Trending Topics

.

.

Thursday, September 08, 2011

Mon Journal

“Cinta dan seni, mereka telah memperindah hidupku. Maka sebagai imbalannya, aku akan hidup untuk mereka.”
-Yuanita W.P

Berbicara tentang kedua hal tersebut, aku akan memulainya dengan cinta. Entah apa itu cinta sampai sekarang pun aku belum tahu pastinya, karena ia memiliki pengertian yang begitu flexible di mata setiap orang. Yang kutahu, yah.. hanya sebatas perasaan indah yang membuatmu lebih menyayangi seseorang dari orang lain, lebih takut kehilangannya, dan membuatnya terasa begitu berharga bagimu. Namun kau tahu, itu hanyalah apa yang bisa kuucapkan atau kutulis, jika hatiku bisa berbicara dengan bahasanya sendiri, aku yakin ia akan membuatmu membuka mata tentang sebuah misteri terindah di bumi ini.

Jika berbicara soal cinta, tentu tak bisa melupakan jenis cinta legendaris yang satu ini. Cinta pertama. Semua orang tahu tak hanya cinta, hal apapun yang menempati urutan pertama selalu berkesan dan mendapatkan perhatian lebih dari yang setelah setelahnya. Ia akan selalu di tempatkan di tempat spesial. Itulah juga yang akan aku lakukan pada Cinta pertamaku andai aku tahu benar siapakah dia. Aku tak memungkiri aku telah merasakannya, gejolak yang tak terelakan, debar jantung yang mencambuk adrenalinmu, nafas sesak seakan sesuatu mencengkram paru-parumu, keringat dingin yang membanjiri pelipismu ketika kau bertemu dengannya, sang Pangeran yang berhasil menawan hatimu untuk pertama kalinya. Dan sampai sekarang, setelah kurang lebih dua tahun berlalu sejak bunga-bunga kecil dihatiku mulai merebahkan kelopak-kelopak mungilnya untuk kali pertama sejak aku menghirup udara bumi, aku masih merasakannya.

Pangeran itu mungkin bukan seseorang yang amat tampan, mungkin ia bukanlah seorang laki-laki gagah, atau pemuda maskulin yang menunggangi kuda putih, ya kan? Dalam kasusku pun ia hanyalah anak adam biasa yang baru beranjak dewasa, dan tentunya kharismanya belumlah menguar sekuat bau sigung. Hanya saja entah sihir apa, tapi sihir itu telah membuatku melihatnya sebagai seseorang yang, ahh~ sulit kulukiskan. Ia bukan seorang intel yang hendak mengintrogasiku perihal kasus pembunuhan, tapi ia selalu sukses membuatku berdebar-debar. Ia bukan seekor gajah Afrika yang sedang menginjak dadaku, tapi ia selalu saja membuat nafasku sesak. Ia bukan kereta Roller Coaster yang siap membawaku melaju secepat angin pada lintasan penantang maut, tapi entah mengapa ia selalu membuat adrenalinku membuncah. Dan ia bukanlah saudara kembar siamku yang selalu menghabiskan waktu sejak lahir bersamaku dan ditakdirkan menjadi bagian juga dari diriku, tapi ia yang begitu saja muncul di hidupku langsung membuatku amat takut kehilangannya. Jika sudah begini benar kata Cassanova, cinta adalah sebuah kegilaan dan tak satupun ahli filsafat-bahkan yang terhebat sekalipun- yang mampu menjelaskannya.

Tapi mungkin bedanya, ada dua orang pangeran yang mengisi hatiku dua tahun belakangan ini.  Ia pangeran dan sahabat karib masa kecilku yang muncul kembali menyuguhkan sejuta kenangan kehadapanku dan tiba-tiba saja memenuhi hatiku, dan seorang lagi pangeran dari negeri imajinerku yang juga menyita perhatianku tak ubahnya seperti dirinya. Dan jangan lupakan, aku juga mengutus seorang putri lagi agar aku tak sendirian berada diantara kalian wahai pangeran-pangeranku. Seperti apa yang kujelaskan tadi, yang pertama adalah pangeran sekaligus sahabat karib masa kecilku. Kami bertemu untuk pertama kali mungkin sudah hampir dua belas tahu lalu. Namun dua belas tahun yang lalu kami hanyalah sepasang anak manusia yang seperti yang seharusnya. Dua orang anak dibawah lima tahun yang haus akan dahaga bermain. Namun sejak dulu, hal yang paling membuatku takut, ya.. apalagi jika bukan kesepian. Dan Pangeranku, kau berhasil menyelamatkanku dari monster mengerikan itu. Tapi entah apa yang harus aku lakukan jika kau muncul lagi saat kita tak lagi ada dalam fantasi gila kanak-kanak kita? Dan kau.. bukan hanya itu kau juga muncul sebagai seorang pangeran yang benar-benar merebut hatiku, menyita seluruh perhatianku, dan merenggut mahkota indah yang kuletakan dihatiku, mahkota untuk cinta pertamaku. Karena kaulah orangnya, dear..

Yang kedua, seseorang yang baru saja kukenal saat aku mulai mencintai dunia sastra. Sastra adalah jembatan penghubung yang akhirnya kutemukan setelah sekian lama aku tak lagi dapat menemukan jalan yang dulu kugunakan untuk mencapai alam khayalku. Ironisnya saat aku menemukan jembatan itu berarti juga jika aku telah menemukan jalan untuk kembali pada masa laluku. Saat dimana pangeran masa kecilku membangunkan untukku sebuah istana balok disana. Kini istana itu usang dan mulai tergantikan oleh latar baru. Ketika aku tak lagi mekirkan bangunan tua itu, aku mulai mengatur setting untuk fantasi seriusku, novel pertamaku. Saat itu, aku hanya hendak menulis kisah tentang seseorang yang berusaha keras mencapai mimpinya, mengingat saat itu aku benar-benar terobsesi pada impianku untuk menjadi seorang fashion designer yang berkesempatan kuliah dari beasiswa di Paris. Entah apa yang merasukiku hingga aku menyematkan beberapa unsur fluff disana. Kisah cinta yang aku tak tahu samasekali tentangnya tiba-tiba mengalir begitu saja dari ujung pena yang kugerakkan tanpa sadar. Dan dari sanalah kau muncul, Naoya-ku..

Tentu bukanlah seorang Yuanita Wahyu Pratiwi yang menjadi lawan main dari sang Inozouka Naoya dalam Novel amatir itu. Aku memang membuat representasi dari diriku dengan kadar kekeras kepalaan dan sifat-sifat pendukung lain yang kurang lebih seukuran denganku. Ciri fisik juga kebiasaanya adalah representasi dari seleraku. Yah, kurang lebih ia adalah diriku dalam bentuk lain-literatur-. Meckino Sara. Itulah nama sang putri yang menjadi representasi dari diriku dalam novel itu. Sang putri yang kuutus untuk mewakili diriku dan pada akhirnya menjalani kisah demi kisah indah bersama Naoya.

