Trending Topics

.

.

Sunday, September 08, 2013

Kebebasan dan Mahasiswa

Disini, saya akan memulai dengan menjawab pertanyaan yang menurut saja muncul di benak anda ketika pertama kali membaca judul yang tertera diatas, khususnya untuk anda sekalian yang telah pernah menikmati tulisan-tulisan saya sebelumnya.

Ialah mengapa saya sering mengangkat dua variabel sebagai judul dan menggunakan konjungsi ‘dan’ diantaranya?  Pertama, karena menurut saya itu keren#dor. Setiap hal yang saya pilih untuk lakukan dalam kehidupan ini berdiri diatas alasan bahwa mereka keren. Tapi keren menurut saya adalah devinisi relatif mengenai selera saya, dan saya rasa kata yang paling mampu menembakkan makna gamblang bagi pendengarnya hanya satu, yakni ‘keren’ itu sendiri. Jadi jangan heran kalau apa yang kita pikirkan soal keren berbeda jauh HAHAHA#dor. 

Yang kedua, tutorialnya. Judul semacam ini akan memberikan penjabaran makna yang hanya berupa opini saya mengenai dua variabel tersebut dan keterkaitan diantaranya. 



Oke, pembahasan dimulai~ Pertama, Kebebasan. Apa itu kebebasan? Ialah Freedom#Iya wan, iya~. Tapi untuk apa saya menulis post sekeren ini jika hanya untuk memberi tahukan informasi luar biasa umum bahwasanya Kebebasan adalah Freedom. Saya suka kata freedom dan kebebasan secara seimbang. Menurut saya, efek yang ditimbulkan oleh hurup ‘b’ dalam kebebasan dan ‘fr’ dalam kata freedom sangat melegakan. Jadi pantas kalau mereka menyandang makna yang melegakan pula. 

Cukup sampai disana, saya akan melanjutkan ke variabel yang kedua. Karena apabila saya bahas sampai dimana makna kebebasan menemui kebuntuannya dalam jalinan rumit serabut syaraf dalam otak saya, tak akan ada habisnya, atau jikapun ada, akan memakan waktu sangat panjang sampai ia ditemukan. 

Variabel yang kedua adalah mahasiswa. Tapi berkebalikan dengan kebebasan yang dapat setara dengan freedom ditelaah dari kesan yang ditimbulkannya, saya tak setuju jikalau variabel mahasiswa disetarakan dengan variabel ‘college student’. Sekarang begini deh, murid SD bahasa inggrisnya apa? Elementary school’s student. SMP? Junior high school’s student. SMA? Mirip lah. Nah mahasiswa masa disetarakan dengan college student? Berasa nggak naik-naik amat tingkatnya. Padahal dalam bahasa persatuan yang kita cintai ini, ada makna yang luar biasa di balik perbandingan antara kata ‘murid SMA’ dan ‘mahasiswa’, yagak? Kata ‘Maha’nya itu loh, gak nahan~#dor. Jadi apabila berbarometerkan bahasa yang kita akui sebagai bahasa internasional tersebut, predikat yang mulai disandang oleh sekian ribu lulusan SMA yang masuk universitas tahun ini, hanyalah ‘murid perguruan tinggi’#dor. Berkaca pada kata ‘Maha’ yang sekarang tersemat pada kita, jangan sampe kita sakit-sakitan karena keberatan nama ya bro sesama angkatan ’13 di universitas manapun di seluruh Indonesia. Semoga kata ‘Maha’ yang kini telah ada benar-benar bisa kita peroleh manfaatnya, dan dapat kita pertanggung jawabkan dengan baik nantinya. 

Sekarang saya mahasiswa, dan saya kira masa transisi dari seorang siswa menjadi mahasiswa adalah hal yang luar biasa penting dan bermakna. Ini terbukti dari acara apa saja yang disiapkan buat kami dan entah berapa kali sesi bimbingan psikologis yang diselenggarakan setelahnya. Saya tak membuang fakta bahwasanya hal tersebut memang benar adanya. Masa transisi yang awalnya saya kira akan sangat sulit dan menyakitkan ini memang betul-betul momentumental. Tapi tak berarti amat sangat sulit kok. Dulu memang ada perasaan takut yang sempat menguasai saya, lalu kemudian saya mendoktrinisasi diri saya seperti ketika akan masuk CI dulu. Doktrinnya pun kurang lebihnya sama, saya berpikiran bahwa jikalau diluar sana ada banyak kakak angkatan yang sukses hidup sebagai mahasiswa yang berbahagia—bahkan berprestasi— mengapa segaris kata start saja harus menghalangi saya? Bukan begitu?#readers:bukan~. Dan ternyata doktrin yang sedemikian simpel itu berhasil. 

