Ini sebenarnya saya tulis hari senin lalu...
Satu, dua, engg.. empat ya? Hampir empat
tahun lalu terakhir kalinya kita bersama setiap hari. Ahh.. aku cukup rindu,
ralat, aku sangat merindukan saat-saat itu kawan.. sangaat…
Ketika aku lulus TK, aku fikir aku akan
sangat merindukan masa masa itu. Masa singkat yang hanya setahun lamanya yang
kuhabiskan dengan teman-teman ‘pertama’ku. Mengapa kusebut teman ‘pertama’?
karena itu adalah masa dimana untuk pertama kalinya aku yang seorang penjomblo
teman ini menemukan banyak teman sekaligus, dengar? BANYAK!
Yeah, masa-masa itu cukup menyenangkan.
Dan ketika aku masuk SD, aku selalu menantikan masa-masa dimana nantinya aku
lulus, lalu masuk SMP, dan akhirnya bisa kembali bertemu dengan para
teman-teman ‘pertama’ku di TK. Tapi ternyata, setelah mengalaminya sendiri
dengan raga dan jiwaku yang masih secara resmi kugunakan sampai detik ini,
dengan memori perekam setengah abal yang sampai sekarang alhamdulillah masih
belum terganti, penantianku selama enam tahun itu bukan apa-apa. Toh ternyata,
pertemanan antar bocah yang hanya setahun lamanya, tak sebanding harganya
dengan kisah perjuangan berbagai macam bocah yang terkumpul secara tidak
sengaja dalam kukungan takdir yang sama, yang memenjarakan kami selama enam
tahun lamanya, menjadi saksi hari-hari dimana kami tumbuh, dan akhirnya melepas
kami setelahnya. Of course, masa-masaku
di SD jauh lebih meaningfull ternyata. Itu serius. Meski bagaimanapun,
teman-teman TK-ku lah yang menjadi objek ceritaku pertama kali pada ‘Kevin’-ku.
Seperti yang sering kubilang; “Apapun, yang menduduki posisi pertama pasti
selalu mendapat tempat yang lebih istimewa dibanding mereka yang duduk di
podium setelahnya.”
Lain soal teman SD-ku. Bukan berarti
mereka tak seistimewa teman TK-ku karena mereka bukan yang pertama. Menurutku,
mereka, both, sama istimewanya,
sama-sama menduduki peringkat pertama, hanya saja podium yang mereka tempati
ada di panggung yang berbeda. Mereka istimewa pada kategori mereka
masing-masing.
Di TK-lah pertama kalinya aku merasakan
berteman dan apa itu teman secara bebas. Sedang di SD, itu adalah kali
pertamanya aku merasakan keajaiban sebuah proses sosialisasi. Yang ajaib dari
masa-masa SD akan sangat terlihat jika kau melihat seberapa unyu-nya dirimu di
foto saat pertama kali masuk sekolah dan seberapa besarnya kau begitu keluar.
Dan itu sangat menakjubkan Man! Kalian, dalam lingkup yang hanya berisi
beberapa puluh anak, setiap hari yang kalian temui hanya mereka-mereka saja,
dengan persoalan yang harus dihadapi oleh kalian yang menyulit seiring dengan
naiknya tingkatan kelas kalian. Itu adalah soal bagaimana ajaibnya kau tumbuh
dalam kurun waktu 6 tahun, oleh karenanya, tak ayal kesan yang ditinggalkannya
begitu hebat. Naik tingkat, sedikit akan kubahas tentang SMP. Benar adanya jika
orang bilang ini adalah masa dimana seorang remaja mencari identitas dan jati
dirinya. Mencari kedudukannya yang hakiki dalam masyarakat. Karena di SMP, aku
sendiri merasa jika mulai dari sanalah aku belajar mengenal diriku, belajar
memupuk mimpi yang benar-benar didasari dari hati, bukan sekedar testimoni
teoritis seperti halnya di SD dahulu. Yah, sebenarnya, bukan teoritis juga sih.