Kau tahu? Kau tahu mengapa aku begitu menggebu-gebu saat menulis novelku? Bukan karena tenggat waktu dari penerbit, bukan karena tuntutan fans, bukan karena ultimatum kritikus, bukan karena tekanan editor, dan bukan pula karena apapun kecuali karena hasratku sendiri. Sampai saat ini, tak sedikit orang yang telah membaca novelku dan berkata jika menyukainya. Terutama jalan cerita dan sosok dari Naoya. Itu yang menjadi daya tarik utamanya. Tapi mereka bukan satu-satunya motivasiku, toh jumlah mereka masih terlalu sedikit untuk mengantar novelku meraih predikat terkenal. Motivasiku adalah diriku sendiri. Mengapa aku terus menulisnya adalah karena aku suka menuangkan khayalanku dalam sebuah cerita sehingga dapat mematenkannya dalam wujud nyata dan karena aku tak pernah kehabisan ide cerita, karena sebagian kejadian berkesan yang terjadi dalam hidupku kutuangkan kedalamnya. Tapi tak semuanya juga merupakan kejadian yang benar-benar terjadi dalam hidupku, kau tahu kudapat dari mana yang sebagian lagi? Tentu saja mereka adalah hal yang kuimpi-impikan akan terjadi dalam hidupku. Tapi dibalik itu semua, aku mencintai Naoya lebih dari sesosok tokoh pangeran dalam Novelku. Sebagaimana Meck yang merupakan representasi dari diriku, Naoya adalah cerminan sosok laki-laki yang aku inginkan untuk kelak mendampingiku seumur hidupku. Jadi itulah jawabannya mengapa aku begitu menggebu-gebu ketika menulis novel ini. Ialah karena perasaan dan pengalaman Meck memang merasuk jauh kedalam sukmaku. Hingga dapat aku rasakan bahwa kami adalah satu kesatuan serta Meck ada dalam diriku dan bernafas dari tetes demi tetes tinta yang ditorehkan penaku. Jadi apa yang Meck lakukan, juga aku lakukan. Bagaimana bahagia atau sedih perasaannya juga aku rasakan, dan seberapa besar cintanya pada Naoya jugalah sewujud nyata dari takaran untuk seberapa besar cintaku pada Naoya.

Lalu siapakah yang sebenarnya kucintai? Ia yang datang dari masa laluku atau ia yang datang dari bumi imajinerku. Jika diurut secara kronologispun mereka sama-sama mulai mewarnai hidupku sejak dua tahun lalu dan kufikir selisih waktu antar keduanya pun tak jauh berbeda. Sebagaimana hubunganku dengannya yang hanyalah sebatas sesama teman, tetangga, dan adik-kakak kelas biasa saat aku masih duduk di kelas satu, saat itupun aku hanya menokohkan seorang Naoya sebagai tokoh yang tak terlalu banyak muncul, tak terlalu terkenal, dan tak memiliki karakter yang benar-benar spesifik. Di novel versi pertama pun Meck digambarkan sebagai orang yang jauh lebih keras dibanding dalam versi ketiganya yang sedang kurilis ini. Saat itu, kuceritakan bahwa Meck adalah seorang gadis brutal yang hanya menganggap laki-laki sebagai penghalang perempuan untuk maju. Ia berurusan serius dengan laki-laki tak lebih dari soal persamaan hak antar gender, dan mengenai pacar, atau setidaknya tipe lawan jenis idamannya ia samasekali tak tertarik. Namun entah mengapa dalam versi kedua Novelku, Meck diceritakan sebagai seorang gadis yang keras diluar namun rapuh didalam. Ia pecinta kebrutalan, juga atitude sarat aturan yang menjunjung tinggi kesopanan khas bangsawan barat. Ia suka menonton gulat juga pertunjukan balet Tachiakovski, ia senang musik rock, dan klasik. Dan itu semua mulai menunjukan adanya kebimbangan dalam dirinya, diri seorang Meck yang mulai kehilangan insting liarnya dan secara tak langsung mulai menyisakan ruang bagi intuisi femine-nya berkembang.

Namun karena munculnya kedua karakter kuat tersebut dalam diri seorang Meck-juga aku-, aku jadi lebih mengerti tentang Meck, sekaligus tentang diriku sendiri. Juga mengenai pengertian bahwa apa yang dimaksud karakter bukanlah sekedar serangkaian sifat dasar yang membentuk seseorang yang serta merta harus setipe. Justru gabungan dari dua sifat dasar itulah yang menghasilkan karakter Meck atau juga karakterku. Kuakui ada sebagian karakterku yang berubah dibanding ketika aku belum menulis novel ini. Tapi aku juga tak menganggapnya secara penuh merupakan sebuah perubahan, ini lebih seperti kembali ke masa lalu. Aku yang semasa kecil bergantung sepenuhnya pada imajinasiku.

Semenjak aku tak lagi menemukan sinyal keberadaan dari sang monster-kesepian- aku mulai menjauh dari dunia imajinerku. Mungkin ia marah karena perlahan aku mulai melupakannya saat aku telah memiliki teman-teman yang bisa mengusir kesepianku, sehingga ia memutus aksesku padanya. Selepasnya dari alam imajinerku aku tumbuh menjadi anak yang kurang lebih ceria dan cukup disenangi. Pergaulanku dengan teman-temanku juga membawaku perlahan menyerap karakter keras dan jauh dari feminitas. Anak seusiaku yang mulai menyukai roman-roman picisan bagiku memalukan. Kuakui itu kesalahanku penuh. Aku dulu memang menganggap semua urusan cinta adalah picisan, tapi harap maklum karena saat itu aku hanyalah seorang anak yang belum memasuki usia remaja dan labil. Lagipula drama percintaan dalam negeri yang kulihat di TV tak cukup memberiku penggambaran jelas mengenai keagungan makna cinta sesungguhnya.

