Trending Topics

.

.

Friday, September 09, 2011

Beginning Love Story of "Eiffel in My Dream" part#1

Meck-Naoya
A Beginning Love Story
At Café du Temps

Tokyo, Oktober 20th 2012
Cahaya keemasan matahari senja musim gugur menemaniku di sepanjang jalan menuju gedung La Salle, tempat akan diselenggarakannya rodshow gemar membaca oleh UNESCO. Menyambut hari buku sedunia beberapa hari lagi.
Dua hari yang lalu aku baru saja memberikan 4 buah undangan yang kudapat secara khusus dari pihak penyelenggara pada Yuta, dan Arion. Sementara itu Kimmy dan Reiichi akan datang selaku pihak press yang mewakili sekolah. Jadi tentu mereka telah memiliki undangan khusus. Sedangkan di tanganku masih tersisa dua buah undangan. Yang satu tentu saja untukku, tapi harus kukemanakan sebuah lagi? Buang? Ohh.. tidakk! Ini undangan eksklusif kelas atas, sayang sekali jika menyia-nyiakannya barang sebuah.
Butuh semalam suntuk bagiku hingga akhirnya kuputuskan untuk memberikannya pada partnerku. Partner yang selalu membuat kami canggung seperti orang yang baru berkenalan setiap aku berada bersamanya. Meski sudah sejak musim panas lalu, hubunganku dengannya masih belum sehangat hubunganku dengan Yuta atau Arion. Habis mau bagaimana lagi, dia terlalu pendiam dan tertutup. Setiap aku ingin memulai pembicaraan dengannya, perasaan bimbang menyergapku. Aku hanya tahu tak terlalu banyak tentangnya, aku takut topik yang kuusung nantinya tak ia sukai. Dan begitulah, saat-saat aku bersamanya hanya berisikan obrolan-obrolan seperlunya yang dingin dan tak pernah menghangat. Hingga akhirnya undangan itu sampai di tangan Inozouka Naoya.
Sekarang taksi yang kutumpangi sudah sampai di persimpangan jalan terakhir yang akan kita temui jika menuju ke gedung La Salle. Ketika mobil ini memasuki gerbang, kulihat area parkir yang  lumayan luas itu sudah hampir penuh. Aku pun  memasuki ruangan tamu undangan. Agenda acara malam ini adalah menonton pertunjukan drama yang mementaskan naskahku yang dimuat dalam buku keduaku. Buku keduaku itu memuat 5 naskah drama yang selah satunya pernah dipentaskan di acara ulang tahun sekolah bulan lalu. Yang kedua adalah acara bedah buku, dan ditutup dengan acara konvrensi press.
Acara demi acara yang tadi berlangsung pun akhirnya telah berlalu sepenuhnya dan mereka sungguh meninggalkan kesan yang tak sepele bagiku. Coba fikirkan, dulu tak secuilpun anganku pernah menyentuh impian turut berpartisipasi dalam acara roadshow tingkat dunia semacam ini. Apalagi malam ini aku menjadi tamu istimewa! Yeah Meck, look at yourself! How much lucky you’re..! Hati kecilku tak henti memuji diriku sendiri. Yaa.. Terkadang aku memang seperti ini.
Dari mulai pementasan drama sampai konvrensi press, secara keseluruhan semuanya cukup menyenangkan. Tapi saat konvrensi press tadi, salah seorang dari jurnalis-jurnalis yang kebanyakan berasal dari agensi-agensi koran dan jaringan TV kabel sekolah itu mengajukan sebuah pertanyaan yang membuatku agaknya jadi salah tingkah sendiri. Bukan soal wawancara eksklusif ini aku jadi salah tingkah, karena meski pihak press yang hadir tak sebanyak ini, sebelumnya aku pernah juga diwawancarai oleh wartawan majalah perihal kesuksesan novel pertamaku.
