Trending Topics

.

.

Monday, October 29, 2012

Catatan 28-29 Oktober '12

Selamat hari Sumpah Pemuda, semuanyaa!!

Nampaknya saya jadi terbiasa membuat tulisan tentang event-event nasional belakangan ini. Yah, sekali lagi karena saya cinta negara ini, dan tentunya saya cinta segala yang spesial untuk saya, termasuk hari ini.

Sebenarnya, diluar peringatan Sumpah Pemuda, hari ini hanya hari minggu biasa yang hendak mengeksekusi habis long weekend yang melanda dan menggantinya segera dengan hari Senin yang kejam. Tapi itu kan sekiranya ini hanya hari Minggu biasa, padahal nyatanya tidak. Tepat dua puluh delapan tahun yang lalu, ada peristiwa maha penting yang terjadi di bumi nusantara ini, terutama untuk kita, regenerasi dari para pemuda-pemuda tangguh yang menyelenggarakan Kongres Pemuda II dan menggalakan persatuan sebangsa dan setanah air kala itu.

Mengapa bangsa kita bisa terjajah oleh Belanda sekian lama? Anak SD pun tahu, setidaknya secara teoritis bahwasanya itu merupakan akibat dari kelengahan kita, ketidak sadaran kita akan sebuah senjata mutakhir yang kita miliki sejak sekian lama. Apa? Bagaimana wujudnya? Pandangi saja orang-orang disekitar anda, maka anda akan temukan begitu banyak warna, momentum tumbukan berbagai dimensi, keberagaman, ketidak seragaman, yang umumnya kita juluki pluralisme.

Pluralisme inilah yang sampai kini belum kita temukan cara pengoptimalan penggunaannya, padahal para pemuda hebat itu sepantasnya telah membuka pola pikir kita terhadapnya. Mereka menemukan dimana senjata mutakhir itu tersembunyi, dan itu sungguhlah merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa. Sejak dahulu, bukan hanya ketika diinangi oleh Belanda, tapi juga kala Indonesia kita ini masih menjadi bumi para Raja, kemudahan untuk diadu domba menjadi salah satu titik kelemahan paling fatal yang kita punya. Sriwijaya, Majapahit, Singasari, Medang Kamulan, dan masih banyak lagi. Boleh saya tanya, apakah kiranya yang membuat kedinastian semegah dan semakmur mereka dapat runtuh? Militer yang lemah? Raja yang kurang cakap dalam memimpin? Tak benar secara menyeluruh, itu hanya sebagian kecilnya saja. Sriwijaya punya angkatan Laut paling mutakhir semasanya, dan Hayam Wuruk merupakan salah satu raja terbaik Majapahit, didampingi Patih paling terkenal sepanjang waktu, Gadjah Mada. Titik kelemahan mereka yang paling mendasar adalah kemudahan untuk diadu domba. Mereka mungkin memiliki solidaritas yang tinggi, tapi hanya dengan lingkup kerajaannya saja, sementara dalam lingkup luas sebentangan nusantara tak hanya berdiri satu kerajaan saja, dan antara satu dengan yang lain selalu muncul persaingan untuk saling mendominasi, mengalahkan, dan menjadi yang terkuat. Itulah kelemahan kita yang sesungguhnya, paham kesukuan yang terlalu chauvinis, menganggap tinggi derajat bangsa sendiri dan merendahkan yang lain. Padahal andai kita sadar kita masih dinaungi oleh akar budaya, masa lalu, serta nenek moyang yang sama, persatuan yang dibubuhi kerukunan serta kesediaan untuk saling mendukung antara pihak-pihak yang terlibat sesungguhnya akan menjadi sebilah pedang maha tajam yang akan dapat menembus benteng manapun setebal apapun. Yang akan membawa bangsa kita sebagai salah satu yang terkuat, yang maju, yang ada di garis terdepan rotasi dan revolusi dunia dari zaman ke zaman.

