SMP Negeri 1 Cikarang Utara.
Yaampun, ternyata segala macam kisah saya disana telah lebih dari setahun
berlalu. Soal segerombolan liar pemimpi dan first… ah sudah!
Map merah. Yohooo~ sudah delapan belas
bulan berlalu sejak hari Sabtu itu, dimana secara berbondong-bondong kita
mendaftar ke sekolah yang sudah seperti satu yayasan dengan SMP kita ini. Yeah…
mungkin banyak di luar sana yang menganggap kita tengah berkacak pinggang di
depan mereka dengan map-map merah itu. Tak tahu saja mereka kita sedang
menjajal takdir~
SMA Negeri 1 Cikarang Utara. GOD!
Ini sekolah yang sudah saya lewati semenjak saya pertama kali menginjakan kaki
di Cikarang tahun 1999 yang lalu. Semasa SD saya mendengar sekolah ini cukup
punya kredibelitas yang tinggi, tapi entah dapat sombong dari mana, saya merasa
sebagian takdir saya ada di sekolah yang belum pernah saya masuki sampai hari
pendaftaran itu.
048. Nomor test masuk SMAN 1
Cikarang Utara saya. Juga nomor yang tertera di amplop informasi yang saya
terima yang mengatakan bahwa saya diterima di kelas akselerasi-nya sekolah ini.
MOPD (Masa Orientasi Peserta
Didik), wow! Seminggu berat yang sudah berlangsung lebih dari setahun yang
lalu. Misi saya kala itu melewatinya tanpa meninggalkan jejak memalukan apapun,
dan ternyata, berhasil!
Kelas belakang ruang osis,
samping tangga ke lab komputer, dekat toilet. Percaya atau tidak, jika kelas
saya semasa SMP angka belakangnya tidak berubah yakni 7.6 (kelas MOS), 7.6
(kelas resmi), 8.6 dan 9.6, sekarang ruang kelas saya yang tak berubah semenjak
MOPD. Semasa SD, variabel kelas saya juga tidak pernah berubah (I.A sampai VI.
A). Entah ini bermaknakan apa, yang jelas saya yakin itu baik.
CI. 1 angkatan pertama —karena CI
sebelumnya hanya terdiri dari satu kelas—. Kelas Bhinneka yang menaungi saya
hingga detik ini. Berisikan para ahli dan maestro di bidangnya masing-masing,
tapi kerap terperangkap remedial*bah*. Punya masa lalu yang pelik, tapi
ternyata kita sanggup bertahan ya? Hebat juga~
CI angkatan kedua. Itulah kami,
CI.1 & CI.2. Sepasang kelas yang saban hari mojok di deket toilet. Ya,
tempatnya memang disitu, mau diapakan lagi~ Kami adalah teman yang sekaligus
partner kerja. Tak jarang kami dikolaborasikan untuk memenuhi suatu tugas. Kami
juga kerap mengadakan event bersama dan tak terhitung rasanya berapa lembar
foto yang menjadi dokumentasinya. Tak terasa memang, tapi haha, dua jenjang
kelas telah kita lalui disini. Sepertiga dari hari-hari di SMA yang kata orang
‘wah’ itu.
Jurusan ilmu alam, berat sekali,
tapi ternyata sudah setahunan ini anda menaungi saya ya? Mendalangi segala
macam penyiksaan atas diri saya~ Tapi, ya sudah lah, toh tinggal sedikit lagi,
sedikit lagi sampai saya akan bersua kembali dengan my dear ilmu sosial~
Dan kalian, dari kesemua uraian
diatas, intinya kurang lebih hanyalah sama. Menegaskan bahwa hampir, hampir tak
terasa. Segala tekanan dan waktu yang berjalan lama seolah mengebiri kami saat
ini. Sudah dua pertiganya, sudah empat semester sepanjang 4 caturwulan yang
kita habiskan disini. Dan artinya hanya enam bulanan lagi waktu yang kita punya
untuk kiranya bersua di sekolah yang melatari berbagai peristiwa ini. Berbagai
peristiwa ketika kita membunuh waktu bersama, menghasilkan karya hebat bersama,
dan berjuang bersama.
Jika satu setengah tahun saja
sebegini singkatnya, akan jadi apa enam bulan yang tersisa? Terlebih ini bukan
lagi hanya soal lulus dan mencari sekolah baru, tapi untuk betul dinyatakan
lulus dengan mencari atau tidak sebuah sekolah baru. Jenjang wajib belajar yang
pemerintah tetapkan selama dua belas tahun itu nyatanya hampir sudah kita
habisi bersama. Dan hanya enam bulan yang tersisa.