“Meckino-san, kau pernah berkata bahwa novel pertamamu mengisahkan kehidupanmu dan mimpimu yang kau realisasikan dalam sebuah tulisan. Novel itu kan juga  mengisahkan kisah  cinta antara tokoh utama dan malaikat penolongnya yang pernah ia temui di mimpinya. Apa kau juga memimpikan kisah cinta yang semacam itu?” kira-kira begitulah pertanyaan yang ia ajukan. Ahh, jadi seperti infoteinment saja. Aku kan bukan selebritis yang pantas digosipkan. Aku hanya anak SMU biasa yang telah menulis novel yang ketenarannya sekarang melebihi ketenaranku sendiri sebagai penulisnya.
Jikalau harus kujawab pertanyaan itu dengan jujur, memang tak dapat kupungkiri bahwa akupun memimpikan kisah cinta semacam itu. Tapi pada akhirnya aku hanya menjawab “Yah, semoga saja suatu saat Tuhan mengabulkan doaku yang kusampaikan lewat novel itu.” Tentunya disertai dengan cengiran ala diriku yang biasanya. Cengiran yang mereka bilang khas itu. Khas diriku. Karena cengiran itulah yang menjadi senjata andalanku setiap aku bersembunyi dari kenyataan. Cengiran itulah juga yang kujadikan cangkang abadiku, tempatku menyembunyikan sisi lain diriku yang sebenarnya di hadapan semua orang.
Jika aku tak begini, mungkin bisa saja aku menangis saat ini juga. Ya, begitulah adanya jika memang harus kuutarakan apa yang aku rasakan tanpa sedikitpun kebohongan. Cerita di dalam novel itu adalah cerita yang cikal bakalnya kuangkat dari mimpiku. Mimpiku hampir setahun silam yang bertindak seolah-olah menjadi petunjuk bagiku dalam menentukan arah mata angin dalam rotasi hidupku.Setahun yang lalu dimana dilema berat melandaku. Ikut Kimmy ke Jepang atau menanti takdir di Armor. Dan mimpi itu mendatangiku, mimpi yang menampilkan perjalananku menuju apa yang aku impikan. Eiffel, cita-citaku.
Perjalanan yang kulalui tidaklah mudah, semakin jauh semakin sulit. Hingga akhirnya aku terjatuh dan seseorang menolongku. Seseorang yang selama ini kusebut-sebut sebagai malaikat penolongku. Seseorang yang entah mengapa akhir-akhir ini semakin mirip dengannya yang selalu membuat dadaku sesak saat melihat kenyataan yang ternyata begitu kontras dengan apa yang aku impikan.
Genggaman tangan malaikatku itu masih kuingat betul hingga sekarang, dan semakin kuingat saat telah kurasakan genggamannya yang mirip, sama, bahkan persis. Ya, persis. Bukankah ini begitu ironis? Pada kenyataannya Naoya tak akan pernah jadi lebih dari sekedar partner bagiku. Karena mengharapkannya manjadi malaikat penolongku adalah sebuah kemustahilan. Ia adalah bintang yang terlalu tinggi untuk dapat kuraih. Terlalu sempurna untuk kumiliki. Adakah ini juga berarti segala mimpiku tak lebih dari sekedar impian kosong yang hanya ada dalam pendustaan terhadap ironisasi kehidupan yang kubuat sendiri?
Akhirnya seluruh rangkaian acara ini berakhir tepat pada pukul 7pm. Lima belas menit  kemudian hampir semua tamu undangan telah meninggalkan gedung dan hanya terdapat beberapa gelintir orang 5 menit setelahnya. Aku pun sependapat dengan mereka, bergegas keluar dan mencoba menyusuri jalan sepi yang berhujung di persimpangaan jalan yang tadi aku lewati saat hendak menuju kesini. Ironis, sepertinya kehidupanku hari ini benar-benar dipenuhi oleh ironisasi buah tanganku sendiri. Bayangkan, baru saja aku jadi tamu istimewa dalam acara dengan gengsi tingkat dunia tapi sekarang aku kembali harus menjadi rakyat jelata yang berjalan kaki menyusuri jalan sepi di pinggiran kota. Ini kulakukan karena aku tak punya kendaraan pribadi, jadi aku harus naik taksi. Tak mungkin bukan jika aku harus datang ke acara seperti ini dengan menaiki sepeda BMX-ku? Yah.. karena hanya itulah kendraan pribadi yang kupunya. Dan naasnya, tak ada taksi apalagi kendaraan umum seperti bus yang lewat di sepanjang jalan ini, mereka hanya lewat persimpangan jalan yang hendak kutuju itu dan itupun jarang. Yahh.. semoga saja aku berunutng nanti.
