Trending Topics

.

.

Monday, September 15, 2014

Nikmatnya Bersama-sama bagi Seorang Introvert

 
Di film yang hampir 10 kali saya tonton ulang, Titanic, Rose Dewitt Bukatter tua pernah berkata, “Hati seorang wanita adalah lautan yang amat dalam…” dan ketika itu saya amat tersentuh. Saya yang masihlah hanya seorang abege labil seketika disulap emosinya untuk turut terlibat dalam film luar biasa tersebut, dan saat itu juga menjadi semerana Rose dan menangis tersedu padahal sebelum menonton saya jingkrak-jingkrak bahagia karena salah satu film favorit saya ini kembali unjuk gigi di televisi. Sebetulnya dalam tulisan ini, Titanic bukan soal. Memang hobi saya membuat opening yang agak melenceng dari konteks, tapi okelah, karena semua tetap akan teruntai dengan satu benang merah. Kali ini sebetulnya saya ingin menyoroti quote Rose diatas. Kalau baginya yang hidup dalam pendustaan terhadap keinginan nuraninya, hati seorang wanita, atau singkat cerita hatinya sendiri adalah lautan yang amat dalam, bagi seorang introvert yang sangat menghindari segala macam risiko seperti saya, hati semua orang adalah lautan yang teramat dalam.

Kebiasaan menghubung-hubungkan keadaan saya yang sekarang dengan masa lalu ternyata adalah kemampuan yang saya miliki sejak sebelum mendalami Sejarah, dan semakin menjadi-jadi saat ini. Jadi sepertinya salah jurusan bukan lagi kemalangan yang saya alami dalam periode ini. Prodi ini adalah rumah bagi the rest of my life. Sebagai buktinya, post ini adalah post kesekian yang membuat saya memulai cerita dengan sepenggal kisah di masa lalu saya.

Jadi begini, saya anak pertama bagi sepasang suami istri muda ketika itu yang dihujani segala macam saran dan wejangan dari yang asalnya pengalaman sampai mitos turun temurun. Sebagai ‘pengalaman pertama’ saya dibesarkan dengan banyak eksperimen #dor. Maksudnya adalah, kebayakan dari saran tersebut ditampung oleh kedua orang tua saya, dan soal kredibelitas saran, yang jadi patokan kadang bukan lagi logika melainkan track record dan posisi sang pemberi saran bagi yang diberi saran. Singkat cerita, meski kata bidan yang baik untuk kesehatan a, kalau kakaknya ibu saya atau simbah bilang b ya yang dilakukan b. Alasannya, wong bu bidannya juga belom punya anak kan, tau apa dia :v

Selain daripada mitos-mitos, saya dibesarkan dalam kapsul kekhawatiran. Ibu saya ketika saya lahir sampai berusia beberapa bulan masih bekerja, dan ketika itu lah tanggung jawab asuhan atas saya ketika ibu saya bekerja berpindah dari satu nanny ke yang lain hingga beberapa kali. Ndelalah, saya sakit-sakitan. Entah ini faktornya apa, tapi setelah sharing dengan sekalian banyak manusia, kebanyakan anak pertama memang punya kisah yang semacam ini. Puncaknya ibu saya keluar kerja. Seluruh perhatian kemudian tercurah kepada saya, tapi saya tak kunjung menunjukan tanda keramahan pada keputusan ini. Sampai TK saya masih rawat jalan gara-gara asma dan bronkhitis yang menjangkit dari usia 2 tahun. Sebelumnya, entah penyakit apa yang jelas saya hampir setiap minggu ke rumah sakit dan beberapa kali sampai dirawat inap. Dengan track record yang sekelam itu, meski setelah masuk TK saya menunjukan progress kesehatan yang luar biasa, ortu saya tetap dihantui trauma. Yang namanya surga anak-anak seusia itu semacam CIKI, ES, PERMEN, COKELAT, HUJAN-HUJANAN, PANAS-PANASAN, DAN MAIN BERLEBIHAN dicoret dari daftar hal yang boleh saya sentuh. Setelah beberapa lama berada dalam kukungan ini, betul saya sehat, tapi begitu terkena satu dari alergen diatas saya memang bisa jadi langsung jatuh seperti ancaman ibu saya. Dan karena ini saya memiliki keterbatasan waktu bermain hingga hampir usia-usia main saya habis.

