Trending Topics

.

.

Tuesday, December 09, 2014

Saya dan Bahasa


Saya mau curhat dikit gapapa ya? Sebenernya, saya udah niat nulis ini sejak seminggu yang lalu, pas topik yang saya dapet dari kuliah umum ini masih seger. Tapi ada aja hal yang semakin menjauhkan saya dari dunia tulis menulis akhir-akhir ini. Pertama, jelas kesibukan. Yang namanya ngedeadline menjelang minggu tenang dan uas adalah ritual non resmi yang pasti akan menghampiri tanpa harus dinanti-nanti. Ada proposal PPS, ada eksposisi, artikel, storry telling abad 17-18, bahasa belanda dan segala kelengkapannya, dan lain sebagainya. Belum lagi, hampir setiap matkul di periode yang sedang kita bicarakan ini menugaskan tugas-tugas berbau presentasi, dan saya, sebagai tukang ppt di setiap kesempatan tak jarang menjadi pemilik dari lahan waktu luang yang kian menyempit.

Tapi semua itu bukan apa-apa gaes. Well, dari dulu saya bermasalah sama linguistik. Mungkin di blog ini atau yang satunya saya pernah cerita kalo dalam banyak kesempatan saya gagal mengompromikan peraturan dan keengganan diri yang flamboyan ini untuk diatur. Saya suka sastra. Urusan baca maupun buat dari mulai puisi, cerpen, sampe cerita panjang yang gak kelar-kelar saya oke. Tapi buat teknis, saya angkat tangan. Kampungan, kalo katanya dosen tata bahasa saya :v.

Dari SD kelas satu kita semua di tanah tumpah darah Indonesia ini kan belajar bahasa Indonesia, otomatis belajar perihal linguistiknya juga, lantas kenapa di usia yang hampir kepala dua ini kita masih punya banyak masalah? Selain dari beberapa faktor yang meski terlihat antara ada dan tiada pada praktiknya cukup menentukan, ya, kita lulus dengan substansi yang ada untuk dilupakan di kemudian hari (haha, akui saja lah~). Dari kelas satu juga kita sudah merasakan berupa-rupa jenis guru B. Indonesia. Anehnya ada yang sampai bagi raport tetap gak bisa berkompromi sama saya dan berakhir dengan memberi saya nilai pas-pasan, tapi ada juga yang akhirnya membuka mata saya untuk menyukai persoalan bahasa, bahkan sampai jatuh menyukai perihal tulis-menulis.

Guru B. Indonesia waktu SMP ganti dua kali. Salah satunya membuka mata saya dan membuat saya jatuh cinta pertama kali pada sastra, tapi yang lain menyalahkan jawaban saya pada soal membuat kalimat. Waktu itu saya buat satu kalimat sampe tiga baris dan menurut beliau itu salah karena kepanjangan. Saya gak ingat betul waktu itu kami udah belajar kalimat majemuk belum, tapi seingat saya pas sd kalimat majemuk pernah disinggung sedikit ketika menjelaskan tentang kata sambung. Tapi kan ya, pengalaman berkata kalau selama sekolah kita sering kali mempelajari teknik dan berpraktik secara terpisah. Kadang teknik hanya berupa hapalan dan praktik adalah pemraktikan penggunaan trik berdasarkan pola.

Percaya atau nggak, waktu itu saya punya pemahaman kalo kata ‘dan’ dan ‘atau’ bukan hanya bisa menyambung objek-objek berupa benda, kata kerja, atau partikel apapun yang cuma terdiri dari satu kata atau sebuah kata yang disertai sifat, tapi juga kalimat-kalimat kecil yang pada saat itu belum saya ketahui bernama klausa. Dari alasan itu saya berdalih saya benar, dan meskipun saya disalahkan, saya tetap menganggap kalau itu benar. Sebenernya disini saya sedikit sadar sih. Dari dulu, saya kerap mengulangi hal semacam ini. Menjatuhkan mental saya itu nggak cukup dengan mengatakan jawaban saya salah. Kalo bukan karena kepepet waktu, atau saya betul-betul terdesak dan gak  ngerti samasekali apa yang diminta sang soal yang mulia, saya sangat jarang mencontek dengan persis atau ya, menyalin. Jadi ketika jawaban saya disalahkan, saya punya pembenaran. Ketika saya memilih, saya meyakinkan diri saya bahwa alasan saya memilih cukup masuk akal, sehingga meskipun akhirnya tidak sesuai dengan suara kuorum, saya punya pembenaran yang sering kali, meskipun akhirnya kuorum membuktikan alasan dibalik pilihan mereka secara presisi, bukan saya yang salah, melainkan kami berdua sama-sama benar. Eh ini serius! Dan selama sekolah ini sering bikin saya bermasalah sama guru. Baru pas kuliah ini, jawaban saya salah tapi saya diberi kesempatan buat mengemukakan pendapat kenapa saya memilih jawaban tersebut.

Oh God, saya dapet tabiat gini dari mana ya? Tapi ini betulan dan mungkin ini juga yang bikin saya susah sekali belajar linguistik. Karena apa? Ya, saya sulit mengaku salah. Titik koma dan bla bla bla itu emang susah dan ribet. Salah satu hal yang bisa membuat hal susah dapat kita pelajari dengan sedikit lunak adalah dengan menganggap bahwa usaha untuk belajar ini bukan praktik penyulitan terhadap diri kita, melainkan fasilitas untuk membuat kita lebih baik di hal lain. Naasnya prinsip yang kedua ini belum secara sukses bisa saya berlakukan terhadap diri saya dan linguistik.

Guru-guru saya yang bisa membuat saya menyukai bahasa membawa barang super duber ajaib ini dengan cara yang berbeda-beda. Guru saya pas SMP, yang buat saya suka sastra pertama kali memberi kebebasan yang liar buat kami berekspresi. Beliau sering nyuruh kami buat tulisan-tulisan dengan tema alur yang sesuka hati, kuantitas yang pula sesuka hati. Beliau jarang mengikat diri pada aturan baku kecuali di saat ujian. Akibatnya, saya dan banyak teman-teman seusia ketika itu yang tengah menggilai beberapa jenis budaya pop menuangkan fantasi dan antusiasme kami kedalam tugas-tugasnya. Alhasil, disanalah saya jatuh cinta pada menulis untuk yang pertama kali. Kami semua para muridnya mengakui kritikan beliau pedas, tapi beliau akan menaruh respect besar kepada mereka yang beliau anggap berhasil baik.

Guru saya yang lain, tepatnya ketika SMA, menggunakan metode yang mirip dengan guru saya yang sebelumnya saya sebutkan. Beliau ya deeply involved pada kehidupan kami, menyukai hal-hal yang juga kami para bocah SMA sukai, dan dalam banyak hal cukup pengertian. Beliau juga menggunakan trik yang sama dalam memberi tugas yang kami sukai dan bernafaskan kebebasan berekspresi. Yang khas dari beliau, beliau mengajar dengan jujur yang dalam artiannya disini cukup heart to heart. Beliau tahu betul apa yang kami suka dan tidak, termasuk kedudukan materi-materi teknis di mata kami. Saya ingat, beliau juga sangat persuasif dalam menumbuhkan minat baca salah seorang teman yang bahkan belum menyelesaikan satu novelpun seumur hidupnya. Ketika materi menginjak persoalan teknis biasanya beliau akan bilang kalau memang materi itu rumit tapi setidaknya ini nantinya diperlukan dan gak semua bagian hidup itu menyenangkan jadi untuk kali ini kami harus berusaha, begitu. Haha~

Mereka guru-guru super buat orang seperti saya karena ya, memang mereka mendukung tesis asal saya soal argumentasi pribadi dan kekeraskepalaan. Dan bukan cuma itu, cara-cara mengajar tadi saya sukai karena setidaknya kami bebas dan ini menjadikan kami lebih berani untuk salah dan mengevaluasi diri, bukan menghantui pikiran kami dengan banyak tanda seru sehingga sejengkalpun pada akhirnya bagi kami sukar untuk maju karena terlalu takut —atau setidaknya enggan— salah. Tapi, yaa, ini dunia. Alam pendidikan pun tak selalu menempatkan murid sebagai sarana pendidik menyesuaikan diri, tapi juga sebaliknya. Lagipula bukankah perdamaian terbaik lahir dari kompromi.

Betapa indahnya dunia yang apa adanya tanpa formalitas, tapi akan ada banyak hal yang hilang jika ia sebetul-betulnya menjadi seperti itu kan? Mungkin kali ini memang kesempatan saya untuk betul harus mengaku bersalah dan membenarkan banyak hal dalam diri saya.

Halah, tuhkan, jadi gak jadi nulis, padahal tadinya mau nulis tentang sejarah komoditi lho :v


Monday, November 17, 2014

hari pertama musim hujan tahun ini

Dalam banyak kesempatan, aku tak bisa membedakan betul antara tak bisa berbuat apa-apa dan memilih untuk diam. Keduanya diam, tapi berbeda secara tendensi. Ketika memang tak bisa, bergerak pun tak ada gunanya, tapi berbeda dengan yang kedua. Saat ini aku yakin aku berada di kondisi kedua, tapi aku merasa tak ubahnya tak bisa melakukan apa-apa.