Mereka, meski tak memiliki wajah, kendaraan-kendaraan yang bersliweran seakan menampilkan mimik tak sedap dan menyerukan kalimat-kalimat ejekan yang menusuk-nusuk telingaku. Terlebih lagi angin dipenghujung musim gugur ini berhembus cukup kencang dan dinginnya seakan membekukan sumsum tulangku. Semuanya membuatku semakin menyesal karena tadi telah menolak tumpangan Yuta dan Naoya. Jika aku tahu akan seperti ini jadinya, aku akan memilih untuk mengiya-kan tawaran itu tadi. Jalan ini lumayan panjang, sepi, di sisinya banyak terdapat rumah-rumah besar yang tak dihidupkan lampunya, atau mungkin lebih tepat jika disebut rumah tak berpenghuni, dan hanya diterangi lampu-lampu jalan yang bersinar temaram. Untunglah malam ini purnama, jadi jalanan ini tak terlalu gelap. Aku yakin jika teman-temanku yang lain tak akan berani menghadapi situasi seperti ini. Baik Kimmy, Arion, atau bahkan Yuta dan Reiichi sekalipun belum  tentu berani berjalan sendirian di lokasi semacam ini.
Situasi jalan yang sepi rupanya membuat imajinasiku aktif dengan sendirinya. Tapi tak apalah, toh juga berguna untuk mengurangi ketegangan yang mulai merambah ujung-ujung syaraf di otakku. Aku malah mengingat-ingat kejadian kejadian konyol yang sebenarnya banyak terjadi tadi. Saat acara bedah buku misalnya, Aku duduk di sebuah meja bundar bersama yang lainnya. Dan mereka..  tentu saja memojokkanku dan pada akhirnya membuatku duduk di sebelah Naoya. Dan kau tahu apa yang aku rasakan? Tentu di satu sisi aku menyukai ini, duduk di sebelah orang yang yah.. mungkin aku sukai. Bukan hanya itu, posisi duduk yang seperti ini membuat jantungku berdegup kencang sepanjang acara ini berlangsung. Meski begitu tak kupungkiri juga jika aku menyukainya. Menyukai bagaimana mereka menempatkanku dalam posisi tersiksa yang begitu kunikmati. Lagi-lagi ironis, sepertinya segala aspek kehidupanku yang secara langsung maupun  tidak terkait dengan Naoya sangatlah ironis. Mengapa? Karena sering kali aku hanya menikmati saat-saat menyanangkan tanpa melihat kenyataan. Selama ini aku hanya bermimpi, dan ini tidak akan akan bertahan lama karena cepat atu lambat aku akan terjaga dari mimpi ini.
Begitu kami memasuki ruang pertunjukkan, mereka kembali membuat aku dan Naoya terpojok, sehingga lagi-lagi kami duduk bersebelahan. Kali ini, untuk menghabiskan sisa waktu malam ini, aku putuskan untuk menjadi diriku yang biasanya saja. Menjadi diriku yang santai, menganggap segalanya ringan, dan tak terlalu memikirkan perasaanku sendiri. Perasaanku yang menjadi indera utama di saat aku menjadi diriku yang melankolis. Aku yang sering bingung dengan apa yang kurasakan sendiri, dan sering membingungkan perasaan orang lain. Tapi saat ini aku bukanlah Meck yang melankolis.
