Trending Topics

.

.

Wednesday, May 30, 2012

After the Last



Hati tak berkata lagi mata kian berkaca
Sesungguhnya, turut serta oleh kereta,
Apa maksudnya?

Sembunyikan sepi dalam nyala dadanya
Kobaran semangat hanya tinggal asa yang padam
Kala temaram menyinar sebongkah pusara
Terhujam dalam kelam nan legam
Tanpa ujar, tanpa suara

Aku terpaku dalam sunyi,
Masih berusaha menelisik makna kisah ini
Adakah amanat, atau petuah klasik bak dongeng malam hari
Tak tahu, selagi aku hanya fikirkan ini sendiri

Malam ini benderang tanpa unggun,
Pergi atau belum segala gundah, asa yang padam itu telah lenyap sepenuhnya
Tak ada sisa dimuka, hanya saja bekasnya dalam dada tak akan hilang selamanya
Sebelum keping raga ini juga serta

Misteri ialah kisah berisikan tanya tak tersahut
Tak tentu hitam, tak tentu kelabu
Namun, segala sahutan itu bisa kita dapati pada diri
Tanpa harus mengoarkan kesana kemari
Meski perlahan, itu pasti

Tak perlu bersusah mengukir nama dalam sejarah sebenarnya,
Karena kita punya sejarah kita sendiri sendiri
Yang mengukir nama kita tanpa diminta
Suatu ketika, sepi menyergap, lenyap
namun kita akan tetap temukan diri kita senyap
Dalam hati…


***


Pukul tiga pagi, ya.. sekitar segitulah kami akhirnya sampai pada tempat yang dituju. Malam itu langitnya betul cerah, sayang terlewat oleh saya sekelebat panorama Jogja dari atas ketika di jalan tadi. Lampu warna warni yang semarak bertebaran di sebidang tanah yang begitu luasnya itu, tersembunyi di balik tetebingan curam. Sayang sekali, padahal dua tahun lebih sudah saya rindukan itu. Tak hanya soal sekantung kristal warna-warni yang tumpah di bawah sana, namun juga sekantung lainnya, kristal bersinar perak yang sepertinya masa jenisnya terlalu rendah untuk tidak mengabaikan grafitasi, karena nyatanya mereka terbang, membuang jauh-jauh tetapan eksak yang membatasi angan, lalu seenaknya membentuk berbagai formasi di kanvas dongker seluas mata memandang diatas sana. Hal yang hanya tiba pada saat tertentu di wilayah tempat tinggal saya yang udaranya pekat polusi. Namun beribu sayang, suasana yang melingkupi rumah tempat ibu saya kembali dari rantaunya tersebut terlingkupi atmosfer yang kurang dapat disebut demikian. Segalanya sendu selama beberapa bulan terakhir.

Hari itu, Selasa, selepas memulai dini jam sekolah saya tepat pada pukul enam pagi, kami mengambil jam latihan Tari Saman untuk pementasan di hari Sabtunya, semata bukan hal yang mudah bagi seorang berlenggang kaku macam saya. Begitu rampung, berganti pakaian, bahkan sebelum sempat istirahat, guru Kimia sudah datang. Melanjutkan penderitaan bagi seorang eksak haters seperti saya sebelum secara sempurna berhasil segalanya dinetralisir jam istirahat. Bolos les di hari Sabtunya membuat separuh-separuh saya buta materi, beruntunglah Gurnya kali ini beliau, yang bisa memasukkan konsep kedalam otak saya yang aglutinin Eksak ini tanpa perlu menggumpal, mengkristal, atau menjejal sesak tak berguna. Jam eksak tanpa kantuk adalah hal yang amat jarang ditemui pada diri saya, terutama dalam atmosfer kelas nan sunyi yang seratus persen mendukung. Jika tak takut telak tertusuk sindiran guru atau ter-skak teguran, mungkin sekian persen dari kami sudah merebahkan kepala dan menyerahkan diri pada alam mimpi sejak tadi.

