Trending Topics

.

.

Saturday, May 24, 2014

18, Njuk Ngopo?


‘Njuk ngopo?’ adalah istilah populer yang kembali dipopulerkan oleh salah seorang dosen saya di pertemuan minggu lalu. Kami, di mata kuliah Sejarah Indonesia sampai Abad 16 yang biasanya dengan singkatnya hanya kami sebut Abad 16, atau bahkan hanya Nembelas. Ketika itu kami sedang belajar tentang kerajaan-kerajaan, dari masa Hindu Buddha, kami beranjak ke masa Islam. Mengidentifikasi ciri dari tiap kerajaan, hubungannya satu sama lain, dan membuatnya menjadi seolah kerja yang sangat panjang melewati sekian banyak bentangan waktu. Di pertengahan kuliah, setelah kami cukup mengemukakan beberapa ide-ide dan saling berdiskusi mengenai identifikasi kami, beliau bertanya yang untuk ukuran seorang yang mengarahkan kemanapun pembelajaran kami di matkul ini, sangat katakanlah nyeleneh.

‘Njuk ngopo?’

Kalaupun kami tahu kerajaan ini ada pada masa segini, mereka berhubungan dengan kerajaan ini dan itu, membentuk diplomasi disini dan disana, dipimpin oleh si A pada masa puncaknya, dan runtuh karena suatu hal, apa feedbacknya buat kami di masa dimana segala hal yang baru saja kami ketahui bisa dilacak di banyak media dalam hitungan yang amat sesaat. Sejarah itu bukan soal menghapal ini dan itu, tapi lebih kepada mengerti. Kami bukan anak SD yang ditanyai siapa tokoh perang A dan perang B, dan ditanami bibit-bibit kebencian pada Belanda. Kami diajak menyelam, persoalan laut mana yang kami pilih, dan mau sedalam apa kami berusaha, itu urusan kami, selama kami memiliki perbekalan yang cukup.

Sedikit strukturalis sih, tapi menurut saya tiada salahnya kalau kita memiliki pemahaman semacam ini, bahwasanya setiap hal di bumi berada untuk paling tidak sebuah alasan, termasuk para hantu, siluman, mitos, dan ilmu ilmu cenahyang —kalau anda percaya tentunya—. Pertanyaan yang kritis ini memancing analisa dari setiap hal, kehausan akan setiap spasial kosong di ruang-ruang kesejarahan. Pertanyaan yang saya kira, menjamin kelangsungan hidup seseorang secara mental.

Bingung itu baik, bertanya itu bagus, dan berusaha untuk menemukan jawaban serta penyelsaian adalah langkah terbaik setelahnya. Beberapa kali saya renungi kalimat ini, dan saya betul menemukan esensinya. Kalau mencari jawaban terlalu sulit, cukuplah mencari pertanyaan. Kapasitas seorang pelajar memang demikian adanya. Lain lagi kalau sudah profesor.

Ini pertama kalinya, saya menunda sekedar beberapa bait testimoni bertambahnya angka belakang usia saya dan berkurangnya jatah keseluruhannya. Bukan apa-apa, kesempatan memang baru datang detik ini. Kemarin itu banyak sekali kesibukan yang melanda, belum lagi saya betul butuh kesunyian untuk sekedar menulis beberapa hal konyol bersama Untung untuk di post di blog pink yang hampir mencapai usia ketiganya itu.

Delapan belas tahun lalu, dunia berdinamika seperti biasa, saya hanyalah seorang manusia yang lahir bersamaan dengan ribuan lainnya. Semuanya hanya akan jadi luar biasa ketika saya sudah menjadi luar biasa. Tapi kali ini, delapan belas tahun setelahnya, seseorang dengan banyak tanda tanya ini sedang berusaha menemukan jawaban dari setiap tanda tanyanya, berharap dirinya berkembang, semakin baik, dan bisa menjadi seperti apa yang dia dan orang tuanya, juga orang lain di sekitarnya impi dan ekspektasikan soal dirinya.

