Trending Topics

.

.

Monday, September 12, 2011

Beginning Love Story of "Eiffel in My Dream" part#3

Entah berapa lama aku terkurung di ruang hampa yang membatasiku dengan dunia luar itu. Rasanya begitu berat saat semuanya lepas. Kepalaku masih pusing, meski tak separah tadi. Perlahan berkas-berkas cahaya masuk melalui sela-sela tirai mataku. Hal ini memaksaku untuk membuka mata dan menyaksikan kelanjutan kisahku tadi.
“Mmnnhh..” gumamku pelan saat  telah berhasil kubuka jarak diantara kedua kelopak mataku. Meski sudah dapat sedikit melihat, semuanya masih terasa samar. Terlalu samar untuk dijadikan petunjuk dimana aku berada sekarang.
“Jangan memaksakan diri, sebaiknya beristirahatlah dulu.” Ujar seseorang yang bersuara lembut disampingku. Yap, aku tahu. Naoya. Aku sedang bersamanya saat ini dalam sebuah benda logam yang berlari cepat. Ya, aku tahu sekarang.
Aku berusaha sedikit demi sedikit melebarkan jarak antara kedua kelopak mataku. Dan ketika telah berhasil kubuka mataku dengan sempurna, Tokyo menyuguhkanku pemandangan kota di malam hari yang hangat dan menakjubkan. Jutaan lampu di seantero kota bersinar terang dan seragam. Beberapa yang tersemat di gedung-gedung dan papan reklame berkedip selaras dengan kebisingan yang menyelimuti. Gedung-gedung berarsitektur modern adalah komponen utama dalam laju gerak pasif kota. Lintas transportasi yang melintangi kota adalah nadi-nadi perekonomian yang membelit serta mengikat penuh para pelakunya yang bergaya hidup glamor dan modern untuk tetap menjadi unsur penyusun jantung yang selalu setia memompa darah dan nafas kehidupan kota ini. Indah dan memukau, ialah predikat yang dapat tersentuh oleh pemandangan ini dimata para penikmat fantasi-fantasi futuristik, tapi tidak bagiku. Mungkin pemandangan Night of Tokyo ini memang mencuri perhatian dan rasa kagumku, tapi aku tetap bukanlah penyuka hal bertajuk glamor, modern, dan futuristik. Biarlah orang menyebutku manusia lawas karena aku memang lebih suka ironisasi dari mereka, segalanya yang klasik, historis, dan romantis. Tipikal orang yang memang lebih suka melihat kebelakang dibanding merencanakan dan menata masa depan. Yah, setidaknya itulah mengapa aku membutuhkan seseorang yang mampu menata dan merencanakan masa depan yang indah untukku.
Aku suka berkhayal, berandai-andai, dan bermimpi. Ini bukan berarti aku menyukai fantasi. Semua hal yang aku khayalkan adalah hal yang kurang lebih masuk akal. Tentu bukan karena aku minim imajinasi, tapi lebih karena hal-hal yang menempati alam khayalku adalah mereka yang bisa saja benar-benar terjadi dalam kehidupanku. Lebih seperti sebuah perencanaan dari pada khayalan, atau lebih tepat disebut ramalan karena aku bukanlah tipikal orang yang penuh rencana. Hanya jalani hidup dengan santai, berusaha menikmati bagaimanapun keadaanya, dan tidak membesar-besarkan masalah. Kufikir itulah mottoku dalam menjalani hidup. Motto yang sekarang menguap entah kemana bersama berat badanku yang kian berkurang. Dulu, terlebih saat aku masih di Armor, aku dosa besar karena berbohong jika kubilang hidupku saat itu mudah. Orang tuaku tak peduli padaku dan sering meninggalkan aku dan kakakku berdua saja dirumah, tak dapat peringkat dikelas aku dimarahi habis-habisan, tak bekerja di rumah juga dimarahi, juga minim sarana hiburan. Tapi saat itu tubuhku segar dan lumayan yah.. bisa dibilang berisi. Tak ada di kamusku kata-kata: Merajuk sampai tidak mau makan dan mengurung diri di kamar. Aku bahkan tetap nafsu makan meski sedang bertengkar hebat dengan ibuku.