Kadang kala, impian-impian SD juga diiringi dengan semangat yang luar biasa
membara, tapi intensitas impian-impian itu untuk dapat diterima dengan akal
sehat lah yang sepertinya harus dipertanyakan.
Sebagai contoh, pernah ketika SD dulu,
sekitar kelas tiga atau kelas empat, sampai sekitar kelas lima, aku memupuk
impian, cita-cita, dan tekad baja untuk menjadi seorang penerbang pesawat
tempur di TNI-AU. WHATTA GREAT AMBITION!! Hahaha keren kan? Aku, dengan tinggi
pas-pasan ini konsentrasi mengurus gigiku dengan cara lebih rajin menggosok
gigi, berdiri tegap di depan ketika upacara bendera, hormat dengan tegas dan
keren layaknya seorang anggota Air Force sungguhan, rajin mengukur tinggi badan
sambil terus berharap mendapat kenaikan tinggi secara ajaib, dan berbangga hati
dengan mataku yang masih normal kala diantara temanku sudah banyak yang bermata
empat. Aku pernah menangis sekali waktu, saat aku mengeluh pada ibuku belakang
mataku terasa agak pusing dan beliau bilang jika itu adalah gejala mata yang
memiliki minus. Dunia serasa runtuh Man! Kalian tahu, yang kutahu saat itu
untuk menjadi seorang penerbang di TNI-AU hanyalah bisa mengemudikan pesawat-dan
itu bisa dipelajari nanti- memiliki gigi rapi dan bersih, bertinggi badan
cukup, disiplin, juga yang terpenting, matanya tidak boleh mengalami cacat mata
jenis apapun, entah itu miopi, presbiopi, atau hipermetropi. Dan menurutku kala
itu, jika tiba-tiba aku difonis berminus, hancur sudah impianku. Haaahh..
poloos.. dan yang lebih lucu lagi, kalian tahu? Aku ingin menjadi penerbang di
TNI-AU karena ketika itu, marak sekali terjadi kecelakaan pesawat, dan para
pilotnya yang turut gugur kemudian dikebumikan secara militer. Kau tahu, itulah
impianku yang sesungguhnya, diluar niat dan angan-angan untuk menjadi seorang
personil TNI-AU, aku hanya ingin jika mati kelak, aku dikebumikan secara
militer. Kurasa, itulah impian asliku, intinya aku ingin kematianku adalah
sebuah perhelatan besar, aku ingin banyak yang berduka oleh kepergianku
nantinya, aku ingin mati setelah melakukan sebuah kontribusi besar bagi negara
ini, orang-orang yang kusayangi, bahkan dunia jika aku bisa. Hingga setelahnya,
aku bisa menjadi seorang dengan nama harum yang terkenang, yang abadi, yang
berusia sungguh jauh lebih lama dari ragaku, yang dihormati dan disayangi
banyak orang, yang menuai kekaguman, dan yang dikenang sebagai bagian dari
sebuah Sejarah.
Sampai sekarang, aku sadar soal TNI-AU
itu memang patut dipertanyakan dengan nalar normal. Tapi untuk menjadi sosok
yang kurang lebihnya seperti apa yang kuterangkan diatas, kukira itu masih bisa
diterima akal sehat meski nyatanya nampaknya itupun akan sangat sulit untuk
diraih.
