustahil bagi beliau untuk sekedar memilikinya. Bukan hal mustahil andaikata pendidikanku tak menelan biaya sebegini besarnya..Tapi demi mengedepankan kepentinganku, beliau dengan berbesar hati menahan keinginannya untuk itu. Terdengar bijak, luar biasa bijak malah, tapi agaknya itu menjadi hal berat untukku.

Aku, sebagaimana kenyataan yang berbicara, tak lain dan tak bukan adalah anak pertama di keluarga ini. Keluarga sederhana yang berdomisili di pinggiran kota kecil sarat polusi. Dimana biaya hidup semakin kesini semakin merangkak meninggi. Bukan masalah jikalau aku hanya seorang parokial yang awang-awangan soal pendidikan. Masalahnya adalah sejak memulainya, keluargaku selalu menomor satukan soal itu. Semua kenekatanku, kegilaanku, semua itu dituruti asalkan aku memang menyanggupi untuk menjalaninya sungguh-sungguh. Semua sekolah yang kujajaki sejak TK bisa dibilang mereka yang cukup prestisius di regionalnya, dan semua itu atas keinginanku. Orang tuaku tak pernah ambil pusing untuk memaksaku memasuki sekolah pilihan mereka, karena sejak dulu aku yang selalu menjadi penentunya, mereka hanya berperan sebagai penasehatku, dan tentunya penanggung jawab atas kenekatanku. Meski adanya justru memberatkan mereka. Apa yang kupilah tak ayal membuat kami sekeluarga harus mengkalkulasi ulang sirkulasi keuangan kami, lebih menyederhanakan lagi gaya hidup kami yang memang sudah begini adanya, dan memangkas pengeluaran sepintar-pintarnya kami.

Oleh karena semua hal diataslah, masa depan buatku yang lebih baik dari keadaan keluargaku sekarang adalah harga mati. Orang tuaku sudah berjuang sebegini ngoyonya sekedar untuk memodali kenekatanku, dan suatu saat nanti, harus ada part khusus dimana mereka punya kesempatan untuk menikmati ganti apa yang mereka relakan untuk pergi demi aku saat ini. Apabila aku memang betul berusaha, aku yakin ini bukan hal yang mustahil. Tetapi belakangan aku mulai bisa merasakan mulai timbul sedikit keraguan pada mereka terhadapku. Bukan karena aku telah mengecewakan mereka, toh aku sampai saat ini aku selalu berusaha keras untuk mempertanggung jawabkan kenekatanku itu kok. Diagnosaku ini karena aku mulai mendekat pada masa depanku, dan ini karena mereka tahu betul sekedar kenekatan bukan lagi jadi hal yang bisa dijadikan prioritas untuk kedepannya, sekedar kenekatan tak lagi bisa dijadikan taruhan yang sebanding dengan kenyataan yang harus dihadapi seterusnya.

Jika ditanya, aku punya kok cita-cita. Banyak malah. Bukan cita-cita profesionis yang konkrit memang, lebih seperti daftar tujuan yang entah bagaimana caranya, lewat manapun lajunya, kalau bisa harus kucapai nantinya. Tak ada yang salah, karena ini memang terdengar hebat seperti adanya bila suatu saat nanti terwujud. Tapi belakangan aku mulai menyadari kejanggalan. Mengenai apa yang diinginkan olehku dan kedua orang tuaku yang ternyata cukup bertubrukan.

Mungkin ini terdengar naif, tapi dari dalam hatiku sendiri aku tak bertekad untuk memupuk materi di kemudian hari. Aku rasa, orang sepertiku memang kurang cocok saja jadi saudagar atau pengusaha yang menuani aset yang tersebar dimana-mana. Aku tak pernah bermimpi bermewah-mewah ria dalam hidupku kedepannya nanti, memiliki resort di Bahama, Jet pribadi, atau kediaman semegah Cheatau de Versailles. Entah bagaimana jadinya nanti, bisa saja suatu ketika kekejaman hidup memang melunturkan niatku saat ini, tapi jikalau bisa, atau tepatnya aku sangat berharap aku bisa mewujudkan semua ambisiku yang sekarang. Tak terlalu muluk, tapi terdengar agak jauh dari kata mudah.

Di sebentang masa depanku yang akan kupijak nanti, aku ingin diriku berarti. Bukan hanya bekerja lalu menerima gaji, tapi juga ucapan terimakasih yang tulus. Bukan hanya sukses dan terkenal, tapi kehadiranku juga bermakna dan terkenang. Bukan hanya untuk diriku sendiri, aku ingin sukses dimataku, demi orang-orang yang kusayangi, dan untuk semua orang. Aku ingin setidaknya memberikan hal kecil saja untuk kemajuan negeri ini. Setidaknya, jadi apapun nanti, itulah yang kuharapkan. Sederhana kan?

