Saya mau curhat dikit gapapa ya? Sebenernya,
saya udah niat nulis ini sejak seminggu yang lalu, pas topik yang saya dapet
dari kuliah umum ini masih seger. Tapi ada aja hal yang semakin menjauhkan saya
dari dunia tulis menulis akhir-akhir ini. Pertama, jelas kesibukan. Yang
namanya ngedeadline menjelang minggu tenang dan uas adalah ritual non resmi
yang pasti akan menghampiri tanpa harus dinanti-nanti. Ada proposal PPS, ada
eksposisi, artikel, storry telling abad 17-18, bahasa belanda dan segala
kelengkapannya, dan lain sebagainya. Belum lagi, hampir setiap matkul di
periode yang sedang kita bicarakan ini menugaskan tugas-tugas berbau
presentasi, dan saya, sebagai tukang ppt di setiap kesempatan tak jarang menjadi
pemilik dari lahan waktu luang yang kian menyempit.
Tapi semua itu bukan apa-apa
gaes. Well, dari dulu saya bermasalah sama linguistik. Mungkin di blog ini atau
yang satunya saya pernah cerita kalo dalam banyak kesempatan saya gagal
mengompromikan peraturan dan keengganan diri yang flamboyan ini untuk diatur. Saya
suka sastra. Urusan baca maupun buat dari mulai puisi, cerpen, sampe cerita
panjang yang gak kelar-kelar saya oke. Tapi buat teknis, saya angkat tangan.
Kampungan, kalo katanya dosen tata bahasa saya :v.
Dari SD kelas satu kita semua di
tanah tumpah darah Indonesia ini kan belajar bahasa Indonesia, otomatis belajar
perihal linguistiknya juga, lantas kenapa di usia yang hampir kepala dua ini
kita masih punya banyak masalah? Selain dari beberapa faktor yang meski
terlihat antara ada dan tiada pada praktiknya cukup menentukan, ya, kita lulus
dengan substansi yang ada untuk dilupakan di kemudian hari (haha, akui saja
lah~). Dari kelas satu juga kita sudah merasakan berupa-rupa jenis guru B.
Indonesia. Anehnya ada yang sampai bagi raport tetap gak bisa berkompromi sama
saya dan berakhir dengan memberi saya nilai pas-pasan, tapi ada juga yang
akhirnya membuka mata saya untuk menyukai persoalan bahasa, bahkan sampai jatuh
menyukai perihal tulis-menulis.
Guru B. Indonesia waktu SMP ganti
dua kali. Salah satunya membuka mata saya dan membuat saya jatuh cinta pertama
kali pada sastra, tapi yang lain menyalahkan jawaban saya pada soal membuat
kalimat. Waktu itu saya buat satu kalimat sampe tiga baris dan menurut beliau
itu salah karena kepanjangan. Saya gak ingat betul waktu itu kami udah belajar
kalimat majemuk belum, tapi seingat saya pas sd kalimat majemuk pernah
disinggung sedikit ketika menjelaskan tentang kata sambung. Tapi kan ya,
pengalaman berkata kalau selama sekolah kita sering kali mempelajari teknik dan
berpraktik secara terpisah. Kadang teknik hanya berupa hapalan dan praktik
adalah pemraktikan penggunaan trik berdasarkan pola.
Percaya atau nggak, waktu itu
saya punya pemahaman kalo kata ‘dan’ dan ‘atau’ bukan hanya bisa menyambung
objek-objek berupa benda, kata kerja, atau partikel apapun yang cuma terdiri
dari satu kata atau sebuah kata yang disertai sifat, tapi juga kalimat-kalimat
kecil yang pada saat itu belum saya ketahui bernama klausa. Dari alasan itu
saya berdalih saya benar, dan meskipun saya disalahkan, saya tetap menganggap
kalau itu benar. Sebenernya disini saya sedikit sadar sih. Dari dulu, saya
kerap mengulangi hal semacam ini. Menjatuhkan mental saya itu nggak cukup
dengan mengatakan jawaban saya salah. Kalo bukan karena kepepet waktu, atau
saya betul-betul terdesak dan gak ngerti
samasekali apa yang diminta sang soal yang mulia, saya sangat jarang mencontek
dengan persis atau ya, menyalin. Jadi ketika jawaban saya disalahkan, saya
punya pembenaran. Ketika saya memilih, saya meyakinkan diri saya bahwa alasan
saya memilih cukup masuk akal, sehingga meskipun akhirnya tidak sesuai dengan
suara kuorum, saya punya pembenaran yang sering kali, meskipun akhirnya kuorum
membuktikan alasan dibalik pilihan mereka secara presisi, bukan saya yang
salah, melainkan kami berdua sama-sama benar. Eh ini serius! Dan selama sekolah
ini sering bikin saya bermasalah sama guru. Baru pas kuliah ini, jawaban saya
salah tapi saya diberi kesempatan buat mengemukakan pendapat kenapa saya
memilih jawaban tersebut.