Tapi coba lihat diriku sekarang! Hidupku tenang. Aku tinggal bersama sahabatku yang tak akan marah sehebat ibuku, dapat uang sendiri dari royalti novel, masa depanku bisa dibilang sudah terjamin, tak kekurangan sarana hiburan, orang tuaku sekarang sudah bisa menerima dan menghargai apa yang aku kerjakan, punya teman-teman yang baik luar biasa padaku. Tapi aku malah berubah jadi aneh. Fikiran tentang Naoyalah yang mengintimidasiku. Dan aku bilang fikiran, bukan perasaan. Jadi bukan perasaanku terhadap Naoya-lah yang mengacaukan pola fikirku, bukan karena aku menyukainya tapi lebih karena bagaimana aku berfikir tentangnya. Entah mengapa, tapi aku selalu berfikir realistis tentangnya. Tak seperti teman-temanku yang tak ingat daratan jika sudah bekhayal tentang cinta atau orang yang mereka sukai, aku lebih berfikir tentang personalitas kami. Memang tak kupungkiri jika akupun kerap kali mengkhayalkannya, tapi percuma saja, karena seberapapun tinggi aku melayang bersama anganku tentangnya selepasnya hatiku juga yang sakit.
Personalitas kami yang bagaikan langit dan bumi adalah alasan mengapa aku sering menitik beratkan ruang fikir tentang Naoya dalam otakku ke arah pesimisasi. Ia 180˚ berbeda denganku. Ia genius, tampan, manis, romantis, dewasa,  berasal dari keluarga pembisnis kaya dan terhormat, berbakat dalam banyak hal, disenangi banyak orang, dan masih banyak kesempurnaan lain yang ia miliki, oke! Coret soal manis, romantis dan dewasa, itu hanya pendapatku saja. Segala hal dapat dimilikinya dengan mudah, sedangkan aku? Untuk bersekolah disini saja aku menumpang hidup pada keluarga Kimmy, apalagi jika mengingat bagaimana aku mendapatkan beasiswa itu, atau jika mengingat bagaimana keadaan ekonomi keluargaku di Armor. Miris. Disini aku tak ubahnya seperti siput berkerang tipis dan lusuh yang terdampar di kumpulan kerang mutiara. Dan ironisnya si siput jatuh cinta pada sang Pangeran kerang yang memiliki mutiara hitam paling berkilau diantara yang lainnya.
Terasa olehku bulir hangat itu mengalir lagi, tapi sebelum turun lebih jauh, aku menyekanya pelan. Aku tak ingin Naoya menyadarinya. ‘Ahh.. jangan berfikiran konyol Meck! Malam ini kau bukanlah Meck yang melankolis!!’ ujarku pada diriku sendiri, tapi aku tahu itu bukanlah isi hatiku yang sebenarnya. Aku hanya sedang malakukan hal bodoh yang tak ku tak tahu bagaimana caranya untuk berhenti.
“Meck, kau baik-baik saja, kan?” sekilas ia mengalihkan pandangan dari kaca mobil untuk sekedar memastikan keadaanku.
“Yeah, tentu!” Kulayangkan seulas senyum kearahnya. Ya, Naoya.. Luka ini memang membuatku sakit, tapi aku bisa bertahan jikalau hanya ini. Pernahkah kau berfikir kaulah yang membuatku pernah merasakan rasa sakit yang jauh lebih menyakitkan dari ini? Saat kuraba luka di pelipisku tadi, ternyata sebuah perban putih yang telah diberi obat merah dan direkatkan dengan plester telah bertengger manis disana.
