Op De Pasar Malam,
A
Netherland-Indische Fanfiction
Hetalia
Axis-Powers by Hidekazu Himaruya
© Meckino Sara
Summary:
Di pasar malam ada bianglala. Ah,
apakah kau juga berpikir jika rodanya tak ubahnya roda kehidupan? Kita mulai
dari bawah lalu terus naik sampai berada di titik tertinggi. Semua penikmatnya
punya kesempatan yang sama untuk berada di atas maupun di bawah. Tapi tak hanya itu, bagiku
kali ini bianglala pun tak ubahnya mesin waktu yang menyebrangi rentan tujuh
dasawarsa. Karena, kala itu dan kala ini kita sama-sama berada di sini. Lengkap dengan cinta dan
air mata. Hanya saja takdir mengemasnya berbeda.
__404040404__
Meckino Sara Present
-OP DE PASAR MALAM-
Semilir angin membelai perlahan
tiap helai rambutku, aku juga dapat merasakan belaian dinginnya dari tengkuk
sampai ke kulit kepalaku. Dada yang dibuat berdesir olehmu perlahan semakin mendesir
kencang ketika kita semakin menjauh dari tilas gravitasi. Kupejamkan mata
erat-erat, karena tak peduli siapa yang telah membuat alat ini dan ia menjamin
keselamatannya, aku tetap takut ketinggian. Aku tak lagi merasa nyaman ketika
gravitasi tak lagi mendekap telapak kakiku. Seperti kejadian tadi. Karena
ketika kehilangan pijakan, aku merasa semuanya begitu menipu, begitu semu.
Satu-satunya kepastian yang kutahu kala itu hanyalah jika aku jatuh, aku akan
merasakan sakit. Begitupun ketika kau membuatku melayang, Neth...
“Nesia?”
Aku rasakan telapak
tanganmu yang hangat menyentuh pundakku perlahan—seolah berusaha meredam getar
tubuhku yang mungkin dimatamu tampak begitu menyiksaku. Padahal, andai kau
tahu, kau jauh lebih membuatku tersiksa. Memang apa gunanya menjagaku,
memastikanku selalu baik-baik saja agar aku selalu dapat menjadi objek
eksploitasi liarmu?
“Nesia? Indo... nesia?”
Kau memanggilku lagi dengan suara
lembut yang juga pernah membentakku kasar, sedang aku tetap tak menjawab. Untuk
apa memanggilku dengan nama itu? Kau bahkan tak menggubrisku ketika aku
menginginkan nama itu. Apa pentingnya nama bagi sebuah lumbung yang kau gunakan
seenaknya untuk memenuhi pundi-pundi kasmu yang kempis, ya ‘kan?
Seandainya, aku tak hanya mampu memenuhi
benakku dengan segala umpatan ini. Seandainya, aku tak hanya mampu menahan
kemarahanku sendiri. Seandainya, aku tak hanya menutup mulut dan
diam. Lalu, meledakkan segala emosi dan
dendamku kearahmu. Tameng apa yang akan kau gunakan untuk melindungi dirimu,
Neth?
Kau beruntung sekali aku lebih
banyak memilih untuk diam, kau beruntung seringkali aku hanya menangis ketika
kau memperlakukanku kasar, kau begitu beruntung, Neth... karena, karena perasaan yang
menguasai diriku ini pun begitu memihak padamu. Perasaan ini selalu membuatku
membelamu dari penghakimanku sendiri, perasaan ini yang selalu takut
kehilanganmu meski aku tahu jika itulah kebebasan yang kuimpikan, perasaan ini
yang selalu membuat sebagian hatiku justru membebaskan dan mengagungkanmu.
Entah bagaimana aku sampai bisa terus menerus membiarkanmu menempati singgasana
itu dan menginjak kepalaku. Entah bagaimana pula aku dapat menerima ketika kau
menyayat dadaku dan menggarami luka sayatannya yang menganga selebar tawamu
ketika kasmu menjadi tambun oleh emasku.
“Nesia, katakan... apa kau tak suka dengan hadiahku
ini?”
Kau menatap jauh kedalam
kekosongan bola mataku yang menenggelamkan kita berdua. Sampai kapan kau
menyogokku dengan hadiah-hadiah kecil manismu? Sampai kapan?
“Nesia...”
Hal yang
paling aku inginkan sekaligus aku tak tahu apa aku sanggup melakukannya adalah
tak pernah melihatmu lagi! Aku muak!
“Nesia,
mengapa kau tak mau menjawab?”