Begitu memasuki usia remaja, aku mulai masuk kedalam pergaulan yang mau tak mau menuntutku mengalami pendewasaan terhadap karakterku sedikit demi sedikit. Untuk urusan cinta, yaa.. aku mulai mengerti, tapi aku tetap tak menganggapnya sebagai sesuatu yang pantas difikirkan. Jika membicarakan mengenai kedekatan pergaulanku dengan lawan jenis, of course I must say that yes, I have a very intimate connection with them. 2/3 anggota gank-ku waktu SD bahkan adalah laki-laki dan beberapa diantaranya bahkan masih memelihara hubungan yang sangat baik denganku hingga saat ini. Di rumah pun teman sebayaku laki-laki. Dan yah, jujur.. bagiku lebih menyenangkan bermain dengan mereka dibanding dengan anak perempuan yang terkadang terlalu sensitif-karena aku termasuk yang kurang peka untuk ukuran anak perempuan-. Tapi seiring dengan semakin bertambahnya usiaku, rasanya seperti ada jarak yang semakin merenggang antara aku dan anak laki-laki. Entah hanya perasaanku saja atau memang begitu, tapi aku serius merasakannya. Temanku pun kebanyakan perempuan, dan saat itu aku lebih memilih menyukai figur anime dibanding manusia aslinya jika membicarakan anak laki-laki. Namun saat aku mulai naik ke kelas dua, mulai muncul ketertarikan itu, meski tak terlalu terkadang aku mengakui bahwa beberapa dari anak-anak adam itu mencuri decak kagumku.
Saat teman-temanku bercerita soal pengalaman cinta amatir mereka aku tak bisa ikut bercerita. Diantara mereka mungkin menganggap jika aku terlalu tertutup untuk mau bercerita, tapi sungguh aku tak punya cerita samasekali tentang itu. Aku memang tak pernah merasa memiliki hubungan khusus dengan mereka, tapi jika merasa dekat dengan beberapa orang saja, aku pernah, tapi apa itu yang mereka maksud? Sedangkan dari yang kutahu lewat film dan komik mereka yang sedang jatuh cinta merasakan itu, debar jantung, sesak nafas, gugup, keringat dingin, atau apalah lagi. Tapi sejujur-jujurnya aku memang begitu asing dengan perasaan-perasaan itu. Barang sekalipun aku belum pernah merasakannya jika kalian ingin tahu.

Saat itu bahkan teman-temanku-tetapi mereka yang hampir tak pernah bergabung denganku- bahkan terlampau dewasa dalam urusan seperti ini. Tak hanya bernaung pada sebuah status, menghabiskan waktu istirahat dengan obrolan hangat berdua, dan berpegangan tangan sepanjang jalan pulang, tapi juga berakrab-akrab ria dengan kadar keintiman tinggi. Saat itu, aku tak ambil pusing tapi setelah menemukan mereka-mereka yang tak tahu malunya mengklaim sudut-sudut tertentu bangunan sekolah sebagai dunia berdua itu mengganggu aksesku. Aku yakin tak hanya aku yang terganggu, yang lain pun pasti sama. Lalu apa yang mereka pikirkan sebenarnya, ha? Tidakkah penanaman moral di jenjang pendidikan dasar itu melekat pada seluk sanubari mereka, ataukah yang mereka sebut cinta itu telah menimbunnya dengan sejuta kesemuannya? Mau tak mau masalah ini semakin membuatku beranggapan bahwa apa yang dimaksud cinta itu bukan urusan orang sepertiku. Anggapan yang pada akhirnya kutelan mentah-mentah.

Sejak awal tahun ajaran kelas satu sebenarnya aku sudah lumayan mengakrab dengannya dibanding saat masih SD. Ya, tentu.. SD kami berbeda dan selama enam tahun itu kami merenggang, tapi belakangan aku mulai menyadari satu lagi fakta tentang kami, ruang dan waktu tak akan menghalangi setinggi fase pendewasaan. Ketika aku dan anak adam itu-dimana perbedaan usia kami hanya enam bulan-sama-sama memasuki fase kehidupan baru, sesuatu yang entah apa perlahan membuat kekakraban kami memudar. Bahkan kini, untuk sekedar bertegur sapa dijalan pun aku tak mampu mengatakan apapun. Mungkin ini jugalah akibat dari sifat dasar kami berdua yang tak jauh berbeda-cenderung pendiam-. Tapi tolong dengarkan aku, aku punya argumen atas ini semua. Alasan mengapa aku tak pernah menyapanya hanyalah karena aku merasakan perasaan ini, debar ini, kesesakan ini, kalian fikir ini tidak menggangguku? Tapi jika begini, lalu apa yang terjadi padanya?? Seingatku saat kami dulu masih berteman akrab dia tak sependiam ini. Bahkan tak jarang dulu ialah yang duluan memulai pembicaraan. Lalu apa alasanmu, dear?? Apa? Seandainya kau tahu, maukah kau mengucapkan sepatah dua patah kata untuk menyapaku esok pagi? Kau fikir aku sombong? Atau malas menegurmu, ha? Tidak, sungguh! Aku tahu adalah sebuah alasan bodoh jika aku malas. Karena aku tahu betul hanya dengan mengucapkan sedikit kata-kata saja kau pasti akan membalasnya dengan senyuman kakumu yang manis itu. Dan kau tahu? Senyuman itu adalah sebuah seduktif untukku. Beberapa hari setelah itupun aku tak akan berhenti memikirkanmu, senyumanmu, dan betapa tinggi kau melambungkanku ketika itu. Kau fikir aku tak menginginkan itu?

Dear, senyumanmu itu mengingatkanku akan sebuah semangat yang berpijar kecil di hatiku. Semangat yang terkadang hampir padam tergerus pesimisasi. Terkadang akupun berfikir jika Naoya sepenuhnya hanya ada dalam alam imajinerku saja. Dan tak akan ada Naoya lagi dimuka bumi ini. Oleh karena itu, mengharapkan pangeran khayalanku itu datang ke kehidupanku tak lebih dari sekedar sebuah impian kosong belaka. Tapi senyumanmu itu seolah mengatakan padaku bahwa yang membuat seorang Naoya begitu istimewa dimataku adalah karena seberapa besar aku mencintainya. Tak sedikit lelaki yang bisa membuaiku dengan permainan biola atau pianonya, taman penuh belukar mawarnya, atau masakan super lezatnya, dan kaupun bisa saja menjadi seperti itu jika waktu memang merestuinya dan takdir memang telah menggoresnya. Seberapa aku mencintaimulah yang akan semakin memperjelas figur Naoya dalam dirimu. Dan foila! Suatu saat aku akan benar-benar menemukan Naoyaku, dalam dirimu.. dan celakanya memang semakin hari aku melihat sosok Naoya itu semakin jelas di dalam dirimu, my neighbour!

Ini yang paling nyata dan spesifik. Megane. Atau kau tahu glasses dalam bahasa Inggris dan kacamata dalam bahasa Indonesia. Dulu, ketika aku masih duduk di SD, aku punya kesan yang cukup mengerikan tentang kacamata. Waktu itu, sebagaimana kau tahu dear, aku sering ikut lomba-lomba ke luar daerah-entah menang atau tidak-. Dan aku sering menemui mereka siswa-siswi sekolah swasta yang berkacamata. Mereka membawa ensiklopedi-ensiklopedi tebal yang megkilap dan berwarna, dan wajah serius mereka seakan menajamkan aura intelektual yang mereka pancarkan. Ditambah lagi tubuh mereka tumbuh bugar, tinggi-tinggi, dan sehat tak kekurangan gizi, jika semua fakta itu dipadukan dengan gedung sekolah super duper mewah dan begitu banyak mobil pribadi yang tak kalah mewah parkir di basementnya, mereka sungguh sempurna-dan mengerikan. Jika saat apel pagi sebelum lomba kau melihat segerombolan anak macam itu yang berseragam paling berbeda dibanding yang lain, datang dengan mobil mewah dan didampingi guru-guru cantik berbalut blazer yang tampak seperti sekertaris kantoran-bukan mengenakan seragam kuning-kuning ala pegawai negeri-, berarti hanya ada kata tamat untuk kami. Jika tidak meraih nama samasekali, setidaknya paling tinggi persis satu angka dibawah mereka.

