Pressure dalam Fisika selalu memberi pressure tersendiri
bagi para unPHYSICable students macam saya. Tapi bukan hanya preassure man,
hampir setiap bab, setiap subbab, setiap paragraf, setiap ulasan, setiap contoh
soal dan latihannya, setiap ulangan, atau ujian penting akan lebih parah lagi,
yeah, semuanya selalu berselaras dengan sangat padu bersama yang namanya
pressure. Selain itu, pahitnya, ternyata, atau memang tak usah melibatkan kata
ternyata, semua eksakta, Matematika, Kimia, dan bahkan kini Biologi pun hampir
demikian. Aaahh…
Kalian, sesungguhnya dan sebetul-betulnya saya penasaran
substansi mana yang sesungguhnya hakiki, persepsi mana yang sesungguhnya lurus,
teorema mana yang sesungguhnya tak melenceng dari sunatullah? Bahwa sebenarnya
kehidupan anak SMA normal itu seperti apa?
Saya bertanya demikian dengan entah naif atau polos, atau
konyolnya mungkin, karena memang saya merasa batasan normal telah jauh
terlampaui oleh siklus hidup saya belakangan, sebagai seorang kokousei. Kalau memang apa yang dimuat
di film, komik jepang, atau anime yang biasanya saya tonton tentang kehidupan
bahagia, seru nan menyenangkannya para penyandang seragam putih abu-abu—atau
seragam SMA lainnya— memang salah karena terlalu membahagiakan, lantas seperti
apa yang sepatutnya disebut normal?
Saya rasa, soal itu saya hanya memiliki tak lebih dari satu
patokan saja, oke siklus hidup yang semacam ini: Bangun pagi, terpaksa harus
gesit padahal saya tidak tergolong cukup gesit, tak punya waktu bersantai
barang sedikit selepas bangun tidur pagi, buat sarapan sendiri, berangkat
sendiri karena sakit hati sebab jika saya minta antar yang ada malah
diomeli—oke, saya lelah dengan yang satu itu—, terperangkap dalam jurang neraka
modern yang namanya macet, jalan kaki ribuan langkah setengah berlari karena
buat saya terlambat datang adalah soal harga diri, belajar eksak dengan hanya
setengah hati, uang jajan yang pass-nya kadang melampaui batas
kewajaran#apamaksudnya?!, hampir setiap malam, mengatur jadwal untuk membantai
satu persatu tugas, menumpas ketidak adilan oleh kediktatoran akibat
kapitalisme dan imperialisme para PR dan Tugas hingga waktu tidur banyak
tersita, akibatnya mengantuk di sekolah, belajar tak maksimal, remedial
memberondong kemudian, masalah dengan teman, dan jujur, kesepian…#plakk—sadar
wan!— =3=
TAK SEPANTASNYA YANG SEPERTI ITU DISEBUT NORMAL KAN??!!
Entah kenapa, yaah… meski sekarang saya punya lebih banyak
waktu untuk mengurusi diri saya sendiri, kepentingan saya, tugas-tugas saya,
dan rencana masa depan saya, saya merasa waktu-waktu saya bergulir tak seindah
yang sediakala, ketika saya masih gila, meneriakkan variabel lima huruf yang
sekarang kembali terdengar tabu di telinga saya, apalagi?—cinta—, tentu saja,
yang pertama, dan sekarang sudah mengudara hingga entah kemana.
Meski saya tak mendapat apa-apa, kecuali sebesit kecewa yang
tak hilang-hilang juga seberapapun lamanya, dan, oh! Inspirasi, jangan lupakan
itu! Saya banyak menulis, menggambar, dan menghasilkan karya yang membuat saya
sendiri tercengang dan melongo tak percaya apakah benar kiranya saya yang
membuatnya kala itu. Tapi diluar itu, terutama soal apapun yang berhubungan
langsung dengan dirimu, nothing,
semuanya pergi tanpa sisa, bung! Sayang ya? Tentu saja, apalagi untuk saya
sendiri, anda kan tak tahu apa-apa. Yeah, tentu saja.