Kau
mengintimidasiku dengan kelembutan sinar matamu yang bisa saja berubah beringas
sewaktu-waktu.
“I-iya... aku, aku... aku s-suka.”
ARGGHH! Tiba-tiba aku mengujar
bodoh begitu saja. Apa ini juga bagian dari muslihatmu, ha? Iya?! Katakan!!
Ah... ingin rasanya aku menembak
ubun-ubunku saat ini juga. Aku tahu aku immortal.
Mau kutembak sampai kepalaku hancur pun aku akan tetap hidup, dan semakin
menjadi keutungan bagimu jika aku tak punya kepala.
“Baguslah, dear.”
Kau mengulum selengkungan indah
di bibirmu. Entah harus kutafsirkan itu sebagai
senyum atau seringai. Tapi, apapun itu sungguh, aku
melihatnya sebagai sebuah seringai yang pesonanya begitu membiusku. Bagaimana
kau menampilkan barisan gigi putihmu yang didominasi gigi-gigi panjang, tajam,
dan kokoh bak gigi-gigi predator yang pernah kau gunakan untuk mengoyakku,
merobek kepercayaanku, dan mengunyah lumat-lumat lalu menelan habis segala
harapanku yang pernah kugantungkan di pundakmu.
Aku tetap tak mampu menghindar dari
jerat pesonamu, wahai Koninrijk der Nederlanden. Surai pirangmu yang mengacung
angkuh, wajah tampanmu, seringai indahmu, tubuh atletismu yang mengagumkan, dan
hatimu yang hangat yang berpadu dengan darahmu yang dingin membeku.
Bagaimanapun aku tak akan mampu mengelak dari sejarah yang menceritakan jika
dulu dengan bodohnya aku terhempas dalam dekapanmu yang begitu memabukkan.
Terpesona oleh kecerdasan dan rupamu yang menawan, juga terpukau oleh kesopanan
dan keanggunanmu. Betapa aku menyesalkan itu bahkan masih tak bisa disetarakan
dengan penyesalan veteran Inggris yang pernah menolong Kopral Hitler yang
hampir mati saat Perang Dunia I terjadi. Biar bagaimanapun, apapun yang
terjadi di antara kita, aku ternyata mencintaimu dan itu bodohnya.
Perlahan aku membuka mataku dan melihat
telah betapa jauhnya kita dari tanah. Kini kita berada tepat di titik teratas
putaran bianglala ini, putarannya berhenti bersamaan dengan matinya
lampu-lampu bohlam yang sebelumnya membuat semuanya bersinar. Kita kini bisa
menyaksikan seisi kota Batavia yang begitu membius mata di masa keemasannya.
Sungguh seperti sebongkah Eropa yang diboyong ke tanah tropis, ini sama sekali
tak terlihat seperti kota pesisir saat belum dijamah Belanda. Bangunan-bangunan
berarsitektur khas barat berdiri di setiap sisi kota. Eternitnya yang
tinggi-tinggi dan pintunya yang lebar-lebar seolah menegaskan bahwa bukan kami
para tuan tanah yang meninggalinya melainkan mereka para imigran yang tiba-tiba
berkuasa. Kau gali kanal-kanal serupa di Venezia yang kini melintangi kota bak
gurat-gurat nadi penyambung kehidupan. Kau bangun kastil-kastil dan istana
megah. Kau percantik kota ini dengan begitu apik. Tapi tolong jawab pertanyaanku,
kau lakukan ini demi aku atau hanya semata-mata agar kau betah di sini dan merasa seperti di rumah?
Tak kupungkiri semuanya tetap
membiusku, pemandangan cantik ini bahkan hampir membuatku lupa akan ketakutanku
terhadap ketinggian. Dekapanmu yang kau eratkan tak kupungkiri membuatku
nyaman, tapi apakah gerangan yang kau maksudkan dari semua ini? Tiba-tiba aku
kembali teringat saat kau mendekapku seerat ini, dulu... ketika Krakatoa mengamuk.
Tubuhku serasa mendidih dari pucuk rambut ke ujung kaki. Saat itu kau juga
mati-matian menyelamatkanku. Tapi, itu kembali membuatku bertanya, semuanya kau lakukan
untukku atau hanya untuk kepentingan dan keegoisanmu sendiri? Namun, hingga sekarang tak ada satu kata pun darimu yang mampu legakan
dahagaku atas jawaban dari pertanyaan itu.