Kalau sepulang sekolah saya lihat teman-teman sebaya lari-lari di lapangan, saya dipaksa tidur siang. Kalau yang lain jajan ciki, saya jajan roti, yang lain minum es warna-warni, saya beli susu. Masa kecil saya akhirnya memiliki warna yang cukup berbeda dari yang lain. Dulu, berlama-lama main di akhir pekan dengan pengawasan spesial orang tua adalah momen yang paling saya tunggu-tunggu. Kalau sudah asyik saya kerap kali enggan diajak pulang. Perihal keabsahan cerita, tanya lah teman-teman masa kecil saya atau ibu mereka. Setidaknya, meskipun ibu saya setia mengingatkan untuk tidak menyentuh ini dan itu, saya memiliki kesempatan terbang bebas sejenak ke langit dimana mahluk lain seusia saya mengepakkan sayapnya.

Karena hal ini, dulu saya super berisik. Cengeng jelas, karena ibu saya sangat sering memperingati untuk tidak menyentuh hal yang selalu sangat menggoda untuk saya sentuh, dan air mata lantas mengalir begitu saja. Tapi baiknya, dari hal ini, saya mudah sekali bergaul dengan segala usia. Anak seusia saya, adik-adik orang tua saya, teman kerja ayah saya, sepupu-sepupu yang lebih tua dari saya, mereka semua adalah teman yang menarik. Mereka selalu punya cerita dan beberapa jajanan. Mereka adalah orang baru diluar orang tua saya yang ketika itu dalam anggapan saya amat lurus dan terlalu menegakkan peraturan yang membosankan.

Tapi belum lama hal ini terjadi, saya diculik oleh dunia baru bernama sekolah. Disini jelas saya punya banyak sosok teman yang selama ini saya cari dari setiap pribadi yang saya temui. Mereka adalah orang-orang yang bisa saya ajak bicara dan berbagi mengenai apa yang saya inginkan dan mengerti akan itu. Mereka jauh lebih luar biasa dibanding teman-teman ayah saya atau sepupu-sepupu yang lebih tua. Sekejap, pandangan saya terhadap dunia berubah. Lingkungan di sekitar rumah yang memang berada cukup jauh sejak isolasi itu, membuat saya melupakannya dengan mudah ketika saya menemukan keasyikan di sekolah. SD sampai lulus, SMP, lalu SMA, hingga saya sadari saya tak bertegur sapa dengan mereka yang saya lihat sejak sama-sama kecil. Kami banyak bersekolah di tempat berbeda, membicarakan hal berbeda dan banyak melakukan hal berbeda, hingga saya tak tahu lagi apa yang menyatukan kami selain kilas-kilas gambar di masa lalu. Saya akhirnya diam.

Baru akhir-akhir ini saya sadar, kalau memiliki teman akrab bagi seorang seperti seperti saya telah menjauhkan sejauh-jauhnya diri saya dari aktivitas mencari teman. Teman akan saya cari ketika saya tidak punya, begitulah yang kemudian lebih sering terjadi, atau bahkan kadang saya berpikir lebih baik saya sendiri. Rasa takut akan penolakan dari lingkungan selalu menghantui ketika saya berkaca, berjalan keluar, dan berkeinginan untuk menyapa seseorang. Saya tak mengenal mereka, bagaimana kalau salah menafsirkan maksud baik saya. Sungguh hal yang sangat jauh berada dari kepribadian kecil saya yang haus akan teman. Jadilah saya tumbuh lebih dengan kecenderungan sebagai seorang introvert.

Saya beruntung, cangkang tempat saya berlindung dari dunia luar yang penuh ketidak tentuan adalah pintu rumah, bukan pintu kamar. Dinamika ini membuat keluarga menjadi satu-satunya kesatuan yang transparan bagi saya. Saya membagi banyak hal dengan mereka, malah hampir setiap hal. Tapi masalahnya adalah ketika saya keluar dari rumah, tidak ada yang menggantikan posisi mereka kecuali sekedar sambungan telepon dan kiriman sms. Padahal di satu sisi, saya juga berpisah dengan teman-teman lama saya.

Di tempat baru ini, saya terjun bebas. Menutup mata dari segala ketakutan dan hanya setia berpegang pada takaran hakiki salah dan benar. Saya mencari teman lagi, dan akhirnya menemukannya.

Keheranan pertama saya muncul di pertemuan pertama teman-teman fakultas, lalu sejurusan. Mereka yang berada dalam lingkup ini membawa atmosfer yang amat berbeda dari teman-teman satu kelompok ospek di universitas. Ketika setiap diantara kami diminta berbagi cerita, mereka para teman sejurusan hampir semuanya adalah yang berpandangan sama seperti saya. Hal yang tidak berbeda juga terjadi dengan angkatan baru 2014. Seolah jodoh alam, kami memang ditakdirkan untuk digiring dalam satu frame kisah yang sama disini dengan cara-cara yang meski beragam, terpetakan indah dan amat serupa polanya.