Tidak ada sepatah katapun yang Naoya ucapkan sejak di ruang pembahasan tadi, dan sampai saat ini pun dia hanya diam. Sekarang saatnya pementasan drama The Swordsgirl, kami telah menempati tempat kami masing-masing. Dari ujung sebelah kanan ada 3 orang asing, Naoya, lalu aku, Kimmy, Reiichi, Yuta, dan Arion di ujung satunya. Di ujung kiri sana, Arion sibuk misuh-misuh karena tak dapat menghabiskan saat-saat seperti ini bersama Suzukaze-san yang notabene adalah kekasihnya, Yuta yang sibuk menertawai Arion setelah puas menertawai kami tadi, juga Kimmy dan Reiichi yang asyik bermesraan. Kimmy menyandarkan kepalanya di pundak Reiichi, lalu Reiichi merangkul Kimmy dan menyandarkan kepalanya di atas kepala Kimmy, setelah itu mereka pun asyik berbisik-bisik berdua. Entah apa yang mereka perbincangkan. Dan disebelah mereka yang dengan begitu hangatnya menikmati acara ini dengan penuh romansa berdua terduduklah kami yang hampir membatu, aku dan Naoya yang tak tahu harus bagaimana.
Disini. Di panggung ini. Secara perdana Naskah drama pertamaku-yang kubuat berdasarkan tuntutan banyak orang- ditampilkan di depan para petinggi dunia pendidikan, aktifis, relawan, dosen-dosen universitas ternama, guru guru pilihan, serta murid-murid dan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai sekolah dan universitas bonafit. Betapa tersanjungnya diriku malam ini, dan aku sungguh tak bisa membayangkan seberapa besar kepalaku jika aku hanya menikmati setiap sanjungan-sanjungan ini sendirian. Tapi kegalauanku dan debar jantung yang mirip genderang perang para prajurit Romawi-Yunani ini mengalihkanku dari rasa tersanjung yang sebenarnya mungkin bisa saja melambungkanku hingga menembus atmosfer.
Naoya, kau mengalihkan kehidupanku. Aku tak yakin aku hanya sekedar menyukaimu. Mungkin aku mencintaimu, tapi aku tak berani mengakuinya, bahkan pada diriku sendiri, aku juga tak berani bahkan untuk sekedar menghayalkannya. Mungkin aku cukup ambisius, aku termasuk gadis remaja pemimpi, tapi aku tak berani memimpikan yang satu ini. Ini bukan soal masa depan yang hancur berantakan atau aset jutaan milyar yang mungkin akan hilang tapi ini soal hati. Organ yang begitu riskan meski abstrak. Dokterku, kau tahu? Sakit hati kadang kala bisa lebih berbahaya dari kanker. Karena rasa sakit yang menyerang hati adalah abstrak juga, tak ada dokter yang dapat membantu mengatasinya. Rasa sakit yang menyerang syaraf-syaraf perangkai asa hidup dan perasaan yang begitu jaringannya rusak, seseorang bisa segera memutuskan untuk memutus nadinya, tanpa berfikir apapun lagi. Dan aku tak mau mencicipinya barang seteguk, aku terlalu takut. Pada halnya aku takut kehilangan masa depanku yang telah lama kunantikan, takut kehilangan mimpi-mimpi dan asa hidup yang telah hampir seumur hidupku kuhabiskan waktuku hanya untuk merangkainya, mengabadikannya dengan menjadikannya tujuan akan kemanakah arus hidupku yang tak luput dari pasang surut ini bermuara. Aku takut nantinya, karena merasakan rasa sakit yang teramat sangat itu akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku. Aku takut kehilangan hari-hariku kemudian, kehidupanku.