Setelah sekian lama kita hidup tanpa hakikat persatuan bangsa, setelah sekian lama kita hidup dalam paradigma kesukuan, setelah sekian lama kita melempar pandangan tajam yang intimidatif antar satu kelompok dengan yang lain, setelah terlalu banyak yang kita miliki harus kita relakan pergi, kita akhirnya menemukan sebuah pegangan teguh yang tak lekang oleh gempuran waktu. Apa yang selama ini kita cari, inti dari kekuatan yang sesungguhnya, budaya luhur bangsa kita; persatuan, gotong-royong, telah kita temukan. Dan benar, setelah ratusan tahun kita diadu domba oleh para kaum pendatang, setelah kian banyak sudah hanya menerima pengaruh bangsa lain, setelah ratusan tahun kita dihantui rasa cemas oleh bayang-bayang serangan dari musuh dekat, ancaman perang saudara, akhirnya kita menemukan momentum yang tepat untuk memulai segalanya bersama-sama. Berjuang sebagai kesatuan yang sama, serupa, seragam dari ujung Sabang sampai pelosok Merauke. Dan tak butuh waktu lama hingga ratusan tahun setelahnya, karena pada akhirnya kita hanya butuh beberapa puluh tahun saja untuk mengecap angin merdeka. Sungguh betapa ruginya kita telah membuang waktu sekian lama, padahal jikalau persatuan ini sudah kita temukan sejak lama, bukan tidak mungkin kita tak mengalami penderitaan seberat apa yang pernah kita alami. Sebenarnya bukan membuang waktu juga sih, toh pengalaman soal masa lalu yang pahitlah, yang sama-sama kita alami, yang akhirnya membuat kita menyadari soal persatuan kebangsaan yang sudah waktunya untuk kita bangun bersama. Kita justru merugi jikalau hingga detik ini kita masih dirasuki oleh prinsip kesukuan, jika kita masih menjadi anggota dari kelompok yang chauvinis, jika setelah mengerti apa itu persatuan dan seberapa sulit usaha yang dilakukan untuk membentuknya kita masih kerap berkelahi sesama saudara sebangsa. Sadarilah, para penggemar tawuran, para penggila kerusuhan, para pencari keributan, satu-satunya hal yang menaungi kita semua untuk hidup di tanah yang kita tapaki masing-masing saat ini bukanlah suku, ras, agama, kelompok, klub sepakbola idola, almamater sekolah, atau apapun, melainkan negeri kita, Indonesia. Jadi tak seharusnya kita saling menghina dan menjatuhkan jikalau itu hanya membuat kita menjadi kelompok yang dijatuhkan dan dihina. Kita hidup berdampingan sebagai warga negara Indonesia, yang memiliki harta yang tak ternilai harganya yang bernamakan keberagaman, nenek moyang kita telah mewarisi pedoman yang seharusnya kita pegang teguh hingga saat ini; Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Jikalau kita menyadari betul apa maknanya, dan apa yang harus kita amalkan darinya, kita akan menjadi sebuah kesatuan maha kuat yang Pancasilais dan tak kurang sesuatu apapun untuk menjadi bangsa yang maju.

Hari ini ada yang ingin saya bagi. Banyak stasiun TV swasta yang menayangkan program spesial Sumpah Pemuda. Dari mulai konser akbar yang diiringi orkestra legendaris, sampai ke acara dakwah. Dan dari sekian banyak program itu, saya menikmati beberapa, dan mereka yang saya lihat mendoktrinisasi saya dengan beberapa nilai-nilai yang kiranya sangat bisa diterima dan sejalan dengan apa yang saya pikirkan.

Pertama, saya menonton acara dakwah siang hari di salah satu stasiun TV yang biasa saya dan ayah saya pantengi setiap harinya. Tayangan dakwah itu mengambil setting di sebuah masjid di pondok pesantren dan mengangkat tema soal para pemuda, serta hubungannya pendidikan umum serta pendidikan agama untuk mewujudkan sebuah kesuksesan. Pada hakikatnya pendidikan memang tidak bisa dilepaskan dari unsur pemuda, begitupun sebaliknya.

Di segmen pertama, Kiyai I memulai dakwahnya. Beliau bercerita soal pendidikan umum dan pendidikan agama yang semestinya adalah suatu kesatuan, tapi belakangan malah dipisahkan. Tokoh-tokoh muslim zaman dahulu jugalah para cendekiawan ilmu-ilmu umum yang lebih banyak dikejar orang dibanding ilmu agama sekarang. Sebut saja, Al- Khawarizmi, sang penemu angka nol, atau Ibnu Sina yang matematikawan sekaligus ahli kedokteran. Mereka belajar tak lain dan tak bukan dari esensi kitab kita, kitab Umat Muslim, Al-Quran. Saya juga pernah dengar dari guru saya bahwasanya kenapa ada pada masanya orang Islam mengalami kemunduran dan dikalahkan oleh bangsa barat yang berkembang pesat. Itu karena orang-orang barat tahu rahasia dibalik kesuksesan kita. Mereka bukan bangsa berperadaban tinggi, tapi mereka cerdik luar biasa.

