Trending Topics

.

.

Saturday, September 28, 2013

Theorema Punggung

Dua tahun ini isunya meredup ternyata tak cukup mengukuhkan hukum yang mengalahkan teorinya untuk kembali teraplikasi. Theorema Punggung yang konyol sekaligus krusial, menggelikan sekaligus dekat, dan sepele, tapi cukup memusingkan.

Mungkin sekitar dua tahun yang lalu itulah saat yang saya maksud. Ketika dalam blog yang masih sama baik pemilik, tampilan, maupun substansinya ini, saya memublikasikan sebuah post mengenai Theorema Punggung yang pertama, judulnya Still Keep Staring at Your Back. Ketika itu, bentuknya mungkin masih sekedar proposal penelitian, atau mungkin sebuah hipotesa yang sedikit berada lebih tinggi tingkatannya. Yang jelas, Theorema Punggung saat itu masih hanya Theorema, tapi sekarang saya mulai menemukan jalan di mana ia memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk dapat terkukuhkan menjadi sebuah Hukum.
Penelitian yang secara metodologis hanya membutuhkan kesaksian-kesaksian dari narasumber, kepekaan afektif, dan penalaran untuk dapat menarik kesimpulan ini telah membuka mata saya bahwa Theorema ini benar-benar terbukti sebagai salah satu fenomena yang cukup umum dalam kehidupan. Jika anda bertanya-tanya, sejauh mana penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan, mungkin jawabannya ada pada diri anda sendiri. Nanti, setelah saya selesai menjelaskan rinci definisinya, anda akan menemukan sendiri jawabannya.

Karena pada kenyataannya pun keakuratan Teorema ini telah teruji, dua kali, pada diri saya sendiri.

Still Staring at Your Back adalah yang pertama, dan Theorema Punggung adalah kali keduanya.

A adalah simbol yang mewakili dua variabel utama yang saya temui dalam persamaan-persamaan pada Teorema ini.

Dan saya rasa cukup bagi saya untuk menyatakan keabsahannya setelah dua kali merasakan berada pada kedudukan yang berbeda dalam Theorema ini.

***

Pada suatu pagi yang berkabut, bulir-bulir embun masih menggelayut di pucuk-pucuk jemari tetumbuhan yang masih tertunduk malu, ada kisah yang tertafsir oleh mata-mata kami yang terlampau peka atau justru iseng dibalik gestur beberapa ekor ayam di pekarangan. Dalam gambaran tersebut, seekor ayam jantan memunggungi seekor ayam betina ketika ia tengah memandangi lekat ayam betina elok yang berada jauh di depannya. Seperti itulah Teorema Punggung bekerja. Melibatkan orang-orang yang tak saling melakukan bentuk interaksi lain selain saling menyakiti.

Setelah menemukan Teorema ini, kadang saya bertanya-tanya, kalau Tuhan memang memiliki maksud dari setiap yang diciptakan-Nya di dunia ini, apa maksud sesungguhnya dibalik keadaan saling menyakiti ini? Keadaan yang mirip dengan domino effect ini tak ubahnya seperti rantai yang saling menusuk. Bisa jadi, dalam sebuah rantai panjang teorema ini, terlibat sekian banyak orang dengan posisi yang sama dan berulang dimana orang paling depan tak melihat apa-apa, tapi dengan kejamnya, tanpa sadar menusuk orang di belakangnya, terus seperti itu sampai di tempat paling belakang adalah orang yang paling tersiksa karena ditusuk tanpa pernah memiliki kesempatan menusuk, meski menusuk pun sebenarnya bukan keinginan salah seorang pun dari mereka. Jika begini, bukankah dua orang yang saling memunggungi, atau saling menusuk sekalipun, lebih baik dibandingkan mata rantai yang akan selalu menarik tumbal-tumbal untuk turut terjalin didalamnya semacam ini?