Bagaimana tidak? Kami murid sekolah negeri yang hanya memungut iuran spp tujuh ribu rupiah perbulannya hanya menerima ilmu sesuai dengan yang dimiliki guru-guru yang mampu digaji dengan uang sejumlah itu. Tentu berbeda dengan mereka yang membuang budget ratusan ribu ke tata usaha gedung mewah itu. Mereka yang gizinya dijamin, mereka yang naik turun mobil mewah, mereka yang belajar dengan komputer, mereka yang ditempatkan di ruangan ber-AC, mereka yang serba tinggal pilih dan kebetulan lagi diberkati otak-otak encer, bagaimana mahluk-mahluk penghuni kasta diatas kami itu tak meniup lenyap segala asa kami yang telah kami susun berminggu-minggu? Rasanya distance antara kelompok kami dan mereka terlalu jauh. Waktu makan siang saja mereka dapat paket delivery restoran terkenal, sedang  kami hanya sebongkah nasi bungkus berlauk sepotong kecil ayam dingin, sambal manis, dan daun singkong. Sebagai satu-satunya hiburan sekaligus upaya membesarkan jiwa sendiri, anggap saja mereka itu datang dari alam yang berbeda.

Kacamata, kacamata, kacamata.. Ah, begitu mengerikannya kata itu. Apalagi kesan yang ditimbulkan oleh mereka mereka itu masih membekas jelas sampai aku harus mengucap kata cerai dengan bangku bolongku di kelas enam. Di sekolah baruku yang cukup elit itu aku ternyata harus menghadapi kenyataan jika nasib baik diterima di sekolah itu tanpa test yang kukira hal yang membahagiakan sebelumnya berubah menjadi mengerikan ketika nasib baik itu mengharuskanku berbaur dengan mahluk-mahluk beruntung-dan berkacamata- yang telah kujelaskan diatas tadi. Di kelas sementara nasib tiba-tiba menjodohkanku untuk sekelas-dan sebangku- dengan rival abadiku di SD. Selain ia yang cukup cerdas di bangku-bangku baru di kelas itu yang masih wangi cat juga terduduk mereka para jenius beruntung yang dulu kerap kutemui di berbagai ajang lomba. Diantara mereka bahkan ada yang telah berkarir baik dan melanglang buana hingga ke tingkat provinsi dalam berbagai ajang kompetisi akademik. Pahit rasanya mengingat prestasi tertinggiku saat itu adalah juara tiga tingkat kecamatan lomba murid teladan. Dalam hatiku, tamat sudah karir empat tahunku sebagai pemegang tetap predikat ranking satu di kelas.

Kukira phobia-yang sebenarnya berlebihan- itu akan musnah seketika saat ada pembagian kelas lagi. Harus melalui satu tahapan test lagi untuk masuk ke kategori kelas yang sudah ditetapkan. Tes komputer, bahasa Inggris, dan akademik untuk mereka yang ingin masuk ke kelas bilingual-ah, inisih tempat mahluk-mahluk itu-, sedangkan untuk memasuki kelas kategori menengah atau kami sebut unggulan kita hanya perlu mengikuti tes akademik saja. Awalnya aku ingin masuk kasta paling bawah saja dalam sistem sekolah ini, karena kedua kasta itu pasti mereka juga yang mengisi, tapi kufikir tak ada salahnya juga coba-coba. Lumayan juga kan kalau aku bisa masuk ke kelas kategori dua itu? Lagipula kelas kategori satu itu pasti biayanya mencengangkan dan lagi saat itu, tahu apa aku soal komputer? Mengetik saja speed-ku bak keong lomba lari di gurun. Akhirnya berbekal restu dari orang tuaku dan ilmu seadanya hasil membolak-balik buku paket kelas enam, aku melancarkan praktek coba-cobaku itu. Saat itu traumaku terhadap jalan raya akibat kecelakaan yang kualami saat kelas lima SD masih ada, jadi karena aku takut menyebrang jalan sendiri, orang tua kita mengutus kita untuk berangkat bersama. Aahh~ lucu sekali-sekaligus memalukan-jika difikir sekarang traumaku saat itu. Kau dulu kuanggap benar-benar seorang senior, dear. Kau seorang senior berseragam putih biru yang keren~ haha.. apalagi posturmu yang sungguh masih sangat manis saat itu. Aku bahkan sedikit lebih tinggi darimu kan? Akuilah itu! Yaa~ seandainya berat badanku tak sedikit berlebih-sehingga aku terlihat agak bulat-, aku pasti akan terlihat benar-benar lebih tinggi darimu senpai-ku.. sepanjang jalan ke sekolah kita membicarakan banyak hal tentang sekolah, kan? Kau ingat itu, kan? Kau menceritakanku banyak hal tentang sekolah itu. Yah, meski itu bukanlah kesempatan tunggal kita berangkat sekolah bersama, itu adalah satu-satunya acara berangkat sekolah resmi kita. Yang lain pasti karena kebetulan atau aku sengaja mengatur waktuku agar kita berpapasan hheheheh..*ampuni akuu~*

Saat itu aku memang bisa dibilang agak takut dan memiliki kesan yang tak terlalu baik tentang orang berkacamata, tapi setelah aku cukup berbaur dengan mereka, kesanku berubah. Saat aku di kelas 7.6 dulu-dan kau di 8.4-#siapa pula yang bertanya??!#, aku menempati barisan ke tiga jika diurut dari mulut pintu dan di barisan pertama dari pintu terduduklah mereka para mahluk berkacamata yang menurutku homogen. Mereka nampak begitu intelek dan mengerikan, terlebih lagi saat ulangan fisika pertama semester itu mereka adalah para pemegang nilai tertingginya. Aa~ seraaamm.. Bahkan aku sempat berfikir jika aku dan mereka tak akan pernah berteman atau setidaknya memiliki koneksi yang lebih intim dari sekedar teman sekelas. Lalu semuanya mulai berubah setelah memasuki bulan kedua. Ketika hari kemerdekaan, hari jadi kabupaten, dan hari pramuka menyongsong, serentetan acara lomba dan apresiasi senipun diadakan. Saat ada penawaran lomba puisi berantai kudengar salah satu dari komplotan kacamata itu akan ikut. Namanya Rere. Seorang anak yang cukup menonjol dan dari penilaianku ia layak untuk disebut sebagai salah satu maestro ilmu eksaka di kelas kami. Lalu ketika istirahat berlangsung, aku yang tertarik-karena kufikir mungkin yang akan dibaca adalah puisi karangan Chairil Anwar atau mungkin potongan-potongan quotes Bung Karno- dengan setengah enggan dan takut tak bisa menempatkan diri dengan baik, aku menghampirinya. Namun saat kami bersama-ditambah satu orang lagi dari komplotan kacamata itu juga yang diketahui namanya Nadiah- membaca naskah puisi itu, kami malah sama-sama terbahak-bahak karena puisi yang semrawut dan sangat-sangat memiliki semangat penggugah humor itu. Dari situlah kami mulai dekat dan kesanku terhadap orang berkacamata mulai berubah. Bahkan sampai kini kami bersahabat dekat dan saat ini lima dari sembilan orang anggota Tjoeploek-perserikatan ilegal kami- berkacamata. Sejak saat itu juga kufikir mereka yang intelektual itu kerenn~ jadilah sampai saat ini aku malah mengagumi orang-orang berkacamata.*gubrak*