Mungkin akan berbeda ceritanya jika aku adalah Juliet Capulett yang mampu menentang keluarganya, menghadang badai permusuhan antara dua klan itu, dan memutuskan untuk melakukan apapun asalkan pada akhirnya ia dapat bersama Romeo Montague-nya yang begitu ia cintai. Tak peduli itu di kehidupan mereka saat ini atau di kehidupan selanjutnya. Yang kutahu pasti jikalau Romeo dan Julliet bereinkarnasi ke zaman ini, mereka bukanlah aku dan Naoya. Karena aku tak seberani Julliet, aku tak lebih dari sekedar seorang remaja yang penuh kebimbangan yang tak ada bedanya dengan domba yang tersesat dan tak berani mengambil keputusan apakah ia harus ke ladang atau ke kandang. Banyak orang yang bilang bahwa ini adalah hal biasa yang dialami setiap remaja, karena masa remaja adalah masa pencarian identitas. Tapi selama ini tak kalah banyak orang yang berfikiran bahwa aku adalah satu dari hanya segelintir remaja yang berkarakter, berideologi, berprinsip, telah memiliki tujuan hidup. Tak salah juga karena selama ini pun aku berfikiran demikian, tapi apakah pemikiran-pemikiran gamang soal diriku -yang bahkan tak seorangpun tahu yang mana yang benar, tak seorangpun termasuk aku sendiri- masih berlaku disaat aku tak ada bedanya dengan domba-domba Marry yang tersesat.
Hari ini aku memang tak seperti biasanya. Meski tak seorangpun menyadarinya, hari ini aku lebih sensitif, lebih mudah tersentuh dengan hal-hal sepele sekalipun. Pertunjukkan dibuka dengan prolog yang dikombinasikan dengan pengenalan pemain lewat sebuah lagu. ‘Hebat! Benar-benar kreatif!’ batinku. Dan kini babak awal cerita telah dimulai. Para aktor yang rata-rata memang telah terbiasa dengan seni peran klasik seperti drama panggung itu memainkannya dengan profesionalitas tinggi. Menimbulkan kesan memukau dan memesona. Ya, karena bermain drama adalah pekerjaan mereka dan mungkin mereka memang telah memiliki bakat berekting sejak dini, sehingga dapat menampilkan pertunjukkan ini tanpa cacat sedikitpun. Segalanya baik kostum, tata panggung, olah kata, mimik, intonasi, gesture, bahkan penjiwaan mereka lakukan dengan sempurna. Mungkin mereka memang masih memiliki sedikit banyak cacat di mata seorang ahli, tapi dimataku, aku bahkan tak percaya akulah penulis naskahnya dan aku sangat-sangat tak percaya jika akhir bulan lalu, aku memerankannya. Memerankan drama bertajuk Romansa-Tragedi ini bersama Naoya.
Setidaknya aku punya satu buah kritikan yang dapat kuajukan, tapi kuyakin ini tak terlalu masuk akal. Aku yakin bahwa penjiwaan mereka yang begitu memukau itu tak lebih dari sekedar penjiwaan karena tuntutan profesi. Karena sebesar apapun penghayatan mereka terhadap peran mereka dalam drama ini, setelahnya mereka hanya akan mengenang ini sebagai sebuah pencapaian dalam profesi. Tidak sepertiku, awalnya memang kuakui jika aku tak terlalu berminat mengerjakan naskah ini. Jika bukan karena support atau lebih tepatnya paksaan teman-temanku, mungkin naskah ini tidak akan pernah lahir. Awalnya memang tak ada ide samasekali, hanya saja aku punya acuan bahwa aku akan membuat drama kisah cinta tragedi yang sifatnya agak kolosal dan klasik. Tapi begitu menemukan idenya, moodku langsung terkumpul. Entah mengapa kisah tentang perempuan yang menyamar jadi laki-laki bagus juga. Setelah menemukan ide itu akupun mengerjakannya dengan semangat dan benar saja. Keesokan harinya aku membawa naskah itu ke sekolah, dan aku mendpatkan dua respon dari teman-teman sekelasku. Pertama yang kuduga dan kedua yang samasekali tak kuduga.
Respon yang kuduga adalah mereka semua terharu setelah membaca naskah itu. Tak hanya terharu malah, tapi mereka juga menyampaikan berbagai tanggapan dari mulai kritikan, pujian, sampai protes mengenai mengapa kisah ini tak berakhir bahagia. Yah memang aku tak membuat agar kisah ini berakhir dengan bahagia. Kufikir itu terlalu klise, monoton, karena telah puluhan tahun lalu kisah dongeng tercipta dan bagaimanapun alurnya, ceritanya selalu ditutup dengan kalimat yang menenangkan hati;Finally, they lived hapily ever after..”
