Trending Topics

.

.

Sunday, May 06, 2012

The Death of An Artist


Sudah berulang kali aku mengujar bahwasanya…
"Nafas seorang seniman hanya sebatas apresiasi." –yuanita wp-
Itu saja. Kalian tahu? Para seniman ialah orang-orang kuat. Jikalau kalian menelisik lebih dalam kehidupan para pelaku seni, kalian akan tahu seberapa hebatnya mereka. Diluar kehebatan mereka dalam melukis, menari, atau berteater. Mereka hebat karena, yaah kalian tahu, negeri kita bukan negeri yang menghormati seni. Adat orang-orang kita sekarang ini boleh dikatakan memalingkan wajah, menutup rapat mata dan telinga dari kehadiran para seniman-seniman kita. Tapi ditengah gempuran itu, masih banyak seniman kita yang hidup bahagia. Kenapa? Karena mereka tak perlu uang banyak, tak perlu berbelanja ke luar negeri, plesiran di pantai negeri tetangga atau mengunjungi obyek wisata kelas dunia untuk dapat berbahagia. Sungguh, bilamana seseorang telah jatuh cinta secara mutlak pada dunia seni, segala macam kesenangan apapun bisa dia dapatkan, dan dengan sangat rendah hati, ia akan mencukupkan diri soal materi. Karena uang, tak tentu jadi sumber kebahagiaan. Uang cukup menjadi tali yang menyambung hidup mereka, menguapkan rasa lapar mereka ketika mereka lelah bekerja, selepas itu, bekerja lagi dan hati pun akan bahagia. Tapi adakalanya, kebahagiaan itu mati. Kala nafas seorang seniman benar-benar terenggut, ketika ia tak mendapat samasekali apa yang dinamakan apresiasi.

Soal seni, orang-orang negeri ini, dengan adat konsumtif khas negara sewaan bagi perusahaan dari negara maju, tak begitu peduli. Beberapa diantaranya pelik dengan urusan ekonomi. Kebanyakan penggemar seni adalah kaum muda, atau yang serta merta sudah benar tua. Kaum tuanya dibagi jadi dua, mereka yang kaya, yang sukses dan bisa menikmati seni ‘pure’ yang mahal harganya, yang bisa memuaskan diri akan dahaga pertunjukan yang ‘pure’ dan berkelas. Lalu ada juga mereka yang tak kaya harta, tapi kaya karya. Seniman yang sudah besar namanya, yang masih terus berkarya dan menikmati hidup bahagia mereka yang dibanjiri apresiasi, pernyataan kekaguman, dan murid yang ingin berguru. Sedang kaum mudanya dibagi tiga. Mereka yang bukan orang kaya, tetapi justru sangat konsumtif. Sehingga alih-alih berhasil menjuruskan konsumtifisme mereka ke tujuan yang bagus, mereka yang tak terlalu bermodal malah tercekoki dan akhirnya candu terhadap seni-seni kacangan para plagiator.


 Sedang yang cukup bermodal, juga masih dengan sikap konsumtif mereka candu terhadap hiburan kelas atas, produk seni yang dijajakan seniman-seniman luar negeri. Lalu apa yang dihasilkan? Tentu saja nasionalisme tipis yang semakin terkikis, menghayal seandainya mereka terlahir di negeri-negeri para seniman idola mereka, dan menjatuhkan martabat negeri sendiri dengan memandangnya rendah, beranggapan bahwa seniman negeri kita miskin kreasi dan hanya bisa menjadi sesosok plagiator. Sedang golongan satunya, yang paling minoritas diantara yang lainnya, seniman-seniman muda yang miskin apresiasi. Yang tak kaya, yang meski begitu dengan saldo saku mereka yang hanya pas-pasan tetap berusaha menggempur semangat juang mereka untuk terus berkarya. Seniman muda yang akan menjadi bibit bagi berlangsungnya kebun seni negeri kita, seniman muda yang masih sangat ringkih, riskan, dan mudah sekali mati ketika benar-benar tak ada apresiasi mereka dapati.

Apa yang membuat terciptanya golongan-golongan itu? Entahlah, tak ada yang tahu. Yang jelas, itu semua bak sesosok momok, paradigma, lebih dari sekedar teori atau hukum, hampir sebuah kutukan. Kita tak punya masa depan menjajaki persaingan global yang semakin hari semakin sengit. Kita tak pernah punya tameng, bukan untuk perang militer, itu sudah bukan zamannya lagi. Ini soal perang ekonomi, perang kultural, perang moral. Dan soal perang-perang itu, kita tak akan bisa mengimpor tameng dari negara manapun, semahal apapun harga yang mampu kita bayar.