Di era ini, ada banyak lapisan komunikasi. Kesemuanya memiliki ikatan yang berbeda eratnya. Jika dulu semua orang saling menyapa dengan lisannya masing-masing, sekarang komunikasi semacam itu jadi mewah. Ada beberapa anak yang kaku jika bicara dengan orang tuanya, ada yang pintar tapi diam saja di kelas, ada yang pendiam juga bahkan di tengah-tengah lingkungan sejawatnya. Handphone, ponsel, smartphone, atau apapun istilah dan fiturnya, selalu setia berteman dengan kesendirian orang-orang yang wajahnya bersinar dalam gelap. Mereka teman hidup orang saat ini. Topeng tercanggih yang memungkinkanmu memasang segala muka, segala ekspresi tanpa harus mempertanggungjawabkannya. Maksudku, ketika kau tersenyum, tertawa, menggila, sendirian pun kau aman dari cela ketika kau punya mereka, sesuatu yang menyinari wajahmu dalam kegelapan.
Suatu ketika, hampir semua orang telah masuk ke dunia tanpa musim. Segalanya bergerak cepat dan mengalir. Penuh dengan keluh kesah, harap, dan serapah sembarang manusia. Meski terlihat kotor dan tak bernorma, dunia semacam ini, menurutku, dunia yang menampilkan banyak kejujuran. Di alam paralel ini sekalian kata tak terucap dengan lisan terlontarkan, sekalian rasa tak terjamah ekspresi tertuangkan, semuanya dalam sederet kata, sepenggal tayangan, atau hanya beberapa gambar.

Aku tak begitu cinta teknologi. Bagiku ia hanya anak zaman. Ia hanya kendaraan beroda empat yang harus kita naiki jika ingin lewat jalan tol, sedang aku lebih suka jalan kaki, berlama-lama dan memutar jauh mengikuti lekuk kehidupan yang alam sediakan. Tapi kadang aku tak sanggup melalui beberapa hal. Meski berkata demikian, aku tak ubahnya sekalian orang, yang jadi mangsa dari anak zaman. Suatu ketika, aku memutuskan dengan segera—tanpa berpikir terlalu mendalam— kalau dalam kasus ini, aku hanya bisa naik kendaraan roda empat. Demikianlah aku disini.

Jika aku berjalan kaki, mungkin aku bisa bertemu, menyapamu, atau mungkin menawarkanmu berbagi payung ditengah gerimis yang mulai menghujam. Sekali waktu di kesempatan yang selanjutnya atau yang selanjutnya lagi, mungkin aku bisa mengatakan sesuatu: mengatakan padamu entah itu soal rasaku atau kata-kata menyerahku, mengatakan padamu apakah setelah kita sampai di persimpangan jalan di dekat rumahku kau boleh mengantarku sampai gerbang dan membawa payungku untuk kau pinjam dan kau kembalikan lagi di pertemuan yang berikutnya, atau sekedar selamat tinggal lalu meninggalkanmu bersama payung itu, berlari ke simpang yang lain tanpa menoleh lagi, dan menjauh selamanya, sembari membiarkan air hujan membasuh segalanya.




Beribu sayang aku berada disini, di dalam kendaraan roda empat: mobil yang aman dan nyaman. Dengan segala daya yang sesungguhnya ada, aku membiarkan segala rupa dinding dan batas melintang antara aku dan sosokmu di trotoar: udara, wewangian, kaca jendela yang mengembun, debu yang luruh, rinai hujan, angin, mendung, dan kilatan cahaya, kendaraan lain, tawa tangis orang lain, dan dedaunan basah. Aku mengatakan sesuatu dari dalam kaca, sesuatu yang mungkin —atau hampir pasti— tak akan bisa kau dengar. Untuk tahun kesekian dan kesekian kalinya, aku telah berbisik sampai berteriak gamblang. Setahun aku telah berperjalanan hingga kembali ke titik ini, di mana aku melihatmu, mengatakan sesuatu padamu, dari dalam mobil untuk sampai ke sosokmu di trotoar, menembus segala partikel, tapi tak hingga. Entah bagaimana dengan tahun selanjutnya tapi, aku ingin jadi anak anak lagi, yang bisa tanpa mobil memakan ceri di kuemu, menumpuk kado di meja, lalu mengucapkan selamat ulang tahun dan meminta bingkisanku sebelum akhirnya pulang ke rumah dengan bahagia.

Sunday, September 21, 2014

Meeting a Profesor



Mindblowing, itu kesan luar biasa yang beliau tinggalkan di kelas pertama kami. Bayangkan, dua belas tahun kami belajar di sebuah lembaga pendidikan konvensional bernama sekolah, berusaha menaklukan kurikulum yang berubah sesering pergantian kabinet presiden lewat segala ujiannya yang membuat kami kian tabah sekaligus kian licik kian kami tua,  tapi di hari itu segala apa yang kami peroleh darinya runtuh. Sejarah Indonesia, yang pahit manis dan luar biasa romantis dengan nasionalismenya teryata hanyalah skenario pelengkap syarat eksis sebuah institusi bernama negara. Luar biasa.

Seketika pijakan kami hilang, atau setidaknya bagi saya pribadi. Sebuah nyala api yang ternyata semi semu bernama nasionalisme itu salah satu alasan kuat saya masuk ke jurusan ini lho, tapi baru di pertemuan pertama ia disegerakan untuk padam. Soekarno hanya manusia biasa yang condong ke Jepang dan menghimbau para lelaki untuk jadi romusha, tapi divermak disana sini namanya demi menjadi ikon bapak bangsa yang sempurna. Soekarno yang dikhianati oleh orde baru seolah hanya mengalami let’s say, karma, atas hal sewarna yang pernah ia lakukan pada Sjahrir. Soeharto adalah murid terbaik Soekarno, regenerasinya yang paling sempurna. Dan Golkar saudara-saudara, pertama kali dibentuk atas prakarsa Soekarno.

Itu baru sedikit, sedikit sekali diantara banyak betul hal, kenyataan baru yang luar biasa, yang mampu menawan hati untuk terdiam barang beberapa detik, menengok kebelakang, dan mendapati semuanya, masa lalu, sejarah dalam sudut pandang saya selama ini berangsur layu. Sementara untuk menumbuhkan yang baru, saya masih belum menemukan pijakan hingga saat ini. Sekarang, jika saya ditanyai alasan saya mengapa masuk jurusan ini dahulu, saya sudah kehilangannya, tapi jika saya ditanyai apa alasan saya untuk tetap bertahan di jurusan ini kedepannya, salah satu yang utama adalah untuk menemukan pijakan itu kembali. Karena di kelas pertama itu, di hari dimana saya ditegur karena secara tanpa sadar memainkan tombol ballpoint, beliau bilang kalau nanti kita akan menemukan cara untuk mencintai negeri ini dengan pandangan baru yang tidak lagi naif. 

Semester berikutnya, di kelas-kelas lain, pertanyaan-pertanyaan senada terus bermunculan. Alasan seperti masuk sejarah karena punya hapalan yang bagus atau nilai sejarah di raport yang memukau tak lagi bisa diandalkan. Kami bukan menghapal, tapi mempelajari hal yang luar biasa baru. Rasanya tak ubah belajar menggunakan kacamata yang berikutnya akan kita gunakan seumur hidup apapun yang kita lihat kedepannya. 

Ditengah perjuangan menemukan bukan hanya hasil dari yang dipelajari tapi juga diri sendiri ini, saya kembali bertemu orang-orang hebat. Suatu hari juga di kelas sang profesor, kami pernah membahas perbedaan pendidikan sejarah dan ilmu sejarah. Diskusi waktu itu berlangsung sangat seru, karena bagaimanapun pokok bahasannya adalah hal yang amat dekat dengan kami, yang baru beberapa bulan lalu kami tinggalkan, dan yang selama belasan tahun telah tertanam dan membentuk fondasi pemikiran kami soal sejarah. Sejarah sebagai ilmu bukan sebuah kajian normatif yang menggunakan sejarah untuk mengatakan suatu hal salah atau benar, sangat bertolak belakang dengan apa yang kami pelajari di sekolah. Ketika itu, seorang teman saya menyeletuk soal jika memang seperti itu, betapa institusi yang mengajarkan sejarah pendidikan telah mengajarkan banyak kebohongan. Tapi beliau menyanggah dengan jawaban yang sama sekali tak saya kira. Institusi keguruan memang bergerak dibawah pemerintah formal, kurikulum juga menjadi satu bagian dari kekuasaan orang-orang atas mengenai visi mereka dalam membentuk negara, tapi diluar sistem dan atmosfer yang demikian, kita sebagai pribadi yang telah bertahun-tahun menikmati masa-masa sekolah pasti pernah memiliki guru-guru sejarah yang luar biasa, yang bisa jadi merupakan salah satu alasan kuat kami berada disini. Buat saya pribadi, hal ini luar biasa betul. Istilahnya, mata pelajaran yang pertama kali membuat saya menikmati proses belajar disamping proses bermain di sekolah adalah mata pelajaran semacam ini. Sesi dimana sejarah atau pengetahuan umum lainnya diajarkan adalah sesi amat menyenangkan, ringan, dan bagi saya cukup menghibur dan mengundang banyak sekali kekaguman. Ia tak pernah menuntut saya untuk melakukan hal yang tidak saya sukai semacam menghitung atau menyalin, melainkan cukup mendengar berbagai cerita luar biasa, menjawab kuis kuis menantang, dan bercerita.  Sungguh sebuah waktu pembalasan dendam yang sempurna ketika terlalu banyak hitung-hitungan telah menyiksa saya. Dan dibalik saat-saat menyenangkan semacam ini, ada beberapa orang hebat. Guru-guru sederhana yang saya kagumi hingga saat ini. 

