Nampaknya saya jadi terbiasa membuat tulisan tentang event-event nasional belakangan ini. Yah, sekali lagi karena saya cinta negara ini, dan tentunya saya cinta segala yang spesial untuk saya, termasuk hari ini.
Sebenarnya, diluar peringatan Sumpah Pemuda, hari ini hanya
hari minggu biasa yang hendak mengeksekusi habis long weekend yang melanda dan menggantinya segera dengan hari Senin
yang kejam. Tapi itu kan sekiranya ini hanya hari Minggu biasa, padahal nyatanya
tidak. Tepat dua puluh delapan tahun yang lalu, ada peristiwa maha penting yang
terjadi di bumi nusantara ini, terutama untuk kita, regenerasi dari para
pemuda-pemuda tangguh yang menyelenggarakan Kongres Pemuda II dan menggalakan
persatuan sebangsa dan setanah air kala itu.
Mengapa bangsa kita bisa terjajah oleh Belanda sekian lama?
Anak SD pun tahu, setidaknya secara teoritis bahwasanya itu merupakan akibat
dari kelengahan kita, ketidak sadaran kita akan sebuah senjata mutakhir yang
kita miliki sejak sekian lama. Apa? Bagaimana wujudnya? Pandangi saja
orang-orang disekitar anda, maka anda akan temukan begitu banyak warna,
momentum tumbukan berbagai dimensi, keberagaman, ketidak seragaman, yang
umumnya kita juluki pluralisme.
Pluralisme inilah yang sampai kini belum kita temukan cara
pengoptimalan penggunaannya, padahal para pemuda hebat itu sepantasnya telah
membuka pola pikir kita terhadapnya. Mereka menemukan dimana senjata mutakhir
itu tersembunyi, dan itu sungguhlah merupakan sebuah pencapaian yang luar
biasa. Sejak dahulu, bukan hanya ketika diinangi oleh Belanda, tapi juga kala
Indonesia kita ini masih menjadi bumi para Raja, kemudahan untuk diadu domba
menjadi salah satu titik kelemahan paling fatal yang kita punya. Sriwijaya,
Majapahit, Singasari, Medang Kamulan, dan masih banyak lagi. Boleh saya tanya,
apakah kiranya yang membuat kedinastian semegah dan semakmur mereka dapat
runtuh? Militer yang lemah? Raja yang kurang cakap dalam memimpin? Tak benar
secara menyeluruh, itu hanya sebagian kecilnya saja. Sriwijaya punya angkatan
Laut paling mutakhir semasanya, dan Hayam Wuruk merupakan salah satu raja
terbaik Majapahit, didampingi Patih paling terkenal sepanjang waktu, Gadjah
Mada. Titik kelemahan mereka yang paling mendasar adalah kemudahan untuk diadu
domba. Mereka mungkin memiliki solidaritas yang tinggi, tapi hanya dengan
lingkup kerajaannya saja, sementara dalam lingkup luas sebentangan nusantara
tak hanya berdiri satu kerajaan saja, dan antara satu dengan yang lain selalu
muncul persaingan untuk saling mendominasi, mengalahkan, dan menjadi yang
terkuat. Itulah kelemahan kita yang sesungguhnya, paham kesukuan yang terlalu chauvinis, menganggap tinggi derajat
bangsa sendiri dan merendahkan yang lain. Padahal andai kita sadar kita masih
dinaungi oleh akar budaya, masa lalu, serta nenek moyang yang sama, persatuan
yang dibubuhi kerukunan serta kesediaan untuk saling mendukung antara
pihak-pihak yang terlibat sesungguhnya akan menjadi sebilah pedang maha tajam
yang akan dapat menembus benteng manapun setebal apapun. Yang akan membawa
bangsa kita sebagai salah satu yang terkuat, yang maju, yang ada di garis
terdepan rotasi dan revolusi dunia dari zaman ke zaman.