Soal Naoya, aku tak bisa mencoret list kacamata dari daftar unsur penyusunnya. Naoya adalah tentang seorang laki-laki berkacamata yang diketahui jenius, memiliki bakat romantis, dan yah.. tapi dari sudut pandang orang yang hanya mengetahuinya tanpa mengenalnya, ia itu sangat-sangat kaku dan agak anti sosial karena masalalunya. Sejak usia lima tahun sampai kurang lebih usia sepuluh tahun adalah saat yang dibutuhkannya untuk  menyelesaikan program pendidikan dasar yang mestinya berjalan selama delapan sampai sembilan tahun. Tak perlu terperangah.. bukankah tadi sudah kusebut soal kejeniusannya? Kini akan kuberi tahu lagi, belakangan diketahui IQ yang dikantonginya sejak  lahir adalah 189. Soal lima tahun itu, ia memang bukan berselancar di dunia pendidikan formal. Karena saat itu bisnis keluarga mereka sedang tumbuh pesat, mereka harus pindah-pindah dari satu negara ke negara lain untuk mengurusi berbagai hal yang berkaitan dengan masalah pembukaan beberapa cabang baru. Ya, biar kuceritakan sedikit soal keluarga hebatnya. Ia anak bungsu dari pasangan pengusaha hotel yang sukses dengan hanya memiliki satu orang kakak yang juga laki-laki. Kisah cinta ayah dan ibunya juga membuatku kagum sebagai Meck-meski sebenarnya aku juga yang mengarangnya- dan jika begitu aku selalu bilang, ah waktu itu aku dapat ide darimana, ya?

Ibunya, Shikana Meiko adalah seorang mahasiswi jurusan manajemen bisnis pariwisata saat itu. Ia jugalah puteri kedua dari seorang pemilik penginapan onsen yang lumayan besar di Kyoto. Saat ia kuliah di Universitas Tokyo, ia bertemu dengan orang yang tanpa ia tahu saat itu akan jadi orang yang ia cintai seumur hidupnya. Kazeshi Giammo Inozouka. Pria ambisius yang meneruskan bakat ayahnya untuk menjadi seorang musisi. Ayahnya yang seorang pemain orkestra elit di Italia begitu menginspirasinya. Dan tanpa ia tahu dulu, saat ia terkagum-kagum melihat rekaman konser ayahnya yang berdiri sebagai pemain Violin senior di kelompok orkestra tersebut, ia akan mengagumi dirinya. Nama Giammo-nya sendiri ia dapat dari ayahnya yang begitu terobsesi dengan Italia kala dirinya lahir. Di luar itu, ia samasekali tak punya hubungan apapun dengan ranah Mussolini tersebut. Akhirnya dengan tekad yang begitu kuat untuk mewujudkan ambisinya sejak kecil, ia mendaftar, ikut ujian, dan akhirnya bisa diterima di jurusan musik klasik Universitas Tokyo. Sejak saat itu, si pria periang, penuh ambisi, romantis, dan bahkan lebih jenius dari si wanita -yang terlihat jauh lebih terpercaya untuk menjadi orang jenius-, semakin dekat dan dekat dengan seorang  wanita cerdas yang tegar tapi tak pernah tahu apa itu bahagia dan mimpi. Si pria yang berkobar-kobar itupun mengajari semua hal menyenangkan yang tidak pernah diketahui si wanita sebelumnya. Aah.. tapi yang sangat disayangkan dari kisah mereka adalah kekeras kepalaan ayah si wanita yang tidak merestui mereka dan menganggap bahwa pemusik adalah profesi yang tak akan pernah ia masukkan kedalam list pekerjaan siapapun yang akan menjadi menantunya. Pemusik  atau seniman lain ia anggap sebagai para manusia yang angin-anginan, lari dari kenyataan dan menghabiskan hidup mereka dalam khayalan. Tapi semakin keras kepala si pak tua itu bertahan pada pemikiran kolotnya, semakin keras kepala juga si pemuda meyakinkannya. Meyakinkan bahwa dirinya cukup pantas untuk sang puteri.

Setelah proses awal yang cukup kolot yang berlangsung sampai mereka lulus itu, si pemuda ternyata belum juga mampu mengikis hati sang ayah dari wanita yang sangat dicintainya itu. Begitu lulus, Meiko kembali ke Kyoto untuk mulai menerapkan ilmu yang dipelajarinya di Universitas pada sistem management penginapan yang sudah ada sejak zaman perang dunia satu itu. Karena sistemnya tentu masih menggunakan sistem lama. Sementara Kazeshi mulai meniti karirnya untuk menjadi seorang komposer. Ia menjadi bagian dari sebuah orkestra kota. Pemain junior Violin.

Meski sejak saat itu mereka jarang bertemu, mereka sudah berkomitmen untuk tak melepas apapun tentang status dan hubungan mereka. Dan kutipan pembicaraan mereka yang seringkali Naoya ceritakan yang membuatku mengagumi kisah ini. Ketika Meiko akan pulang ke Kyoto, sebenarnya Meiko mulai berfikir realistis mengenai seberapa sulit melunakkan hati ayahnya, beginilah kira-kira Naoya menceritakan love story favoritnya setelah kisahnya sendiri itu.

“Jangan khawatir. Dan meski kau khawatir, jangan pernah kau kalahkan apa yang kau inginkan. Bertahanlah, dan kau akan tahu apa yang sebenarnya akan terjadi.”
“Tapii..”
“Ah, my dear.. kau seperti tak tahu aku saja. Aku berjanji kita pasti bisa bertahan dari semua ini. Soal ayahmu itu hanya soal perbedaan pemikiran saja. Aku hanya butuh beberapa waktu untuk meyakinkannya lagi. Setelah itu tak akan ada lagi yang harus dipermasalahkan. Iya kan?”
“Kau sungguh menginginkan seperti itu?”
“Hanya jika kau menyetujuinya. Tapi aku tak memaksamu jika kau memang tak lagi sanggup hidup penuh resiko bersamaku.”
“Tentu saja.”
“Thanks. Lihatlah, karirku akan semakin baik dan ayahmu tak akan bisa menyangkal lagi soal kita. Nanti saat aku sudah berhasil menggubah setidaknya satu lagu, kita menikah, ya?”
“Terserah padamu saja.”