Di kelas beliau yang mindblowing ini, saya seolah dibawa kembali kepada euforia kuis semasa SD dulu. Adrenalinnya mirip, suasananya sama-sama tegang tapi menyenangkan. Kata profesor sebelumnya hanya pernah saya temui di film-film di televisi. Kalaupun dalam dunia nyata, ia pastilah rektor-rektor universitas yang sekali dua kali pernah saya dengar namanya, tapi wujud dan tuturnya tak terbayang sama sekali. Ketika saya mengikuti sebuah program sehari sit-in di IPB, saya merasakan diajar beberapa dosen. Salah seorang dosen yang ahli hewan dan genetika memang saya akui mengajar dengan sangat menarik. Pembawaannya membuat saya yang tak tahu menahu soal hal semacam itu jadi cukup terbawa dan tertarik, tapi tidak dengan dua dosen lainnya. Ketika itu saya bertanya-tanya kalau nanti saya bukan cuma sit-in melainkan sebetul-betulnya kuliah, dosen seperti apa yang bakal saya alami kelasnya, sembari berdoa semoga saya akan bertemu orang orang seperti dosen genetika ketika itu. Dan luar biasanya, doa itu terkabul.

Kali pertama beliau masuk di kelas kami adalah pertama kalinya saya melihat seorang profesor, dan kalau kalian suudzon bahwa belajar sejarah mengundang kantuk, tarik kembali semua itu. Mindblowingnya luar biasa. Satu hal yang nggak akan pernah saya bisa lupa. Mendengar penjelasan beliau rasanya seperti dilayangkan kesana kemari, dan kesadaran sepenuhnya baru akan kembali ketika beliau memutusnya dengan menanyakan tanggapan atau pertanyaan kepada siapapun diantara kami. 

Semua itu belum termasuk soal tulisan beliau, yang sebetulnya adalah alasan mengapa saya menulis tulisan ini sekarang. Mata kuliah babon semester ini mengajukan skripsi kecil sebagai syarat lulus, syarat tersebut harus mulai kami kerjakan selepas mid-semester, dan saya belum tahu mau menulis apa. Mungkin dalam alam pikiran saya sudah 4-5 kali memutar pendirian mengganti topik, padahal sudah saya cicil mencari tema-tema menarik sejak liburan. Dalam masa-masa pencarian tema itu saya terus mengalami banyak renungan baik soal posibilitas, spasial mana yang harus saya jadikan sampel, sampai kadang saya kehilangan apa makna penelitian sejarah itu sendiri. Kunjungan ke dinas arsip kemarin tak terlalu banyak membantu selain membuat saya tahu kalau karena mereka kedinasan, mereka jadi lebih banyak menangani arsip pemerintah yang kering dan kurang asik diajak nyeleneh sebagaimana tema-tema sosial yang kecil. 

Beruntung ditengah kebimbangan itu saya menemukan tulisan beliau soal sejarah sosial Jakarta. Rasanya semangat yang sempat hampir padam oleh tiupan angin di sana sini memijar kembali. Sejarah kembali pada wujudnya yang ramah, kembali menjadi kacamata yang bisa digunakan untuk melihat apapun. Pengertian soal ‘segala hal bisa ditulis’ itu akhirnya kembali. 

Apapun yang saya tulis, saya pasti menulis hal sepele yang menyenangkan untuk saya pribadi. Doakan saja, semoga diantara kesepeleannya, ia bisa memiliki landasan metode yang cukup kuat sehingga bisa dikategorikan ke dalam yang tak terlalu menyedihkan. Bagaimanapun ini bagian dari proses belajar, dan saya beruntung memiliki kesempatan ini. 

Meeting a profesor, hal yang baru pertama kali saya lakukan dalam hidup saya, dan itu super! Dengan kesempatan ini, saya membuktikan, bahwa gelar akademis memang bukan hal sembarangan. Nggak semua doktor bisa jadi guru besar, tapi bukan hanya karena hal itu gelar tersebut jadi hebat. Saya nggak tahu lah, tapi jelas orang-orang semacam itu punya kekuatan tertentu. Tuhan, suatu hari nanti, saya punya mimpi untuk bisa berdiri di mimbar-mimbar kelas dengan kekuatan semacam itu. Kebahagiaan yang luar biasa kalau saya melakukan seperti apa yang telah mereka lakukan untuk saya ke lebih banyak orang.


Yuanita Wahyu Pratiwi
21 September 2014

Monday, September 15, 2014

Nikmatnya Bersama-sama bagi Seorang Introvert

 
Di film yang hampir 10 kali saya tonton ulang, Titanic, Rose Dewitt Bukatter tua pernah berkata, “Hati seorang wanita adalah lautan yang amat dalam…” dan ketika itu saya amat tersentuh. Saya yang masihlah hanya seorang abege labil seketika disulap emosinya untuk turut terlibat dalam film luar biasa tersebut, dan saat itu juga menjadi semerana Rose dan menangis tersedu padahal sebelum menonton saya jingkrak-jingkrak bahagia karena salah satu film favorit saya ini kembali unjuk gigi di televisi. Sebetulnya dalam tulisan ini, Titanic bukan soal. Memang hobi saya membuat opening yang agak melenceng dari konteks, tapi okelah, karena semua tetap akan teruntai dengan satu benang merah. Kali ini sebetulnya saya ingin menyoroti quote Rose diatas. Kalau baginya yang hidup dalam pendustaan terhadap keinginan nuraninya, hati seorang wanita, atau singkat cerita hatinya sendiri adalah lautan yang amat dalam, bagi seorang introvert yang sangat menghindari segala macam risiko seperti saya, hati semua orang adalah lautan yang teramat dalam.

Kebiasaan menghubung-hubungkan keadaan saya yang sekarang dengan masa lalu ternyata adalah kemampuan yang saya miliki sejak sebelum mendalami Sejarah, dan semakin menjadi-jadi saat ini. Jadi sepertinya salah jurusan bukan lagi kemalangan yang saya alami dalam periode ini. Prodi ini adalah rumah bagi the rest of my life. Sebagai buktinya, post ini adalah post kesekian yang membuat saya memulai cerita dengan sepenggal kisah di masa lalu saya.

Jadi begini, saya anak pertama bagi sepasang suami istri muda ketika itu yang dihujani segala macam saran dan wejangan dari yang asalnya pengalaman sampai mitos turun temurun. Sebagai ‘pengalaman pertama’ saya dibesarkan dengan banyak eksperimen #dor. Maksudnya adalah, kebayakan dari saran tersebut ditampung oleh kedua orang tua saya, dan soal kredibelitas saran, yang jadi patokan kadang bukan lagi logika melainkan track record dan posisi sang pemberi saran bagi yang diberi saran. Singkat cerita, meski kata bidan yang baik untuk kesehatan a, kalau kakaknya ibu saya atau simbah bilang b ya yang dilakukan b. Alasannya, wong bu bidannya juga belom punya anak kan, tau apa dia :v

Selain daripada mitos-mitos, saya dibesarkan dalam kapsul kekhawatiran. Ibu saya ketika saya lahir sampai berusia beberapa bulan masih bekerja, dan ketika itu lah tanggung jawab asuhan atas saya ketika ibu saya bekerja berpindah dari satu nanny ke yang lain hingga beberapa kali. Ndelalah, saya sakit-sakitan. Entah ini faktornya apa, tapi setelah sharing dengan sekalian banyak manusia, kebanyakan anak pertama memang punya kisah yang semacam ini. Puncaknya ibu saya keluar kerja. Seluruh perhatian kemudian tercurah kepada saya, tapi saya tak kunjung menunjukan tanda keramahan pada keputusan ini. Sampai TK saya masih rawat jalan gara-gara asma dan bronkhitis yang menjangkit dari usia 2 tahun. Sebelumnya, entah penyakit apa yang jelas saya hampir setiap minggu ke rumah sakit dan beberapa kali sampai dirawat inap. Dengan track record yang sekelam itu, meski setelah masuk TK saya menunjukan progress kesehatan yang luar biasa, ortu saya tetap dihantui trauma. Yang namanya surga anak-anak seusia itu semacam CIKI, ES, PERMEN, COKELAT, HUJAN-HUJANAN, PANAS-PANASAN, DAN MAIN BERLEBIHAN dicoret dari daftar hal yang boleh saya sentuh. Setelah beberapa lama berada dalam kukungan ini, betul saya sehat, tapi begitu terkena satu dari alergen diatas saya memang bisa jadi langsung jatuh seperti ancaman ibu saya. Dan karena ini saya memiliki keterbatasan waktu bermain hingga hampir usia-usia main saya habis.