“Aww!” Tanpa sengaja tiba-tiba tanganku menekan luka itu.
“Apanya yang tidak apa-apa?! Sini,  biar aku betulkan perbanmu.” Ujarnya seraya seketika itu juga menghentikan laju mobil. Nada khawatir itu tergambar jelas dari suaranya yang biasanya lembut namun tadi sedikit meninggi.
“Eeh, Naoya.. Tidak usah, yang tadi itu hanya tersenggol tanganku saja kok. Kalau aku sedikit lebih berhati-hati pasti tidak akan begini jadinya.” Ujarku sambil memasang cengiran khasku lagi, dan ia tersenyum. Tentunya juga dengan senyuman yang masih menyiratkan kekhawatiran.
“Kau yakin?”
“Ya,”
“Err.. Meck, ngomong-ngomong kau mau makan malam bersamaku dulu sebelum kuantar sampai rumahmu?” tawarnya spontan. Dan itu tergambar jelas dari mimik dan tutur gugupnya. Aku yakin ini tak direncanakannya sebelumnya.
“Mmakan malam?”
“Yaa, itupun kalau kau mau..”
“Mungkin tak ada salahnya, juga..” Jawabku singkat. Kebetulan perutku juga dalam keadaan kosong saat ini.
“Jadi, kau mau?” sebenarnya pertanyaan ini tak perlu ditanyakan lagi.
“Tergantung bagaimana kau menafsirkan perkataanku barusan.”
“Baiklah, kalau begitu kita akan ke Café di ujung jalan ini. Kau pasti juga suka, tempatnya lumayan bagus.” Tuturnya antusias sambil menekan pedal gasnya. Membawa sedan mewah ini melaju lebih cepat untuk mengantarkan kami ke Café yang Naoya maksud tadi.
Sekitar 10 menit setelah perbincangan singkat kami tadi, akhirnya kami sampai. Tapi langit tiba-tiba berubah drastis. Purnama yang bersinar temaram tadi lenyap sudah tertelan mendung yang entah datang dari mana tapi saat ini telah memenuhi langit Tokyo. Dari dalam mobil memang tak terdengar apa-apa, tapi kuyakin hujan di luar cukup deras.
“Ah, kenapa hujan?! Rasanya cuaca tadi cukup cerah.” Naoya mematikan mesin mobilnya. Membuat genercik derai hujan di luar sedikit terdengar disini.
“Sudahlah. Lagipula kita sudah sampai, kan?” Hiburku.
“Tapi, Meck aku tak mungkin membiarkanmu hujan-hujanan ke pintu masuk. Hujannya cukup deras, nanti bajumu basah semua. Lagipula pintu masuknya juga agak jauh.” Ujarnya tanpa dua hal. Tanpa melihat kearahku padahal ia sedang berbicara denganku, dan tanpa jeda.
“Sejujurnya itu bukan masalah bagiku.”
“Tetap saja. Aku yang mengajakmu kesini jadi aku harus bertanggung jawab atas dirimu selama kau bersamaku. Termasuk kesehatanmu. Menurut riset terkini, di penghujung musim gugur seperti ini daya imunnitas masyarakat cenderung melemah. Terutama untuk jenis-jenis penyakit musiman. Aku tak akan membiarkanmu terserang penyakit musiman itu hanya karenaku.” Ujarnya panjang lebar. Naoya memang begini. Begitu perhatian, dan menghormati wanita. Siapapun itu termasuk yang feminitasnya minim sepertiku. Andai saja ia punya adik perempuan pastilah ia akan jadi anak perempuan paling bahagia. Tapi untunglah ia tidak punya. Jadi tak akan ada anak perempuan yang membuat iri anak perempuan lain di dunia ini. Dan lagi, perhatiannya yang semacam ini ia berikan pada siapapun. Inilah juga yang membuat banyak siswi yang merasa mendapat perhatian khusus darinya, padahal sama sekali tidak. Dan semoga saja aku tak masuk daftarnya.
