Trending Topics

.

.

Monday, October 29, 2012

Musim Tanpa Warna



Putih untuk musim dingin, merah muda untuk musim semi, biru cerah untuk musim panas, dan oranye untuk musim gugur. Warna-warna tersebut seakan sudah melekat kesannya pada setiap musim yang mereka wakili, tapi untuk musim yang satu ini, aku rasa belum ada warna apapun padanya.

Dari beranda rumahku, ketika waktu menunjukan pukul tiga sore, dan orang-orang di Masjid tengah menanti tibanya ba’da Ashar, aku hanya melakukan hal yang kurang lebihnya sia-sia, menatap langit yang tak berwarna. Kulitku mengembun, bagai daun pisang pembungkus lontong yang baru keluar dari kukusan. Bukan karena kukusan tentunya, tapi sepertinya udara disini pun sudah hampir mirip dengan yang di dalam kukusan. Angin yang berhembus panas dan gersang. Aku bahkan tak percaya kalau diantara partikel yang menyusun angin itu masih ada oksigen, ia hanya membawa debu yang berserakan dimana-mana. Wajar sepertinya, mengingat pohon terakhir yang terdekat dari rumah ini adalah yang di dekat lapangan sana, sekitar dua ratus meter dari sini.

Dalam hati aku mengujar sepatah doa: Ingin rasanya aku lepas dari cengkraman kota ini. Tapi tetap sulit untuk meninggalkan tempat dimana aku menghabiskan setiap detik hidupku sejak dulu. Banyak noktah kenanganku yang tercecer di kota ini. Dan menghadapi kenyataan dengan menyaksikan noktah-noktah itu terhapus perlahan juga bukan opsi yang menyenangkan. Diantara keduanya, aku tak sanggup memilih. Selainpun aku meninggalkan semua noktah itu disini, mereka pasti akan meninggalkanku juga, dan tempat ini suatu hari akan benar-benar asing bagiku.

Dahulu, musim yang kira-kira dinaungi oleh bulan April sampai Oktober ini memiliki warna. Ketika tepat lurus dari halaman rumahku, berselang beberapa petak tanah kosong milik warga, berdiri pepohonan yang ratusan tahun usianya. Dan asal kalian tahu, ketika itu musim ini tak hanya memiliki satu warna tapi semuanya. Birunya langit musim panas, Merah mudanya kekembangan yang merekah, hijau-hijau segar daun-daun yang bersemi, oranye cerah langit sorenya, cahaya matahari yang kemasan dan putih bersih awan-awan yang berarak ringan melintasi horizon yang sedemikian luas benar benar tanpa beban, tanpa sedikitpun noda keabuan yang menandakan suram.

Udara disini tak seperti di dalam kukusan, tapi lebih, lebih sejuk dari yang di dalam lemari pendingin atau ruangan ber-AC bahkan. Matahari yang bersinar terik menghangatkan dinginnya udara sejuk tersebut sehingga suhunya jadi benar-benar nyaman. Pagi harinya bising dan semarak. Bukan oleh suara-suara benturan logam, gesekan roda gerigi mesin, atau desingan kendaraan bermotor, melainkan oleh kicau burung, kokok ayam dan suara-suara indah lainnya. Bahkan di siang hari, ketika semua anak yang bermain di luar diminta pulang untuk tidur siang, dan angin yang sepoi-sepoi membuai setiap orang untuk menikmatinya dengan tenang, desir angin bahkan terdengar nyanyiannya. Indah tanpa harus dengan musik genre apapun.
Seiring dengan pertumbuhanku, bergugurannya banyak waktuku yang lalu, banyak pula yang mesti direnggut pergi dariku. Aku masih beruntung mereka bukan orang yang kusayangi, tapi sialnya mereka adalah substansi hidup yang aku cintai. Dimensi waktuku yang lalulah yang pergi seketika dari sini, membuatku tidak kuasa lagi untuk sekedar melongoknya kembali di kemudian hari.