Kalau sepulang sekolah saya lihat teman-teman sebaya lari-lari di lapangan, saya dipaksa tidur siang. Kalau yang lain jajan ciki, saya jajan roti, yang lain minum es warna-warni, saya beli susu. Masa kecil saya akhirnya memiliki warna yang cukup berbeda dari yang lain. Dulu, berlama-lama main di akhir pekan dengan pengawasan spesial orang tua adalah momen yang paling saya tunggu-tunggu. Kalau sudah asyik saya kerap kali enggan diajak pulang. Perihal keabsahan cerita, tanya lah teman-teman masa kecil saya atau ibu mereka. Setidaknya, meskipun ibu saya setia mengingatkan untuk tidak menyentuh ini dan itu, saya memiliki kesempatan terbang bebas sejenak ke langit dimana mahluk lain seusia saya mengepakkan sayapnya.

Karena hal ini, dulu saya super berisik. Cengeng jelas, karena ibu saya sangat sering memperingati untuk tidak menyentuh hal yang selalu sangat menggoda untuk saya sentuh, dan air mata lantas mengalir begitu saja. Tapi baiknya, dari hal ini, saya mudah sekali bergaul dengan segala usia. Anak seusia saya, adik-adik orang tua saya, teman kerja ayah saya, sepupu-sepupu yang lebih tua dari saya, mereka semua adalah teman yang menarik. Mereka selalu punya cerita dan beberapa jajanan. Mereka adalah orang baru diluar orang tua saya yang ketika itu dalam anggapan saya amat lurus dan terlalu menegakkan peraturan yang membosankan.

Tapi belum lama hal ini terjadi, saya diculik oleh dunia baru bernama sekolah. Disini jelas saya punya banyak sosok teman yang selama ini saya cari dari setiap pribadi yang saya temui. Mereka adalah orang-orang yang bisa saya ajak bicara dan berbagi mengenai apa yang saya inginkan dan mengerti akan itu. Mereka jauh lebih luar biasa dibanding teman-teman ayah saya atau sepupu-sepupu yang lebih tua. Sekejap, pandangan saya terhadap dunia berubah. Lingkungan di sekitar rumah yang memang berada cukup jauh sejak isolasi itu, membuat saya melupakannya dengan mudah ketika saya menemukan keasyikan di sekolah. SD sampai lulus, SMP, lalu SMA, hingga saya sadari saya tak bertegur sapa dengan mereka yang saya lihat sejak sama-sama kecil. Kami banyak bersekolah di tempat berbeda, membicarakan hal berbeda dan banyak melakukan hal berbeda, hingga saya tak tahu lagi apa yang menyatukan kami selain kilas-kilas gambar di masa lalu. Saya akhirnya diam.

Baru akhir-akhir ini saya sadar, kalau memiliki teman akrab bagi seorang seperti seperti saya telah menjauhkan sejauh-jauhnya diri saya dari aktivitas mencari teman. Teman akan saya cari ketika saya tidak punya, begitulah yang kemudian lebih sering terjadi, atau bahkan kadang saya berpikir lebih baik saya sendiri. Rasa takut akan penolakan dari lingkungan selalu menghantui ketika saya berkaca, berjalan keluar, dan berkeinginan untuk menyapa seseorang. Saya tak mengenal mereka, bagaimana kalau salah menafsirkan maksud baik saya. Sungguh hal yang sangat jauh berada dari kepribadian kecil saya yang haus akan teman. Jadilah saya tumbuh lebih dengan kecenderungan sebagai seorang introvert.

Saya beruntung, cangkang tempat saya berlindung dari dunia luar yang penuh ketidak tentuan adalah pintu rumah, bukan pintu kamar. Dinamika ini membuat keluarga menjadi satu-satunya kesatuan yang transparan bagi saya. Saya membagi banyak hal dengan mereka, malah hampir setiap hal. Tapi masalahnya adalah ketika saya keluar dari rumah, tidak ada yang menggantikan posisi mereka kecuali sekedar sambungan telepon dan kiriman sms. Padahal di satu sisi, saya juga berpisah dengan teman-teman lama saya.

Di tempat baru ini, saya terjun bebas. Menutup mata dari segala ketakutan dan hanya setia berpegang pada takaran hakiki salah dan benar. Saya mencari teman lagi, dan akhirnya menemukannya.

Keheranan pertama saya muncul di pertemuan pertama teman-teman fakultas, lalu sejurusan. Mereka yang berada dalam lingkup ini membawa atmosfer yang amat berbeda dari teman-teman satu kelompok ospek di universitas. Ketika setiap diantara kami diminta berbagi cerita, mereka para teman sejurusan hampir semuanya adalah yang berpandangan sama seperti saya. Hal yang tidak berbeda juga terjadi dengan angkatan baru 2014. Seolah jodoh alam, kami memang ditakdirkan untuk digiring dalam satu frame kisah yang sama disini dengan cara-cara yang meski beragam, terpetakan indah dan amat serupa polanya.

Kami menertawakan banyak hal, peduli pada hal-hal yang bayak dilupakan orang lain. Kami menyukai atmosfer yang sama, berhobi sama, tahan mengobrol berlama-lama dan masih banyak lagi. Kami bersatu, satu angkatan, semakin ditempa semakin solid sebagaimana perasaan nyaman saya ketika pertama kali diterima di tengah-tengah komunitas ini.

Mungkin ini keberapa kalinya saya mengatakan kalau saya amat bersyukur berada dalam komunitas ini. Ini adalah kelas pertama dimana hampir satu sama lain sekelas bisa bersatu dan tertawa bersama dalam satu lelucon, saling mengejek dan menertawai, mengerjai dan meneriaki tanpa dendam. Awalnya memang semuanya tak serta merta sedekat ini, beberapa keretakan juga sempat mengusik soliditas kelompok kelas kami, tapi kemudian mereka tertinggal di bingkai waktu yang lalu sementara kami bergerak kian maju, kian erat.

Beberapa kali kami dipekerjakan dalam satu kesempatan, dipaksa oleh sense of belonging untuk saling bahu-membahu menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada kami. Dari sini kami semakin mengenal pribadi demi pribadi. Setiap orang berdiri dengan banyak kekurangan dan kelebihan, tapi pointnya adalah kami menerima satu sama lain sebagai manusia yang sebagaimana adanya.

Lingkup masyarakat baru ini menyadarkan saya akan kenikmatan berada dalam sebuah lingkup kelompok yang terdiri dari banyak orang. Memiliki teman bukanlah soal bergenggam tangan erat dengan seorang yang kita jaga betul perasaan dan kenyamanannya agar terus berada disisi kita, melainkan menjadi sebetul-betulnya manusia dihadapannya. Jika marah, silakan marah sampai bisa menjelaskan mengapa kalian marah dan apa yang harus saya perbaiki. Jika sedih, bergabunglah bersama dengan yang lain, tertawa dan lupakan segalanya. Jika kecewa, ungkapkan, niscaya selalu ada ujung yang bisa diraih bersama dengan tangan dan pikiran yang terbuka.

Sekarang saya baru saja menemukan artinya. Teman bukanlah soal satu atau dua orang yang setia tapi tertutup matanya, mereka adalah rekan terbaik yang siap menampar, memukul, memaki, dan menarik kita kembali ke jalan yang baik. Selama ini saya terlalu takut dan tertutup, lalu mencukupkan diri dengan kukungan yang kian menciutkan hati. Saya memiliki keluarga yang sepatutnya telah lama menyadarkan saya tentang definisi baru yang senantiasa mereka tanamkan pada saya ini, tapi bodohnya saya baru menyadari kalau hubungan seperti ini bukan hanya dengan keluarga baru-baru saja.

Kalau saya sempat diisolasi, tak diperkenankan banyak bermain dan sebagainya, orang tua saya tak pernah berniat jahat. Mereka hanya dihantui banyak pemikiran dan ingin yang terbaik bagi saya untuk dapat tumbuh juga dengan baik seperti yang lain tanpa harus dibahayakan. Toh jika bukan karena sikap saya yang lalu, saya tak akan belajar darinya. Saya tak akan mendapatkan pemahaman ini, dan satu lagi poin mengenai betapa hidup adalah sebuah fase luar biasa.

Manusia makhluk sosial. Perasaan hati diungkapkan dengan bahasa sementara bahasa adalah alat untuk saling mengerti satu sama lain. Selain bahu-membahu dalam pemenuhan kebutuhan yang sifatnya fisik dan primer, manusia berbahasa karena saling butuh dimengerti. Introvert bukan kesalahan. Memang beberapa tempaan dalam hidup membuat bentukan tiap orang berbeda-beda, dan tak ada yang salah atau benar perihal itu. Entah saya introvert atau bukan, entah jika saya introvert saya bisa berubah atau tidak. Yang jelas, meskipun saya kadang menikmati waktu sendiri, meskipun untuk melakukan hal tertentu saya harus sendirian, saya menikmati waktu bersama-sama. Teman adalah salah satu hal paling luar biasa dalam hidup saya, dari orang tua saya, keluarga saya, guru-guru saya, rekan saya di sekolah dan di kampus, kawan lama saya, teman kelas saya yang sekarang, mereka semua teman saya. Mereka yang membagi hidupnya dengan saya, menginspirasi saya, mengingatkan saya ketika salah, dan senantiasa membuat saya menjadi lebih baik siapapun itu adalah teman-teman saya.