Setelah sekian lama kita hidup tanpa hakikat persatuan
bangsa, setelah sekian lama kita hidup dalam paradigma kesukuan, setelah sekian
lama kita melempar pandangan tajam yang intimidatif antar satu kelompok dengan
yang lain, setelah terlalu banyak yang kita miliki harus kita relakan pergi,
kita akhirnya menemukan sebuah pegangan teguh yang tak lekang oleh gempuran
waktu. Apa yang selama ini kita cari, inti dari kekuatan yang sesungguhnya,
budaya luhur bangsa kita; persatuan, gotong-royong, telah kita temukan. Dan
benar, setelah ratusan tahun kita diadu domba oleh para kaum pendatang, setelah
kian banyak sudah hanya menerima pengaruh bangsa lain, setelah ratusan tahun
kita dihantui rasa cemas oleh bayang-bayang serangan dari musuh dekat, ancaman
perang saudara, akhirnya kita menemukan momentum yang tepat untuk memulai
segalanya bersama-sama. Berjuang sebagai kesatuan yang sama, serupa, seragam
dari ujung Sabang sampai pelosok Merauke. Dan tak butuh waktu lama hingga
ratusan tahun setelahnya, karena pada akhirnya kita hanya butuh beberapa puluh
tahun saja untuk mengecap angin merdeka. Sungguh betapa ruginya kita telah
membuang waktu sekian lama, padahal jikalau persatuan ini sudah kita temukan
sejak lama, bukan tidak mungkin kita tak mengalami penderitaan seberat apa yang
pernah kita alami. Sebenarnya bukan membuang waktu juga sih, toh pengalaman
soal masa lalu yang pahitlah, yang sama-sama kita alami, yang akhirnya membuat
kita menyadari soal persatuan kebangsaan yang sudah waktunya untuk kita bangun
bersama. Kita justru merugi jikalau hingga detik ini kita masih dirasuki oleh prinsip
kesukuan, jika kita masih menjadi anggota dari kelompok yang chauvinis, jika setelah mengerti apa itu
persatuan dan seberapa sulit usaha yang dilakukan untuk membentuknya kita masih
kerap berkelahi sesama saudara sebangsa. Sadarilah, para penggemar tawuran,
para penggila kerusuhan, para pencari keributan, satu-satunya hal yang menaungi
kita semua untuk hidup di tanah yang kita tapaki masing-masing saat ini
bukanlah suku, ras, agama, kelompok, klub sepakbola idola, almamater sekolah,
atau apapun, melainkan negeri kita, Indonesia. Jadi tak seharusnya kita saling
menghina dan menjatuhkan jikalau itu hanya membuat kita menjadi kelompok yang
dijatuhkan dan dihina. Kita hidup berdampingan sebagai warga negara Indonesia,
yang memiliki harta yang tak ternilai harganya yang bernamakan keberagaman,
nenek moyang kita telah mewarisi pedoman yang seharusnya kita pegang teguh
hingga saat ini; Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Jikalau kita menyadari betul
apa maknanya, dan apa yang harus kita amalkan darinya, kita akan menjadi sebuah
kesatuan maha kuat yang Pancasilais dan tak kurang sesuatu apapun untuk menjadi
bangsa yang maju.
Hari ini ada yang ingin saya bagi. Banyak stasiun TV swasta
yang menayangkan program spesial Sumpah Pemuda. Dari mulai konser akbar yang
diiringi orkestra legendaris, sampai ke acara dakwah. Dan dari sekian banyak
program itu, saya menikmati beberapa, dan mereka yang saya lihat
mendoktrinisasi saya dengan beberapa nilai-nilai yang kiranya sangat bisa
diterima dan sejalan dengan apa yang saya pikirkan.
Pertama, saya menonton acara dakwah siang hari di salah satu
stasiun TV yang biasa saya dan ayah saya pantengi setiap harinya. Tayangan
dakwah itu mengambil setting di sebuah masjid di pondok pesantren dan
mengangkat tema soal para pemuda, serta hubungannya pendidikan umum serta
pendidikan agama untuk mewujudkan sebuah kesuksesan. Pada hakikatnya pendidikan
memang tidak bisa dilepaskan dari unsur pemuda, begitupun sebaliknya.
Di segmen pertama, Kiyai I memulai dakwahnya. Beliau
bercerita soal pendidikan umum dan pendidikan agama yang semestinya adalah
suatu kesatuan, tapi belakangan malah dipisahkan. Tokoh-tokoh muslim zaman
dahulu jugalah para cendekiawan ilmu-ilmu umum yang lebih banyak dikejar orang
dibanding ilmu agama sekarang. Sebut saja, Al- Khawarizmi, sang penemu angka
nol, atau Ibnu Sina yang matematikawan sekaligus ahli kedokteran. Mereka
belajar tak lain dan tak bukan dari esensi kitab kita, kitab Umat Muslim,
Al-Quran. Saya juga pernah dengar dari guru saya bahwasanya kenapa ada pada
masanya orang Islam mengalami kemunduran dan dikalahkan oleh bangsa barat yang
berkembang pesat. Itu karena orang-orang barat tahu rahasia dibalik kesuksesan
kita. Mereka bukan bangsa berperadaban tinggi, tapi mereka cerdik luar biasa.