Aku mencintaimu, Netherland. Tapi
apa kau tahu itu? Seharusnya kau mampu menangkap sorot lain dari mataku yang
berkali-kali kuhujamkan padamu. Jika kau tahu, seharusnya tak kau kecewakan aku
terus menerus begini. Kini, kau telah menampilkan perangai
aslimu dengan sempurna di hadapan mataku. Tapi jangan kau salah golongkan
perasaanku terhadapmu ini hanya sebatas terpesona sesaat saja. Buktinya, aku
masih mencintaimu bahkan sampai detik ini, setelah semua yang kau lakukan! Jadi
bisa pertimbangkan untuk tak membuatku sakit lebih dari ini?
“Bagaimana? Tak jauh berbeda
dengan yang di Den Haag, ‘kan?” tanyamu lagi. Kini, tak ada lagi hentakan intimidasi
dalam alunan baritonmu yang indah itu. Kau kabulkankah permintaan hatiku barusan
itu yang sesungguhnya tak pernah kuujar lisan?
“Hmm... y-ya.”
“Nesia... atau, untuk saat ini, boleh aku
memanggilmu Indische saja?”
Indische? Kenapa? Kau tak
biasanya.
“T-terserah.”
“Ah, Indische... aku, aku cepat atau lambat harus
memberitahumu. Kau tahu? Saat ini Nihon begitu gencar menyerangku. Ia, beberapa
kali hampir membuatku harus menyerahkanmu padanya, tapi aku masih beruntung
bisa bersamamu sampai sekarang. Hhh,” kau menjeda cerita panjangmu
dengan helaan nafas yang juga panjang.
Saat ini mendadak tubuhku yang
gemetar mendingin. Aku tak tahu, aku harus senang atau sedih mendengar cerita
darimu ini.
“Besok aku akan berunding lagi
dengannya, tadinya aku ingin menunda hadiah ini sampai hari ulang tahunmu, tapi
perasaanku meraung memaksaku memberikannya sekarang.” Sepasang bola mata zamrudmu
itu menatap jauh kedalam iris hitamku yang kosong tak berdasar. Sebagaimana
mataku yang sinarnya mengosong, hatiku pun juga.
“Indische, aku mendadak punya
firasat buruk.”
DEGG. Sesuatu yang keras
tiba-tiba serasa menghantam jantungku. Sungguh, aku tak bisa membohongi
perasaanku, seberapa jahatnya kau Nethere, padaku, aku tetap... mencintaimu. Air mataku tiba-tiba
menetes. “Tapi kau tak perlu cemas, aku akan berusaha semampuku agar kau tak
sampai jatuh ke tangan orang lain. Aku berjanji, Indische, aku berjanji...”
Aku menatap zamrudnya yang berkilat basah,
seringaimu berubah menjadi senyuman lembut penuh keyakinan yang terasa agak
dipaksakan. Air mataku semakin tak ingin berhenti saja. Kehilangan serigala
lapar yang selama ini menjadi parasit yang secara egois menginangkan tubuhku
ini rasanya akan berat juga. Biar bagaimanapun jahatnya kau, kekejianmu,
keegoisanmu, tetaplah bagian dari dirimu yang kucintai. Kini aku mengerti,
mengapa aku hanya diam saat kau menyiksaku mungkin itu karena aku tetap tak
ingin kau meninggalkanku dan membiarkanku mengolah tanah tropis ini sendirian,
tak perduli kau malah menyalahartikannya sebagai sebuah kewenangan yang kau
gunakan semena-mena. Kini aku mengerti, mengapa aku hanya selalu mengumpat dan
merutuk dalam hati saja mungkin sebenarnya justru karena seharusnya aku tahu,
sampai kapanpun aku ingin kau tetap disisiku, my dear Netherland...
Aku
mengangkat telunjukku perlahan hingga dekat dengan wajahku, bibirku mendekat
menggapai, lalu begitu berhasil menggapainya aku menggigit telunjukku sendiri. Sulit memang, tapi akhirnya aku
berhasil juga membuatnya berdarah. Aku mengacungkannya di depan dadamu yang berbalut kemeja
oranye dan selapis vest mahal buatan
France. “B-berjanjilah.”
Kau mengangguk, mengiyakan
permintaanku yang bisa saja menjadi yang terakhir ini. Dalam waktu beberapa
detik saja kau telah menggigit ujung telunjukmu dan menyatukannya dengan milikku,
hingga darah kita menetes perlahan lalu mengalir di satu aliran, bergolak di
satu arus yang tak kita tahu akan berhujung kemana. Kau membawaku ke dalam dekapanmu lagi, kali ini
begitu erat tanpa hasrat. Hanya tersirat maksud untuk berkata jika ‘aku tak ingin kau pergi, aku pun juga, tetaplah disini,
andai saja aku bisa, bersamaku, aku sungguh ingin, tapi...’