Aku memang gila hormat, dan mau
diapakanpun ternyata itu memang tabiatku. Aku ingin menjadi seorang yang
terkenang, sungguh! demi apapun yang kupunya. Aku suka menuai pujian, karena
kuanggap mereka yang menyatakan pujian adalah mereka yang menghargai usahaku, dan
menyukai style-ku. Entah apa bedanya itu
dengan riya yang dilarang kelas dalam
agamaku itu. Tapi, setahu diri dengan wawasan islamik yang luarbiasa dangkal
ini, riya itu jika tidak salah artinya mengharapkan
pujian kan? Menurutku, riya itu ada
dalam konteks ketika sebuah pujian membuat seorang pelaku riya besar kepala dan jadi memandang rendah orang lain. Nah, yang
salah ada disitu, memandang rendah orang lain. Seperti yang kupelajari dari
guru Agamaku di SMA yang benar-benar membuka fikiranku soal Islam, Islam adalah
agama yang logis, dan dosa tak akan berjuluk dosa jika ia tak menghasilkan
sebuah keburukan atau tidak menghasilkan kegunaan samasekali, entah itu bagi
diri kita sendiri atau bagi orang lain. Sebuah hal yang menghasilkan dampak
buruk, entak bagi individu atau lebih, yang bahkan terkadang sebenarnya
merupakan hal baik, adalah dosa. Dan itu bernamakan dosa agar orang tak
melakukannya, agar para hamba ini setidaknya segan untuk melakukannya kala
mengingat bahwa Tuhan kami, Allah swt. melarangnya. Tapi kufikir, apa yang
kusukai dari pujian yang kuterima belumlah sampai pantas untuk disebut dosa,
dan semoga saja ini benar.
Nafas bagi orang-orang dengan profesi
yang kudambakan, yakni para seniman, tak lain adalah apresiasi. Apresiasi
memang tak lantas soal pujian, kadang kala ia juga berupa royalti, sekedar
komentar, dukungan, atau bahkan kritik. Tapi dari sanalah seniman-seniman hebat
itu tak pernah kehabisan api yang menyulut semangat mereka dan menguapkan
sekian ban dan menguapkan sekian banyak inspirasi bagi mereka. Dan itu yang aku
inginkan bung, seandainya mengharap pujian itu salah, apresiasi dalam bentuk
lain pun akan kuterima dengan suka cita.
Cukup soal cita-cita, niat, atau angan
masa SD, mari kita kembali pada bahasan awal kita, yap, An Old Friend, atau teman lama.
Hari ini aku sebenarnya malas saat
menerima pesan singkat dari seorang kawanku yang memberitahukan sebuah berita
baik yang tak terlalu tepat diperdengarkan dikala liburan mendadak semacam ini
melanda. Dan itu adalah… Guru Les Kimia kami yang bersedia mengajar hari ini,
HARI LIBUR INIII…. AAAAA
Keadaanku sangat uhm, no. Aku belum mandi, masih dengan pakaian yang kupakai
sejak tadi sore, rambut yang tak tersentuh sisir, muka kacau, mata sayu, dan
nyawa yang masih bertebaran di alam mimpi dan belum terkumpul sepenuhnya
membaca pesan itu. Hanya satu niat jahat yang ada di otakku kala itu, TAK
BISAKAH INI DIBATALKAN SAJA??! Aah… ya,
selain hari ini acara TV lumayan banyak yang bagus, ibuku sedang masak besar,
hari ini seharusnya LIBUR, selain itu aku juga belum sempat tidur sepuasnya
sejak Jumat kemarin, dan ongkos bulananku juga hampir limit, padahal ongkos ke
rumah temanku tempat Guru Les kami biasanya mengajar itu cukup menelan jumlah
besar.
Alhasil, dengan berbagai pertimbangan,
akhirnya aku menyerah pada ego dan masa depanku. Masa depanku ketika ongkos
bulanan ini sudah habis nominalnya, sudah menggelinding entah kemana angka-angka
nol-nya nanti. Masa depanku selama akhir bulan ini yang aaah.. miris pastinya.