Yuanita Wahyu Pratiwi 15 September 2014
Untuk teman terbaik saya, yang ulang tahun tanggal 13 kemarin, Ibu saya.

Friday, August 08, 2014

Berbisnis, Bertaruh dengan Waktu


Njirr lama banget ya~ sejak terakhir kali saya menyapa blog ini. Puasa Ramadhan saya juga puasa nulis, kecuali barang nulis status mungkin hhoho#dor padahal kan gitu, akhir-akhir ini sangat banyak isu yang seksi dari mulai pemilu pertama saya *yaterus?*, kemelut di Palestine yang menurut saya menyandera logika, ISIS coy, event-event pribadi semisal lebaran yang sepi di Cikarang, ngotu dan nyenen, dan masih banyak yang lainnya. Tapi saya justru baru punya greget nulis sekarang, dan samasekali bukan karena yang hot-hot diatas, tapi biasa, masalah yang mengorek nurani, meski kadang tak berarti apa-apa bagi sekalian banyak orang.

Kemarin saya ke pasar sama ibu saya. Setelah beberapa hari hampir seminggu jadi sepi bak kota terpapar radiasi yang ditinggalkan penghuninya, cikarang mulai mereguk cairan nyawanya kembali. Lepas dari pintu rel kereta api pasar lama yang untek-untekan rame gila, kami mulai menjajaki pecinannya cikarang di sekitar kelenteng Liem Thay Soe Kong. Dari sana, tujuan kami ke Multi Media, sebuah stationary store alias toko ATK dan buku paling senior se-cikarang buat nyari kado temennya adek saya dan buku gambar A3 buat tugas dia bikin peta. Saya ngapain ikutan? Niatnya pengen beli cat air berhubung lama nggak maen cat, tapi pas sampe sana, niat saya urung. Nggak tahu kenapa. Mungkin dukunnya MulMed kurang manjur makanya saya gak jadi beli. Tapi sebenernya ya, uang lebaran saya udah nonsense banget, kemaren abis banyak buat ngebolang Jekardah. Belom lagi saya masih punya beberapa buku yang belom selesai dibaca. Sketch book pun masih menyisakan beberapa lembar kosong dengan seperangkat pensil dan penghapus yang masih sangat layak digunakan. Jadilah, pikiran soal mundur selangkah daripada maju menjadi serakah, ingin meraup semuanya, selagi milik masih cukup dan belum bisa betul kita nikmati semaksimal yang ia bisa membuat saya mengelus saku, lima puluh ribu, selamat.

Pulang dari sana, kami harus kembali melalui rel kereta yang berkondisi masih sangat sama seperti tadi. Antrian teruntai panjang sampai di depan apotek yang saya lupa namanya, sangat dekat dengan mulut jalan tempatnya bersentuhan dengan jalan utama Gatot Subroto. Dari sana, sepeda motor kami dipaksa setia mengantri oleh kebutuhan akan keselamatan dan sedikit-sedikit kepatuhan pada norma jalanan. Di suasana lebaran seperti ini, meski perekonomian belum sepenuhnya massif, lalu lalang kendaraan bermotor dengan penumpang-penumpang berbaju baru yang warnanya masih mentereng sama atau bahkan lebih ramai dari hari biasa. Lain uang, penduduk negara ini masih tak sematerialistis yang kita kira, tumpah ruah kendaraan ini rata-rata dalam penuntasan misi silaturrahmi lebaran.

Selagi mengantri untuk terbukanya pintu palang lintasan kereta, pandangan saya berpatroli. Barisan toko-toko di kompleks pasar lama masih sama seperti dulu, kecuali mungkin soal kusam dan kesan usia yang tak bisa ditutupi. Komoditi yang dijejer di etalase berdebu mereka pun masih sama, meski beberapa saya tak tahu karena memang belum bangun dari libur panjangnya. Kebanyakan toko disini dikelola oleh orang-orang Tionghoa, inilah mengapa kawasan ini disebut-sebut pecinan. Tapi warga pendatang tua ini sudah merupakan warna udara yang turut berhembus bersama sekalian angin di kota ini tanpa bisa terpisahkan. Jika para engkoh dan enci ini di anulir keberadaannya, mungkin isi pasar cuma anak jalanan, sopir angkot, preman-preman, dan sedikit saja pedagang yang tersisa. Tapi bukan eksistensi mereka yang saya ingin bahas disini sekarang, melainkan pekerjaan mereka, bongkah-bongkah toko tua yang mereka kelola.

Saya kira, di tulisan yang lain saya pernah bercerita, juga soal sepenggal kisah di Pasar Lama. Purbasari, sejaman saya SD, di sini ada sebuah toko buku pelajaran, dan alat tulis yang cukup besar. Salah satu buku yang pernah saya beli disana adalah RPUL, terbitan tahun 2005, tepat ketika saya kelas 3 SD. Dulu saya tak begitu suka pergi ke tempat itu. Sebagai anak kecil yang sehari-hari hampir menghabiskan mayoritas waktunya menonton televisi, saya termakan komersialisasi. Konsep modern terpateri dan jauh lebih menarik hati dibanding pasar yang ramai, terkesan kumuh, dan jauh dari rasa nyaman. Saya tak tahu menahu soal uang. Karenanyalah saya tak peduli soal harga miring yang jadi motivasi utama orang tua saya mengajak saya kesana. Multi Media yang dua lantai dan berpendingin ruangan ketika itu jauh lebih menarik.

Sekarang saya tak tahu kelanjutan Purbasari yang pada masanya amat ramai. Multi Media sendiri, setelah SGC berdiri, pembangunan di Cikarang semakin menggeliat, toko-toko semacam itu semakin menjamur, mulai kehilangan pamor dan elegansinya. Kemarin saya kesana, barang-barangnya tak lagi selengkap dulu. Eksteriornya masih khas 2000an dan tak pernah diperbaharui. Di etalase paling depan, dekat meja kasir, saya melihat beberapa unit kamus elektrik bahasa Inggris yang dipajang berdebu. Dulu, kelas satu SMP, ketika saya membeli salah satu dari yang mungkin masih dipajang hingga saat ini, kamus elektrik adalah salah satu komoditi mewah yang jadi jago di toko ini. Dipajang di etalase utama berdampingan dengan pulpen-pulpen mahal di dalam kotak beludru. Sekarang, ketika website penerjemah telah bertaburan, internet telah mendekap erat nadi-nadi kehidupan, siapa yang masih mencari kamus-kamus ini?

Di sisi kiri jalan, saya lihat sebuah toko sudah buka. Bingkai folding dornya warnanya pudar, tapi masih jelas kalau itu hijau tua. Di bagian atas toko tertulis nama toko dan keterangan bahwa ini adalah toko tani dan menyediakan macam-macam bibit dan pupuk. Di dalamnya ada dua etalase panjang yang berisi kemasan-kemasan biji-bijian, jeligen-jeligen, botol-botol, dan beberapa alat semprot hama digantung di salah satu sisinya. Di sisi lain, di dinding belakang yang bersisian dengan pintu ke ruangan lain, tersemat sebuah kalender jadul yang gambarnya model seksi. Saya pikir, kalau pemandangan semacam ini hadir di tahun 90’an atau paling tidak sampai awal 2000’an tentu sangat wajar, tapi kalau sekarang?

Dulu, di sisi kiri dan belakang rumah saya, beberapa bidang tanah luas yang sekarang jadi perumahan, terhampar kebun-kebun warga yang ditanami aneka sayuran. Alat semprot hama semacam itu masih sangat sering saya temui, demikianpun dengan jeligen pupuk yang asing dan berbagai macam bibit dalam botol yang dijejer rapi di jendela rumah tetangga saya, menunggu giliran untuk disemai. Sekarang perumahan yang ada tak perlu semprotan hama, bibit-bibit itu hanya didiamkan berdebu. Dalam hati saya bertanya-tanya, siapa yang menjadi pelanggan toko ini sekarang? Bagaimana mungkin bisnis ini bisa bertahan? Rasa macam apa yang ada bagi mereka ketika megingat masa-masa keemasan bisnis mereka?

Bisnis, sejak lama menjadi sebuah kata penuh horror bagi saya. Meski banyak acara TV yang mengangkatnya sebagai konsep dan berusaha memasyarakatkannya akhir-akhir ini, pandangan saya masih belum berubah. Kalau memang dekat dengan kata sukses, bisnis memang menggiurkan, tapi rasanya kata gagal dan rugi berada beberapa jarak lebih dekat. Rugi yang saya maksud bukan cuma dari segi modal, tapi rugi hatinya itu loh. Saya nggak jauh-jauh amat kok dari dunia bisnis, kakek-nenek saya petani yang nyambi dagang, ibu saya juga dagang, dan dari kecil saya udah kenal sama dunia semacam ini, tapi tetep, bisnis itu makan ati. Hal-hal yang jauh lebih saya sukai daripada bisnis itu sendiri, semacam toleransi, kekeluargaan dan idealisme katanya amat jauh dari bisnis. Bisnis yang baik itu memang yang jujur, tapi disiplin, dan saya nggak bisa hidup dengan cara seperti itu. Dalam bisnis kita mau tak mau dikuasai dua hantu besar, pasar dan modal.