Sementara telunjuk kita masih
bersatu meleburkan darah perjanjian yang sama-sama kita alirkan. Rasa perih dan
nyeri yang menguar adalah sebagian kecil dari pengorbanan untuk menyelamatkan
kisah cinta bodoh kita. Tidak, tepatnya hanya aku. Aku membencimu karena kau
telah mengeksploitasiku dan menyiksa rakyatku demi kepentinganmu sendiri. Tapi
disamping itu, aku mencintaimu atas nama diriku sendiri yang juga berhati tak
ubahnya manusia pada umumnya tak perduli aku ini sebenarnya makhluk immortal. Lalu dimanakah aku harus berdiri?
Kau melepaskan dekapanmu dan
memaksaku mendongakkan kepala bahkan sebelum aku puas menumpahkan air mata dan
kegundahanku di dadamu yang selalu membuatku nyaman. Aku kembali menatap matamu
yang seakan menyesalkan semua yang pernah kau lakukan padaku. Kilatannya
semakin bercahaya karena air mata itu semakin membasahinya. Aku tahu bukan
perkara mudah bagi seorang Nethere yang pernah digembleng Spain untuk menangis
seberapa pun melan situasinya. Bibirmu tak mengujarkan sepatah
katapun, tapi bak tersedot oleh kharisma iris zamrud itu perlahan aku
mendekatkan wajahku padamu sementara kau justru mendekatkan telunjuk kami yang
bertaut ke mulutmu. Lalu perlahan, bibir tipismu yang dingin mulai mengecup
ujung telunjuk kita yang sedang bertaut dan melanjutkannya dengan manuver-manuver
lain yang kau lancarkan sampai darah kita tak lagi bertilas di sana. Sampai disitu, kau tak
memutus acara begitu saja, kau menarikku kasar sampai bibir kita bersentuhan.
Lalu,
kembali dengan kasar, kau berusaha memasukiku dan melepaskan sisa asamu yang
telah menipis di sana. Segalanya bersama juga tetes-tetes darah dari telunjuk
kita yang kau hisap tadi. Namun setelah kau memulai manuvermu, melancarkan satu demi satu hasratmu untuk berbagi sumpah
denganku, tak ada lagi kata kasar, kau melakukannya dengan lembut dan penuh
perasaan. Diiringi debar jantung dan desiran familiar itu, kita berbagi segala
kekecewaan akan waktu dan takdir yang mempermainkan kita yang membaur disana
bersama rasa asin khas darah yang tengah menjelajahi setiap inci rongga kita.
Mereka yang dengan kejamnya menempatkan kita dalam level yang begitu sulit. Kita
terus berusaha mendominasi satu sama lain sambil berkejaran dengan waktu. Tapi apa boleh buat, harus berakhirlah
segalanya saat bianglala yang kita tumpangi kembali menyentuh tanah dan kini,
semua lampu telah menyala seperti semula.
_404040404_
“Sial!! ARGGHH!!”
BLAM.
“Seharusnya aku menyewa juru bicara yang lebih
ulung. Bodohnya aku tak menyadari lebih awal jika lawanku bukan sekedar
orang-orang sipit biasa, melainkan si licik penguasa Asia Pasifik.”
“Sudahlah, tuan Netherland. Kita
masih punya beberapa koloni lagi. Bukankah lebih penting memikirkan cara untuk
mempertahankan yang lain daripada menyesali Indische?”
BHUAGHH.
“Argghhh!”
“TUTUP MULUTMU SIAL!!! Kau pikir Indische apa, ha?!
Membiarkannya jatuh ke tangan orang lain setelah kau mendapatkan segalanya?
Membiarkannya mungkin akan meronta kelaparan di tangan si sial Japan itu, ha?
Iya? Kau tidak tuli, ‘kan? Kau bisa baca, ‘kan, ha?! Kau dengar raungan
koloni-koloni France yang jatuh ke tangannya, ‘kan? Aku tetap tak bisa membiarkan
semua ini terjadi!”
“T-tapi k-koloni—”
BHUAGGHH.
“Akkhh...”
“Persetan dengan koloni-koloni
itu. Jika mereka mau, lebih baik aku menukar semuanya dengan Indische.”
