Trending Topics

.

.

Sunday, May 11, 2014

Kulminasi

Malam ini aku punya tugas. Membaca materi persis seperti malam-malam sebelumnya. Ada banyak, dan aku baru saja sadar kalau aku sudah terlalu banyak menyiakan waktu, tapi aku tak sadar kalau itu salah. Aku tak tahu itu benar atau salah, atau sekalipun tahu, aku tak yakin, sehingga segala ketidak sinkronan oleh kekonyolan yang kembali kambuh ditengah dera kantuk dan bersin-bersin kurang tidur. Aku tak betul mengerti alasan mengapa aku tak mengambil jalan lurus untuk bersila dan membaca tapi justru berbelok, menghabiskan berjam-jam menukik pantau di layar komputer, menyimak lampu hijau-mu yang mati menyala sembari setengah asyik rewatch Sakurasou. Anime yang setelah kusadari ternyata amat merupakan satire buat sekenario hidupku.


Tentu saja aku takut. Aku sudah jatuh cinta pada Jin sejak SD, tapi aku tidak sadar soal itu sampai SMP. Aku jadi gugup. jika dipikirkan sedikit saja, aku tidak mampu mengatakannya. Aku hanya akan terjebak pada putaran yang lainnya. Dimulai saat "aku harus beritahu Jin soal perasaanku, aku tidak tahan lagi!" "tapi aku takut, bagaimana kalau dia menolakku." Lalu, "Ya, kurasa seperti ini saja. Dengan begini Jin akan terus bersamaku." "Tapi aku ingin mencintainya lebih." "Jin sudah punya gadis lain, bagaimana kalau ia lebih memilihnya dari pada aku?" Dan aku kembali lagi kesini. Mungkin aku sudah melakukan ratusan putaran sejak SMP.


-Misaki Kamiigusa-


Sial, apa bedanya? Mungkin hanya soal Jin dan Misaki. Konsep temporanya pun hampir persis. Aku mulai curiga pada orang-orang dibalik layarnya. Ataukah memang ini kisah yang cukup umum? Tapi bagaimanapun umumnya, jika ditelaah dari sudut pandang pribadi, semuanya partikuler. Setiap orang berbeda dalam imajinasi, kerja otak, dan penafsiran mereka, jangankan untuk peristiwa yang persis hanya bila digeneralisasikan, tapi juga untuk peristiwa-peristiwa yang benar-benar sama. 

Aku pikir aku lupa, tapi sepertinya aku mulai tertelan imajiku sendiri, termakan bicaraku, tertuduh oleh tudinganku. Ketika aku merasa seolah sudah lepas dari segalanya, aku hanya terkurung dalam kabut sementara. Ketika matahari meninggi dan angin gunung berhembus kencang lagi, semuanya kembali, dan aku samasekali tak menemukan diriku berjarak menjauh selangkah saja dari sosokmu yang sekian tahun sudah menghantuiku dalam diam.


Kadang aku tak yakin di hari-hari sekarang. Aku tak selalu bisa persis menentukan porsi dari setiap yang aku lakukan atau jalani. Ketika aku berpikir aku telah melaju cepat, mendahuluimu, dan begitu yakin akan itu, ternyata aku masih hanya terperangkap tak jauh dari bayanganku. Kadang aku bertanya, apakah ketika aku memikirkanmu aku benar-benar tak bisa menghindarinya, atau hanya terbawa suasana dan memilih untuk memikirkanmu selagi aku sebenarnya bisa mengusahakan untuk memikirkan yang lain? Aku tak selalu yakin dengan jawabanku, termasuk ketika aku memilih untuk diam dan menunggu keajaiban menyatukan lajur yang kutempuh dengan milikmu di depan sana.


Anak lelaki kelas dua SMP yang mengajakku berbincang di perahu penyebrangan, berangkat sekolah bersamaku di hari tes pembagian kelas karena aku takut menyebrang jalan sendirian. Anak laki-laki itu pernah menoreh sebuah kesan yang sangat dalam, bahkan masih kuingat betul sampai sekarang. Tapi adakah itu benar dirimu yang sekarang ini lagi-lagi berada di kota yang sama denganku bahkan ketika puluhan kilometer kita telah pergi jauh dari rumah dimana kita untuk pertama kalinya bertemu? Aku lagi-lagi tak tahu persisnya.