Kami menertawakan banyak hal, peduli pada hal-hal yang bayak dilupakan orang lain. Kami menyukai atmosfer yang sama, berhobi sama, tahan mengobrol berlama-lama dan masih banyak lagi. Kami bersatu, satu angkatan, semakin ditempa semakin solid sebagaimana perasaan nyaman saya ketika pertama kali diterima di tengah-tengah komunitas ini.

Mungkin ini keberapa kalinya saya mengatakan kalau saya amat bersyukur berada dalam komunitas ini. Ini adalah kelas pertama dimana hampir satu sama lain sekelas bisa bersatu dan tertawa bersama dalam satu lelucon, saling mengejek dan menertawai, mengerjai dan meneriaki tanpa dendam. Awalnya memang semuanya tak serta merta sedekat ini, beberapa keretakan juga sempat mengusik soliditas kelompok kelas kami, tapi kemudian mereka tertinggal di bingkai waktu yang lalu sementara kami bergerak kian maju, kian erat.

Beberapa kali kami dipekerjakan dalam satu kesempatan, dipaksa oleh sense of belonging untuk saling bahu-membahu menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada kami. Dari sini kami semakin mengenal pribadi demi pribadi. Setiap orang berdiri dengan banyak kekurangan dan kelebihan, tapi pointnya adalah kami menerima satu sama lain sebagai manusia yang sebagaimana adanya.

Lingkup masyarakat baru ini menyadarkan saya akan kenikmatan berada dalam sebuah lingkup kelompok yang terdiri dari banyak orang. Memiliki teman bukanlah soal bergenggam tangan erat dengan seorang yang kita jaga betul perasaan dan kenyamanannya agar terus berada disisi kita, melainkan menjadi sebetul-betulnya manusia dihadapannya. Jika marah, silakan marah sampai bisa menjelaskan mengapa kalian marah dan apa yang harus saya perbaiki. Jika sedih, bergabunglah bersama dengan yang lain, tertawa dan lupakan segalanya. Jika kecewa, ungkapkan, niscaya selalu ada ujung yang bisa diraih bersama dengan tangan dan pikiran yang terbuka.

Sekarang saya baru saja menemukan artinya. Teman bukanlah soal satu atau dua orang yang setia tapi tertutup matanya, mereka adalah rekan terbaik yang siap menampar, memukul, memaki, dan menarik kita kembali ke jalan yang baik. Selama ini saya terlalu takut dan tertutup, lalu mencukupkan diri dengan kukungan yang kian menciutkan hati. Saya memiliki keluarga yang sepatutnya telah lama menyadarkan saya tentang definisi baru yang senantiasa mereka tanamkan pada saya ini, tapi bodohnya saya baru menyadari kalau hubungan seperti ini bukan hanya dengan keluarga baru-baru saja.

Kalau saya sempat diisolasi, tak diperkenankan banyak bermain dan sebagainya, orang tua saya tak pernah berniat jahat. Mereka hanya dihantui banyak pemikiran dan ingin yang terbaik bagi saya untuk dapat tumbuh juga dengan baik seperti yang lain tanpa harus dibahayakan. Toh jika bukan karena sikap saya yang lalu, saya tak akan belajar darinya. Saya tak akan mendapatkan pemahaman ini, dan satu lagi poin mengenai betapa hidup adalah sebuah fase luar biasa.

Manusia makhluk sosial. Perasaan hati diungkapkan dengan bahasa sementara bahasa adalah alat untuk saling mengerti satu sama lain. Selain bahu-membahu dalam pemenuhan kebutuhan yang sifatnya fisik dan primer, manusia berbahasa karena saling butuh dimengerti. Introvert bukan kesalahan. Memang beberapa tempaan dalam hidup membuat bentukan tiap orang berbeda-beda, dan tak ada yang salah atau benar perihal itu. Entah saya introvert atau bukan, entah jika saya introvert saya bisa berubah atau tidak. Yang jelas, meskipun saya kadang menikmati waktu sendiri, meskipun untuk melakukan hal tertentu saya harus sendirian, saya menikmati waktu bersama-sama. Teman adalah salah satu hal paling luar biasa dalam hidup saya, dari orang tua saya, keluarga saya, guru-guru saya, rekan saya di sekolah dan di kampus, kawan lama saya, teman kelas saya yang sekarang, mereka semua teman saya. Mereka yang membagi hidupnya dengan saya, menginspirasi saya, mengingatkan saya ketika salah, dan senantiasa membuat saya menjadi lebih baik siapapun itu adalah teman-teman saya.



Yuanita Wahyu Pratiwi 15 September 2014
Untuk teman terbaik saya, yang ulang tahun tanggal 13 kemarin, Ibu saya.

No comments:

Post a Comment