ceritanya cerpen
Hari ini perpustakaan mengenalkan orang ini kepada satu orang lagi, Ernest Hemingway, dan perkenalannya ini membawanya menyadari satu hal lainnya yang ternyata demikian esensi dalam hidupnya. Ia membaca bukan hanya ceritanya, tapi juga tutur panjang lebar seorang editor dalam pengantarnya. Rupanya konsentrasi Sejarah yang ia pilih sudah demikian influentalnya hingga latar belakang penulis jadi yang lebih mencuri minatnya daripada karya si penulis itu sendiri. Ia pernah begitu tertarik pada sastra di awal remajanya. Ketagihan berpuisi, melahap sebuah novel hanya dalam semalam, dan entah bagaimana caranya terhanyut oleh roman-roman didalamnya sedemikian jauh, hingga emosinya turut terpermainkan sedemikian hingga. Tapi kini ia semacam kehilangan esensi itu. Orang itu tak menyadari kapan hampa menyapanya, berkenalan dengannya, menarik perhatiannya, hingga demikian menguasainya. Kini ia seperti seorang sofis yang terlalu banyak bicara. Kenikmatan dan fleksibilitas emosi yang selalu siap diayun-ayun ketika menangkup sebuah fisik fiksi baru dalam tangan dan menangkap alur lewat matanya tak lagi ia dapati.
Sekali
waktu ia membaca novel yang membuatnya tertarik, dari Paulo Coelho atau Elfriede Jelinek. Novel itu memiliki alur yang sanggup memutar balikkan akal sehat,
membuatnya setelah membacanya akan segera lupa mana yang baik dan yang buruk,
yang benar dan yang salah, tapi kemudian ia menyerah pada sesuatu yang entah
apa. Mengakhirinya dengan menumpuk novel itu di tumpukan buku-buku bacaan wajibnya,
referensi makalah terbarunya yang tenggatnya jatuh tepat besok, atau bahkan
buku-buku perpustakaan yang sekedar ia lihat gambarnya, tanpa pernah ia
selesaikan hingga noktah terakhir yang dibuat sang penulis. Sementara buku-buku
yang dikonsumsi luas oleh orang banyak, yang ia dapat dari pinjaman teman-teman
sebayanya yang sedang gila-gilanya berdandan, dikomentarinya penuh cela.
Runtutan alur yang memiliki banyak kejanggalan, bahasa yang tingkatannya
lompat-lompat, ketidak masuk akalan, semua cela kecil yang entah bagaimana bisa
demikian mengganggu matanya untuk secara jujur menikmati kisah yang disaji apa
adanya. Seolah ia becus, seolah ia tahu segalanya, padahal novelnya, kisah
picisan klasik yang dikhayalnya sejak SMP saja belum pernah diselesaikannya dengan
benar-benar.
Ia
terjebak. Manusia malang ini terjebak pada sebuah tanda tanya yang amat rumit
dalam membaca masa depannya. Ia tak pernah benar-benar memilih, bahkan dalam
saat-saat yang paling mirip dengan itu. Perjalanannya dari sebuah sekolah di kota
satelit kecil ke universitanya yang sekarang adalah yang paling membuatnya lebih
mengenal soal hidup daripada sebelumnya. Sekali lagi pola yang sudah dihapalnya
terulang. Sejak memilih sekolah pertamanya, ia selalu menemui pilihan yang tak
sulit. Entah bagaimana ia bisa menginginkan sesuatu dan mendapatkannya ketika
orang harus bersusah payah. Itu hal yang paling disyukurinya, menghiburnya
ditengah duka luka yang kadang kala dideritanya, penyemangat kala angin kencang
berhembus hendak meruntuhkan asanya.
Ia
suka tantangan, tapi bukan untuk hidup dalam adrenalin. Ia tak suka waktu
menekannya atau pelan-pelan mencoba membunuhnya dengan mencuri semua oksigen
yang bisa diraih paru-parunya. Satu-satunya yang ia ingin hanya hidup bahagia,
tanpa tahu pasti apa yang bisa membuatnya bahagia. Kadang kala ia terjebak
diantara tanda tanya antara harus menjadi yang dia inginkan atau yang apa
adanya. Atau justru lebih esensi lagi, dirinya yang sebenarnya adalah yang dia
inginkan atau yang mana? Kadang kala ungkapan harus jujur kepada diri sendiri
itu sulit dimengerti. Jujur yang seperti apa? Diri sendiri itu yang mana?