Pengelihatan saya bukan rusak, mungkin, tapi jarak yang terlalu jauh karena saya duduk di belakang mendorong niatan saya untuk berhenti menyuap bekal sembunyi-sembunyi dan hijrah ke tempat yang lebih layak untuk memandang ke monitor super canggih warisan dari masa ke masa bernamakan papan tulis itu. Begitu dapat tempat layak, saya pun mendudukan diri dengan nyaman. Sembari dengan setengah hati berusaha menikmati materi. Bertanya pada rekan satu perguruan les dengan saya soal materi kemarin lusa, dan mencernanya. Dalam tenang yang tak nyaman, suara ketukan pintu memecah lamunan. Seorang satpam sekolah kami, datang dengan secarik kertas dalam genggamnya, menemui guru kimia kami lalu membisikan sesuatu padanya. Entah kenapa firasat saya yang tak pernah lurus menembus nyata tiba-tiba tepat detik itu juga. Yang dipanggil, tak lain adalah saya sendiri.
Seketika batin saya tertohok tak percaya, dan ingatan akan kisah tragis nan klise yang jadi favorit dibawakan oleh Pak Parman, Pak Nisan dan kawan kawan semasa SMP, setiap ada acara renungan seketika menguasa pada fikiran saya.

“Di jam pelajaran, tiba-tiba satpam mengetuk pintu, meminta izin kepada guru di kelas untuk memulangkan kalian. Kalian di jemput oleh tukang ojek, di bawa ke rumah dengan alasan yang belum dijelaskan. Lalu di sepanjang jalan dekat rumah, kalian menemukan bendera kuning tersemat disana-sini. Dan sesampainya di rumah, orang tua kalian telah tiada.”

Klise memang, tapi bagaimanapun itulah kisah paling mengerikan bagi hanya individu-individu macam kami. Para murid yang tengah berjuang disekolah, untuk kelak mendapatkan senyum bangga dari orang tuanya, yang menanti sambut ramah mereka setibanya dirumah, yang menunggu tepukan bangga mereka pada setiap prestasi yang diraih, yang tak punya motivasi apapun lagi selain mereka, kedua sosok paling penting sepanjang masa, terkadang melebihi apapun lainnya.

Kawan lama saya sendiri, pernah mengalaminya. Dan beberapa hari yang lalu ia tulis pengalaman menyakitkan tersebut dalam sebuah post di blognya yang kebetulan saya baca. Antara dalam batin dan lisan saya tak henti bertanya, “se klise inikah takdir saya? Berhenti sampai sini? Lalu siapa lagi yang harus saya kukuhkan sebagai motivasi?”

Tapi diluar saya berusaha tenang, meski sejujurnya ketika itu benar panik luar biasa. Sampai kotak bekal yang tadi secara curang saya suap sembunyi-sembunyi pun hampir tak terbawa. Seperangkat buku kimia yang semula ada di pangkuan, tak saya masukkan ke dalam tas, cukup saya lipat semestinya, dan saya bawa. Koridor nan sepi menaungi pembicaraan singkat saya dengan si pak satpam tadi. Beliau yang bergelagat persis seperti dalam cerita guru semasa SMP saya tadi semakin menggali dalam liang curiga saya terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Hingga konfirmasi seorang saudara jauh yang menjemput saya melegakan dahaga akan kejelasan takdir yang sedang berlangsung ini. Bukan orang tua saya memang, tapi beliau, ayah dari ibu saya sendiri yang meninggal dunia.

Di sepanjang jalan, saya merasakan perasaan yang bercampur aduk. Antara lega, sekaligus mencelos. Bagaimanapun, beliau bukan orang asing, Mbah saya sendiri. Dan meresapi apa yang kira-kira dirasakan ibu saya, membuat ketakutan itu kembali, membuat perasaan kehilangan itu menyelami jiwa saya kian dalam.

Sesampainya dirumah, tetangga, kerabat, banyak yang berkumpul. Mengelilingi ibuku yang tersedu sambil sesekali menenangkan. Namun apa daya, yaah.. jika sudah histeris beliau sulit dihentikan. Kehilangan sesuatu saja bukan prahara mudah, bagaimana dengan seseorang? Seseorang yang jelas merupakan perantara dari banyak hal yang Tuhan berikan padamu hingga kau menjadi dirimu yang seberuntung saat ini. Orang yang bagaimanapun, menghabiskan lebih dari setengah hidupnya yang kini tak lagi bersisa untuk berjuang demi kesinambungan nafasmu, ibumu, dan saudara-saudaramu. Jikalau bisa, tak ada seorangpun yang mungkin menghendaki perpisahan dengan orang yang disayangi, namun sebagaimana adanya, dunia ini tetap hitam putih. Segala hal yang berlawanan berdampingan dan saling melengkapi, menidak sempurnakan kesempurnaan dan menyempurnakan ketidak sempurnaan, dimana setiap ada hidup, pasti ada mati. Membuat sebuah kata meraja, menyamarkan setiap batas terang antara hitam dan putih, relatif.