Mengapa ada masa Renaissans
setelah Dark of Ages? Karena mereka
adalah bangsa yang tak ingin terpuruk terlalu lama, mereka tidak suka kalah,
dan mereka memiliki strategi yang amat sistematis untuk merencanakan sebuah
momentum pembalasan. Bangsa barat terdiri dari bangsa-bangsa berkemampuan
intelegensia tinggi, seperti orang Yahudi, dan Arya. Mereka menjajaki hampir
seluruh dunia dan mengukuhkan kekuasaan dimana-mana, tepat ketika mereka telah
mengalahkan Islam. Tepat ketika kekuasaan Turki Usmani, Mughal, dan Syafawi
runtuh. Tepat ketika Alhambra jatuh ke tangan Raja Ferdinand II dan Ratu Isabel
I. Tepat ketika mereka telah banyak menyadap informasi, teknologi dan segala
kecakapan yang kita miliki dan mengembangkannya di tempat yang jauh dari kita.
Mereka tahu rahasia kita, mereka berusaha menelisik kedalam harta karun yang
kita punya— Al-Quran itu sendiri—. Guru saya waktu itu bilang, bahwa orang
Barat itu banyak yang fasih membaca Al-Quran dan mahir dalam menerjemahkannya,
itu karena mereka bisa mendapatkan banyak sekali ilmu dari sana. Selepas mereka
membawa pulang ilmu itu, mengkonversikannya menjadi mesin-mesin dan
teknologi-teknologi yang aplikatif, mereka menjadikannya senjata untuk memukul
mundur Umat Muslim—sang tuan yang sesungguhnya dari senjata yang mereka
kerahkan—.
Yah, mungkin saya sudah bercerita terlalu jauh menyimpang,
tapi ini sungguhan. Intinya hanya Al-Quran, yang menjadi dasar bagi segala
cabang ilmu agama sesungguhnya juga merupakan gudang dari berbagai disiplin
ilmu non spiritual. Itu terbukti dari bagaimana sejarah telah berbicara begitu
banyak tentangnya. Dan benar sesungguhnya bahwa Ilmu agama tak seharusnya
ditempatkan berpisah dengan ilmu umum. Ilmu agama dan ilmu umum sesungguhnya
benar merupakan sebuah kesatuan yang saling mendampingi. Orang yang menguasai
ilmu umum tanpa ilmu agama tak akan pernah sebaik orang yang menguasai keduanya.
Sistem pendidikan kita yang memisahkannyalah yang salah.
Persis seperti apa yang saya pikirkan selama ini, sang Kiyai
tersebut juga berpendapat bahwasanya ada yang salah dengan sistem pendidikan
negara kita yang sekarang. Penyelenggaraan pendidikan tak menghasilkan generasi
yang terdidik dan berkembang sesuai dengan minat dan kemampuannya, melainkan
generasi yang lulus dengan menggenggam ijazah sebagai kupon untuk mendapatkan
pekerjaan setelahnya. Padahal andai generasi bangsa dididik dengan cara-cara
yang tepat, dikembangkan potensinya, serta diberi pondasi agama yang kuat,
kemajuan bangsa kita hanya tinggal menghitung waktu saja. Dengan cara ini pula,
selamanya kiblat pembangunan dan kemajuan dunia tak hanya berporos pada
negara-negara barat saja, tapi juga negara-negara dengan populasi Muslim banyak
seperti negara kita. Sehingga bukan tak mungkin akan muncul lagi masa keemasan
Islam yang sediakala. Begitu pula soal pemudanya, dengan mengembangkan potensi
pemuda sesuai minat dan bakatnya, makan tidak akan timbul paksaan, dan dengan
dibubuhi oleh pembekalan ilmu agama yangc cukup maka tidak akan kita temui
pemuda-pemuda yang tak berkarakter, yang liar dan main pukul, yang chauvinis, dan yang dekat dengan
kriminalitas.
Ah, ada satu lagi. Hanya sebagai catatan kecil, hari Senin
tanggal 29 Oktobernya saya bersama dua rekan saya yang lain—Firdha dan Naufal—
mengikuti Olimpiade Pancasila di sebuah Universitas, dan ada yang membahagiakan
soal itu. Tapi bukan hanya soal kemenangan yang akhirnya kami bawa memang, tapi
untuk saya, arti dari acara kemarin lebih mengena lagi. Hari itu, pada acara
tersebut, adalah kali pertamanya saya dapat mengikuti lomba semacam itu. Dari
lomba itu juga saya jadi mengetahui bahwasanya generasi muda yang aktif dan
peduli soal kesinambungan bangsa ini tidak sedikit. Dari sana juga saya
mengetahui bahwa ternyata banyak yang memiliki alur pemikiran yang sejalan
dengan saya, oleh karenanya saya sangat bersyukur atas hal itu. Semoga saja
kenyataan yang membahagiakan ini juga membawa kenyataan yang membahagiakan
untuk negara kita, Indonesia kedepannya.
STRUGGLING!
-Yuanita WP-
No comments:
Post a Comment