Trending Topics

.

.

Saturday, May 03, 2014

Membaca Masa Depan


ceritanya cerpen


Hari ini perpustakaan mengenalkan orang ini kepada satu orang lagi, Ernest Hemingway, dan perkenalannya ini membawanya menyadari satu hal lainnya yang ternyata demikian esensi dalam hidupnya. Ia membaca bukan hanya ceritanya, tapi juga tutur panjang lebar seorang editor dalam pengantarnya. Rupanya konsentrasi Sejarah yang ia pilih sudah demikian influentalnya hingga latar belakang penulis jadi yang lebih mencuri minatnya daripada karya si penulis itu sendiri. Ia pernah begitu tertarik pada sastra di awal remajanya. Ketagihan berpuisi, melahap sebuah novel hanya dalam semalam, dan entah bagaimana caranya terhanyut oleh roman-roman didalamnya sedemikian jauh, hingga emosinya turut terpermainkan sedemikian hingga. Tapi kini ia semacam kehilangan esensi itu. Orang itu tak menyadari kapan hampa menyapanya, berkenalan dengannya, menarik perhatiannya, hingga demikian menguasainya. Kini ia seperti seorang sofis yang terlalu banyak bicara. Kenikmatan dan fleksibilitas emosi yang selalu siap diayun-ayun ketika menangkup sebuah fisik fiksi baru dalam tangan dan menangkap alur lewat matanya tak lagi ia dapati.

Sekali waktu ia membaca novel yang membuatnya tertarik, dari Paulo Coelho atau Elfriede Jelinek. Novel itu memiliki alur yang sanggup memutar balikkan akal sehat, membuatnya setelah membacanya akan segera lupa mana yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, tapi kemudian ia menyerah pada sesuatu yang entah apa. Mengakhirinya dengan menumpuk novel itu di tumpukan buku-buku bacaan wajibnya, referensi makalah terbarunya yang tenggatnya jatuh tepat besok, atau bahkan buku-buku perpustakaan yang sekedar ia lihat gambarnya, tanpa pernah ia selesaikan hingga noktah terakhir yang dibuat sang penulis. Sementara buku-buku yang dikonsumsi luas oleh orang banyak, yang ia dapat dari pinjaman teman-teman sebayanya yang sedang gila-gilanya berdandan, dikomentarinya penuh cela. Runtutan alur yang memiliki banyak kejanggalan, bahasa yang tingkatannya lompat-lompat, ketidak masuk akalan, semua cela kecil yang entah bagaimana bisa demikian mengganggu matanya untuk secara jujur menikmati kisah yang disaji apa adanya. Seolah ia becus, seolah ia tahu segalanya, padahal novelnya, kisah picisan klasik yang dikhayalnya sejak SMP saja belum pernah diselesaikannya dengan benar-benar.

Ia terjebak. Manusia malang ini terjebak pada sebuah tanda tanya yang amat rumit dalam membaca masa depannya. Ia tak pernah benar-benar memilih, bahkan dalam saat-saat yang paling mirip dengan itu. Perjalanannya dari sebuah sekolah di kota satelit kecil ke universitanya yang sekarang adalah yang paling membuatnya lebih mengenal soal hidup daripada sebelumnya. Sekali lagi pola yang sudah dihapalnya terulang. Sejak memilih sekolah pertamanya, ia selalu menemui pilihan yang tak sulit. Entah bagaimana ia bisa menginginkan sesuatu dan mendapatkannya ketika orang harus bersusah payah. Itu hal yang paling disyukurinya, menghiburnya ditengah duka luka yang kadang kala dideritanya, penyemangat kala angin kencang berhembus hendak meruntuhkan asanya.

Ia suka tantangan, tapi bukan untuk hidup dalam adrenalin. Ia tak suka waktu menekannya atau pelan-pelan mencoba membunuhnya dengan mencuri semua oksigen yang bisa diraih paru-parunya. Satu-satunya yang ia ingin hanya hidup bahagia, tanpa tahu pasti apa yang bisa membuatnya bahagia. Kadang kala ia terjebak diantara tanda tanya antara harus menjadi yang dia inginkan atau yang apa adanya. Atau justru lebih esensi lagi, dirinya yang sebenarnya adalah yang dia inginkan atau yang mana? Kadang kala ungkapan harus jujur kepada diri sendiri itu sulit dimengerti. Jujur yang seperti apa? Diri sendiri itu yang mana? Novel-novel terjemahan yang menarik adalah apa yang tak sepenuhnya bisa dinikmatinya dengan mudah. Ia kadang harus membaca satu kalimat dua tiga kali untuk mengerti betul maksudnya, atau berhadapan dengan sebuah globe ketika sekali waktu sang penulis menyebutkan daerah-daerah asing yang diluar pengetahuan geografisnya, sembari menyusun khayalannya keping demi keping untuk runut menjadi sebuah cerita yang ia pikir tak ubahnya dengan pikiran penulisnya, lalu terkagum-kagum akan itu. Sedangkan novel-novel yang lainnya membuatnya terlalu sibuk berpikir mengenai hal-hal janggal yang tak diminta oleh si penulis untuk dipikirkan.