Aah, mereka itulah yang menciptakan rumus bagaimana Naoya bisa ada di dunia ini. Romantisnya kisah kami tentu tak akan lepas dari kisah romantis mereka juga. Mungkin itu semacam misteri genetika. Tidak, lupakan.. Tahu apa aku soal genetika? Selain Hukum Mendel, persilangan monohibrida dan dihibrida aku memang tak tahu apa-apa lagi soal genetika. Cukup soal genetika dan mari kita kembali pada love story Kaa-san dan Tou-sannya Naoya.

Semenjak lulus lalu berpisah, setiap minggunya atau setidaknya duakali sebulan si gigih Kazeshi tak pernah absen berkunjung ke onsen itu. Dan ia terus berusaha menyusup dan menemui Meiko dengan berbagai cara. Mulai dari berlagak jadi tamu, supir taksi, kurir, apapun itu. Lama kelamaan kegigihan atau harus kusebut kekeras kepalaan itu berbuah hasil. Ayah Meiko akhirnya sedikit melunak sikapnya terhadap hubungan mereka. Mungkin sebenarnya menyerah namanya. Akhirnya Ayah Meiko mau merestui mereka dengan sebuah syarat berat bagi keduanya terutama bagi Kazeshi dan mimpinya. Mereka boleh menikah dengan syarat Kazeshi harus mengelola penginapan onsen itu  setelah mereka menikah. Dan yang jadi pertanyaan tentu bagaimana tentang karir yang diimpikan Kazeshi? Tapi diluar dugaan, dengan mantap Kazeshi menyanggupi syarat itu. ‘Ini adalah kesempatan yang sudah kita impikan sejak lama kan? Syarat itu bukan apa-apa dibanding soal kita. Aku akan buktikan jika aku mencintaimu, Mei..’  katanya kala itu.

Tak lama setelah itu ayah Meiko meninggal dunia. Tentu ini sebuah kesempatan bagi Kazeshi untuk kembali masuk ke dunianya yang telah ia tinggalkan cukup lama. Toh, Meiko dan Ibunya pun tak keberatan. Tapi ia tak mengambil langkah itu. Ia bersikeras karena sudah berkomitmen pada janjinya pada mendiang ayah Meiko. Saat itu, adalah saat ia benar-benar mengucapkan selamat tinggal pada impiannya. Kurang dari setahun setelah peristiwa itu mereka menikah. Sebelumnya, Meiko yang tak ingin Kazeshi memaksakan diri pernah mencercanya begini, ‘Kau tak perlu begini, Kazeshi.. Jika kau ingin kembali ke orkestra, sepenuhnya keputusan ada di tanganmu. Kau jangan lupakan juga soal janjimu hanya karena keegoisan ayah. Mana lagu gubahanmu? Terakhir kali kau bahkan hanya seorang pemain junior violin..’  Dan akhirnya pertanyaan itu berhasil Kazeshi jawab saat di pernikahannya, ia mengundang teman-teman kuliahnya dan membentuk sebuah kelompok orkestra mini dengan rekan-rekannya itu juga, lalu mempersembahkan sebuah lagu yang ia gubah sendiri pada wanita yang malam itu resmi menjadi isterinya.

Malam mengharukan itupun berlalu. Dan setahun setelahnya keluarga baru pengelola onsen itu memiliki anggota baru. Ialah Kyoichiru Inozouka. Anak sulung keluarga itu sekaligus kakak tunggal Naoya. Mereka sekeluarga tinggal di Kyoto sampai dua tahun setelah itu lahir seorang pangeran lagi di keluarga mereka. Itu adalah tahun-tahun yang sulit karena mereka hanya bergantung pada onsen itu. Lagipula ayah Naoya masih belajar mengelolanya. Pangeran yang lahir di tahun sulit itu adalah seorang yang kelak akan jadi seorang pemuda tampan yang selalu memenuhi fikiranku. Naoya Inozouka.

Naoya adalah sosok literaturikal pria idamanku. Haha.. habis bagaimana lagi, karakter yang tercipta dan tumbuh secara tak disengaja itu memang benar-benar memiliki semua sifat, sikap, dan kepribadian seseorang yang tak pernah berhenti membuatku kagum dan terpesona setiap kali aku melihatnya sejak entah kapan hingga saat ini. Dulu aku tak mengenalnya sejauh ini, tapi entah mengapa sejak aku merasakan perasaan terhadap si pangeran masa laluku itu, aku juga semakin mencintai Naoya. Karakternya semakin jelas dan sosoknya dalam imajinasiku pun semakin benderang. Kini aku tahu jika ia seorang pria Asiatis berkulit putih susu, postur ramping dengan tinggi sedang, garis rahang tegas, senyum manis dan taring yang panjang. Rambutnya hitam pekat dan iris matanya cokelat tua. Dan lagi aku tak habis fikir mengapa dari semua ciri fisiknya itu mungkin lebih dari 80% yang mirip denganmu, hei neighbour!
Diluar ciri fisik yang entah mengapa semakin kesini semakin identik itu, tak jauh berbeda juga soal minat dan bakat kalian. Naoya, sejauh ini yang kutahu tertarik pada musik klasik, kedokteran dan ilmu kreasi boga. Sedangkan kau, tertarik pada dunia boga juga. Soal kedokteran atau yang lainnya aku tak pernah tahu. Terakhir aku tahu jika cita-citamu itu ingin menjadi seorang arsitek. Cukup bertolak belakanng, ya? Sudahlah..