Tapi lumayan, kenyataan ternyata cukup manis, tak seburuk yang aku fonis
sebelumnya. Beruntung, Tuhan dengan mudah mematahkan fonis mengerikanku
tersebut. Fikirkan saja, otakku sedang kacau dan tak ada lagi yang kufikirkan
selain semua hal yang tampak begitu menyiksa dan membosankan. Beruntungnya, aku
tak perlu melewatkan acara televisi yang menayangkan salah satu anime
favoritku, dan berangkat dengan santai di siang hari, lalu tak perlu pula aku
menguras tenaga kian banyak lagi, karena akhirnya aku dijemput di depan gang
oleh mereka kawan-kawan penjemput setiaku, yang masing masing mengendarai
‘taring putih’ dan ‘kilat kuning’. Hahaha~
Kami mengobrol cukup lama, dan di waktu
les pun pokok bahasan yang belum kumengerti di sekolah akhirnya bisa masuk
secara baik meski perlahan ke otakku yang sesungguhnya begitu anti science ini. Kau tahu? Otakku hanya
berisi tentang ilmu-ilmu sosial yang kusenangi, selain itu, prinsip-prinsip seni,
pokok-pokok ajaran hidup para tokoh yang kukagumi, dan selebihnya adalah
mengenai memori unvalueable –ku
lengkap dengan berbagai hal tentangku, prabot kenarsisan dan keegoisanku
hohoho…
Sebelum pulang, aku dan kawan-kawan
disuguhi soto oleh sang tuan rumah. Kebetulan, akibat termakan oleh propaganda
seorang presenter acara wisata kuliner kemarin pagi, aku jadi tiba-tiba nyidam
soto. Oke, aku bukan wanita hamil! Tapi ayolah, beritahu aku kata lain selain
nyidam yang tepat untuk mendeskripsikan perasaan menggebu-gebu untuk merasakan
suatu menu yang sebenarnya cukup familiar barang sesuap saja. Dan keinginan
sesaatku itu kurang lebihnya sudah terkabul. Ketika waktunya pulang, aku dan
seorang kawanku yang berlokasi tempat tinggal tak jauh dariku, diantar lagi
oleh mereka para pengendara taring putih dan kilat kuning, bahkan sampai hampir
setengah jalan, sehingga kami berdua bisa naik angkutan umum lewat jalur yang
aku sukai, jalur yang jauh lebih kondusif dibanding jalur satunya. Dimaksudkan
untuk menukarkan uang karena uang receh itu mutlak keberadaannya ketika kau
memutuskan untuk naik angkot, kami akhirnya mampir ke sebuah minimarket.
Disana, aku yang tadinya hanya berniat membeli sekotak jus atau sebungkus snack
kentang hobiku untuk menukarkan nominal uang yang kupegang kedalam bentuk
pecahan yang lebih kecil, akhirnya malah menemukan sebuah mie instan cup dengan rasa ekstra pedas favoritku yang lama sudah
tak kurasakan. Akhirnya, dengan berbunga-bunga aku membeli mie cup itu. Lain
denganku, kawanku yang bersamaku itu membeli minuman bersoda dengan rasa lime. Geezz.. lime mengingatkanku pada sesuatu. Sempat ketika aku menunggu
antrian di kasir, aku menyusun beberapa kata untuk membuat sebuah tulisan
tentang lime. Namun niatan itu
tergeser ketika aku melihatnya, bergerombol dengan teman-temannya, tak banyak
berubah dari yang dulu, hanya bertambah tinggi sedikit, dengan gaya yang masih
sama, mengagetkanku. Anak laki-laki itu, menyapaku…
Sejenak jabatan tangan hangatnya yang
dingin membuatku tertegun selama sepersekian detik sembari membawa anganku ke
masa dari sepuluh sampai empat tahun lalu, masa sejak kami untuk pertama kalinya
berjabat tangan seperti ini. Cukup menyenangkan rasanya mengingat yang seperti
ini sudah kuangankan sejak lama. Selesai acara tertegunku, anak laki-laki yang
berusia lebih tua empat belas hari dariku itu menyapaku, sekedar menanyakan aku
dari mana memang, tapi kata-kata dengan intonasi khasnya, cengirannya, ah hal
yang dulu hampir bosan kulihat itu nampaknya jadi begitu istimewa ketika lama
aku tak menemukannya.