Saya tak mengatakan apapun soal ini, jadi mungkin ini memang
salah saya yang terlalu pengecut. Padahal, andai anda tahu, saya dulu berharap
cukup banyak terhadap yang pertama ini, diri
anda, tapi ternyata harapan saya sedemikian mudahnya lepas mengudara.
Dalam satu tahun belakangan, rupanya banyak kenyataan pahit
yang harus saya terima. Pertama, tentunya soal dirimu, disaat-saat terakhir
saya masih menggenggam erat perasaan terhadap anda, saya mendapati pengakuan
gamblang anda soal penolakan yang baru saja anda terima, kasihan, kita. Haha.
Lalu, hubungan kita, maksudku entah dalam konteks apa, dan saya rasa lebih
dalam konteks interaksi sosial biasa, mengalami cukup banyak kemajuan, tapi…
sayang, aahh sial! Stadiumnya sudah turun drastis, saya tak lagi menggilai,
atau gila sendiri, dan kala itu saya mendapati kenyataan bahwa sembuh terkadang
tidak menyenangkan. Saya punya banyak kesempatan berkontak baik secara langsung
maupun tidak dengan anda, tapi sayangnya saya sudah tak gemetaran lagi,
semuanya kembali biasa. Lalu, saya juga harus melepas cinta saya yang pergi
meninggalkan saya untuk sementara waktu, cinta yang lebih hakiki dari yang
tadi, yang tak akan terganti sebentanganwaktu hidup saya, Cinta saya terhadap
disiplin ilmu sosial. Saya sudah cerita, berdeklamasi, berorasi, berkali-kali,
dimanapun, dan kiranya anda pernah mendapati bagaimana saya berbicara soal ini,
anda sekalian tentu mengerti seberapa kecewanya saya ketika dijebloskan ke
kelas IPA dan tak lagi diperkenankan bersua dengan IPS tercinta.
IPS dan anda, dikau, atau entahlah. Kalian yang teganya
meninggalkan saya yang depresi berat tanpa keberadaan kalian ini sendirian.
Kalian tahu, saya tertekan, saya kehilangan, berat, saya tidak pernah lantas
mengatakan iya, dan menyetujui untuk kalian tinggalkan begitu saja, tapi kenapa
kalian melakukannya? Dan kompak, dalam waktu yang hampir bersamaan.
Kini hanya ada beberapa yang saya cintai; Tuhan, Orang Tua
saya, Keluarga saya, dan Negara saya.
Itu kiranya cinta-cinta yang akan saya perjuangkan dalam hidup saya
kedepannya. Meski saya sangat sangat berharap untuk cinta yang lainnya, biarpun
tidak lagi untuk yang pertama, mungkin untuk yang sejati.
Yaampun… pressure.
Luar biasa sekali dampaknya. Saya dalam kondisi-kondisi tertentu tak bisa
dipungkiri tetap stress, meski saya
termasuk salah satu dari yang berpemikiran cukup santai. Dan dalam kondisi yang
sedemikian melas begini keadaan saya lebih miris lagi. Terkadang, dikala
tekanan itu mencapai puncaknya, dimana kepala saya rasanya seperti ingin pecah
dan secara egois tiba-tiba saya berkeinginan untuk rehat sebentar dari babak
dalam skenario yang sedang klimaks itu, melintas pemikiran lain di otak saya,
jika sekarang saya dipaksa membiasakan diri dengan yang seperti ini, akankah
nanti tiba waktunya saya akan terbiasa bekerja dibawah tekanan dan
merindukannya ketika tak lagi saya dapati tekanan dalam hidup saya? Mungkin
saja. Oleh karenanya, sesulit apapun keadaannya, meski masih dalam teori yang
masih terlalu ideal, saya berusaha untuk menikmati hidup ini selagi mesin waktu
belum dapat ditemukan, toh, apa yang kita dapati dan punya sekarang belum lagi
tentu dapat kita punya di waktu mendatang.
Owari
10-18-2012
12:21
10-18-2012
12:21
No comments:
Post a Comment