Trending Topics

.

.

Thursday, December 26, 2013

Antara Rasa Ayam dan Rasanya Jadi Ayam

Kemarin sore, saya berkunjung ke rumah mbah untuk meditasi menjelang ujian, dan tekanan dari kos yang hobi kebanjiran. Diluar dugaan dan target, ternyata saya malah berhasil menyelesaikan dua paper yang terlunta-lunta sekian lama hanya dalam waktu dua sore disana. Internet memang luar biasa pengaruhnya terhadap kemalasan saya~#dorTapi bukan itu yang hendak saya bahas disini. Mungkin post semacam ini sewajarnya saya post di blog dalam kesempatan-kesempatan lalu, tapi entah mengapa tidak untuk saat ini. Mungkin iya nanti, tapi saya ingin memasyarakatkan dulu post ini di jejaring sosial biru tua ini. Saya dapat ilham atas tulisan ini, ketika mbah saya menyembelih seekor ayam jago kemarin sore. Ayam itu ayam kampung, satu dari sekian banyak yang beliau pelihara. Prahara dalam benak saya kemudian muncul ketika ayam itu disembelih dan saya tak tega melihatnya. Bro, dia punya nyawa, dan ketika itulah nyawanya dicabut. Mungkin disembelih dan dijadikan makanan yang menjadi sumber gizi manusia adalah alasan dibalik eksistensinya, tapi meski tak punya akal, dalam menjalani kehidupannya, ayam juga punya perasaan disamping insting hewaninya.

Di bis tadi, sewaktu jalanan macet, saya duduk hanya berbatas kaca yang ditutup dengan truk ayam negeri. Untung kacanya ditutup, karena kalo nggak, pasti ambune wes mbreng-mbrengan kae. Dalam momen itu, entah kenapa, saya bisa catch eyes to eyes sama salah seekor ayam #ngarang. Dia ayam yang beruntung tjoy, karena meskipun baunya gitu ya, dia duduk (?) dipinggir, bisa menghirup udara segar dengan lebih bebas, bayangkan kondisi ayam-ayam yang ada ditengah! Ruang kelas baru dibuka pagi-pagi dan ACnya mati aja, udah pada kabur gara-gara apek dan sumpek. Gimana ayam ayam itu bro? Apa rasanya berjubel bersama ratusan individu, dikotak-kotakkan oleh penjara plastik oranye di tempat sebau itu? astaga~

Oke, saya tahu. Sungguh sebuah rekayasa yang teramat mellow untuk mempersonifikasikan hewan konsumsi semacam ini. Tapi mari ringankan perasaan, jangan emosi dan terlalu melankolis. Turunkan tensi emosi sampai ke taraf terdingin anda, lalu cermati bagaimana rasanya jadi mereka.

Mungkin fine jikalau kita membahas tentang ayam di masa lalu. Saya nggak tahu menahu soal evolusi dan nenek moyang ayam sih, toh saya nggak akan terlalu jauh melangkah sampe ke era jurrasic, tapi lebih ke yang deket aja. Suatu ketika, saya pernah dikisahkan tentang ayam yang dulunya bisa terbang. Ayam adalah burung-burung hutan yang hinggap dari satu pohon ke pohon lain yang cukup susah untuk diburu. Tapi karena dagingnya enak dan susah untuk diburu, beberapa orang kemudian berinovasi cara dengan memelihara mereka. Ayam-ayam pun di tempatkan di sebuah tempat yang jauh lebih sempit daripada habitat asli mereka di hutan dan diberi makan. Badan mereka pun menggemuk dan karena berada disana terlalu lama, mereka terlena dan lupa caranya terbang. Jadilah, ayam ayam itu tak pernah lagi mengenal terbang. Mereka beranak pinak, dan anak-anak mereka pun dibesarkan dengan cara yang sama, tanpa pernah mengenal dahan-dahan pohon yang tinggi lagi. Maka kita dapatilah ayam-ayam seperti sekarang.

Dulu, warga desa kelas menengah ke bawah memelihara ayam di pekarangan rumah mereka dan mengurungnya dengan kurungan bambu di malam hari. Ayam-ayam itu selain memiliki fungsi hiburan sebagai peliharaan, juga memiliki fungsi ekonomis. Beberapa ekor ayam adalah investasi yang bisa diandalkan ketika ada keperluan mendadak. Jika ayam-ayam itu mulai terlihat sakit, sebelum akhirnya mati dan mubazir, mereka disembelih dan dikonsumsi. Semua orang sehat, dan ayam-ayam itu terlihat bahagia dan sudah betul lupa akan angan mereka untuk mencapai angkasa di masa lalu.