Beberapa temanku yang lain, yang dulu
juga senasib, terkurung dibalik dinding-dinding keropos pagar SD kita yang
begitu mudah dilompati itu, bahkan kali ini hanya melengos jika bertemu
denganku, entah pura-pura lupa, memang sudah lupa, atau agak lupa dan khawatir
salah orang, yang jelas itu memang terkadang menyakitkan bung, membuatku
seperti terbuang dari memori SD-ku yang indah itu, tapi kau membuatku
beruntung. Kau langsung berhenti dari lajumu begitu menyerukan namaku, mempersilahkan
teman-temanmu yang tak kukenal itu untuk berjalan lebih dahulu dan
meninggalkanmu beberapa langkah kedepan hanya untuk yaah, sekedar saling sapa,
menegaskan ikatan antara kita yang sepertinya masih sangat kuat sampai saat
ini, kita pernah, dan akan selalu berkawan akrab. Hei, dengan begitu kau
membuatku merasa beruntung pernah mengecap masa enam tahun di SD tua itu.
Pernah mengenalmu dan membagi banyak kisah denganmu.
Sobat karibku, kapan lagi ya waktu
menyisakan beberapa menit lebih lama untuk saling bercerita? Aah, banyak yang
harus kuceritakan padamu dan wajib kau ceritakan padaku. Dulu semasa enam tahun
tolol kita, kita sering saling berkisah. Dan kisah demi kisah yang kau
perdengarkan kepadaku membawaku perlahan semakin mengenalmu. Bahwa kau sama
kerasnya denganku, selain itu selera humor kita juga hampir sama gilanya, juga
bahwa kau pribadi yang sangat mencintai keluargamu, bahwa kau adalah orang yang
selalu bangga dengan keadaanmu dan orang tuamu bagaimanapun adanya, bahwa kau
kakak yang baik, dan bahwa kau pun sahabat yang baik.
Bukan tidak pernah, dalam masa-masa enam
tahun itu kita berseteru. Pernah, kala aku sedang klop-klopnya dengan teman
teman perempuanku, dan kami mendirikan semacam geng begitu, kami mengintimidasi
salah seorang dari kawanan teman main bolamu, dan kau tahu bahwa aku yang
memprofokatori aksi ini dan aku yang membuat temanmu itu menangis dengan
mencengkram lengannya mengunakan kuku-kuku jariku yang tajam sampai hampir
berdarah, kau dengan amarah yang meluap luap menghujatku, seenaknya memfonisku
dan menatapku tajam dengan mata bulatmu yang memerah. Sebenarnya aku berniat
membalas dan berkata jika ini hanya sebuah permainan, persaingan biasa,
perseteruan normal, dan kalian sebagai para boys
seharusnya bisa bertindak jauh lebih gentle
dari ini, tapi nyatanya aku tak terlalu suka bertengkar denganmu dan memilih
untuk kabur dari sana. Meninggalkanmu yang mungkin speechless kala itu.
Coba kau tanyakan padaku, apa yang
pertama kali membuatku yang sudah kenyang dibuat kecewa ini akhirnya dengan
hati terbuka dan kepercayaan penuh menerimamu sebagai sahabatku? Itu terjadi di
musim hujan, tahun 2003 atau 2004, tepatnya aku agak lupa. Kala itu, nomer
ulangan umum disusun secara sistematis, dan kenyataan itu yang membuat kita
akhirnya duduk bersebelahan berbagi meja. Aku beruntung, kau teman yang baik,
aku sungguh beruntung kala itu man, karena selama aku bersekolah di SD itu,
seseorang dengan nomor absen tepat dibawahku adalah orang yang kupercaya sejak
hari itu, itu kau. Kau ingat, dulu aku hobi datang di pagi buta. Bahkan,
terkadang terlebih saat musim hujan, aku sudah datang ketika matahari
samasekali belum nampak. Dan ketika itu, aku selalu senang karena tak lama
setelah kedatanganku aku selalu melihatmu. Datang dengan tas dorong yang kau
gendong bergambar entah kamen rider, power rangers atau apa itu, dengan jaket
merahmu yang sudah menjadi bagaikan ciri. Kita mengobrol sampai tak terasa
sekolah sudah ramai, mengobrol di depan tukang mainan tanpa membeli apapun.