Sejauh ini, sejauh tulisan ini tertunda beberapa hari, sejauh saya banyak merenungi hal lain atau bahkan hal ini lebih jauh lagi, saya masih belum menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini. Apakah bisnis harus selalu berubah dari waktu ke waktu? Haruskah terus bergelut dengan inovasi dan bereksperimen, selagi bertarung dengan waktu, keterbatasan modal dan selera pasar? Atau putus asa, melepas lapak warisan keluarga untuk menjadi pesuruh di lapak orang tanpa pusing-pusing sampai kita sadar kita telah jadi budak asing? Haruskah toko tani berubah jadi toko matrial? Pertanyaan ini justru beranak lebih banyak lagi.

Toko tani tadi masih berdiri mungkin karena sebuah alasan. Entah itu seorang nenek tua yang tak rela toko itu ditutup setidaknya sampai dia mati, entah seorang bapak paruh baya punya keprihatinan soal kebun milik para langganannya yang alih fungsi jadi lahan perumahan, atau entah apa, saya tak tahu. Yang jelas entah si toko tani, entah si Purbasari, entah Multi Media, entah satu toko lagi semacam multi media yang kini telah berubah jadi restoran bebek, bahkan kamus-kamus elektrik yang berdebu, rasanya adalah korban dari gerak roda ini. Pihak-pihak yang kalah, pihak-pihak yang karena sekian banyak alasan tak mampu mengikuti pola-pola dalam rimba kapitalis yang tak berhati.

Lama-lama soal arah dunia ini, ketika orang-orang dari humanis bergeser ke arah kapitalis, manusia hanya akan kembali ke arah putaran yang sama. Sama tidak beradabnya, sebagaimana orang-orang yang mereka sebut demikian sejak ratusan tahun lalu. Mungkin orang-orang didalam rimba, yang resisten dengan adatnya, yang bijak terhadap lingkungan dan kehidupan, akan patut membalik segalanya, menyebut mereka yang hidup dalam rimba pasar, di tengah pohon-pohon menara beton dan kanopi asap tebal, di tengah jalaran modal berdaun lembaran dolar, liar tanpa adab, sebagaimana mereka disebut oleh moyang-moyang orang-orang itu, dahulu.


Yuanita Wahyu Pratiwi, 8 Agustus 2014.

Wednesday, June 25, 2014

Semua Tak Sama

Yoman, saya punya blog baru, jadi kesempatan apdet dibagi dua deh, makanya blog ini sebulan terakhir gak ada pembaharuan sama sekali. Ya sori, bukannya maksud untuk meninggalkan salah satu, hanya saja, yang onoh, yang masih sepi itu, blog yang insyaallah serius, beda sama yang ini. Kalo mau main boleh, ayo ke Historia Rasa~ #kok malah promo lu

Selamat buat semuanya, terutama mahasiswa FIB UGM yang udah masuk ke hari-hari terakhir ujian dan siap-siap menjelang liburan. Buat kelas saya, besok terakhir: Sejarah Indonesia sampai abad ke 16. Yang kemaren-kemaren campur aduk. Entahlah IP bakal naik atau turun, tapi bertahan pun saya amat bersyukur. Biasa lah yang namanya ujian, "vini vidi vici" artinya jadi "datang, kerjakan, lupakan", spesial versi saya ada tambahan: "plus Hadapi Kenyataan" wkwk

Sebenernya saya bukan mau cerita tentang ujian sih. Tapi justru soal rumah, pulang, dan *lagi-lagi* homesick, atau lebih tepatnya, saya teringat akan sesuatu yang "ba-dum-tss' banget. Kata orang punya daya ingat yang cukup baik dan sifat setia itu baik lah, idaman lah, haha, tapi gak juga lho. Terutama ketika kedua hal tadi, si daya ingat baik dan setia itu konteksnya jadi konservatif dan susah move on #dor. Yagak? :3

Jadi gini, sehari sebelum headset samsung ori saya, alias ari-arinya si kintjlong *baca: hape saya* hilang, saya  yang tak memiliki televisi di kosan ini seperti biasa kembali ke rutinitas orang puluhan tahun lalu ketika tv hanya ada di bale desa yakni mendengarkan radio. Setel random, akhirnya saya nemu yang enak, lagu Indonesia sih, tapi kok asik. Pas saya denger denger lagi, kayaknya familiar. Dan ternyata saya bahkan bisa ngikutin nyanyi. Ketika itu saya sadar, ini salah satu lagunya Padi yang suka saya denger pas TK dari walkman-nya om saya. Berhubung si penyiar gak nyebutin judulnya, saya cuma bisa nginget-nginget lirik, dan akhirnya dapet sepenggal kalimat;

"semua tak sama, tak pernah sama, apa yang..."

googling deh.

dapet tuh, dari album yang judulnya Sesuatu Yang Tertunda, judul lagunya gak jauh dari sepenggal kalimat tadi, Semua Tak Sama.


Step berikutnya tentu adalah dunlut, dan bukan hanya lagu itu, tapi juga lagu lain dalam album yang sama. Bahkan sampai Kasih Tak Sampai yang liriknya cukup legend: "tetaplah menjadi bintang di langit, agar cinta kita tetap abadi. Biarlah sinarmu datang, menyinari alam ini, agar menjadi saksi cinta kita, berdua..."

Seperti biasa, saya yang hobi banget nostalgia ini langsung terbawa suasana. Seketika bayangan yang hadir adalah rumah saya di Cikarang sana, ketika di depannya masih ada sebuah pohon asem besar dan dinding rumah saya masih batu bata. Di celah dinding batu-bata itu Om saya yang waktu itu masih nganggur, lagi muter-muter Jababeka ngelamar kerjaan dan gak punya uang tapi tetep cannot stop smoking, nyelipin rokok yang udah habis setengah batang buat nanti lagi. Njirr miris yak~ nih orang kalo saya ceritain lagi soal ini pasti ketawa.

Waktu itu jaman masih susah lah pokoknya. Rumah masih batu-bata, bokap kerja masih naik sepeda, saya dianter sekolah juga naik sepeda, om saya masih nganggur, dan ya pokoknya gitu lah. Tapi ini asyiknya jadi anak pertama sebenernya. Anak kedua apalagi ketiga gak akan tau sejarah perjuangan keluarga. Waktu adek saya lahir, kita kemana-mana udah ada motor dan rumah udah rapi. Tapi demikianpun, meski orang kebanyakan berpikir kalo hidup yang seperti itu lebih enak, dengan tau perjuangan orang tua merintis apa yang kami miliki sekarang dan memperjuangkan keberlangsungan kehidupan keluarga itu bukan something yang worthless lho. Adek saya nggak ngalamin tradisi sepedaan hari minggu pagi. Dulu waktu saya masih kecil, dan masih muat ditaro di boncengan sepeda khusus bocil yang ada di depan itu, tiap minggu pagi, kami bertiga ke pasar naik sepeda. Saya di boncengan depan sepeda bokap, dan nyokap naik sepeda yang ada keranjangnya sendiri. Berangkatnya pagi habis subuh, terus sampe pasar pas lagi rame-ramenya, beli sayuran dengan harga yang cukup wow daripada di tukang sayur. Yang paling berkesan, nyokap naro oncom di japitan boncengan sepeda belakangnya hehe. Kalo buat saya pribadi, pasar is just a little thing, tapi perjalanannya, pas kita lewat jalan yang kanan kirinya sawah, anginnya gede, terus ngobrol dan nyanyi-nyanyi sepanjang jalan sama mereka, itu yang langka, keren banget, dan gak bisa terulang kecuali saya berganti posisi *IYKWIM* haha~

Pas adek saya lahir, keadaan keluarga yang lebih baik itu entah bagaimana bikin kita punya kesibukan lebih. Tapi ya, iya sih saya udah sekolah, dan semua orang jadi gak se-selo dulu lagi. Rekreasi semacam ke pasar di minggu pagi itu pun nggak ada lagi, tergantikan sama tiap minggu berkunjung ke rumah saudara, atau rekreasi-rekreasi lain yang meskipun lebih jauh, lebih mudah, dan terdengar lebih keren, buat saya pribadi tetep gak punya sesuatu yang saya dapatkan di minggu pagi itu.

Sesuai lagu itu, lagu yang ternyata sudah sangat lawas itu bilang "semua tak sama" meskipun konteks yang dimaksud mungkin berbeda, atmosfer yang berada di sekeliling saya ketika lagu itu launching dan saya denger dari walkman Om saya dan saat ini ketika saya diingatkan kembali oleh radio, download, lalu denger di WMP laptop saya, tak sama. Sejarah juga menegaskan kalau peristiwa gak mungkin terulang. Kalaupun ia berulang, itu hanya berupa polanya, kalaupun ia direkonstruksi, tetep gak bisa persis, dan gak pernah ada kejadian yang sama persis terjadi untuk kedua kalinya baik disengaja maupun tidak.