Awalnya memang berat bro, saya homesick sampe mewek-mewek cuma gara-gara balado terong dan penggorengan. Apalagi waktu nganter emak, bokap, dan adek saya balik dari nganterin saya. Ketika itu, saya kiranya tahu perasaan sesajen yang di larung ke laut. Dilepas untuk terombang-ambing di samudera yang maha luas sendirian tanpa sebatangpun tongkat untuk berpegang kecuali Tuhan. Tapi kemudian, di tanah perantauan ini saya mendapat banyak pencerahan. Berada jauh dari keluarga yang jadi inang tempat saya membenalu selama ini, membuat saya merasa kecil, sendiri, dan tak berdaya. Ketika itu saya sadar bahwa satu-satunya yang bisa menyelamatkan saya cuma hubungan saya sama Yang Maha Kuasa. Yaa… mudah-mudahan, minimal hal ini bisa membuat saya semakin menjadi individu dengan kualitas yang baik lah. 

Yang kedua, nggak akan ada lagi yang bertanggung jawab secara langsung terhadap saya mulai detik ini. Istilahnya ya, buat ngumpet di bawah ketiak orang tua pun sekarang butuh birokrasi. Oleh karenanya, teman adalah segalanya. Saya mulai mencoba untuk mengurangi keapatisan saya terhadap lingkungan dan membinasakan sedikit demi sedikit dorongan-dorongan untuk mengurungkan niat baik. Sekarang saya mendoktrinisasi diri saya dengan paham baru, yakni itu tadi, untuk tidak mengurungkan niat untuk berbuat sesuatu, dalam situasi apapun, seringan atau sesepele apapun hal tersebut, kalau memang itu untuk kebaikan, baik bagi saya pribadi maupun orang lain. Keputusan ini diambil setelah melalui perundingan yang pelik dengan seorang psikolog belum terkenal yang notabene adalah sahabat saya. 

Oke, sekarang beranjak pada keterkaitan antara dua variabel tadi, antara mahasiswa dan kebebasan. Iya nggak sih kalo mahasiswa itu super duper bebas? Menurut saya iya meski saya baru akan menjalani lingkup hidup resmi sebagai mahasiswa besok. Mahasiswa itu independen, tapi masih dipertanggung jawabkan kepada orang tuanya, baik dari segi biaya hidup maupun urusan lain. Istilahnya ini adalah periode magang dari kehidupan yang sesungguhnya. Kata kakak-kakak pembicara kemarin, jadi mahasiswa itu luar biasa enak. Kita sekolah dibiayai rakyat, dibiayai oleh pedagang-pedagang pasar yang menyisihkan penghasilan mereka yang tak seberapa untuk pajak di samping dibiayai oleh orang tua kita sendiri. Karena enaknya itulah, bahkan banyak yang luar biasa betah sampe empat belas semester jadi mahasiswa. Padahal sebenarnya, dalam periode waktu yang kita habiskan ketika kita menyandang gelar sebagai ‘pemagang’ kehidupan nyata inilah kita menumpuk hutang kepada rakyat. “Jadi segera luluslah, menjadi orang yang berilmulah, dan lunasilah hutang hutang itu kepada bangsa yang tengah menanti kontribusi kita ini,” begitu kata kakak-kakaknya. 

Adalah yang sebenar-benarnya kalau kehidupan sebagai Mahasiswa sarat kebebasan. Tapi dalam paham demokrasi yang kita anut dan benarkan bersama, kebebasan yang bertanggung jawab terbukti sebagai yang paling baik. Mahasiswa boleh ‘bebas’, tapi jangan sampai ‘lepas’. Karena ketika ia sudah ‘lepas’, ia bukan lagi mahasiswa, melainkan hanya seorang penghutang yang akan terus menerus melarikan diri dari kenyataan. 


Yuanita Wahyu Pratiwi
8 September 2013

No comments:

Post a Comment