Aku selalu saja bingung menentukan antara kata hati dan euforia. Sejauh mana aku jujur, dan menuruti apa yang hatiku bilang soal diriku. Rasanya ia selalu saja menoreh pesannya di sebuah perkamen dalam heroglif yang tak mampu kuterjemahkan. Dulu, aku betul mengerti akan kejujuran itu. Aku bisa membacanya dengan baik, merasakan setiap inci nafas yang ia hembuskan, baik itu pedih perih, hingga bahagia yang tak terperi lagi. Tapi sekian lama aku telah tanpa sengaja memaku abstraksi ini di punggungmu. Aku tak tahu bagaimana kau tak pernah menoleh dan merasa ketika aku sudah sedemikian keras berteriak nestapa. Mungkin manusia memang berbeda antara satu dengan lainnya, dan ini alibi yang pantas buatmu, kubuatkan dengan sukarela jadi kuharap janganlah bergerak lebih jauh untuk menoreh luka yang lain lagi. Ada kalanya kau bisa saja tahu, tapi kau anggap tak lebih dari angin lalu. Kau mendengar kalau si payah tetanggamu memiliki sesuatu yang dari dalam hatinya, jauh yang tak bisa kau terka, menginginkanmu mengetahuinya. Kalau beberapa tahun telah ia habiskan untuk memandangmu dengan fana. Maka jadikanlah ini nyata. Tapi bagian dari dirimu yang lain menganulirnya. Melenggang pergi dengan ringan seolah apapun tak pernah terjadi. Siapa pula yang bisa memastikan kalau itu betulan adanya. Lagipula aku hanya seseorang dari masa lalu. Kau diam, aku diam. Aku terluka, entah denganmu. Tapi tak seorangpun sadar dengan belati yang digenggamnya.


Kau mengajarkanku untuk menyerahkan diri pada keadaan, menangis konyol, dan menganggap dunia ini meninggalkanku hanya karena seorang bedebah sepertimu. Aku tak lagi melihatmu penuh cahaya seperti di waktu lalu. Aku mulai menemukan titik manusiawimu, seorang bocah yang mulai tidak lagi bisa disebut bocah, yang mulai suka pedas dan sayuran, yang mandiri, tak lagi kutemukan tengah disuapi ibunya di pagi hari. Kau bukan seorang pangeran dari padang bunga, cuma bocah biasa yang beberapa bulan lebih tua dariku. Aku bahkan pernah mencapai titik paling normal, menganggap semuanya telah berakhir dan sempat menempatkan orang lain untuk posisi yang lebih tinggi darimu. Tapi aku heran itu tak bertahan lama. Hanya beberapa waktu sampai aku tersadar kalau kau, tetap di padang bunga meski bukan dalam wujudan seorang pangeran.


Dulu aku menutupi segalanya rapat-rapat. Menguncimu dalam lemari berlapis pintu dan menahannya dengan segala asa yang kupunya. Aku tak sanggup memikirkan apapun ketika pada akhirnya kau tahu ketika banyak kesempatan justru terbuka. Sekarang, kita berada dalam satu kota, satu instansi pendidikan dan jarak hunian yang mungkin hanya 2 kilometer saja. Tapi kita benar-benar sendiri. Temanku, temanmu, semuanya menjemput takdirnya masing masing, dan tak lagi ada teman bersama yang bisa menjembatani pertemuan-pertemuan kita. Kini aku menyesali sesuatu. Aku menginginkannya ketika ia hampir tak mungkin adanya.


Kau, kalau kau tahu kau yang kumaksud dan kebetulan mebaca tulisan ini, aku hampir mengulang lagi putaranku. Aku sudah tak seperti dulu yang dikuasai emosi dan selalu meledak-ledak. Aku hampir betul-betul lelah dan menyadari kalau terlalu banyak sudah waktu yang kulewati tanpa makna kecuali menunggumu. Ibarat kat soal dirimu, waktu waktu itu ialah taruhanku. Sekarang aku tak akan menutupi apapun lagi. Blog ini yang mampu menyuarakan apapun perasaanku. Kalau sampai sekarang semuanya tak berarti apa-apa, aku benar-benar telah merugi terlalu banyak, dalam konteks hitungan, meski sejujurnya aku masih tak berpikiran kesana. Waktu terus berjalan dan kupikir harus ada batas dimana pengharapan ini menemui cahayanya. Apakah kau ada disana atau tidak, itu yang kuharapkan dalam judiku.

Aku tak tahu fluktuasi ini bermakna apa, tapi aku sangat bahagia ketika komunikasi kita berjalan sangat baik di awal awal kepindahan kita. Adakah mungkin kalau aku mengharapkan kesinambungannya? 


Jujur memang melegakan, tapi tak mudah untuk dilakukan. Aku tetap tak bisa menceburkan diri seluruhnya. Tapi kalau kau tanya sampai sekarang masihkah aku mengharapkannya? Kali ini aku berani berkata iya.









1 comment:

  1. Aluminum Alloy Hanging in Furniture for Furniture Furniture Furniture
    This titanium cerakote iron-led aluminum alloy structure can hold some of omega seamaster titanium the does titanium set off metal detectors world's most trekz titanium important tools like steel snow peak titanium flask or aluminum, including our rivets.

    ReplyDelete