Entahlah.. jangan buat aku berfikir lebih keras lagi. Tolong.. Kalian bukan guru atau mentor olimpiadeku kan dears?-meh?! Bercanda. Kapan aku pernah ikut olimpiade?- Diterimanya aku di kelas akselerasi tahun ini sudah cukup membuatku harus berfikir ekstra soal urusan sekolah. Tapi herannya, masih ada saja waktuku untuk kalian. Cinta, ah.. ajaib juga ya sepertinya ia itu. Dalam beberapa tahun saja ia telah mengubah hidupku. Meski nilaiku tak sampai merosot gara- gara itu, aku merasa waktuku cukup tersita. Andai saja salah satu dari kalian-atau keduanya yang disatukan saja ya?#bhuaghh#-hadir secara rill dalam hidupku. Bukan  hanya membayangiku, lalu membuaiku di awang-awang tanpa setitikpun menyentuh kenyataan. Selama ini aku tak pernah perduli apakah mungkin kau akan benar-benar bersamaku suatu saat, atau apa aku akan benar-benar menemukan Naoya nanti dan menghabiskan sisa hidup bahagiaku bersamanya. Mengapa, karena semakin aku memikirkannya, semangat hidupku akan semakin menguap, semakin memudar. Jika sudah begitu aku cenderung hanya akan memikirkan pahitnya saja. Meski saat aku hanya menghayal kesannya aku terlalu munafik, aku seperti pura-pura tak tahu, dan egois, itu lebih baik daripada harus patah arang karena kalian. Aku menyayangi kalian, bahkan mungkin lebih. Tapi maaf, inilah diriku. Aku tak akan menjadi siapapun. Aku tetaplah aku yang urakan, yang tak peduli penampilan, yang malas, yang jauh dari kesan feminim, yang ambisius dan penghayal dosis tinggi-tapi mungkin bisa sedikit dikurangi yang terakhir karen hampir setengah khayalanku adalah kalian-. Seberapapun aku mencintai kalian aku tetap diriku. Maaf jika aku tak bisa menjadi seperti apa yang kalian inginkan. Dan tak apa jika kalian pun tak ingin bahkan untuk sekedar tahu soal perasaan ini. Jika aku sebegini egoisnya terhadap kalian, kalian juga memiliki hak untuk itu secara penuh terhadapku.
Meski juga terkadang aku berfikir, andai kalian atau setidaknya salah satu dari kalian benar-benar ada secara nyata untukku, tanpa campur tangan khayalan lagi, banyak hal yang bisa kita lakukan. Meski aku sebegini tidak menyerupai gadis seusiaku pada umumnya, aku tetap bagian dari mereka. Aku juga ingin jika bisa bersama dengan pangeranku. Berbagi banyak waktu bersama, melakukan hal-hal seru, saling bertukar fikiran, saling membantu, dan saling melengkapi satu sama lain. Aku tak ingin hubungan yang hanya sebatas status saja. Aku juga tak ingin hubungan yang hanya dipenuhi intrik, atau malah ‘passion’. Aku tak ingin itu, aku hanya ingin ada bersama seseorang yang bisa dekat denganku, berbagi banyak hal denganku, membantuku dalam banyak hal, memperhatikanku, dan mendongkrak semangatku dalam banyak hal yang aku tekuni. Hubungan yang sehat, kan? Kalau soal passion, menurutku itu mengikuti dan menjadi intensitas juga seberapa tinggi kepercayaan kita terhadap satu sama lain, dan soal intrik, aku berjanji akan sebisa mungkin menjaganya. Jika dengan temanku pun aku hampir tak pernah memiliki masalah, apa tak berlaku juga jika pihak yang satunya diganti dengan dirimu?

Yah, sudahlah.. aku sudah cukup puas dengan menuangkan ini kedalam tulisan. Tapi, kira-kira bagaimana ya, jika kau membacanya? Bagaimana ekspresimu? Tersedakkah? Pingsankah? Terkena serangan jantungkah? Atau malah tersenyum lembut, lalu berkata “Seharusnya kau menulis ini dihatiku saja. Aku menyesal tak membacanya sejak dulu. Aku kira sejak dulu tak ada celah di otak encermu yang sibuk itu untuk memkirkan hal hal semacam ini, itulah mengapa aku pun mengurungkan niatku dan memilih untuk diam. Maaf aku terlambat, tapi jika kau memang masih memiliki sedikit perasaan itu dan mengizinkanku untuk membuatnya berbunga lagi, aku selalu menunggu..” Aah.. tidak mungkin!! HAHAAHAA.. yang ada kau malah ilfeel dan menghindar, dari mahluk berpola fikir menggelikan ini ya kan!?
Untuk kedua mahluk yang aku sendiri tak tahu apa yang sebenarnya terjadi diantara kita. Tulisan ini khusus kutujukan untuk kalian. Yah, banyak yang sudah mengetahui soal perasaan, dan egoku terhadap kalian ini sejak lama sebenarnya. Terutama kau yang merasa memiliki huruf  b dalam kata pertama di barisan namamu. Tapi mereka  yang tahu adalah mereka yang 99,99999% kupercaya. Mereka para malaikat yang selalu menyertaiku. Selain itu, para teman yang cukup akrab denganku, tapi tidak denganmu, dan mungkin bagi mereka bukan urusan mereka jika kau mengetahuinya jadi mereka memilih untuk diam, tentu juga Tuhan dan para Tangan Kanannya yang mulia. Meski aku seringkali disindir dan digoda oleh kawan-kawanku itu perihal ini, beruntung aku masih bisa bertahan dalam menjaga rahasia yang sangat sangat rahasia bagiku ini. Terlebih saat kita masih satu sekolah, dear.. Uhh.. andai kau tahu seberapa berat perjuanganku kau pasti menangis haru lebih dari ketika aku menonton Titanic kesayanganku yang puluhan kali diputar ulang di RCTI. Tapi sayangnya aku tak ingin kau tahu.

 Aku beruntung kita tak satu sekolah lagi. Meski aku tak bisa bohong jika merindukanmu yang kebetulan berpapasan di jalan dan kita mengenakan seragam yang sama, merindukanmu yang berlalu lalang di koridor sebagai petugas dari OSIS yang melakukan entah itu inspeksi apa-agaknya aku lupa#plakk- lalu kau melewatiku begitu saja. Entah itu karena kau percaya padaku aku tak akan bawa yang macam macam, karena kau tak ingin bertemu pandang denganku, atau gamblangnya, kau tak ingin berurusan denganku, ya? Aah.. yang jelas aku bersyukur karena tak harus berblushing ria ketika kita berpapasan, tak harus menahan debar keras yang menguasaiku begitu saja ketika kita tanpa sengaja bertemu,  tapi sekarang aku juga takut. Takut perasaanku ini mulai memudar perlahan. Dan karena ini yang pertama bagiku, aku takut aku menyukai orang lain lagi tapi tak seindah ketika aku merasakannya terhadapmu. Intinya, aku tetap tak ingin perasaan ini memudar begitu saja, dear. Terlebih setelah belum sempat barang sejumputpun kurealisasikan. Yah, itu hanya impianku. Aku memang pasif benar soal seperti ini. Aku bukan tipe gadis yang dengan begitu entengnya dapat menyatakan apa yang ia rasakan begitu saja pada pihak lawan jenisnya. Aku mungkin tipe yang lebih memilih untuk menunggu. Tapi rasanya mustahil. Aku tak tahu sampai kapan aku menyukaimu, aku juga tak pernah memunculkan atau setidaknya berusaha menampakkan apa yang aku rasakan terhadapmu. Yang kulakukan ternyata benar-benar hanya menunggu. Tapi tak menutup kemungkinan juga suatu saat aku menyatakannya padamu jika suatu saat Tuhan memang memberiku kesempatan untuk itu. Mungkin itu nanti, nanti.. sekali.. ya, karena biar bagaimanapun mustahil jika saat ini kulakukan. Kau tentu tahu bagaimana keluarga kita yang begitu dekat, dan aku tak bisa bayangkan jika mereka mengetahui putra bungsu mereka ada sesuatu dengan putri sulung keluarga tetangga mereka yang dikenal sama-sama sangat menutup diri soal itu. Selain itu aku juga tak tahu bagaimana interaksi sosialmu dengan kawanmu yang kebanyakan kaum hawa itu. Syukurlah jika kalian hanya sebatas teman atau sahabat saja, tapi jika ternyata lebih dari itupun apa urusanku? Haha.. samasekali tak ada, aku hanya bisa berharap suatu saat kau menoleh padaku dan menyadari apa yang aku rasakan terhadapmu selama ini  meski berusaha kututupi betul. Seberapapun mustahilnya, tak ada salahnya kan jika hanya berharap. Aku juga tak akan bermimpi terlalu tinggi, dan sekalipun aku melakukannya, aku tahu betul resikonya, dear..