Jika masih tetap seperti ini sistemnya, menetapkan kurikulum berbasis akademik yang memeras otak anak bangsa, dengan hanya satu jam pelajaran seni dalam satu minggu, diantara berbelas-belas jam eksakta, kita hanya tinggal menunggu waktu menuju kehancuran. Menunggu waktunya arwah-arwah pejuang kemerdekaan kecewa dan mengutuk kita karena tak mampu menjaga asa yang mereka titipkan pada kita.

Tak ada gunanya mengubah orang-orang tua. Mereka sudah terlalu malas mengurus hal yang mereka fikir bukan urusan mereka. Yang kita punya hanya orang-orang muda. Amunisi kita yang masih tersisa untuk menghadapi perang tak kasat mata ini hanya seniman muda yang minoritas tadi. Yang sungguh miskin apresiasi. Apresiasi yang mereka miliki dari karya hebat mereka hanya segores nilai dari sang guru kesenian, sedang dari sektor lain sangat minim, nyaris tak ada, dan kerap hanya menimbulkan rasa berharap yang terlalu besar, kekecewaan. Sedang amunisi-amunisi itu tak akan pernah siap digunakan jika mereka terus menerus tibul tenggelam. Jika mereka tak lantas berkarya, karena mereka sibuk belajar dan melupa akan hobi mereka. Kesenangan yang sesungguhnya bisa lebih dari sekedar menghasilkan ketika itu dikembangkan dengan baik.

Seni bukan prospek yang menjanjikan di negeri ini, saat ini bahkan kedepannya. Lihat saja, dunia hiburan kita dapat dengan mudah dimasuki, dan semakin lama, semakin miskin legenda. Karena setiap mereka yang masuk kesana dengan mudah, pasti akan keluar dengan mudah juga, itulah kenapa sesosok legenda dalam industri seni kita semakin sulit ditemui. Seorang plagiator kacangan, dapat dengan mudahnya masuk, menembus pasar bajakan dalam negeri, sebatas menjual satu single, sebuah ring back tone yang mencuri pulsa, tanpa membuat album, diundang ke acara musik yang dimiliki hampir setiap stasiun tv yang membayar penontonnya bahkan, terkenal sebentar, kaya mendadak, lalu tenggelam. Hanya sampai disitu kehidupan orang-orang yang memenuhi industri hiburan kita kini. Sedang seniman betulannya, miskin apresiasi, tak terkenal berhubung seni yang mereka tekuni tak tentu makanannya para ‘penonton bayaran’ tadi. Khalayak bawahnya konsumtif teradap produk kacangan dalam negeri, masyarakat di kelas lebih atasnya konsumtif terhadap dagangan luar negeri, sementara seniman aslinya tenggelam.

Tak banyak generasi muda yang kenal baik keroncong, karawitan, gamelan, jaipong. Mereka lebih kenal budaya urban, band, pop, rock, atau yang sekarang marak boyband, girlband. Padahal andai dikembangkan, nafas para seniman muda yang terlibat dalam seni khas kita itu tak akan lagi tersengal-sengal. Soal produk luar negeri, sebenarnya itu laku keras hanya karena mereka pintar memodifikasi. Kita juga bisa hei, negeri ini tak hanya punya sedikit orang-orang kreatif. Yang jadi masalah hanya perilaku kita yang terlanjur konsumtif, hanya fonis kita yang terlanjur buruk terhadap kesenian asli negara kita yang bahkan tak kita kenal dengan baik.

“Para seniman bukan hanya orang-orang hebat yang dikagumi banyak orang, bukan hanya orang-orang kaya yang menjual mahal hasil karya mereka, bukan hanya pekerja seni dengan nama besar yang dipuja sepanjang masa, tetapi seniman adalah orang yang sudah berhasil mengekspresikan jiwa mereka lewat suatu hal yang mereka kehendaki dan sukai. Dari makna asli kata seni yang berarti ekspresi jiwa.” –yuanita wp-

Maksud saya menulis tulisan ini, adalah karena saya merasakan betapa mahalnya apresiasi bagi para seniman kecil. Betapa hak kami tak terlindungi, betapa rentannya kami menjadi korban plagiatisme, betapa karya kami tak dihargai. Saya tidak main-main mengenai apa yang saya katakan. Kita tidak lagi punya harapan apabila terus mengabaikan hal ini. Karena dengan begini, semakin hari, semakin banyak jiwa-jiwa seni yang bunuh diri. Dan pada akhirnya kita hanya akan menjadi bangsa konsumtif yang tak berbudaya.


"Sebuah kemonokroman sesungguhnya bukan cacat, melainkan ruang yang lebih luas untuk menentukan warna dari berbagai persepsi, tanpa perlu menghapus atau mengulangi, seharusnya."

(c) Hidekazu Himaruya

More dissapointed,
Yuanita WP

No comments:

Post a Comment