Mindblowing, itu kesan
luar biasa yang beliau tinggalkan di kelas pertama kami. Bayangkan, dua belas
tahun kami belajar di sebuah lembaga pendidikan konvensional bernama sekolah, berusaha
menaklukan kurikulum yang berubah sesering pergantian kabinet presiden lewat
segala ujiannya yang membuat kami kian tabah sekaligus kian licik kian kami tua,
tapi di hari itu segala apa yang kami
peroleh darinya runtuh. Sejarah Indonesia, yang pahit manis dan luar biasa
romantis dengan nasionalismenya teryata hanyalah skenario pelengkap syarat
eksis sebuah institusi bernama negara. Luar biasa.
Seketika pijakan kami
hilang, atau setidaknya bagi saya pribadi. Sebuah nyala api yang ternyata semi
semu bernama nasionalisme itu salah satu alasan kuat saya masuk ke jurusan ini
lho, tapi baru di pertemuan pertama ia disegerakan untuk padam. Soekarno hanya
manusia biasa yang condong ke Jepang dan menghimbau para lelaki untuk jadi
romusha, tapi divermak disana sini namanya demi menjadi ikon bapak bangsa yang
sempurna. Soekarno yang dikhianati oleh orde baru seolah hanya mengalami let’s say, karma, atas hal sewarna yang
pernah ia lakukan pada Sjahrir. Soeharto adalah murid terbaik Soekarno,
regenerasinya yang paling sempurna. Dan Golkar saudara-saudara, pertama kali
dibentuk atas prakarsa Soekarno.
Itu baru sedikit, sedikit
sekali diantara banyak betul hal, kenyataan baru yang luar biasa, yang mampu
menawan hati untuk terdiam barang beberapa detik, menengok kebelakang, dan
mendapati semuanya, masa lalu, sejarah dalam sudut pandang saya selama ini berangsur
layu. Sementara untuk menumbuhkan yang baru, saya masih belum menemukan pijakan
hingga saat ini. Sekarang, jika saya ditanyai alasan saya mengapa masuk jurusan
ini dahulu, saya sudah kehilangannya, tapi jika saya ditanyai apa alasan saya
untuk tetap bertahan di jurusan ini kedepannya, salah satu yang utama adalah
untuk menemukan pijakan itu kembali. Karena di kelas pertama itu, di hari
dimana saya ditegur karena secara tanpa sadar memainkan tombol ballpoint,
beliau bilang kalau nanti kita akan menemukan cara untuk mencintai negeri ini
dengan pandangan baru yang tidak lagi naif.
Semester berikutnya, di
kelas-kelas lain, pertanyaan-pertanyaan senada terus bermunculan. Alasan seperti
masuk sejarah karena punya hapalan yang bagus atau nilai sejarah di raport yang
memukau tak lagi bisa diandalkan. Kami bukan menghapal, tapi mempelajari hal
yang luar biasa baru. Rasanya tak ubah belajar menggunakan kacamata yang
berikutnya akan kita gunakan seumur hidup apapun yang kita lihat kedepannya.
Ditengah perjuangan
menemukan bukan hanya hasil dari yang dipelajari tapi juga diri sendiri ini,
saya kembali bertemu orang-orang hebat. Suatu hari juga di kelas sang profesor,
kami pernah membahas perbedaan pendidikan sejarah dan ilmu sejarah. Diskusi
waktu itu berlangsung sangat seru, karena bagaimanapun pokok bahasannya adalah
hal yang amat dekat dengan kami, yang baru beberapa bulan lalu kami tinggalkan,
dan yang selama belasan tahun telah tertanam dan membentuk fondasi pemikiran
kami soal sejarah. Sejarah sebagai ilmu bukan sebuah kajian normatif yang
menggunakan sejarah untuk mengatakan suatu hal salah atau benar, sangat
bertolak belakang dengan apa yang kami pelajari di sekolah. Ketika itu, seorang
teman saya menyeletuk soal jika memang seperti itu, betapa institusi yang
mengajarkan sejarah pendidikan telah mengajarkan banyak kebohongan. Tapi beliau
menyanggah dengan jawaban yang sama sekali tak saya kira. Institusi keguruan
memang bergerak dibawah pemerintah formal, kurikulum juga menjadi satu bagian
dari kekuasaan orang-orang atas mengenai visi mereka dalam membentuk negara,
tapi diluar sistem dan atmosfer yang demikian, kita sebagai pribadi yang telah
bertahun-tahun menikmati masa-masa sekolah pasti pernah memiliki guru-guru
sejarah yang luar biasa, yang bisa jadi merupakan salah satu alasan kuat kami
berada disini. Buat saya pribadi, hal ini luar biasa betul. Istilahnya, mata
pelajaran yang pertama kali membuat saya menikmati proses belajar disamping
proses bermain di sekolah adalah mata pelajaran semacam ini. Sesi dimana
sejarah atau pengetahuan umum lainnya diajarkan adalah sesi amat menyenangkan,
ringan, dan bagi saya cukup menghibur dan mengundang banyak sekali kekaguman.