 Setelah sibuk mengobrak-abrik laci di depanku, ia beralih. Tentu mengobrak-abrik ala Naoya berbeda jauh denganku. Ia dengan gerakan anggunnya memilah-milah barang yang terdapat disana dengan membaca secara memindai tulisan apa  yang terdapat di barang tersebut. Sedangkan aku, mengobrak-abrik dalam artian yang sebenarnya pastinya. Mengacak-acaknya dengan berbalut perasaan kalut dan putus asa dan melemparnya ke sembarang arah. Ya, kami memang benar-benar berbeda.
Ia diam sebentar, seperti berusaha mengingat sesuatu. Lalu ia membuka kunci pintu otomatis mobil ini dan membuka pintunya. Seketika itu juga atmosfer dalam mobil yang tadinya sunyi menjadi riuh ramai oleh gemericik hujan.
“Naoya, kau mau kemana?” Tanyaku. Sejujurnya aku juga agak cemas kalau ia hujan-hujanan dan sampai jatuh sakit.
“Mencari sesuatu yang mungkin bisa melindungi kita dari hujan.”
“Hei, tap___” Terlambat. Baru saja aku ingin mencegahnya, tapi ia sudah berlalu keluar lagi ia  lalu masuk ke pintu belakang. Lagi-lagi ia mengobrak-abrik ruang penyimpanan, kali ini locker dibawah jok belakang.
“Aku agak lupa, kuharap aku belum memindahkan payung itu.” Ujarnya lagi-lagi tanpa dua hal yang tadi kusebutkan. Jas hitamnya sedikit basah terpercik hujan, rambutnya pun sama, jadi terlihat sedikit berantakan. Tapi aku suka jika ia tampil tak terlalu formil. Kalau Naoya, pada hakikatnya memang merupakan laki-laki beraliran gaya formil, tapi tak ada salahnya tampil dengan rambut yang sedikit berantakan. Lebih keren. Meski aku tak suka juga laki-laki yang ber-style terlalu berantakan. Terlalu monoton karena yang kebanyakan orang anggap keren adalah yang seperti itu.
Tadi ia bilang tak akan membiarkanku hujan-hujanan, tapi dia sendiri kenapa malah melakukannya? Apa itu semua ia lakukan demi aku? Seistimewa itukah aku baginya? Tapi.. Ahh, lupakan! Semua wanita yang bersamanya pasti akan ia perlakukan sebaik ini. Siapapun termasuk neneknya barangkali.
“Meck, apa boleh buat.. Kita nekat saja menerobos.” Kali ini ia melihat kearahku sambil menampilkan air muka putus asa. Yah, meskipun tuan calon dokter yang satu ini Jenius, untuk soal daya ingat aku masih lebih baik darinya. Ia melepas jasnya dan kini ia hanya mengenakan Kemeja lined blue dan Vest abu-abu tuanya. Setelah itu ia segera keluar, membentangkan jasnya, dan segesit mungkin bergerak kedepan dan membukakan pintu mobil untukku. Ia memposisikanku tepat di sapingnya dengan jarak yang amat sangat dekat, bahkan pundak kami saling beradu. Dinginnya udara membuat kehangatan yang terpancar dari tubuhnya terasa begitu kontras dengan keadaan di sekitarnya. Lalu, entah disadarinya atau tidak ia merangkulku, memosisikan tangan kanannya untuk membentang di belakang pundakku, membuat kami lagi-lagi semakin mendekat dan mendekat. Kini jasnya telah membentang sempurna di atas kepalaku. Meski tubuhnya tak terlalu terlindungi, tubuhku cukup atas itu. Yah, setidaknya 60%. Tuhan, tidakkah Naoya memiliki perasaan khusus terhadapku? Jika tidak, mengapa ia sebaik ini? Sebenarnya, seberapa berharganyakah diriku baginya? Jika aku tidaklah berarti baginya jangan biarkan ia memasuki hatiku terlalu dalam.. Jangan biarkan dirinya semakin berarti untukku..