Zaman berganti dan ayam semakin banyak di cari. Orang-orang kaya bisa membeli ayam yang enak setiap hari dari orang-orang desa yang setia memeliharanya. Permintaan semakin banyak, akhirnya dikembangkanlah apa yang disebut peternakan ayam. Peternakan itu hanya mengembang biakan mereka, memberi mereka cukup makan dan perawatan secara masal dan terorganisir. Satu wilayah karenanya bisa menghasilkan dua kali lipat jumlah ayam, harganya pun semakin terjangkau. Dengan ini, permintaan semakin banyak. Permintaan ini kemudian ditafsirkan sebagai kebutuhan. Ayam sudah menjadi gaya hidup orang-orang menengah ke atas. Dengan alasan untuk memperbaiki gizi masyarakat umum, genetika ayam mulai direkayasa untuk dapat menciptakan ayam konsumsi yang lebih cepat berkembang-biak dan cepat besar hingga harganya bisa semakin terjangkau oleh lebih banyak kalangan.

Mari membayangkan, berapa banyak jiwa ayam yang ditumbalkan untuk penelitian ini? Mereka menahan sakitnya disuntiki sana sini. Pada akhirnya ini memang berhasil. Terciptalah ayam jenis pedaging dan petelur yang bisa difungsikan sesuai kebutuhannya. Anak-anak ayam hasil proyek ini yang warnanya kuning adalah mereka yang secara genetik sudah dirubah sana sini. Ketika besar mereka tak akan bercorak warna warni seperti ayam sejatinya melainkan putih saja dengan wajah dan jengger merah. Takdir mereka jelas dan masa hidup mereka singkat. Tanpa lagi kebebasan untuk beterbangan di hutan, atau kesempatan untuk menjadi ayam kesayangan di pekarangan rumah. 

Ayam-ayam petelur bisa bertelur tiap hari tanpa harus dibuahi. Ayam rekayasa yang terlahir jantan yang jelas tak bisa bertelur berakhir di pembuangan atau di penjual ayam warna warni di SD. Belum lagi berita baru-baru ini bahwasanya ada seorang anak manusia yang tega memperkosa 300 ekor ayam -_-

Sekarang, rasa ayam adalah rasa yang wajib ada di semua label produk makanan instan dan bumbu penyedap. Dalam dunia bisnis kuliner, ayam dijadikan standar untuk makanan yang pantas gizi dan pantas harga. Ayam kini dijangkau setiap kalangan. Ayam-ayam putih yang berjengger merah tadi setiap harinya disembelih entah berapa ribu ekor untuk menghuni kuali-kuali baik rumahan, restoran, maupun penjual-penjual kaki lima. Manusia sepertinya terlalu terbuai dengan rasa gurih ayam dan tanpa sadar telah merenggut haknya sekian banyak.

Oke, saya ngaku saya manusia bukan ayam. Dan sekali lagi, saya tegaskan tulisan ini ditulis oleh manusia dan dalam pengerjaannya, tak sepeserpun saya dibayar oleh ayam (?). Saya cuma mau menyimpulkan sebuah konsep dari uraian panjang tentang ayam ini. Alam telah berubah sedemikian ekstrim oleh manusia yang tak pernah merasa cukup. Ayam yang tadinya bisa terbang jadi kehilangan kemampuannya, terlebih lagi, bagaimana status ayam-ayam konsumsi itu? Rekayasa genetik telah membuatnya luar biasa berbeda.

Ini cuma opini saya yang juga seorang penyuka ayam. Lihatlah lagi apa yang telah kita perbuat guyes~ Buat memperbaiki kekacauan alam, menghentikan pembalakan liar, pencemaran sungai, dan lainnya itu, yang kita lihat harusnya bukan cuma momok global warmingnya dong, tapi juga perasaan mereka seandainya apa-apa saja itu, yang anda perlakukan semena mena punya perasaan tak ubahnya anda sekalian.

-Yuanita Wahyu Pratiwi, atas nama ayam di seluruh muka bumi-

No comments:

Post a Comment