Dalam Teorema ini, ada tiga posisi dasar. Posisi pertama ialah seseorang yang paling depan, yang tak tahu apa-apa sekaligus tak tahu kalau ada sesuatu yang tak pernah ia perbuat yang membuat orang lain tersakiti olehnya. Posisi pertama ini biasanya sering dialami tanpa disadari. Kedua, posisi tengah sekaligus kunci dari jalinan rantainya. Mengapa kunci? Karena jika ia mengambil langkah besar untuk memutuskan berbalik, ia akan memutus rantai setan yang menjerat orang-orang dalam garis yang sama dengannya. Yang jadi permasalahan mengenai si tengah ini hanya bagaimana ia akan menempatkan perasaannya dan perasaan seseorang di belakangnya dalam sebuah skala prioritas yang akan menentukan kesinambungan rantai tersebut. Yang ketiga, posisi belakang yang paling tak berdaya. Sebenarnya ketika berada dalam posisi ini pun kita memiliki pilihan, yakni untuk tetap bertahan atau berlari menghindar dan melupakan segalanya untuk menemukan kutub magnet baru yang siapa kira bisa saja bersatu baik dengan kutub kita. Tapi sekali lagi, perlu langkah super berani untuk melepas segala ‘sensasi’ yang pernah dirasa untuk mengambil pilihan-pilihan tersebut. Dan selama saya mengalami terlibat dalam Teorema ini, tak sekalipun saya pernah mengambil langkah berani tersebut. Entah kenapa, tapi kemungkinan terhebatnya adalah saya lebih mencintai ‘sensasi’nya daripada kenyataan bahwa saya berada dalam posisi yang tak diuntungkan samasekali itu tadi.

***

Kisah dimana Teorema ini teraplikasi berlanjut ketika kami, tiga variabel ini dipertemukan di sebuah kota baru. Bagai mimpi, apa yang selama ini hanya wacana dalam imajinasi yang sudah menghasilkan sekian banyak luka, terlaksana sedikit demi sedikit secara nyata. Orang pertama yang selama ini hanya memunggungi Orang kedua dalam seribu macam kesunyian, bersedia menoleh untuk kali pertamanya.

Anda tentu bisa membayangkan bagaimana besar makna sebuah perhatian, sekecil apapun itu, bagi seseorang yang sudah menantikannya dengan berdiri susah payah pada sebuah sudut dingin dengan tubuh penuh luka untuk waktu yang tak sebentar. Tapi justru pada saat dimana si Orang Kedua itu tengah terlena oleh perasaan bahagianya, seseorang lain dari belakangnya menawarkan tangan dinginnya untuk mencoba menyembuhkan luka-lukanya. Si Orang Kedua kemudian mematung dalam sejuta kebingungan, ia mematung untuk saat yang lama, sampai kini pun ia hanya mampu diam. Ia takut melangkah terlampau jauh bersama si Tokoh Baru ini, sementara ia tak bisa menjanjikan lebih untuk apa yang ada di depan mereka. Ibarat segala kebaikan si Tokoh Baru adalah emas, bagi seorang penggila romantisme dan sensasi yang idealis ini, respon-respon kecil yang dinantikannya dari Orang Pertama adalah batu mulia yang langka. Dilema terbesar dalam dinamika hidupnya kini adalah haruskah ia melepas mimpi besar yang setelah sekian lama akhirnya mulai tercium wanginya demi sebuah kenyamanan yang masih asing baginya dibanding pedih dari luka-luka lama yang masih menganga?

Suatu saat waktu akan menjawabnya, tapi dari hati terdalamku, Orang Kedua dalam dinamika teorema ini, aku minta maaf kepada yang merasa berada pada posisi yang tak diuntungkan karenaku. Aku tak bisa mengambil langkah untuk saat ini. Mimpi tentang orang pertama yang berdiri tanpa mendengar semua ini disana terlalu tinggi harganya untuk kulepas begitu saja. Sudah cukup luka demi luka yang kutabung selama ini bebas ditukar dengan sesuatu yang lebih berharga darinya kini bukan? Entah apa yang mengganggumu, Orang Pertama, apa semua yang kurasakan terhadapmu memang salah? Jika iya tolong beritahu aku. Agar kau bisa berhenti menyakitiku, agar aku bisa berhenti menyakiti orang lain.

Tapi boleh lah kau tahu, andai kata aku tak bersakit-sakit ria untuk bermimpi akan sebuah kalimat eksekusi menyakitkan darimu.
Aku masih, berada dalam posisi yang sama, seperti sedia kala.

                                                                                               
 Teruntuk objek riset saya yang budiman, Marshella Riyanto
dan Rere Harits Ariyanti yang juga merangkap konsultan saya.
Dan sesama yang terlibat dalam Theorema,
Yuanita Wahyu Pratiwi
25 September 2013

No comments:

Post a Comment