Oh kok kampret banget ya, udah tau saya orangnya susah mup on gini, belajarnya sejarah lagi, punya kasus susah mup on yang akut lagi, ah entahlah. Kayaknya saya entah ini curse atau berkah, punya ikatan yang luar biasa sama masa lalu. Lusa insyaallah saya balik ke rumah. Balik ke Cikarang, ke kota satelit yang bedagulan tapi herannya ketika saya berada jauh darinya, tetep aja jadi romantis rasanya. Semoga aja puasa hari minggu jadi saya masih bisa minum es siang-siang setidaknya sehari disana nanti, dan tentunya menikmati nyorok :3

Mari pulang, mari bersukacita menyambut puasa. Bulan yang buat saya pribadi diluar berkahnya yang luar biasa bagi umat muslim, luar biasa romantis. Iklan sirup, acara sahur, asinan, risol dan sambel kacang, kerupuk mie, teraweh, buka bersama, ah itu semua romantis kan? Bakalan ada banyak acara, ketemu banyak orang yang kita udah lama gak ketemu, dan banyak hal spesial lainnya.

Oya, maafin ya kalo saya banyak salah~

Saturday, May 24, 2014

18, Njuk Ngopo?


‘Njuk ngopo?’ adalah istilah populer yang kembali dipopulerkan oleh salah seorang dosen saya di pertemuan minggu lalu. Kami, di mata kuliah Sejarah Indonesia sampai Abad 16 yang biasanya dengan singkatnya hanya kami sebut Abad 16, atau bahkan hanya Nembelas. Ketika itu kami sedang belajar tentang kerajaan-kerajaan, dari masa Hindu Buddha, kami beranjak ke masa Islam. Mengidentifikasi ciri dari tiap kerajaan, hubungannya satu sama lain, dan membuatnya menjadi seolah kerja yang sangat panjang melewati sekian banyak bentangan waktu. Di pertengahan kuliah, setelah kami cukup mengemukakan beberapa ide-ide dan saling berdiskusi mengenai identifikasi kami, beliau bertanya yang untuk ukuran seorang yang mengarahkan kemanapun pembelajaran kami di matkul ini, sangat katakanlah nyeleneh.

‘Njuk ngopo?’

Kalaupun kami tahu kerajaan ini ada pada masa segini, mereka berhubungan dengan kerajaan ini dan itu, membentuk diplomasi disini dan disana, dipimpin oleh si A pada masa puncaknya, dan runtuh karena suatu hal, apa feedbacknya buat kami di masa dimana segala hal yang baru saja kami ketahui bisa dilacak di banyak media dalam hitungan yang amat sesaat. Sejarah itu bukan soal menghapal ini dan itu, tapi lebih kepada mengerti. Kami bukan anak SD yang ditanyai siapa tokoh perang A dan perang B, dan ditanami bibit-bibit kebencian pada Belanda. Kami diajak menyelam, persoalan laut mana yang kami pilih, dan mau sedalam apa kami berusaha, itu urusan kami, selama kami memiliki perbekalan yang cukup.

Sedikit strukturalis sih, tapi menurut saya tiada salahnya kalau kita memiliki pemahaman semacam ini, bahwasanya setiap hal di bumi berada untuk paling tidak sebuah alasan, termasuk para hantu, siluman, mitos, dan ilmu ilmu cenahyang —kalau anda percaya tentunya—. Pertanyaan yang kritis ini memancing analisa dari setiap hal, kehausan akan setiap spasial kosong di ruang-ruang kesejarahan. Pertanyaan yang saya kira, menjamin kelangsungan hidup seseorang secara mental.

Bingung itu baik, bertanya itu bagus, dan berusaha untuk menemukan jawaban serta penyelsaian adalah langkah terbaik setelahnya. Beberapa kali saya renungi kalimat ini, dan saya betul menemukan esensinya. Kalau mencari jawaban terlalu sulit, cukuplah mencari pertanyaan. Kapasitas seorang pelajar memang demikian adanya. Lain lagi kalau sudah profesor.

Ini pertama kalinya, saya menunda sekedar beberapa bait testimoni bertambahnya angka belakang usia saya dan berkurangnya jatah keseluruhannya. Bukan apa-apa, kesempatan memang baru datang detik ini. Kemarin itu banyak sekali kesibukan yang melanda, belum lagi saya betul butuh kesunyian untuk sekedar menulis beberapa hal konyol bersama Untung untuk di post di blog pink yang hampir mencapai usia ketiganya itu.

Delapan belas tahun lalu, dunia berdinamika seperti biasa, saya hanyalah seorang manusia yang lahir bersamaan dengan ribuan lainnya. Semuanya hanya akan jadi luar biasa ketika saya sudah menjadi luar biasa. Tapi kali ini, delapan belas tahun setelahnya, seseorang dengan banyak tanda tanya ini sedang berusaha menemukan jawaban dari setiap tanda tanyanya, berharap dirinya berkembang, semakin baik, dan bisa menjadi seperti apa yang dia dan orang tuanya, juga orang lain di sekitarnya impi dan ekspektasikan soal dirinya.

Dini hari 20 Mei 2014, saya masih larut dalam perbincangan bersama seorang teman yang berkunjung. Hape saya kemudian bergetar, dan pesan dari seseorang tertampil di layar. Seketika itu perasaan saya tak bisa berbohong, dan hati saya tergetar, terutama setelah membaca baris demi baris isi dari pesan itu. Ibu saya, untuk kali pertamanya begitu romantis. Sebenarnya beliau juga romantis di tahun-tahun sebelumnya, ucapan selamat ulang tahun yang disertai dengan doa-doanya tak pernah gagal membuat saya lemas dan tenggelam dalam haru sarat air mata. Tapi untuk kali ini berbeda, setelah kami terpisah puluhan kilometer, tengah malam ini amat berharga.

Paginya, di perjalanan menuju kampus untuk rutinitas biasa, ayah saya menyusul dengan pesannya sendiri yang persis saya tahu, dikirimnya sesampainya ia dirumah dari kerjanya. Isinya berbeda, dengan gaya mereka masing masing, tapi efeknya sama. Sayangnya ada banyak hal yang membuat saya menahannya dan kali ini, ketika beberapa hari telah berlalu, dan saya baru memiliki kesempatan untuk sendirian, saya menumpahkan semuanya tanpa bisa sedikitpun menahannya. Rahang ini kaku.

Pesan mereka membangkitkan masa lalu, waktu-waktu dimana aku masih sangat kecil itu seketika terpanggil kembali. Melihatnya dari sini, dari pandangan yang sudah setinggi ini, dari kota yang jauh ini, dan dari atmosfer yang berbeda ini, semuanya seolah hanya dongeng yang tak pernah benar benar terjadi meski aku meyakininya. Ratusan hari sudah aku bergelut sendiri dengan manajemen uang dan stok kehidupan serta segala hal soal hidup mandiri yang samasekali asing dariku. Setiap harinya, berangkat dan pulang tanpa menyalami satu orang pun, tanpa ingin cepat kembali untuk bertemu satu orang pun, tanpa sepulang beraktivitas berbagi cerita dan melepas lelah bersama dengan satu orang pun. Aku hampir terbiasa dan tak merasakan luka kesepian itu lagi, itulah mengapa aku pikir aku telah bergerak begitu jauh dari dongeng dongeng masa kecil itu, lalu seketika ditarik kembali mendekat dalam waktu singkat.

Dari delapan belas tahun, tujuh belas di rumah telah kuhabiskan untuk banyak hal yang jauh dari kata baik-baik saja. Aku tak pernah jadi anak manis yang penurut dan rajin membantu atau belajar. Aku selalu saja jadi pembelot dan pembangkang yang keras kepala. Aku yakin ada banyak sekali dosa, meski aku berharap dan yakin, kalian, orang tuaku tersayang tak akan pernah menganggapnya demikian. Sejernih apapun udara di kota ini, kota dengan polusi pekat itu yang mengenalkanku pada kehidupan, dan sejauh apapun aku pergi, aku akan kembali kesana.

Kini aku sendirian disini, menanti waktu pulang sebulan lagi dan berharap selagi aku pergi jauh, segalanya tak akan ada yang berubah. Aku berada disinipun bukan menjadi orang baik, aku masih seperti diriku yang lalu-lalu, yang payah, pembelot, malas dan lain sebagainya. Aku hanya berharap setiap hal yang kulakukan disini, perjuanganku untuk berada jauh dan menderita oleh homesick setiap habis pulang akan berbuah sesuatu di masa depan yang baik bukan hanya untukku, tapi juga untuk kalian semua, orang tuaku terutama, keluargaku, dan orang terdekatku lainnya.

Kalau sekarang usiaku 18, dan pertanyaannya adalah ‘Lalu kenapa?’ dengan senang hati akan kujawab. Aku sudah punya semakin banyak angka, kuharap semakin banyak hal baik pula yang kupunya. Aku berharap langkah yang kutapaki mendekatkanku lagi dan lagi sesuatu yang aku cita-citakan. Dan selalu, keselamatan dan kesehatan, juga panjang umur untuk orang tuaku, adikku, aku, dan semua orang yang kusayangi.

Terimakasih untuk semuanya, untuk orang tua saya, adik saya, untuk manusia sok romantis di Little Netherland sana, untuk teman teman kelas yang luar biasa atas beberapa potong cake, ucapan, doa, dan petualangan setiap harinya, untuk dua orang yang menemani saya dengan sate dan obrolan luar biasa malam ini sampai larut, untuk hari hari yang menyenangkan. Semoga kedepannya semakin baik, semakin menyenangkan.