Novel-novel terjemahan yang menarik adalah apa yang tak sepenuhnya bisa
dinikmatinya dengan mudah. Ia kadang harus membaca satu kalimat dua tiga kali untuk
mengerti betul maksudnya, atau berhadapan dengan sebuah globe ketika sekali
waktu sang penulis menyebutkan daerah-daerah asing yang diluar pengetahuan
geografisnya, sembari menyusun khayalannya keping demi keping untuk runut
menjadi sebuah cerita yang ia pikir tak ubahnya dengan pikiran penulisnya, lalu
terkagum-kagum akan itu. Sedangkan novel-novel yang lainnya membuatnya terlalu
sibuk berpikir mengenai hal-hal janggal yang tak diminta oleh si penulis untuk
dipikirkan.
Kadang
kala ia takut ketika memilih apa yang akan dipakainya. Takut ia terlalu sibuk
menata bagaimana imaji yang akan tergambar di benak seseorang tentang dirinya
dan justru melupa akan apa yang sebenarnya diperlukannya. Tapi ibarat tengah melaju
cepat dan telah memilih sebuah persimpangan jalan, ia tak akan bisa berhenti,
turun, dan berlari mundur untuk sekedar melihat ke persimpangan satunya yang
telah ia tinggalkan begitu jauh. Ia tersesat antara tampil feminim dan nyaman,
antara kisah sulit dan yang bisasa dinikmati orang disekitarnya, antara
film-film klasik dan sinetron televisi sekarang, antara musik klasik dan
lagu-lagu di radio. Ia tersesat begitu jauh, begitu dalam di tengah pusaran
yang ia ciptakan sendiri. Ia tak tahu bagaimana memperlakukan keinginan. Apakah
ia harus selalu mengikuti kemana keinginannya berjalan, dan menjadi seideal
mungkin seperti yang ditunjukan keinginannya, atau yang mana. Karena sekali
waktu ia menyusun rencana yang ia inginkan, untuk memasak sebuah menu
karangannya yang sepertinya akan hebat di hari libur, dan malah berakhir dengan
menahan lapar sampai sore dan menjamu diri di petang hari dengan semangkuk mie
instan yang hampir terasa hambar saking bosannya ia terhadap mereka.
Kini
ia tersenyum tipis, menatap bilah cahaya matahari sore yang terhujam pada buku-buku
tua di rak perpustakaan. Ia menemukan sesuatu. Bahwa kebingungan ini, tanda
tanya ini yang membawanya untuk selalu berjalan lurus. Maksudku, orang ini
bukan seorang yang memilih membubuhkan lada atau sambal pada sup dimangkuknya,
tapi mencampurkan keduanya, menciptakan sebuah standar tengah yang dirasanya
paling pas dengannya. Ia tak mengikuti tren soal fesyennya. Ia memilih pakaian
dari apa yang ia punya, merangkainya seolah ia seorang desainer dan menciptakan
gayanya yang merupakan standar paling tengah antara gaya yang ia inginkan dan
kenyamanan yang ia butuhkan. Novel-novel yang ia pernah baca terhitung menjadi
sejarahnya, rekor-rekor kecil yang pernah ia catatkan setidaknya dalam segmen
buku harian di blognya. Soal dirinya yang sekarang, ia tak betul-betul memilih
untuk mengikuti nafsunya berusaha menikmati novel sulit dan menanggalkan yang
baginya kurang menarik, tapi lebih —lagi-lagi— menciptakan standarnya sendiri.
Ia mengingat kekurangan dan kelebihan novel-novel yang ia baca, menurut seleranya—bukan
standar nilai yang umum dikenal dalam masyarakat pembaca— lalu menuangkannya
dalam karya-karyanya yang belum pernah betul-betul terpublikasi. Sehingga ia —baik
itu soal fesyen, kuliner, maupun selera bacaan—adalah penggemarnya sendiri.
Mudah
saja. Konklusi dari kisah ini adalah bahwa kita menemukan seorang yang begitu
egois disini. Ia memang tak memaksakan nafsunya untuk dituruti oleh semua
bagian dari dirinya yang sejatinya menolak, tapi selalu mencari jalan tengah.
Jalan damai antara keinginan dan kebutuhannya fundamentalnya, dan terciptalah
‘dia’. Orang aneh di sudut perpustakaan yang sedang bertanya-tanya soal
kehidupan. Mencoba membaca masa depan, tapi tak lebih dari hanya sekedar
mengira-ngira dan menghayal, tanpa tuntutan, tanpa tekanan untuk harus menjadi
seperti apa yang ia inginkan, tapi lebih untuk berdamai dengan masa depan itu
sendiri. Ia percaya usahanya sekarang adalah jaminan bagi yang ia dapatkan di
masa depan, dan pilihan, persimpangan, atau apalah itu, hanya soal warna yang
sama indahnya bagi yang memilihnya.
No comments:
Post a Comment