Oh God, saya dapet tabiat gini
dari mana ya? Tapi ini betulan dan mungkin ini juga yang bikin saya susah
sekali belajar linguistik. Karena apa? Ya, saya sulit mengaku salah. Titik koma
dan bla bla bla itu emang susah dan ribet. Salah satu hal yang bisa membuat hal
susah dapat kita pelajari dengan sedikit lunak adalah dengan menganggap bahwa
usaha untuk belajar ini bukan praktik penyulitan terhadap diri kita, melainkan fasilitas
untuk membuat kita lebih baik di hal lain. Naasnya prinsip yang kedua ini belum
secara sukses bisa saya berlakukan terhadap diri saya dan linguistik.
Guru-guru saya yang bisa membuat
saya menyukai bahasa membawa barang super duber ajaib ini dengan cara yang
berbeda-beda. Guru saya pas SMP, yang buat saya suka sastra pertama kali
memberi kebebasan yang liar buat kami berekspresi. Beliau sering nyuruh kami
buat tulisan-tulisan dengan tema alur yang sesuka hati, kuantitas yang pula
sesuka hati. Beliau jarang mengikat diri pada aturan baku kecuali di saat
ujian. Akibatnya, saya dan banyak teman-teman seusia ketika itu yang tengah
menggilai beberapa jenis budaya pop menuangkan fantasi dan antusiasme kami
kedalam tugas-tugasnya. Alhasil, disanalah saya jatuh cinta pada menulis untuk
yang pertama kali. Kami semua para muridnya mengakui kritikan beliau pedas,
tapi beliau akan menaruh respect besar kepada mereka yang beliau anggap
berhasil baik.
Guru saya yang lain, tepatnya
ketika SMA, menggunakan metode yang mirip dengan guru saya yang sebelumnya saya
sebutkan. Beliau ya deeply involved pada kehidupan kami, menyukai hal-hal yang
juga kami para bocah SMA sukai, dan dalam banyak hal cukup pengertian. Beliau
juga menggunakan trik yang sama dalam memberi tugas yang kami sukai dan
bernafaskan kebebasan berekspresi. Yang khas dari beliau, beliau mengajar
dengan jujur yang dalam artiannya disini cukup heart to heart. Beliau tahu
betul apa yang kami suka dan tidak, termasuk kedudukan materi-materi teknis di
mata kami. Saya ingat, beliau juga sangat persuasif dalam menumbuhkan minat
baca salah seorang teman yang bahkan belum menyelesaikan satu novelpun seumur
hidupnya. Ketika materi menginjak persoalan teknis biasanya beliau akan bilang
kalau memang materi itu rumit tapi setidaknya ini nantinya diperlukan dan gak
semua bagian hidup itu menyenangkan jadi untuk kali ini kami harus berusaha,
begitu. Haha~
Mereka guru-guru super buat orang
seperti saya karena ya, memang mereka mendukung tesis asal saya soal
argumentasi pribadi dan kekeraskepalaan. Dan bukan cuma itu, cara-cara mengajar
tadi saya sukai karena setidaknya kami bebas dan ini menjadikan kami lebih
berani untuk salah dan mengevaluasi diri, bukan menghantui pikiran kami dengan
banyak tanda seru sehingga sejengkalpun pada akhirnya bagi kami sukar untuk
maju karena terlalu takut —atau setidaknya enggan— salah. Tapi, yaa, ini dunia.
Alam pendidikan pun tak selalu menempatkan murid sebagai sarana pendidik
menyesuaikan diri, tapi juga sebaliknya. Lagipula bukankah perdamaian terbaik
lahir dari kompromi.
Betapa indahnya dunia yang apa
adanya tanpa formalitas, tapi akan ada banyak hal yang hilang jika ia
sebetul-betulnya menjadi seperti itu kan? Mungkin kali ini memang kesempatan
saya untuk betul harus mengaku bersalah dan membenarkan banyak hal dalam diri
saya.
Halah, tuhkan, jadi gak jadi
nulis, padahal tadinya mau nulis tentang sejarah komoditi lho :v
No comments:
Post a Comment