Latar tempat elok sarat warna dari kisah-kisah semasa kecilku digilas rata dengan tanah. Sebagai gantinya, para petinggi di pemerintahan sana, bekerja sama dengan kontraktor dan pihak asing mencanangkan bentuk baru dari penjajahan yang mereka juluki sebagai pembangunan. Pabrik-pabrik raksasa pun berdiri, dikiranya industrialisasi mungkin, tapi bagiku ini tak lebih dari percobaan membunuh negeri sendiri.

Aku pernah dengar cerita soal laba-laba betina yang mencari mangsa untuk tempat anak-anaknya dierami hingga menetas. Ia mencari serangga lain, tak jarang yang lebih besar darinya untuk disuntikan dengan telur-telurnya. Telur-telur itu akan menjadi parasit pada tubuh serangga yang sedianya masih hidup itu. Bakal calon serangga pembunuh itu menggerogoti tubuh serangga inangnya perlahan, hingga ia benar benar mati dan laba-laba kecil itupun bisa lantas merobeknya dan pergi. Mengerikan bukan? Dan akan jauh lebih mengerikan lagi jika kalian menyadari kenyataan bahwa sesungguhnya negara kita ini adalah si serangga inang tadi. Lama kelamaan kita bukan tidak mungkin akan terjajah lagi. Industrialisasi oleh pihak asing ialah telur-telur itu, para iblis-iblis kecil yang tengah menggerogoti kita perlahan lahan, bahkan tanpa kita sadari. Hingga kini kita telah mulai kehilangan banyak hal yang kita punya. Alam asri yang menggersang dan warna-warna semarak pada musim ini yang semakin memudar.

Hijau-nya pepohonan telah terenggut, tergantikan oleh substansi-substansi metal yang muram. Bangunan-bangunan raksasa yang menjulang tinggi telah mempersempit langit yang sedianya luas tak bertepi. Asap keabuan yang mengepul semakin memudarkan warna langit yang mestinya biru cerah jadi kusam. Komponen alam lainnya yang semestinya memadu selaras dengan semuanya kini hilang dengan sendirinya.

Ba’da Ashar berkumandang, diiringi dentangan metal dan suara desing mesin serta percikan kembang api dari kegiatan pengelasan logam yang tak tahu waktu. Tapi inilah musik yang dijanjikan pemerintah untuk mengganti apa yang telah mereka renggut dari kami. Musik yang tak berhenti sepanjang malam atau sepanjang hari, terus mengiringi ritme hidup kami yang semakin rancak oleh futurisasi yang mereka bawa.

Tak salah lagi, dimensi waktu yang lalu memang sudah terlempar terlalu jauh dari titik tempatku berada disini. Dan merupakan sebuah kemustahilan bagiku untuk mendapatkannya kembali. Bagaimanapun ini duniaku, dunia yang sekarang yang dinaungi musim tanpa warna. Sulit untuk membawa warna-warna itu kembali ke asalnya disini, oleh karenanya aku memilih untuk hanya berdiam diri. Selama ingatanku masih kugenggam kurasa warna-warna itu masih bisa kukenali, warna yang membuatku mengenang. Tapi nanti, jikalau entah karena apa ingatan-ingatan itu lantas pergi, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi. Mungkin segalanya akan tetap monokrom seperti ini, baik yang dihadapan mataku, atau jauh di dasar angan dan pikiranku di dalam sana, dimana noktah-noktah yang menyusun secuil dari latar kisah masa kecilku masih dapat kutemui, hingga saat ini.


Semenjak membuat cerpen kilat untuk lomba kemarin, saya mendadak jadi hobi membuat cerpen tanpa tahapam konflik yang kentara seperti ini. Temanya juga tak jauh dari kekecewaan-kekecewaan saya terhadap berbagai hal di sekitar saya, sebenarnya agak melankolis dan justru lebih mirip seperti sebuah testimoni yang persuasif. Tapi ya sudahlah, anggap saja ini cerpen oke? –Yuanita WP-

No comments:

Post a Comment