Dini hari 20 Mei 2014, saya masih larut dalam perbincangan bersama seorang teman yang berkunjung. Hape saya kemudian bergetar, dan pesan dari seseorang tertampil di layar. Seketika itu perasaan saya tak bisa berbohong, dan hati saya tergetar, terutama setelah membaca baris demi baris isi dari pesan itu. Ibu saya, untuk kali pertamanya begitu romantis. Sebenarnya beliau juga romantis di tahun-tahun sebelumnya, ucapan selamat ulang tahun yang disertai dengan doa-doanya tak pernah gagal membuat saya lemas dan tenggelam dalam haru sarat air mata. Tapi untuk kali ini berbeda, setelah kami terpisah puluhan kilometer, tengah malam ini amat berharga.

Paginya, di perjalanan menuju kampus untuk rutinitas biasa, ayah saya menyusul dengan pesannya sendiri yang persis saya tahu, dikirimnya sesampainya ia dirumah dari kerjanya. Isinya berbeda, dengan gaya mereka masing masing, tapi efeknya sama. Sayangnya ada banyak hal yang membuat saya menahannya dan kali ini, ketika beberapa hari telah berlalu, dan saya baru memiliki kesempatan untuk sendirian, saya menumpahkan semuanya tanpa bisa sedikitpun menahannya. Rahang ini kaku.

Pesan mereka membangkitkan masa lalu, waktu-waktu dimana aku masih sangat kecil itu seketika terpanggil kembali. Melihatnya dari sini, dari pandangan yang sudah setinggi ini, dari kota yang jauh ini, dan dari atmosfer yang berbeda ini, semuanya seolah hanya dongeng yang tak pernah benar benar terjadi meski aku meyakininya. Ratusan hari sudah aku bergelut sendiri dengan manajemen uang dan stok kehidupan serta segala hal soal hidup mandiri yang samasekali asing dariku. Setiap harinya, berangkat dan pulang tanpa menyalami satu orang pun, tanpa ingin cepat kembali untuk bertemu satu orang pun, tanpa sepulang beraktivitas berbagi cerita dan melepas lelah bersama dengan satu orang pun. Aku hampir terbiasa dan tak merasakan luka kesepian itu lagi, itulah mengapa aku pikir aku telah bergerak begitu jauh dari dongeng dongeng masa kecil itu, lalu seketika ditarik kembali mendekat dalam waktu singkat.

Dari delapan belas tahun, tujuh belas di rumah telah kuhabiskan untuk banyak hal yang jauh dari kata baik-baik saja. Aku tak pernah jadi anak manis yang penurut dan rajin membantu atau belajar. Aku selalu saja jadi pembelot dan pembangkang yang keras kepala. Aku yakin ada banyak sekali dosa, meski aku berharap dan yakin, kalian, orang tuaku tersayang tak akan pernah menganggapnya demikian. Sejernih apapun udara di kota ini, kota dengan polusi pekat itu yang mengenalkanku pada kehidupan, dan sejauh apapun aku pergi, aku akan kembali kesana.

Kini aku sendirian disini, menanti waktu pulang sebulan lagi dan berharap selagi aku pergi jauh, segalanya tak akan ada yang berubah. Aku berada disinipun bukan menjadi orang baik, aku masih seperti diriku yang lalu-lalu, yang payah, pembelot, malas dan lain sebagainya. Aku hanya berharap setiap hal yang kulakukan disini, perjuanganku untuk berada jauh dan menderita oleh homesick setiap habis pulang akan berbuah sesuatu di masa depan yang baik bukan hanya untukku, tapi juga untuk kalian semua, orang tuaku terutama, keluargaku, dan orang terdekatku lainnya.

Kalau sekarang usiaku 18, dan pertanyaannya adalah ‘Lalu kenapa?’ dengan senang hati akan kujawab. Aku sudah punya semakin banyak angka, kuharap semakin banyak hal baik pula yang kupunya. Aku berharap langkah yang kutapaki mendekatkanku lagi dan lagi sesuatu yang aku cita-citakan. Dan selalu, keselamatan dan kesehatan, juga panjang umur untuk orang tuaku, adikku, aku, dan semua orang yang kusayangi.

Terimakasih untuk semuanya, untuk orang tua saya, adik saya, untuk manusia sok romantis di Little Netherland sana, untuk teman teman kelas yang luar biasa atas beberapa potong cake, ucapan, doa, dan petualangan setiap harinya, untuk dua orang yang menemani saya dengan sate dan obrolan luar biasa malam ini sampai larut, untuk hari hari yang menyenangkan. Semoga kedepannya semakin baik, semakin menyenangkan.


Amin.



No comments:

Post a Comment