Mengapa ada masa Renaissans setelah Dark of Ages? Karena mereka adalah bangsa yang tak ingin terpuruk terlalu lama, mereka tidak suka kalah, dan mereka memiliki strategi yang amat sistematis untuk merencanakan sebuah momentum pembalasan. Bangsa barat terdiri dari bangsa-bangsa berkemampuan intelegensia tinggi, seperti orang Yahudi, dan Arya. Mereka menjajaki hampir seluruh dunia dan mengukuhkan kekuasaan dimana-mana, tepat ketika mereka telah mengalahkan Islam. Tepat ketika kekuasaan Turki Usmani, Mughal, dan Syafawi runtuh. Tepat ketika Alhambra jatuh ke tangan Raja Ferdinand II dan Ratu Isabel I. Tepat ketika mereka telah banyak menyadap informasi, teknologi dan segala kecakapan yang kita miliki dan mengembangkannya di tempat yang jauh dari kita. Mereka tahu rahasia kita, mereka berusaha menelisik kedalam harta karun yang kita punya— Al-Quran itu sendiri—. Guru saya waktu itu bilang, bahwa orang Barat itu banyak yang fasih membaca Al-Quran dan mahir dalam menerjemahkannya, itu karena mereka bisa mendapatkan banyak sekali ilmu dari sana. Selepas mereka membawa pulang ilmu itu, mengkonversikannya menjadi mesin-mesin dan teknologi-teknologi yang aplikatif, mereka menjadikannya senjata untuk memukul mundur Umat Muslim—sang tuan yang sesungguhnya dari senjata yang mereka kerahkan—.

Yah, mungkin saya sudah bercerita terlalu jauh menyimpang, tapi ini sungguhan. Intinya hanya Al-Quran, yang menjadi dasar bagi segala cabang ilmu agama sesungguhnya juga merupakan gudang dari berbagai disiplin ilmu non spiritual. Itu terbukti dari bagaimana sejarah telah berbicara begitu banyak tentangnya. Dan benar sesungguhnya bahwa Ilmu agama tak seharusnya ditempatkan berpisah dengan ilmu umum. Ilmu agama dan ilmu umum sesungguhnya benar merupakan sebuah kesatuan yang saling mendampingi. Orang yang menguasai ilmu umum tanpa ilmu agama tak akan pernah sebaik orang yang menguasai keduanya. Sistem pendidikan kita yang memisahkannyalah yang salah.

Persis seperti apa yang saya pikirkan selama ini, sang Kiyai tersebut juga berpendapat bahwasanya ada yang salah dengan sistem pendidikan negara kita yang sekarang. Penyelenggaraan pendidikan tak menghasilkan generasi yang terdidik dan berkembang sesuai dengan minat dan kemampuannya, melainkan generasi yang lulus dengan menggenggam ijazah sebagai kupon untuk mendapatkan pekerjaan setelahnya. Padahal andai generasi bangsa dididik dengan cara-cara yang tepat, dikembangkan potensinya, serta diberi pondasi agama yang kuat, kemajuan bangsa kita hanya tinggal menghitung waktu saja. Dengan cara ini pula, selamanya kiblat pembangunan dan kemajuan dunia tak hanya berporos pada negara-negara barat saja, tapi juga negara-negara dengan populasi Muslim banyak seperti negara kita. Sehingga bukan tak mungkin akan muncul lagi masa keemasan Islam yang sediakala. Begitu pula soal pemudanya, dengan mengembangkan potensi pemuda sesuai minat dan bakatnya, makan tidak akan timbul paksaan, dan dengan dibubuhi oleh pembekalan ilmu agama yangc cukup maka tidak akan kita temui pemuda-pemuda yang tak berkarakter, yang liar dan main pukul, yang chauvinis, dan yang dekat dengan kriminalitas.

Ah, ada satu lagi. Hanya sebagai catatan kecil, hari Senin tanggal 29 Oktobernya saya bersama dua rekan saya yang lain—Firdha dan Naufal— mengikuti Olimpiade Pancasila di sebuah Universitas, dan ada yang membahagiakan soal itu. Tapi bukan hanya soal kemenangan yang akhirnya kami bawa memang, tapi untuk saya, arti dari acara kemarin lebih mengena lagi. Hari itu, pada acara tersebut, adalah kali pertamanya saya dapat mengikuti lomba semacam itu. Dari lomba itu juga saya jadi mengetahui bahwasanya generasi muda yang aktif dan peduli soal kesinambungan bangsa ini tidak sedikit. Dari sana juga saya mengetahui bahwa ternyata banyak yang memiliki alur pemikiran yang sejalan dengan saya, oleh karenanya saya sangat bersyukur atas hal itu. Semoga saja kenyataan yang membahagiakan ini juga membawa kenyataan yang membahagiakan untuk negara kita, Indonesia kedepannya.


STRUGGLING!
-Yuanita WP-


No comments:

Post a Comment