Kami berdua berjalan di tengah hujan lebat, berusaha untuk menembusnya. Dan kini perjalanan manis yang singkat ini akan segera berakhir. Sesungguhnya aku tak menginginkan itu. Meski kutahu ini lagi-lagi ironis. Menyedihkan! Aku mengharapkan sesuatu yang mustahil! Berharap rangkulannya ini tak pernah terlepas, berharap hangat tubuh kami yang membaur tak pernah terurai. Biarlah kami terus berada di tengah hujan seperti ini, biarlah hujan ini tak pernah mereda, biarlah hujan ini membunuh kami pelan-pelan, asalkan aku bisa terus seperti ini. Meski ini semua hanyalah sebuah kenyataan yang semu.
Kenyataan semu yang manis itu kini resmi berakhir. Kami telah menaiki tangga masuk café. Biasanya, aku tak suka dengan hujan. Tapi ini sungguhlah hujan termanis yang pernah kursakan. Begitu menapaki anak tangga terakhir, tepat di depan pintu masuk, seorang maid menyambut kami. Dan maid itu sepertinya telah mengenal Naoya.
“Bien Vénue, Monsieur Naoya..! Ce soir, avec votre bien aimé semble?” Sapa maid itu ramah dalam bahasa perancis. Dan aku agak tersipu mandengarnya. Ia bilang Naoya sedang bersama kekasihnya malam ini. Tapi seketika itu juga Naoya membaurkan segala perasaan tersipu itu. Ia dengan segera mematahkan anggapan si maid tadi dengan gamblangnya. “Bukan, nona ini temanku.” Katanya.
“Ya, aku teman sekelas Naoya.” Ujarku seraya menyunggingkan senyum pada maid itu. Senyum yang mungkin saja ia menyadari bahwa senyum itu adalah sebuah seyuman pahit yang sarat luka. Aku hanya temannya, itulah lukaku.
“Oh, pardon. Aprés avoir tous deux l’air harmonieux. Permettez-moi de ton manteau sec á la vois.” Ia meminta mantel kami dan menawarkan untuk mengeringkannya tanpa meminta maaf padaku. Sepertinya memang tak perlu, hanya aku yang berlebihan. Tapi tetap saja perkataanya telah melukaiku. Dan prinsipku adalah harus mendapatkan maaf dari orang yang telah membuatku merasa bersalah bagaimanapun caranya. Tapi sayangnya ia bukanlah diriku.
Setelah sampai di meja resepsionis dan menyerahkan mantel dan jas kami untuk dititipkan dan dikeringkan, kami mengisi aplikasi registrasi. Begitu selesai Naoya segera mengajakku masuk, tapi menyedihkan karena ia berjalan di depanku tanpa sedikitpun menoleh kearahku. Padahal Café ini cantik sekali. Atmosfernya yang hangat dan romantis direpresentasikan kedalam ditel bangunan yang mirip Cofféé Shop di Prancis dan Italia. Dindingnya yang didominasi warna cokelat dan karamel diselingi jendela-jendela besar bertuliskan nama Café ini.
Café du Temps, namanya cantik. Ah, betapa romantisnya jika seandainya aku dan Naoya adalah sepasang kekasih. Berdua mengisi malam yang panjang ini dengan acara romantis. Menikmati setiap suapan hidangan yang tersaji sambil saling memandang, saling mengagumi keindahan satu sama lain. Terlarut bersama dalam suasana yang penuh cinta dan memabukkan. Lalu, di antara gelas-gelas kristal berisi wine kelas prima dan cangkir-cangkir porselen berisikan tetes-tetes robusta kelas atas tangan kami melintangi meja. Membuat sang meja tak lagi menjadi resistor bagi kami untuk saling bertaut. Berbagi kehangatan lewat jemari yang saling berpilin, seolah tak mau terlepas. Membuat pasang demi pasang mata yang berlalu menatap iri pada kami. Tapi itu hanya khayalanku. Toh nyatanya kami hanya sedang duduk berhadapan. Memang pada tempat dan posisi yang sama seperti apa yang aku khayalkan, tapi kali ini kami lagi-lagi hanya membatu.