Topik obrolan kita pun begitu sederhana dan ordinary, film kartun dan anime
yang tempo hari tayang di televisi, namun entah mengapa mengobrol denganmu
membuatku bisa dengan mudah menghabiskan banyak waktu. Dibawah langit yang
menyendu kala itu, langit yang selalu membuatku berat untuk tersenyum, langit
yang tak kusukai itu, kau menghapus segala kesan buruk olehnya.
Di tahun berikutnya, kita kembali duduk
bersama di masa-masa ujian. Aku ingat, suatu waktu kakimu terkena paku yang menganga
di salah satu sudut meja yang dekat dengan kakimu. Kau ngotot bilang jika kau
baik-baik saja, kau memintaku untuk diam sampai ujian selesai tapi aku tak
menindahkannya. Aku dengan setengah takut pada darah dan khawatir karena tak
bisa bayangkan aku sudah menangis sekencang apa jika aku yang terkena, akhirnya
melapor pada wali kelas kita yang tengah mengawas. Beliau mengobati lukamu dan
ujian pun sejenak terhenti. Tak apa, kau marah pun aku tak peduli, toh
seandainya kau marah, Bu guru pasti membelaku, dan nilai PPKn-mu yang nantinya
rendah di raport.
Kau ingat, di beberapa konteks kita
senasib. Di kelas 3 SD, kau pernah tertabrak motor sepulang sekolah, dan kaki
kananmu patah karenanya. Ketika itu, aku tetap melihat senyummu, tapi itu tak
sebagus yang biasanya, lalu aku bersama dengan teman-teman yang lain menemanimu
setiap istirahat, menawarkanmu untuk membelikan sesuatu di kantin, dan
memaksamu untuk latihan berjalan. Hingga akhirnya semua itu membuahkan hasil
dan kau bisa kembali kepada keadaanmu yang sedia kala. Dua tahun setelahnya,
tepat tanggal 11 April 2007, ternyata tiba giliranku. Di kelas lima, ketika aku
hendak berangkat kursus bahasa Inggris, aku juga naasnya tertabrak motor sama
sepertimu. Dan yang jadi korban, juga sebatang kaki kanan, hanya saja kali ini
milikku. Aku berterimakasih, sangat berterimakasih karena kau jadi satu-satunya
teman laki-lakiku yang ikut menjengukku ke rumahku. Tak hanya itu, kau juga
memberiku motivasi, atau malah berupa ancaman bahwa aku harus sembuh sebelum
lomba yang kuikuti di akhir Aprilnya. Kau juga membatuku latihan berjalan,
hingga seperti apa yang kau minta, aku bisa mengikuti lomba “Murid Teladan” itu
dengan baik meski dengan kaki yang masih pincang. Tapi ayolah, juara III! Juara
III dengan kaki pincang. Dan juara satu dan duanya itu kakinya normal,
bayangkan! Itu berarti aku adalah juara satu peserta dengan kaki pincang, andai
itu masuk kategori.
Selain itu, menjelang ujian kelas 6,
saat dilakukan pendataan ulang tentang orang tua, wali kelas kita memanggil
kita ke mejanya. “Yang nama bapaknya Wahyudin itu siapa, yang nama bapaknya
Wahyudi itu siapa?” Tanyanya sambil menunjuk beberapa daftar yang nama Wahyudi
dan Wahyudinnya masih ditulis dengan pensil. Kolom berikutnya yang menunjukan
daftar pendidikan terakhirpun ternyata sama, dan tahun lahirnya juga sama.