Kadang kala ia takut ketika memilih apa yang akan dipakainya. Takut ia terlalu sibuk menata bagaimana imaji yang akan tergambar di benak seseorang tentang dirinya dan justru melupa akan apa yang sebenarnya diperlukannya. Tapi ibarat tengah melaju cepat dan telah memilih sebuah persimpangan jalan, ia tak akan bisa berhenti, turun, dan berlari mundur untuk sekedar melihat ke persimpangan satunya yang telah ia tinggalkan begitu jauh. Ia tersesat antara tampil feminim dan nyaman, antara kisah sulit dan yang bisasa dinikmati orang disekitarnya, antara film-film klasik dan sinetron televisi sekarang, antara musik klasik dan lagu-lagu di radio. Ia tersesat begitu jauh, begitu dalam di tengah pusaran yang ia ciptakan sendiri. Ia tak tahu bagaimana memperlakukan keinginan. Apakah ia harus selalu mengikuti kemana keinginannya berjalan, dan menjadi seideal mungkin seperti yang ditunjukan keinginannya, atau yang mana. Karena sekali waktu ia menyusun rencana yang ia inginkan, untuk memasak sebuah menu karangannya yang sepertinya akan hebat di hari libur, dan malah berakhir dengan menahan lapar sampai sore dan menjamu diri di petang hari dengan semangkuk mie instan yang hampir terasa hambar saking bosannya ia terhadap mereka.
Kini ia tersenyum tipis, menatap bilah cahaya matahari sore yang terhujam pada buku-buku tua di rak perpustakaan. Ia menemukan sesuatu. Bahwa kebingungan ini, tanda tanya ini yang membawanya untuk selalu berjalan lurus. Maksudku, orang ini bukan seorang yang memilih membubuhkan lada atau sambal pada sup dimangkuknya, tapi mencampurkan keduanya, menciptakan sebuah standar tengah yang dirasanya paling pas dengannya. Ia tak mengikuti tren soal fesyennya. Ia memilih pakaian dari apa yang ia punya, merangkainya seolah ia seorang desainer dan menciptakan gayanya yang merupakan standar paling tengah antara gaya yang ia inginkan dan kenyamanan yang ia butuhkan. Novel-novel yang ia pernah baca terhitung menjadi sejarahnya, rekor-rekor kecil yang pernah ia catatkan setidaknya dalam segmen buku harian di blognya. Soal dirinya yang sekarang, ia tak betul-betul memilih untuk mengikuti nafsunya berusaha menikmati novel sulit dan menanggalkan yang baginya kurang menarik, tapi lebih —lagi-lagi— menciptakan standarnya sendiri. Ia mengingat kekurangan dan kelebihan novel-novel yang ia baca, menurut seleranya—bukan standar nilai yang umum dikenal dalam masyarakat pembaca— lalu menuangkannya dalam karya-karyanya yang belum pernah betul-betul terpublikasi. Sehingga ia —baik itu soal fesyen, kuliner, maupun selera bacaan—adalah penggemarnya sendiri.

Mudah saja. Konklusi dari kisah ini adalah bahwa kita menemukan seorang yang begitu egois disini. Ia memang tak memaksakan nafsunya untuk dituruti oleh semua bagian dari dirinya yang sejatinya menolak, tapi selalu mencari jalan tengah. Jalan damai antara keinginan dan kebutuhannya fundamentalnya, dan terciptalah ‘dia’. Orang aneh di sudut perpustakaan yang sedang bertanya-tanya soal kehidupan. Mencoba membaca masa depan, tapi tak lebih dari hanya sekedar mengira-ngira dan menghayal, tanpa tuntutan, tanpa tekanan untuk harus menjadi seperti apa yang ia inginkan, tapi lebih untuk berdamai dengan masa depan itu sendiri. Ia percaya usahanya sekarang adalah jaminan bagi yang ia dapatkan di masa depan, dan pilihan, persimpangan, atau apalah itu, hanya soal warna yang sama indahnya bagi yang memilihnya.

No comments:

Post a Comment