Trending Topics

.

.

Sunday, September 29, 2013

Terseret Kembali ke Arus Serupa

Sekali waktu aku merasa era dalam hidupku telah berganti dengan yang baru. Kini semuanya seperti tengah berganti lagi, tapi alih-alih dengan periode asing yang tak pernah kukecap sebelumnya, periode baru ini amat lekat denganku. Seakan baru kemarin, dan terulang lagi.

Aku, mulai menggunakan kata aku lagi. Di waktu kebelakang yang cukup dekat, aku cukup memandang ungkapan ini tabu, tapi tidak lagi dengan sekarang. Sebagaimana Sejarah, ada yang mengatakan kalau ia hanyalah siklus yang berputar-putar tanpa pernah bergerak maju, orang lain mengatakan kalau ia maju, tapi spiral, berputar, mengalami posisi yang sama berkali-kali dalam kala waktu, bentuk, serta kesan yang terus mengalami perkembangan ke arah depan, sementara sisanya mengatakan kalau sejarah itu linier, lurus, maju kedepan, tanpa berhenti, tanpa pengulangan, cepat, dan menuntut sama kejamnya dengan waktu.

Aku lebih setuju yang kedua, aku mengalaminya.

Cukup dengan implisitme, karena aku tengah lelah. Aku membaca sebuah novel dengan tema berat, dengan pergolakan intrik yang menggoncang mental, tapi aku mengerti karenanya, bagaimana setiap kehidupan memiliki korelasi antara satu dengan yang lain. Aku mendengarkan lagu-lagu cengeng di radio, mencermati lirik-liriknya, betapa banyak orang yang terluka, sakit, dan merana karena sebuah abstraksi yang diagung-agungkan, apa yang dinamakan cinta selama ini. Meski demikian, ia tetap saja istimewa, menjadi topik tercantik, teranggun, dan teristimewa sepanjang masa. Merah, berkilauan, serta tinggi tak tergapai.

Suatu ketika, di rumahku yang akan terus, tetap, dan selalu menjadi rumahku sejauh apapun aku berada dari sana, aku pernah menangisi bagaimana takdir pernah berada pada sudut paling radikal, paling kejam dalam pandanganku. Perihal cinta romantis aku hanya pernah merasakannya sekali, indah memang, tapi menyakitkan, dan selama bertahun-tahun aku terpaku disana, sampai memakan waktu lebih dari seperempat usiaku kini. Tapi ia tak menyisakan apa-apa.

Aku bertanya, apakah cinta hanya untuk orang-orang dengan cahaya, bukan seorang yang terperangkap dalam gulita sepertiku? Jika memang ia tak akan pernah datang untuk kedua kalinya, aku rela hidup tanpa apa yang dalam ilmu pasti dinamakan cinta romantis itu. Aku punya cinta, aku tahu rasanya, orang tuaku mengajarkannya dengan sangat baik padaku. Bukan masalah jika selepas menyelesaikan sarjanaku nanti, aku terus berjuang demi pendidikan yang lebih tinggi, mengadakan penelitian, menulis buku, bekerja untuk UNESCO, memiliki cukup tabungan untuk membangun villa di pegunungan sebagaimana orang tuaku dan aku pernah bermimpi, mengunjunginya sesekali, tinggal di rumah kami yang bersejarah, dan berbahagia. Aku yakin aku bahagia, tanpa hal selain itu. Tanpa pernah merasa lagi pedih yang indah seperti apa yang masih kualami hingga kini.

Sayangnya, tekad itu hanya buah kegundahan tak bertepi yang menghakimiku seorang diri. Selepasnya, karena aku orang yang mudah bahagia, aku melupakannya. Aku menjalani hidupku seperti biasa, menemukan hal-hal menyenangkan untuk dinikmati, tertawa, melupakan segalanya termasuk soal pedih-perih cinta dan rencana hidup bahagiaku yang penuh keputus asaan terhadapnya dengan anggapan bahwa hidup ini berjalan lambat, sangat lambat, sampai aku terus menerus bahagia dan tanpa sadar telah sampai pada saat yang kutakuti itu, tanpa harus membalut luka yang sejatinya tak pernah ada.

Kini, tinggal menunggu beberapa hari sampai hari dimana aku mengaku aku telah terpaku soal hatiku terhadapmu berulang untuk kelima kalinya. Perasaan itu memang sudah tak sedalam dulu, tapi aku tak pernah berhenti berharap. Kadang kala, dalam waktu belakangan ini, aku justru lebih merasakan rasa sakitnya dibanding keindahan-keindahan yang pernah membuatku melupa dahulu. Tapi apakah benar dalam rumah tangga orang-orang yang bertahan lebih dari setengah abad, cinta tak pernah hilang dari untaian hari demi hari mereka yang panjang? Setiap ada pasang selalu ada surut, tapi air laut akan selalu ada, merindu akan cahaya bulan diatasnya bahkan ketika ia tengah tak muncul samasekali. Laut percaya kau, Tuan Bulan, masih disana, sesekali menoleh hanya demi membuat Laut tak begitu terluka, sementara kau masih enggan melepas mimpi-mimpimu tentang Matahari.

Aku tahu kau begitu baik, karenanyalah keyakinanmu selama ini bahwa kau tak perlu menyakiti diri sendiri demi berbaik hati kepadaku adalah benar. Aku mencintaimu, sekian lama mematok perasaan ini padamu, menjatuhkan jangkar pada dangkalanmu, bukan untuk membuatmu terluka. Aku merindu akan takdir yang menempatkan kita berada dalam singgasana yang setara untuk sama-sama bahagia, meski rindu itu tak kunjung terbalas hingga tahun yang kelima.
Tuan Bulan, laut memang kelam, samudra hanya genangan dingin yang menyeret pelaut-pelaut ke kematiannya. Suatu malam ketika aku tengah menantikan purnamamu, seorang pelaut datang kepadaku. Ia melihat bagaimana aku memiliki banyak luka. Ia begitu baik, ia tak pernah khawatir jika suatu saat aku hanya akan menjadi ombak yang akan menggulung kesediaannya dengan pengkhianatan. Ia berikrar dihadapanku untuk menaklukanku, membahagiakanku dan melihatku bahagia bahkan di malam-malam tanpa bulan.


 

Aku terpaku dalam diam, dinginku tak pernah tersentuh oleh tangan sehangat ini sebelumnya. Aku masih merindu akan dirimu, melukai diriku sendiri, menikmati sekedar cahaya temarammu sebagai candu, tapi di saat yang sama pelaut itu datang menawarkanku untuk ia kenalkan pada candunya, apa yang ia sebut happiness.


Aku tak kenal kebahagiaan, kecuali keindahan sebuah ironi yang membuatku bahagia.
Ajarkan aku kemana aku harus melangkah, Tuan Bulan.

Meski aku tak ingin kau tahu kisah soal pelaut ini, karena setelahnya, kau pasti memintaku untuk mencoba rasa dari bahagia yang tak akan pernah kudapatkan darimu bersamanya.



-Oleh Laut-

No comments:

Post a Comment