“T-tapi, tuan—”
“HEH! Kau tuli, ya?! Jangan coba ubah pikiranku jika kau tak ingin aku
mematahkan lehermu!”
“T-tuan—”
“K-KAU!!”
KKRRKK.
“AAAKKHH!”
___404040404___
“Tunggu aku ya, Indische.” Kau mengelus pelan kepalaku.
“Ahhaha.. kau sudah besar, ya? Seingatku dulu kepalamu hanya sebesar ini.”
Kau tertawa sambil membentuk
lingkaran sebesar bola takraw dengan telapak tanganmu yang besar. Kita tertawa,
tapi kita sama-sama tahu itu tetap tak bisa menutupi kesedihan dan kewas-wasan
yang sedang melanda hati kita masing-masing.
Surai pirangmu tetap mengacung
tinggi seperti biasa, tapi sepertinya kali ini kau tak sepercaya diri gaya
rambutmu itu. Kau kembali menegakkan tubuhmu yang kau tundukkan untuk
menyamakan tingginya denganku tadi agar aku bisa menatap matamu tanpa merasakan
rasa pegal di leher. Tapi mau tak mau aku harus tetap mendongak ketika melihat
dasimu sedikit miring. Hari ini aku memilihkan setelan long coat cokelat selutut
dengan kemeja oranye tua dan vest
salur dengan warna senada, kemudian kau mengenakannya dengan senang
hati. Tak ada protes dan sangkalan-sangkalanmu yang seperti
biasanya. Ya, biasanya kan kau selalu membantah, “Nesia, nanti jika France melihatku begini pasti dia akan menertawaiku
sampai jenggotnya rontok.” Entah karena hari ini pilihanku bagus atau,
karena kau tak ingin mengecewakanku..
Aku berjinjit sedikit untuk
meninggikan tubuhku agar aku bisa membetulkan dasimu, tapi tiba-tiba kau malah
turut meletakkan telapak tanganmu di sana dan menggenggam milikku
perlahan. “Indische...”
“Kalau France melihatmu memakai
dasi miring begini bisa-bisa ia menertawaimu sampai jenggotnya rontok,” ujarku asal saja. Tapi, ternyata kau tertawa juga.
Tertawa geli malah. Lalu, kau meredam tawa tak beradabmu
itu dengan sebuah senyuman lembut. Kau mengangkat telapak tanganku sampai
setinggi ujung kepalaku sehingga ia bisa sejajar dengan dagumu. Sedikit demi
sedikit kau menariknya mendekat ke sepasang bibirmu yang telah kurasakan
berkali-kali. Kau mengecupnya lembut.
“Terima kasih. Tapi, aku harus pergi sekarang,” ujarmu penuh kepalsuan. Kau
berlagak tegar tapi aku tahu sebenarnya bagaimana suaramu bergetar—meski sekuat tenaga kau
sembunyikan. Kau membalik tubuhmu—membelakangiku—dan mulai melangkah, tapi langkah itu tak seyakin
langkah saat kau mendatangiku dulu. Punggung tegap nan gagahmu semakin menjauhiku. Namun, ada sesuatu yang membuatku
begitu takut kehilanganmu, takut aku tak lagi bisa mendekap punggung tegapmu
itu, takut aku tak lagi bisa bersandar di dada bidangmu, takut aku tak lagi
bisa melihatmu dan rambut tulip menyebalkanmu itu. Tanpa kusadari aku hanya
terpaku pada lamunan masa lampauku dan membiarkan begitu saja langkah tak
ikhlas itu teruntai sampai ke mulut pintu. Aku, aku tak ingin kau pergi! Enak
saja kau pergi setelah semua yang kau lakukan, setelah apa yang kau katakan semalam
jika kau punya firasat buruk. Nethere, ingatkah kau soal perkataan sombongmu
tentang instingmu ketika kau berhasil mengusir England dari sini? Kau bilang
insting penjelajah samuderamu tak akan salah. Lalu, saat kau bilang kau punya
firasat buruk soal perundingan hari ini—tolong jangan katakan yang ini
juga tak akan salah.
Kau semakin menjauh, sedang aku
ingin kau tak kemana-mana. Haruskah aku hanya terpaku diam dan larut dalam masa
lalu atau berlari mengejarmu sekarang?