Tapi kalau boleh, aku ingin sedikit bermimpi. Bermimpi soal hari-hariku kedepan. Kuharap ego-ku masih berada dalam tahap wajar, tapi seandainya ini sudah terlalu egois aku harap kalian tak keberatan mendengarnya kali ini saja. Aku ingin menjadi seorang fashion designer, masih seperti apa yang selalu kukoarkan selama ini. Aku ingin berkesempatan sekolah design di Paris, lalu membuka butik di daerah pinggiran kota selepasnya. Butik yang berlokasi di dataran yang agak lebih tinggi dari pusat kotanya, dan agak jauh dari kebisingan. Butik itu menyatu dengan kediamanku nantinya, dengan design bangunan ala victorian classic yang di sederhanakan dan taman-taman penuh mawar juga beberapa pepohonan musim gugur yang besar-besar di halamannya. Bangunan itu berlantai tiga, tapi dari depan terlihat hanya dua lantai, karena lantai terbawahnya terkubur setengahnya. Jika dilihat dari belakang, barulah ketiga lantainya terlihat betul. Lantai dua yang paling luas jadi tempat kerjaku, sementara bagian lain fungsinya tetap sebagai rumah. Di lantai paling bawah terdapat sebuah balkon dengan seperangkat meja jamuan teh. Itu memang lantai terbawah, tapi karena rumah itu terletak di dataran yang agak tinggi, dari sana kita jadi bisa menikmati view seisi kota yang gemerlapan di malam hari dan alam di sekitarnya yang masih hijau dikala pagi. Di rumah yang merangkap butikku itu aku bekerja. Menghasilkan karya demi karya yang kerap menuai tanggapan positif. Di sana juga aku menulis buku-buku yang kuharap nantinya bisa menginspirasi banyak orang. Dari hasil menulis dan mendesign itu aku akan mengumpulkan uang untuk merintis berdirinya yayasan sosial yang insyaallah kukepalai. Yayasan itu memiliki misi untuk menghapuskan diskriminasi terutama pada anak-anak, mengembangkan pendidikan yang berorientasikan minat, bakat, dan pengembangan karakter, juga mendirikan sekolah-sekolah gratis dengan sistem yang yayasanku kembangkan terutama di Indonesia dan di negara-negara miskin di belahan dunia manapun. Dari yayasan itu, kuharap aku bisa menjadikan diriku berguna bagi banyak orang, dari sana juga kuharap aku bisa setidaknya sedikit berkontribusi dalam membenahi kekacauan negeriku ini, karena dengan melindungi anak-anak, dan memberikan mereka yang terbaik, juga menanamkan semangat cinta tanah air pada mereka, itu berarti aku telah melukis  sketsa untuk kemajuan negeriku ini kedepannya. Setelah Indonesiaku, barulah yayasanku, aku dan kawan-kawan hebatku yang terlibat di dalamnya akan meneruskan perjuangan kami ke lingkup dunia internasional. Amien…

Tapi tetap saja, apa yang aku cita-citakan itu tak mudah, itu sulit dan butuh pengorbanan besar. Sementara aku  tak punya banyak waktu untuk dibuang percuma. Definisi kesuksesan di mata orang tuaku dan dimataku ternyata berbeda. Tapi jika aku tak pernah bermimpi menjadi orang kaya, apa yang di kemudian hari bisa kupersembahkan untuk sedikit membalas budi mulia mereka? Meski nyatanya sekedar materi yang berlimpah pun tak akan pernah cukup untuk balas segala yang telah mereka korbankan. Aku tak sanggup untuk memfonis impianku mustahil dan berpindah ke jalur aman yang orang tuaku pilihkan untukku.

Andaikata keadaan keluargaku lebih bersahaja, mungkin mengambil langkah yang aku mau tak akan jadi hal yang sesulit ini. Tapi, itu namanya kufur nikmat. Lagipula, jikalau aku ada dalam keadaan seperti itu, belum tentu aku memiliki cita-citaku yang sekarang. Bagaimanapun, inilah hidupku, dan hal sekecil apapun yang ada di dalamnya tak seharusnya tak kusyukuri. Karena semua hal itulah aku ada disini, aku meraih apa yang aku raih kini, dan menjadi diriku yang sekarang ini. Sampai saat ini, setidaknya aku masih berjuang. Aku hanya berharap jalanku mudah, sehingga suatu saat, sebelum masalah manusiawi semacam tekanan ekonomi meluruhkan asaku, aku sudah mendapati diriku dalam posisi aman yang dekat dengan cita-citaku itu.

Aku menulis begini bukan tanpa tujuan. Selain untuk mengabadikan inspirasi dan ideku dan berbagi kisah dengan kalian, aku ingin mendokumentasikan ini sebagai doktrin dariku dan untukku sendiri. Agar nanti, suatu ketika dengan membaca ini aku bisa kembali semangat apabila sudah hampir putus asa. Juga agar nanti, sekiranya aku lupa akan apa yang pernah aku janjikan soal masa depanku, apabila aku lupa akan niatku untuk berjuang , aku malu atas ocehanku malam ini lalu kemudian menyusun tekadku kembali. Aku masih berjuang dalam cita-citaku dengan semua beban di pundakku, sambil berdoa dan terus berharap, apa yang jadi tujuanku dapat teralisasikan suatu hari nanti dan orang tuaku dapat menyadari kesungguhanku pada hal ini, lalu pada akhirnya kembali mendukung kenekatanku seperti yang sebelum-sebelumnya. Aku memang tak bermimpi jadi orang kaya, tapi sungguh, segalanya yang kuraih kedepannya adalah juga untuk mereka. Setidaknya sekalipun aku tak bisa membuat orangtuaku bahagia, dengan meraih apa yang aku cita-citakan aku bisa membuat mereka sedikit berbangga.





“Karena sesungguhnya ini adalah aku dan segala yang kuinginkan dalam hidup…”


-Yuanita WP, 2012-

No comments:

Post a Comment