Tentu ini juga menjadi alasan mengapa aku mengidolakan sosok Hans Christian Andersen, karena beliau adalah revolusioner dalam sejarah perkembangan kesusastraan dunia. Meski ia bukanlah penulis pertama yang mengisahkan cerita-cerita tak berakhir bahagia-karena Shakespeare lebih dulu tentunya- coba lihat, dia adalah seorang penulis dongeng sebelum tidur. Ini bukan berarti ia membuat anak-anak jadi akan menghabiskan malam mereka dengan tidur tak tenang yang berisikan mimpi buruk, tapi ini justru sebuah terobosan dalam hal penyampaian pesan moral pada anak-anak manapun di seluruh dunia. Mengajarkan anak-anak untuk memaknai hidup, berjuang sekuat tenaga, bermimpi dan mewujudkannya, serta menanamkan pengertian pada mereka bahwa kematian sesungguhnya bukanlah akhir dari segalanya dan bukanlah sebilah pedang pemutus jerat kebahagiaan. Dan inilah pemahaman mengenai amanat dari sebuah cerita yang kujadikan pedomanku saat aku menulis. Cerita apapun selalu mengandung arti jika mau menerjemahkannya dengan hati.
Yang kedua, respon yang samasekali tak kuduga adalah tanggapan mereka mengenai siapa yang pantas memerankan peran dalam drama ini. Mereka bilang aku dan Naoyalah yang pantas memerankannya. Apalagi Yuta yang dengan begitu berkobar-kobarnya meneriakan argumen-argumen mereka mengenai mengapa akulah yang pantas memerankannya.
“Ayolah, Meck…! Lihat ini, kisah ini menceritakan seorang gadis yang dianggap laki-laki dan seorang pangeran science. Siapa lagi jika bukan kau dan Naoya yang dapat memerankannya?? Ini  adalah representasi dari kalian berdua!” Kira-kira begitulah yang Yuta katakan ketika itu. Dan aku sungguh kehabisan alasan saat Yukishiro-sensei menyetujuinya. Sedangkan Naoya, apa yang ia lakukan? Ia hanya diam dan menerima segalanya dengan pasrah. Oh, Naoya kau sungguh anak manis andai saja kau duduk di TK saat ini. Awalnya, dalam drama ini aku hanya berusaha untuk merealisasikan ideku, menginterpretasikan pandanganku mengenai kaum wanita, bahwa sekeras apapun mereka menggeluti hidup, sekuat apapun mereka mengahdapi masa-masa sulit, dan setangguh apapun mereka bertahan dari kejamnya takdir, mereka tetaplah sosok yang lembut, rapuh, dan hangat di dalam hatinya. Kuakui tokoh utamanya memang agak cenderung bersifat sepertiku, tapi untuk tokoh pangeran koleris yang gila ilmu pengetahuan itu, aku samasekali tak berniat merepresentasikan seorang Naoya dalam dirinya. Tapi jika difikir ulang memang ada kemiripan karakter antara Naoya dan tokoh Pierre. Yah ini semua salahku, tapi aku sungguh tak pernah berakting!
Waktu yang tak kutunggu itu akhirnya tiba, aku bersama Naoya akhirnya memerankan peran Zeff dan Pangeran Pierre dalam drama The swordsgirl itu. Selama masa-masa latihan, aku dan Naoya lumayan mengakrab. Karena  meski  sebelum ini kami sering mengahbiskan waktu bersama saat mengurus daftar hadir atau merekap nilai pengamatan Yukishiro-sensei, kali ini berbeda. Kami punya topik-topik seru untuk dibicarakan bersama. Dan aku pun kembali seperti biasanya, memaknai setiap hal yang aku kerjakan, termasuk juga Drama ini. Aku memainkan peranku dengan penuh penghayatan. Juga dengan pandangan yang Naoya ajarkan padaku. Ia pernah bilang jika sebelumnya ia pun belum pernah bermain peran sekalipun, tapi berfikiranlah jika orang lain telah memilih kita berarti secara tak langsung mereka telah mengapresiasi pengabdian yang bahkan belum kita lakukan. Naoya bilang ini sebuah kesempatan sekaligus penghargaan, lagipula karena akulah yang menulisnya ia bilang akulah yang tentunya paling tahu soal pengalaman dan perasaan si tokoh utama.