Hei, tapi terkadang aku berfikir apa kau ternyata sudah menyadarinya, ya? Tak bisa dipungkiri bahwa aku inii orangnya benar-benar open dan ceroboh soal merahasiakan sesuatu, terutama yang kurasakan sendiri macam ini. Dari yang kutahu begitu sudah menyadari jika seseorang ternyata menyukaimu, kau akan terus memperhatikannya. Dan tak menutup kemungkinan, perlahan hadir juga perasaan yang memaksamu untuk yaahh.. mewujudkan apa yang selama ini selalu kutunggu-tunggu. Haha.. terlalu berharap rupanya diriku ini. Apanya yang menyadari jika saat kita berpapasan dan kau melihat  dengan sangat jelas dibalik kacamata frame hitammu-yang semakin membuatmu terlihat wah dimataku itu-aku membawa sebuah kantong plastik besar dan terlihat berat tapi kau malah berlalu begitu saja. Meski kau sempat menoleh beberapa kali seolah menampilkan pergolakan batin dalam dirimu akan menolongku atau tidak, atau setidaknya karena kau terlanjur tak menolongku jadi kau hanya ingin memastikan jika aku baik-baik saja. Tak sampai limbung karena keberatan lalu jatuh dan pingsan. Jika sudah terjadi begitu, apa kau akan menolongku, memanggil bantuan, dan merasa bersalah? Atau kau malah berlalu dan pura-pura tak kenal. Meh, jahat sekali.. apa iya kau setega itu? Akh, kenapa aku malah berfikir sebegini frustasi? Maklum lah, aku sedang dalam keadaan seperti ini tentu semua orang tahu jika pesimis itu jadi hal yang umum.

Jika kufikir-fikir, dear.. kita punya tak sedikit sifat yang hampir sama bahkan. Biar kusebutkan, kita sama-sama pasif, kita tak suka aktifitas outdoor, kita cenderung menyukai hal-hal tenang, memiliki beberapa hobi yang sama, dan jarang keluar rumah. Tapi tidak dengan K-pop dan IT. Aku tidak suka itu..! Kau pun tak se-otaku diriku dan mungkin tak hobi menulis seperti apa yang kugandrungi beberapa tahun terakhir. Intinya, menurutku meski kau dan aku terkadang sibuk dalam dunia yang berbeda, dan kau tentu dapat berfikir jauh lebih dewasa dari pada aku yang begitu childish ini, di beberapa sisi kita punya pola fikir yang hampir sama dan itu mungkin membuat kita tak bisa saling melengkapi. Tapi, meski kau tak juga berubah dan keadaan kita tetap seperti ini, dan kita tak mungkin bisa bersama seperti apa yang kuimpikan, tak apa. Aku hanya berharap jika seandainya itu terjadi, hal itu adalah yang terbaik untuk pihak manapun. T^T

Untuk Naoya, ah.. aku tak bisa berhenti menjadi Meck jika sudah memikirkanmu. Rasanya seperti apa ya, jika kau benar-benar hadir dalam hidupku, dear? Ah, cepat beritahu aku!  Yah, meski kau tak lebih dari sekedar sosok imaginer seperti tokoh lain dalam novelku, apa yang aku rasakan terhadapmu lebih jauh dari  itu. Adalah sebuah kebahagiaan yang tak ternilai jika suatu saat kau dapat hadir secara nyata dihadapanku. Bisa dilihat oleh semua orang dan bukan hanya aku. Mungkin tak akan ada jika seorang pemuda bernama Naoya Inozouka, putera pasangan pengusaha hotel terkenal yang tampan dan genius, yang tinggal di Sezuo, 285/64 Tokyo yang benar-benar berdiri dihadapanku. Aku tak perduli siapapun dirimu asal kau benar-benar bisa terealisasikan.

Selama aku merasakan perasaan ini terhadapnya, perlahan aku mulai berfikir bahwa sebagian dari dirimu ada padanya. Entah ini kebetulan semata atau apa. Tapi belakangan aku tak ingin terlalu cepat menyimpulkan. Rasanya hanya akan kecewa bukan jika ternyata setelah kuanggap betul jika dia adalah kau tapi dia malah mengecewakanku. Naoya, kau adalah impianku yang jauh lebih tinggi dari pada dirinya dan kau adalah proposal doa ku yang tak lelah kukirimkan ke Tuhan berharap Ia yang begitu pemurah itu mengabulkannya suatu saat. Kadang pun tak jarang aku berfikir bahwa kau hanyalah omong kosong saja, tapi ada semangat yang menjadi bahan bakar utama impianku tentangmu yang membuatnya tak henti berkobar meski kadang meredup jua. Dimanapun kau berada detik ini, atau sekalipun kau belum ada detik ini, janji ya, suatu saat kau akan benar-benar ada dihadapanku. Membawakanku sebuah nampan berisi secangkir kopi dan Croissant hangat di pagi hari dan memberikanku senyuman manismu untuk menjadi hal yang paling indah yang kulihat pertamakali sekaligus sepanjang hari itu.




Apapun itu, semua hal yan terjadi di masa depanku, aku tak tahu. Semuanya masih berupa misteri tak tersentuh yang akan terbuka satu persatu pada waktunya. Apa yang aku tulis disini bukan perkiraan mengenai apa yang akan terjadi, melainkan tak lebih dari kumpulan impian dan doa. Aku juga akan berusaha sebisaku untuk mewujudkannya. Tapi bagi siapapun yang mengetahui soal ini, aku mohon dukungan terutama moril dari kalian. Sedang soal Tuhan yang pastinya tahu, aku percaya Kau menghargai usahaku dan akan menjawab segalanya disaat yang tepat..





In Hopeful,
September, 2011

-Yuanita WP-

1 comment:

  1. gyahahha panjang amat?!!
    bagi yang mau baca saya ucapkan banyak terimakasih, tapi sungguh saya tak bermaksud apa apa!#bhuaggghh
    kebebasan untuk berbicara itu dijamin negara kan??*apadah!*
    sekali lagi Merci atas kunjungannya kemari:)

    ReplyDelete