Muram tak lagi dapat ditutupi baik di wajah beliau, maupun ayah saya dan semua orang yang ketika itu ada disana. Perjalanan sekian mil hanya ditembus dalam beberapa waktu, memetik segala resiko demi sampai cepat, hanya untuk mengecap sekilas atmosfer almarhum yang masih tersemat disana. Hanya demi mendedikasikan diri kepadanya untuk yang terakhir kalinya. Meskipun nyatanya yang berhasil kami temui sesampainya disana hanya tinggal urukan tanah basah bertabur mawar dimana pusaranya tertancap tegak.

Begitu turun dari mobil, tepat di halaman rumah, saya melihatnya. Bukan apa-apa. Sesuatu yang hanya lumrahnya terdapat di rumah seseorang yang baru meninggal. Seperangkat keranda. Bukankah itu yang dikatakan kendaraan terakhir kita? Sesuatu yang disatu sisi bak momok, atau bahkan malaikat yang mengingatkan kita untuk kembali, segera membasuh diri dari dosa yang kian pekat di tubuh ini. Tapi bagaimanapun, keranda itu bagi saya tetap momok. Dimana bukan hanya saat kembali kepada Tuhan, tapi lebih kepada sebuah upaya pemisahan, perenggutan seseorang dari sisi kita yang kemudian, setelah pergi diantar kendaraan itu, tak akan pernah kembali untuk yang kedua kali. Tidakpun untuk hanya melongok sesekali, karena tak akan pernah ada tiket lintas alam, setiap orang hanya punya satu. Aku sendiri berfikir, mungkin beberapa tahun yang lalu, ketika sosok kecil ibuku masih berlarian di sekitar rumah ini, benda hijau itu adalah kendaraan yang paling ia takuti untuk sampai di halamannya. Kendaraan yang seberapapun ia takuti tetap akan sampai disana pada waktunya.

Ah, nyatanya waktu tetap berjalan. Saya sendiri, sayangnya masih belum bisa menarik benang merah yang pasti dari persepsi saya sendiri. Selain tentunya, mendapati bahwa apa yang orang biasa katakan tentang hal ini memang benar adanya. Kematian, sesuatu yang pada dasarnya tak memiliki sebuah warna pasti, tapi kebanyakan menafsirkannya suram meskipun nyatanya tak tentu juga dia suram. Kematian, entah itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak, ambilah sesuatu yang anda yakini soal itu dari persepsi anda sendiri, tapi yang berhasil saya simpulkan sejauh ini, bukan soal baik atau buruknya, bagaimanapun kematian tetap soal perpisahan. Sesuatu yang pada dasarnya tak saya suka meski harus tetap ada.

Untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi, alam yang lebih hakiki, sama halnya dengan kenaikan level pada sebuah permainan, harus ada sesuatu yang dtundukkan. Dan soal kematian, apa yang sepatutnya ditundukkan adalah ego, ego bahwa semua yang berjalan di dunia ini tak bisa hanya berorientasi pada aturan kita. Juga ego soal apapun dan siapapun yang ada di dunia ini bukanlah milik kita, dan kita akan diharuskan meninggalkannya pada waktu yang telah ditentukan. Nyatanya, Tuhan telah mengatur segalanya, dan kita hanya memainkan peran dalam naskah indahnya. Seketika Tuhan katakan peran kita telah usai, maka turunlah dari panggung. Jika ingin turun dari panggung dengan terhormat, mainkanlah peranmu dengan sebaik yang kau bisa, maka setiap orang akan mengenangmu. Perpisahan secara konkrit memang tak dapat dipungkiri namun soal batin yang menyatu, itu akan menjadi lebih dari sekedar kenangan.

Soal peristiwa yang saya saksikan ini, saya fikir kematian adalah hal yang pasti. Tak ada undo tak ada tawar-menawar lagi. Dan bagi kita yang masih tersisa di level dunia ini hidup tetap bergulir cepat dan kejam seperti biasanya, tak perduli siapa yang hilang dari keseharian kita. Mereka yang telah pergi hanya akan jadi bagian dari kisah yang terkenang. Tapi, ya.. kita tahu pasti bahwa adanya tetap akan kekal di hati, hingga nantinya hati itu yang melebur sendiri ketika waktunya sampai.








In A part of Life,
Yuanita WP



2012

No comments:

Post a Comment