Setelah aku menganalnya lebih jauh, aku semakin tahu seperti apakah sosok Naoya yang sebenarnya, bahkan sampai bagaimana caranya memandang kehidupan. Kami sering bertukar fikiran dan ia pun sering mengomentari tulisan-tulisanku lalu memberi masukan terhadapnya. Tapi dasar Naoya, sehangat apapun kedekatan kami, setiap kami bersama di tengah banyak orang seperti ini kami tetap saja jadi kikuk lagi. Dan lagi soal debar ini, meski aku tak dapat menghadapi perasaan seperti ini, aku tetap merasa nyaman didekatnya.
Aku kembali memfokuskan diri pada pertunjukan yang kini telah merambah bagian pemunculan konflik. Di bagian ini telah terjadi perubahan sikap sang pangeran yang tadinya kontra terhadap kemunculan tokoh utama menjadi pro. Dan dari sinilah mulai tergambar kedekatan demi kedekatan antara kedua tokoh utama itu. Aku, lagi-lagi aku tak percaya. Saat itu, saat memerankannya di sekolah mungkin aku sedang kerasukan roh panggung, karena saat itu aku benar-benar merasakan bahwa kali itu aku bukan Meck, melainkan Zeff. Tapi soal memerankan adegan-adegan romantis bersama Naoya adalah hal lain, aktris aktor yang ada di sana benar-benar menonjolkan kesan dari kisah romansanya sehingga kulihat dari sudut  pandang manapun, ini tetap tampak sebagai sebuah kisah cinta agung. Ya Tuhan, benarkah aku pernah memerankan adegan-adegan ini bersama Naoya?
Mungkin saat ini wajahku telah memerah tak karuan. Aku berdiri penuh dilema antara terhanyut rasa bangga, atau malu. Tapi tentu saja rasa malu itu lebih dominan. Bagaimana mungkin aku bisa mengabaikan perasaan itu jika seseorang yang menjadi lawan mainku dalam Drama ini sedang duduk disampingku. Dan kami hanya diam dan membatu dengan kikuknya. Mungkin ini bukan sekedar perasaan malu biasa, karena dibalik itu aku sedikit merasa tersanjung. Tak sedikit siswi yang menyukai bahkan mengidolakan siswa triple A yang satu ini di sekolah, dan tentu tak sedikit juga yang menginginkan peran ini. Dan dengan beruntngnya akulah yang mendapatkannya tanpa kompetisi sedikitpun. Jika aku hanya menonton pertunjukkan ini bersama Kimmy atau Yuta saja, aku akan tertawa untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya. Dan aku merasa cukup beruntung dengan situasi saat ini, karena semerah apapun wajahku sekarang tak akan ada yang melihatnya karena minimnya pencahayaan disini.
Hmm.. jika perasaanku saja seperti ini kira-kira apakah yang dirasakan Naoya sekarang? Akhirnya, terdorong oleh rasa penasaran yang benar-benar bodoh jika difikir secara normal, aku melakukannya. Menoleh kearah Naoya. Dan naasnya, saat aku menoleh kearahnya, Ia juga menoleh kearahku. Argghh.. Kenapa jadi seperti ini?? Tersirat dari sorot matanya, ia sama sepertiku, terkejut bukan main. Tapi untuk sesaat keterkejutan itu itu tak berfungsi dan pergi. Hormon-hormon yang bereaksi terhadapnya larut kedalam hormon lain yang lebih kuat yang membuat kami malah saling bertatapan untuk beberapa saat. Pandangan yang saling beradu, saling bercerita tentang isi hati pemiliknya masing-masing lewat sorot mata. Dan ketika rasa kaget itu kembali menempati tempatnya, kami tersentak dan langsung kembali pada posisi masing-masing. Tubuhku sepertinya agak bergetar dan mungkin sekarang wajahku semerah habis ditampar. Aku benar-benar tak menyangka akan seperti ini jadinya.
