Trending Topics

.

.

Sunday, September 11, 2011

Beginning Love Story of "Eiffel in My Dream" part#2

“DUG”
“ARGGHH…!!” teriakku saat tiba-tiba kepalaku membentur tiang lampu jalan di tengah trotoar. Keadaanku yang sepertinya tengah melamun sambil berjalan setengah berlari memperparah keadaan. Cairan kental berwarna merah pekat pun perlahan mengalir dari keningku saat aku sudah jatuh terpental kebelakang. Awalnya memang tak terasa sakit, tapi lama-kelamaan ini semua membuatku pusing. Aku kira aku sudah mati saat kulihat cahaya menyilaukan dihadapanku yang disertai dengan suara memekik yang cukup keras, padahal sebelumnya hanya ada lampu jalan dengan cahaya temaram disini.
Ternyata aku belum mati. Lagipula itu hanya hipotesa konyol yang kufikirkan saat kepalaku baru saja terbentur, jadi wajar saja. Dan ternyata lagi, itu bukanlah bias-bias cahaya surga para malaikat yang tengah membentangkan sayapnya hendak membawaku kembali selama-lamanya ke haribaan Tuhan, melainkan sorot menyilaukan dari lampu sebuah mobil mewah yang kukenal. Mobil itu mengerem dan membanting setir kearahku. Dan kini, sorotan cahaya menyilaukan yang sempat membuat kepalaku pusing itu akhirnya meredup. Memberiku ruang dan waktu dengan suasana yang cukup kondusif di saat seperti ini untukku bernafas lega terlebih setelah seseorang turun dari kemudi mobil itu dan menghampiriku dengan setengah berlari. Sosok yang sejak tadi memenuhi fikiranku kini tengah menatapku dengan tatapan cemas yang sarat akan perhatian yang mendalam.
“Meck… kau tidak apa-apa?” tanyanya sambil berlutut di hadapanku. Aku merasakannya. Mataku masih sanggup terbuka saat ia menatapku. Kekhawatiran yang tersirat dari sorot matanya begitu nyata, begitu tajam, hingga kacamatanya yang sedikit berkabut tak mampu membiaskannya sedikitpun. Aku senang, karena sorot kecemasan itu memancarkan sebuah kehangatan semu yang terasa begitu nyata utukku. Kehangatan dalam dinginnya angin malam yang tak kunjung mereda hembusannya. Perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, mungkin untuk mempertajam pengelihatannya yang terhalangi kabut dan kelamnya malam. Meski aku tahu sekarang diatas kami bulan purnama sedang berpendar lembut, tapi dia adalah seorang yang memiliki mata dengan minus yang tinggi. Tentu wajar saja jika pandangannya agak kabur di tengah purnama seperti ini.
Tangannya perlahan terangkat, dan kini  jemarinya yang dingin menyentuh pelipisku yang terluka sehingga aku dapat merasakan kelembutan di antara perih yang terus menyeruak keluar.
“Aku tidak apa-apa, aku yakin aku baik-baik saja..” Sangkalku sok santai seperti biasanya, padahal tentu kalian dapat menebak apa yang kurasakan saat ini. Pusing, lemas, dan tentu berdebar-debar karena saat ini Naoya berada sungguh dekat denganku.
“Meck.. pelipismu berdarah.” Ujarnya sambil masih menatapku. Dan kini sorot kecemasan itu menajam dan menusuk hatiku.
“Baiklah, aku menyerah.. aku memang agak sedikit pusing.” Jawabku dan kuakhiri pernyataan itu dengan cengiran khasku.
“Ahh, kau ini. Luka di kepala itu bukan luka sepele. Lagipula bagaimana mungkin kau bisa terbentur. Kau pasti____” racaunya setelah akhirnya aku mengaku. Ya.. dokterku, aku hapal betul tabiatmu yang seperti ini. Tapi perlahan suaranya itu melemah bersamaan dengan memberatnya kepalaku. Dengan sigap ia menahan kepalaku dengan lengan kirinya, namun aku tak dapat lagi menyaksikan wajahnya yang selalu terlihat sempurna itu karena pandanganku kian samar dan berkabut. Tak ada lagi raut wajah dan sorot mata kecemasan di hadapanku ketika mendadak alam telah berkonspirasi dan meleburkan berbagai warna untukku menjadi sebuah warna padu yang selaras dengan cahaya purnama saat tak mampu lagi kudengar suaranya. Semuanya menghilang begitu saja bak oase fatamorgana serta hanya menyisakan kesunyian untukku.
_40404040404_

No comments:

Post a Comment