Ia tak pernah menuntut saya untuk melakukan hal yang tidak saya sukai semacam
menghitung atau menyalin, melainkan cukup mendengar berbagai cerita luar biasa,
menjawab kuis kuis menantang, dan bercerita.
Sungguh sebuah waktu pembalasan dendam yang sempurna ketika terlalu
banyak hitung-hitungan telah menyiksa saya. Dan dibalik saat-saat menyenangkan
semacam ini, ada beberapa orang hebat. Guru-guru sederhana yang saya kagumi
hingga saat ini.
Di kelas beliau yang
mindblowing ini, saya seolah dibawa kembali kepada euforia kuis semasa SD dulu.
Adrenalinnya mirip, suasananya sama-sama tegang tapi menyenangkan. Kata profesor sebelumnya hanya pernah saya
temui di film-film di televisi. Kalaupun dalam dunia nyata, ia pastilah
rektor-rektor universitas yang sekali dua kali pernah saya dengar namanya, tapi
wujud dan tuturnya tak terbayang sama sekali. Ketika saya mengikuti sebuah
program sehari sit-in di IPB, saya merasakan diajar beberapa dosen. Salah
seorang dosen yang ahli hewan dan genetika memang saya akui mengajar dengan
sangat menarik. Pembawaannya membuat saya yang tak tahu menahu soal hal semacam
itu jadi cukup terbawa dan tertarik, tapi tidak dengan dua dosen lainnya.
Ketika itu saya bertanya-tanya kalau nanti saya bukan cuma sit-in melainkan
sebetul-betulnya kuliah, dosen seperti apa yang bakal saya alami kelasnya,
sembari berdoa semoga saya akan bertemu orang orang seperti dosen genetika
ketika itu. Dan luar biasanya, doa itu terkabul.
Kali pertama beliau masuk
di kelas kami adalah pertama kalinya saya melihat seorang profesor, dan kalau
kalian suudzon bahwa belajar sejarah mengundang kantuk, tarik kembali semua
itu. Mindblowingnya luar biasa. Satu hal yang nggak akan pernah saya bisa lupa.
Mendengar penjelasan beliau rasanya seperti dilayangkan kesana kemari, dan
kesadaran sepenuhnya baru akan kembali ketika beliau memutusnya dengan menanyakan
tanggapan atau pertanyaan kepada siapapun diantara kami.
Semua itu belum termasuk
soal tulisan beliau, yang sebetulnya adalah alasan mengapa saya menulis tulisan
ini sekarang. Mata kuliah babon semester ini mengajukan skripsi kecil sebagai
syarat lulus, syarat tersebut harus mulai kami kerjakan selepas mid-semester,
dan saya belum tahu mau menulis apa. Mungkin dalam alam pikiran saya sudah 4-5
kali memutar pendirian mengganti topik, padahal sudah saya cicil mencari tema-tema
menarik sejak liburan. Dalam masa-masa pencarian tema itu saya terus mengalami
banyak renungan baik soal posibilitas, spasial mana yang harus saya jadikan
sampel, sampai kadang saya kehilangan apa makna penelitian sejarah itu sendiri.
Kunjungan ke dinas arsip kemarin tak terlalu banyak membantu selain membuat
saya tahu kalau karena mereka kedinasan, mereka jadi lebih banyak menangani
arsip pemerintah yang kering dan kurang asik diajak nyeleneh sebagaimana
tema-tema sosial yang kecil.
Beruntung ditengah
kebimbangan itu saya menemukan tulisan beliau soal sejarah sosial Jakarta.
Rasanya semangat yang sempat hampir padam oleh tiupan angin di sana sini
memijar kembali. Sejarah kembali pada wujudnya yang ramah, kembali menjadi
kacamata yang bisa digunakan untuk melihat apapun. Pengertian soal ‘segala hal
bisa ditulis’ itu akhirnya kembali.
Apapun yang saya tulis,
saya pasti menulis hal sepele yang menyenangkan untuk saya pribadi. Doakan
saja, semoga diantara kesepeleannya, ia bisa memiliki landasan metode yang
cukup kuat sehingga bisa dikategorikan ke dalam yang tak terlalu menyedihkan.
Bagaimanapun ini bagian dari proses belajar, dan saya beruntung memiliki
kesempatan ini.
Meeting a profesor,
hal yang baru pertama kali saya lakukan dalam hidup saya, dan itu super! Dengan
kesempatan ini, saya membuktikan, bahwa gelar akademis memang bukan hal
sembarangan. Nggak semua doktor bisa jadi guru besar, tapi bukan hanya karena
hal itu gelar tersebut jadi hebat. Saya nggak tahu lah, tapi jelas orang-orang
semacam itu punya kekuatan tertentu. Tuhan, suatu hari nanti, saya punya mimpi
untuk bisa berdiri di mimbar-mimbar kelas dengan kekuatan semacam itu. Kebahagiaan yang luar biasa kalau saya
melakukan seperti apa yang telah mereka lakukan untuk saya ke lebih
banyak orang.
Yuanita Wahyu Pratiwi
21 September 2014
21 September 2014
No comments:
Post a Comment