Amin.



Sunday, May 11, 2014

Kulminasi

Malam ini aku punya tugas. Membaca materi persis seperti malam-malam sebelumnya. Ada banyak, dan aku baru saja sadar kalau aku sudah terlalu banyak menyiakan waktu, tapi aku tak sadar kalau itu salah. Aku tak tahu itu benar atau salah, atau sekalipun tahu, aku tak yakin, sehingga segala ketidak sinkronan oleh kekonyolan yang kembali kambuh ditengah dera kantuk dan bersin-bersin kurang tidur. Aku tak betul mengerti alasan mengapa aku tak mengambil jalan lurus untuk bersila dan membaca tapi justru berbelok, menghabiskan berjam-jam menukik pantau di layar komputer, menyimak lampu hijau-mu yang mati menyala sembari setengah asyik rewatch Sakurasou. Anime yang setelah kusadari ternyata amat merupakan satire buat sekenario hidupku.


Tentu saja aku takut. Aku sudah jatuh cinta pada Jin sejak SD, tapi aku tidak sadar soal itu sampai SMP. Aku jadi gugup. jika dipikirkan sedikit saja, aku tidak mampu mengatakannya. Aku hanya akan terjebak pada putaran yang lainnya. Dimulai saat "aku harus beritahu Jin soal perasaanku, aku tidak tahan lagi!" "tapi aku takut, bagaimana kalau dia menolakku." Lalu, "Ya, kurasa seperti ini saja. Dengan begini Jin akan terus bersamaku." "Tapi aku ingin mencintainya lebih." "Jin sudah punya gadis lain, bagaimana kalau ia lebih memilihnya dari pada aku?" Dan aku kembali lagi kesini. Mungkin aku sudah melakukan ratusan putaran sejak SMP.


-Misaki Kamiigusa-


Sial, apa bedanya? Mungkin hanya soal Jin dan Misaki. Konsep temporanya pun hampir persis. Aku mulai curiga pada orang-orang dibalik layarnya. Ataukah memang ini kisah yang cukup umum? Tapi bagaimanapun umumnya, jika ditelaah dari sudut pandang pribadi, semuanya partikuler. Setiap orang berbeda dalam imajinasi, kerja otak, dan penafsiran mereka, jangankan untuk peristiwa yang persis hanya bila digeneralisasikan, tapi juga untuk peristiwa-peristiwa yang benar-benar sama. 

Aku pikir aku lupa, tapi sepertinya aku mulai tertelan imajiku sendiri, termakan bicaraku, tertuduh oleh tudinganku. Ketika aku merasa seolah sudah lepas dari segalanya, aku hanya terkurung dalam kabut sementara. Ketika matahari meninggi dan angin gunung berhembus kencang lagi, semuanya kembali, dan aku samasekali tak menemukan diriku berjarak menjauh selangkah saja dari sosokmu yang sekian tahun sudah menghantuiku dalam diam.


Kadang aku tak yakin di hari-hari sekarang. Aku tak selalu bisa persis menentukan porsi dari setiap yang aku lakukan atau jalani. Ketika aku berpikir aku telah melaju cepat, mendahuluimu, dan begitu yakin akan itu, ternyata aku masih hanya terperangkap tak jauh dari bayanganku. Kadang aku bertanya, apakah ketika aku memikirkanmu aku benar-benar tak bisa menghindarinya, atau hanya terbawa suasana dan memilih untuk memikirkanmu selagi aku sebenarnya bisa mengusahakan untuk memikirkan yang lain? Aku tak selalu yakin dengan jawabanku, termasuk ketika aku memilih untuk diam dan menunggu keajaiban menyatukan lajur yang kutempuh dengan milikmu di depan sana.


Anak lelaki kelas dua SMP yang mengajakku berbincang di perahu penyebrangan, berangkat sekolah bersamaku di hari tes pembagian kelas karena aku takut menyebrang jalan sendirian. Anak laki-laki itu pernah menoreh sebuah kesan yang sangat dalam, bahkan masih kuingat betul sampai sekarang. Tapi adakah itu benar dirimu yang sekarang ini lagi-lagi berada di kota yang sama denganku bahkan ketika puluhan kilometer kita telah pergi jauh dari rumah dimana kita untuk pertama kalinya bertemu? Aku lagi-lagi tak tahu persisnya.


Aku selalu saja bingung menentukan antara kata hati dan euforia. Sejauh mana aku jujur, dan menuruti apa yang hatiku bilang soal diriku. Rasanya ia selalu saja menoreh pesannya di sebuah perkamen dalam heroglif yang tak mampu kuterjemahkan. Dulu, aku betul mengerti akan kejujuran itu. Aku bisa membacanya dengan baik, merasakan setiap inci nafas yang ia hembuskan, baik itu pedih perih, hingga bahagia yang tak terperi lagi. Tapi sekian lama aku telah tanpa sengaja memaku abstraksi ini di punggungmu. Aku tak tahu bagaimana kau tak pernah menoleh dan merasa ketika aku sudah sedemikian keras berteriak nestapa. Mungkin manusia memang berbeda antara satu dengan lainnya, dan ini alibi yang pantas buatmu, kubuatkan dengan sukarela jadi kuharap janganlah bergerak lebih jauh untuk menoreh luka yang lain lagi. Ada kalanya kau bisa saja tahu, tapi kau anggap tak lebih dari angin lalu. Kau mendengar kalau si payah tetanggamu memiliki sesuatu yang dari dalam hatinya, jauh yang tak bisa kau terka, menginginkanmu mengetahuinya. Kalau beberapa tahun telah ia habiskan untuk memandangmu dengan fana. Maka jadikanlah ini nyata. Tapi bagian dari dirimu yang lain menganulirnya. Melenggang pergi dengan ringan seolah apapun tak pernah terjadi. Siapa pula yang bisa memastikan kalau itu betulan adanya. Lagipula aku hanya seseorang dari masa lalu. Kau diam, aku diam. Aku terluka, entah denganmu. Tapi tak seorangpun sadar dengan belati yang digenggamnya.


Kau mengajarkanku untuk menyerahkan diri pada keadaan, menangis konyol, dan menganggap dunia ini meninggalkanku hanya karena seorang bedebah sepertimu. Aku tak lagi melihatmu penuh cahaya seperti di waktu lalu. Aku mulai menemukan titik manusiawimu, seorang bocah yang mulai tidak lagi bisa disebut bocah, yang mulai suka pedas dan sayuran, yang mandiri, tak lagi kutemukan tengah disuapi ibunya di pagi hari. Kau bukan seorang pangeran dari padang bunga, cuma bocah biasa yang beberapa bulan lebih tua dariku. Aku bahkan pernah mencapai titik paling normal, menganggap semuanya telah berakhir dan sempat menempatkan orang lain untuk posisi yang lebih tinggi darimu. Tapi aku heran itu tak bertahan lama. Hanya beberapa waktu sampai aku tersadar kalau kau, tetap di padang bunga meski bukan dalam wujudan seorang pangeran.


Dulu aku menutupi segalanya rapat-rapat. Menguncimu dalam lemari berlapis pintu dan menahannya dengan segala asa yang kupunya. Aku tak sanggup memikirkan apapun ketika pada akhirnya kau tahu ketika banyak kesempatan justru terbuka. Sekarang, kita berada dalam satu kota, satu instansi pendidikan dan jarak hunian yang mungkin hanya 2 kilometer saja. Tapi kita benar-benar sendiri. Temanku, temanmu, semuanya menjemput takdirnya masing masing, dan tak lagi ada teman bersama yang bisa menjembatani pertemuan-pertemuan kita. Kini aku menyesali sesuatu. Aku menginginkannya ketika ia hampir tak mungkin adanya.


Kau, kalau kau tahu kau yang kumaksud dan kebetulan mebaca tulisan ini, aku hampir mengulang lagi putaranku. Aku sudah tak seperti dulu yang dikuasai emosi dan selalu meledak-ledak. Aku hampir betul-betul lelah dan menyadari kalau terlalu banyak sudah waktu yang kulewati tanpa makna kecuali menunggumu. Ibarat kat soal dirimu, waktu waktu itu ialah taruhanku. Sekarang aku tak akan menutupi apapun lagi. Blog ini yang mampu menyuarakan apapun perasaanku. Kalau sampai sekarang semuanya tak berarti apa-apa, aku benar-benar telah merugi terlalu banyak, dalam konteks hitungan, meski sejujurnya aku masih tak berpikiran kesana. Waktu terus berjalan dan kupikir harus ada batas dimana pengharapan ini menemui cahayanya. Apakah kau ada disana atau tidak, itu yang kuharapkan dalam judiku.

Aku tak tahu fluktuasi ini bermakna apa, tapi aku sangat bahagia ketika komunikasi kita berjalan sangat baik di awal awal kepindahan kita. Adakah mungkin kalau aku mengharapkan kesinambungannya? 


Jujur memang melegakan, tapi tak mudah untuk dilakukan. Aku tetap tak bisa menceburkan diri seluruhnya. Tapi kalau kau tanya sampai sekarang masihkah aku mengharapkannya? Kali ini aku berani berkata iya.