Perbedaan data kedua orang bapak-bapak itu sungguh hanya berupa dengan ‘n’ atau
tanpa ‘n’ saja. Seketika itu juga kamipun tertawa dulu sebelum memberikan
informasi yang benar. Bagaimana mungkin kita, sebegini senasibnya…
Pernah sekali waktu juga aku iri padamu.
Kau tahu saat lomba nyanyi sekecamatan disaat kita kelas 4 kalau tidak salah.
Aku, kau, dan beberapa orang lain yang juga anggota vocal grup diseleksi untuk
ikut lomba. Tapi karena aku baru datang dan nafasku masih ngosngosan ketika di
tes, aku jadi tak lolos seleksi, sementara dirimu lolos dengan mulusnya. Oke,
kuakui suaramu bagus, tapi seandainya aku tidak ngos-ngosan aku juga pasti akan
lulus, dan sekolah kita bisa lebih baik dari sekedar juara 2 jika aku ikut
serta.
Sayangnya, masa-masa menyenangkan
bersamamu itu hanya berlangsung selama enam tahun saja. Salahku juga sih, aku
jugalah oknum yang menyarankanmu untuk daftar di sekolah yang tak terlalu jauh
dari sekolah tempat aku diterima, dan kau mengabaikan niatmu sebenarnya untuk mengikuti
saranku. Tapi ternyata dugaanku meleset.
Peruntunganmu yang tepat bukan di
sekolah itu, al hasil kau pun jadi harus mencari sekolah yang jauhnya
berkali-kali lipat dari sekolah yang awalnya kau pilih. Tapi kau tak
menyalahkanku, dan itu yang aku heran. Selepas SD, kita jarang sekali bertemu.
Ketika SMA kufikir kita bisa bertemu lagi, ternyata tidak. Takdir belum
memperkenankan kita untuk berrekanan lagi. Sejak Lulus SD, kita hanya bertemu
sesekali waktu. Terhitung olehku, paling tidak ada saja kesempatan bagi kita
untuk saling menyapa setahun sekali. Tiga tahun lalu, seorang kawan kita
mengundang kita ke acara reuni kecil-kecilan di rumahnya. Dan itu adalah kali
pertamanya aku melihatmu lagi setelah SD. Sebenarnya, beberapa bulan setelah
lulus, aku masih sering menemukanmu sedang asyik menghamburkan uangmu di game
station di mall-mall dekat rumahmu. Tapi semakin bulan itu berganti tahun, kau
semakin jarak kutemui. Di tahun setelah itu, kita bertemu jika tidaksalah dalam
event upacara PGRI, kau sepulang dari stadion mampir untuk membeli es di warung
depan sekolahku. Kebetulan aku lewat dan kita saling menyapa. Setahun terakhir
ini, aku memang tak pernah melihatmu, pernah ada desas-desus kau pindah ke
Bandung, dan apabila itu benar, aku bersiap sudah terlupakan olehmu. Tapi aku
tertegun sekali lagi, kau sempat memang beberapa bulan di Tambun, tapi kau
masih mengingatku.
Begitu banyak hal yang sama diantara
kita, kegilaan-kegilaan kita yang ternyata saling cocok satu sama lain, situasi
yang menjebak kita untuk akhirnya tumbuh bersama, membuatku merasa takdi
mengguratkan sesimpul ikatan kuat diantara kita. Ikatan yang bukan apapun,
bukan saudara, keluarga, atau antar kolega, apalagi pacar atau sejenisnya. Kau
tahu, aku bukan tipemu, dan kau bukan tipeku. Kita hanya saling menyarankan,
saling memilihkan dan mengkonsultasikan pasangan. Dulu aku cukup banyak
membantumu, dan sekarang harusnya giliranku. Aku ingin menuntut bantuan darimu.
Heii…
Ya, terserahlah, asalkan kau tidak lupa
saja padaku.
Oiya, saat ini tiba bagiku untuk menarik kesimpulan. Ternyata aku samasekali tidak sedang tidak
beruntung, aku beruntung, sangat beruntung malah hari ini…