Kelas enam SD, saya dimintai
selembar foto dari sepaket foto berklise yang sudah dibagikan sisa keperluan
SKHUN, ijazah, sertifikat dan lain-lain. Kata guru saya, itu untuk NISN,
KTP-nya pelajar yang baru digalakkan tahun-tahun itu. Waktu itu, beluai juga
bilang begini, “Nanti dilaminating pas pulang, ini kartu penting, KTP-nya
pelajar, ini berlaku sampai nanti kalian sudah bukan anak sekolah lagi, sampai
lulus SMA.” Waktu itu dengan konyolnya saya berpikiran bahwa mungkin saya tidak
sanggup untuk menjaga kartu tersebut sampai tiba waktunya kartu tersebut sudah
habis masa berlakunya. Toh saya ini teledor, banyak barang bahkan yang besar
yang sudah saya hilangkan tanpa pernah ditemukan kembali, apalagi benda sekecil
kartu ini. Lagipula waktu sampai saya lulus masih begitu lama, sama lamanya
dengan yang hampir saya habiskan di SD kala itu. Tapi gilanya, kejamnya, ketika
saya masih ingat betul apa yang terjadi di hari pembagian NISN itu, saya masih
memiliki kartu tersebut, dan masa berlaku kartu tersebut hanya tinggal enam
bulan lagi. Waktu yang saya kira akan sangat lama ketika itu hanya bersisa enam
bulan lagi!
Lain halnya jika dilihat dari
sudut pandang yang ini. Masa SMA, dengan klisenya orang biasanya berkata bahwa
itu adalah masa-masa sekolah yang paling indah. Merasa jadi remaja sekaligus
seorang siswa seutuhnya, aktif dalam berbagai forum, bebas berprestasi, dan tentunya
soal cinta-cintaan yang katanya bukan cinta-cintaannya anak kecil lagi,
bitter-sweetnya pacaran dan lain sebagainya, tapi poorly, itu semua nonsense
buat saya. Masa SMA saya mengalami pemadatan jadi dua tahun, jadi tak ada acara
buat kami untuk aktif di forum forum lain selain di forum belajar dua tahun
yang sudah kadung menuntut kami untuk hiperaktif ini. Dan lagi soal
cinta-cintaan. Haah… entah, sepertinya setelah kisah pertama yang panjang itu,
serabut syaraf saya yang bertugas mengaktifkan hormon yang memancing perasaan
tersebut membeku sementara. Sepertinya terlalu kecewa juga tidak, saya sudah
rela jikalau harus melepasnya pergi tanpa tilas apapun untuk saya, sekalipun
kiranya jika ia berkenan untuk menoleh pun saya masih bahagia. Mirisnya setelah
kita tak satu sekolah lagi, setelah perlahan suasana beku diantara kita
akhirnya mencair, perasaan itu terlampau jauh untuk saya raih kembali. Mungkin
baginya Ia telah mengudara pergi. Sekian banyak komponen dalam diri saya yang
terbiasa untuk menciptakan reaksi kombinasi yang begitu ajaib, penuh kejutan,
dan meledak-ledak itu perlahan tapi pasti terus menonaktifkan diri. Dan belum
ada yang bisa memicunya untuk bekerja kembali hingga detik ini.
Pahit atau manis, menyenangkan
atau tidak, itu hanya standarisasi relatif yang bisa saja mengkamuflasekan diri
jadi hitam atau putih dalam pengertian masing-masing orang. Yang jelas saya
rasa meski tak pada umumnya masa SMA saya yang hanya bersisa seujung jari ini
cukup menyenangkan juga. Toh, saya suka menjadi berbeda dari yang lain. Masa
depan saya adalah karpet merah yang terbentang jauh dan tak dapat saya lihat
dimana ujungnya. Selepas ini, saya tahu akan lebih banyak lagi persimpangan
yang saya temui, tapi saya tak perlu khawatir akan hal itu. Saya punya Tuhan yang
menjanjikan hal baik kepada hambanya yang berbuat baik dan berusaha semaksimal
yang ia bisa, saya punya keluarga hebat yang akan selalu menjadi tempat saya kembali
dan melupakan segala penat yang saya dapati di luar, dan saya punya kekuatan
dalam diri saya, afirmatif positif yang amat ajaib, yang akan membuat segalanya
sesuai dengan apa yang saya pikirkan. Jadi jika saya anggap ini semua akan jadi
menyenangkan, semua pun akan menyenangkan sebagaimana mestinya, seberat apapun
persoalan yang harus saya hadapi kedepannya. Amin.
Future is getting closer, and there’s no way for
me except face this one. I can’t run away whatever I do because this is my
destiny, and also the right time for me to beginning my struggle to be someone
valueable for my family, my country and this world. No matter what happen I’ll
go my way and write my name by my own hand as a history.
-Yuanita WP-
6 November 2012
6 November 2012
No comments:
Post a Comment