Setelah kejadian itu, sebisa mungkin aku berusaha melupakannya. Meski tetap saja kejadian tadi benar-benar mengganjal fikiranku. Saat ini, pertunjukkan hampir selesai dan inilah bagian yang paling kusuka dari Kisah ini. Bagian akhir cerita dimana Zeff akan mati. Inilah juga adegan yang kuakui paling sulit dalam drama ini. Awalnya mungkin banyak yang mengira kisah ini akan berakhir bahagia karena babak akhir ini dimulai dengan berjalannya upacara pernikahan Pangeran Pierre dan Zeff. Dan saat itu akupun memerankannnya, berjalan ke altar suci pernikahan bersama Naoya. Mengenakan gaun pengantin sederhana berwarna putih bersih, membawa buket mawar Zepherinne berwarna biru tua kehitaman, dan berjalan ke altar sambil menggenggam tangan Naoya. Ahh, tapi ini hanya sebuah drama, bukan kenyataan. ‘Jangan bermimpi Meck, lihatlah dirimu, kau hanya anak seorang petani rumput laut dari sebuah pulau terpencil. Kau tak akan pernah menjangkaunya!’ makiku pada diriku sendiri.
Pada akhirnya gaun pengantin yang putih bersih itu ternodai bercak-bercak darah. Lonceng kastil tak pernah menyentuh satu sama lain untuk dapat berdentang damai. Janji suci tak pernah terucap. Semua telah memudar sebelum dapat terealisasikan. Mimpi-mimpi indah, kesatuan dua jiwa dalam mahligai indah yang belum terlaksana harus dibayar mahal dengan pengorbanan sebentuk agung jiwa untuk sebuah tragedi cinta yang manis. Sungguh indah, kematian yang indah. Zeff meregang nyawa dengan sebilah pedang tertancap di ulu hatinya dalam dekapan Pierre yang kini jas putihnya pun memerah terbasahi darah suci Zeff. Dekapan yang tetaplah hangat meski tubuh Zeff kini mendingin, memucat. Sepasang bibir yang sedikit terbuka itu kini terselimuti kabut ungu. Mengelamkan ronanya yang menggoda. Sepasang bibir yang belum pernah sekalipun Pierre reguk manisnya kini tak lagi tergetar mengujarkan gumaman-gumamaman lirih. Meski tak seorang pun tahu, Pierre mengerti betul maknanya. Sebuah ungkapan perpihsahan yang tersirat. Kini Zeff telah membayar janjinya, nyawanya terenggut oleh sebilah pedang, persis apa yang dikatakan peramal Celinne. Tapi tak apa. Tak ada secuilpun rasa sesal dihatinya. Zeff dengan ikhlas melepas mimpi-mimpi dalam hidupnya saat ini bersama air mata Pierre yang meluruh dan terjatuh di wajahnya karena sesuatu yang ia bayar dengan nyawanya sungguhlah sesuatu yang berharga. Pierre. Kekasihnya, Cinta abadinya.
Tak sedikit tamu undangan yang masih menutupi sebagian wajahnya dengan tissu bahkan setelah meninggalkan ruangan aula. Tak mengherankan karena hampir 70% tamu yang hadir menampilkan ekspresi terharu itu dan akupun sama seperti mereka. Masih terharu. Terlebih aku tak hanya menontonnya, aku meenghayatinya, pernah memerankannya, dan akulah yang menulisnya. Setelah itu kami semua memasuki ruangan lain untuk menyelesaikan agenda acara malam ini.
_404040404_




Huaa~ akhirnya kesampean juga publish ini..!
Thanks to you all for reading, I hope you'll like it xD
I promise I'll update next part soon~~

No comments:

Post a Comment