Beberapa menit telah terbuang percuma, untunglah seorang waiter menyelamatkan kami sebelum predikat menit yang kuberikan tadi membengkak menjadi jam. Ia menghampiri meja kami dan memberikan daftar menunya. Sama denganku, Naoya mulai melihat-lihatnya. Lalu dengan nada canggung yang sebenarnya tak terlalu terbaca ia memulai pembicaraan.
“Meck, kau ingin pesan apa?”
“Entahlah aku bingung. Kau sendiri?” Tanyaku tak kalah canggung.
“Mungkin steak bukan ide buruk..” tawarnya.
“Kalau begitu mungkin aku suka ini.” Ujarku seraya menunjuk salah satu menu di dalam daftar. Sirloin steak with blackpepper and caramel sauce.
“Emm.. sirloin ya? Aku sarankan kau memesan tanderloin saja. Sirloin mungkin terlalu berlemak.” Katanya menyarankan.
Aku tertawa kecil. “Hey, apa kau berfikiran bahwa aku juga bagian dari sekelompok wanita aneh yang mengutuk lemak seperti Kimmy dan Arion? Selama lemak itu tak membunuhku, bagiku fine-fine saja.” Ujarku santai.
“Jadi begitu ya? Ya.. terserah kau saja. Tapi kusarankan, sedikit kurangilah konsumsi lemakmu. Bukan apa-apa sih, hanya saja tidak baik untuk jantungmu. Emm, meskipun kita masih dalam periode pertumbuhan..” Sarannya lagi.
“Baiklah, Tuan Dokter…”
“Ahaha..” Ia tertawa mendengar tanggapanku.”Minumnya bagaimana?”
“Sama denganmu saja.”
“Sekalipun aku pesan Vodka atau Vermouth?” pandangan jenakanya ia sampaikan padaku bersamaan dengan pertanyaan mencengangkan itu. Seorang Naoya memiliki hubungan dengan Vermouth dan Vodka? Itu aneh.
“Kk..kkau.??”
“Tidak-tidak, aku hanya bercanda. Aku tak suka minuman berakohol.” Ia tertawa pelan.
“Berarti kau pernah minum?” tanyaku tak percaya.
“Yang pertama sekaligus kuharap menjadi yang terakhir -setidaknya sebelum usiaku cukup betul untuknya- tahun lalu. Di acara ulangtahun perusahaan, dan itu pun hanya Wine beralkohol ringan dan aku tak akan minum jika tak dipaksa Kyo-nii. Kadarnya hanya 15% tapi kepalaku langsung pusing berat. Haha.. aku memang payah..” Ceritanya. Sepertinya lucu juga membayangkan Naoya yang mabuk saat itu. “Bagaimana kalau Choco arabika?”
“Yah, boleh juga.”
“Kalau begitu seporsi Sirloin steak with blackpepper and caramel sauce, seporsi New Zealand Ripe Eye with red sauce, dua cangkir Choco arabika, dua Ice blue float, dan dua porsi Chocohazel ice cream waffle. Maaf membuatmu menunggu terlalu lama, Sir..” Katanya pada Waiter itu. Tapi, kenapa ia pesan banyak sekali?
“Tidak apa-apa, Monsieur. Kalau begitu silakan tunggu sebentar.” Waiter itu pun berlalu.
“Hei, kenapa kau pesan banyak sekali?”
“Sudahlah, itu hanya sedikit kok.” Jawabnya santai. Dasar anak orang kaya, tidak tahu apa dia kalau dulu makanpun keluargaku susah.

No comments:

Post a Comment