Tubuhku tergerak maju. Selangkah
demi selangkah yang kuuntai perlahan menaikan temponya sendiri. Dari moderato,
lalu allegro, vivace, hingga ke presto. Aku tak bisa membiarkanmu
pergi. Entah apa kenyataannya, tapi yang jelas dibenakku, aku akan merasa
sangat menyesal jika melewatkanmu. Aku berlari padamu, berusaha menggapai tubuh
semampaimu yang telah menempuh hampir setengah halaman rumah. Entah lagi-lagi aku tak tahu kenapa, tapi
berat sekali rasanya melepasmu pergi hari ini, Neth...
“K-kau... t-tak
usah pergi, ya?” Kudekap apapun yang mampu kudekap darimu begitu aku berhasil
menggapaimu.
Sejenak kita
hanya mematung dengan bodohnya, bahkan tanpa mengedipkan mata barang
sekali. Kau diam, aku pun juga, dan sungguh aku hanya mampu berkata begitu.
Sayang sekali kau malah membalasnya dengan memberiku hantaman perasaan kecewa. Dalam
posisi seperti ini, sebenarnya mati pun aku rela. Bahkan aku akan
sangat bahagia jika kita dapat membeku begini selamanya. Ironis, ya... dulu kau pernah bilang jika
kita makhluk malang. Kita immortal
tapi kita kerap kali bermimpi menghirup aroma kematian. Betapa bodohnya para mortal yang ingin hidup abadi itu.
Kau berbalik dan melepaskan dekapanku
tanpa berkata apapun, lantas kau hanya diam mempertahankan jarak antara kita tanpa
berkata apa-apa. Apa kau berfikir itu tak membuatku kecewa? Fantasiku
sebelumnya bahkan bercerita jika mungkin kau akan berlari padaku, memanggil
namaku, membalas dekapanku, tapi ini apa?
“Indische,” serumu pelan diiringi gerimis
yang perlahan mulai menderai di sekitar kita. Seakan menjadi
tirai yang tak membiarkan seorangpun mengetahui kisah kecil kita. Kisah tentang
perasaan yang tak seharusnya ini. Kau berlutut dihadapanku tanpa memperdulikan long coat-mu yang
mulai terembesi air hujan.
“Aku harus tetap kesana. Ini caraku
untuk setidaknya mencoba, mencoba menjadi seseorang yang pantas untukmu...”
Kau menggenggam erat lengan
kananku. Kini, wajahku telah basah oleh hujan dan air mataku sendiri. “Aku
akan melakukan apapun yang kubisa.”
Kini, kau juga menggenggam lengan
kiriku. Mata zamrudmu yang juga basah kembali menatapku. Memaksaku masuk ke
dalamnya dan pandangan itu terus berkata jika kau mencintaiku, dan kaupun tak
ingin pergi dari sini.
“Tapi apapun
yang terjadi....” Kau hanya tersenyum manis sambil pejamkan rapat kedua matamu.
Seolah sembunyikan sesuatu dariku.
“Ah... Indische
kecilku sudah besar dan kau tahu sendiri selama 350 tahun yang singkat ini aku telah
mendidikmu dengan keras. Biar bagaimanapun, saat ini kau bukan Indische kecilku
lagi, kau telah tumbuh menjadi Indonesia yang cantik, kuat, dan tegar.” Kau menundukkan kepalamu dalam
diam. Hanya terdengar helaan nafas berat saja bersama getar tubuhmu yang
semakin hebat. Pelan-pelan kembali kau dongakkan kepala tulipmu, kau tersenyum
yakin. “Berjanjilah kau akan baik-baik saja sampai aku kembali, Nesia.”
Air mata ini kembali meluncur
turun. Entah berapa tetes sudah air mataku mengalir karenamu, tapi aku tak
keberatan untuk yang kali ini. Aku hanya keberatan jika kau tak kembali.
“Ya...”
Tangan yang juga bergetar hebat
menahan tangisku agar tak lagi menderas ini kunaikkan perlahan. Aku menghormat
dan kau balas dengan senyuman legamu. Lalu, tanpa ada kata, perlahan kau menyerangku.
Membuatku jatuh terbaring diatas lenganmu yang berusaha melindungi kepalaku
dari benturan dan tanah yang dingin. Hujan semakin menderas. Merapatkan untaian
tirainya agar yang lain tak bisa melihat kita sedikitpun. Membiarkan kita
kembali berbagi nafas berdua saja, dan dalam balutan sandang yang terbasahi
hujan, tubuh kita memanas. Kini, tak hanya kau yang seenaknya
mengeksplorasiku seperti biasanya, segala perasaanku, kegundahanku,
kekhawatiranku, ketakutanku, kekecewaanku, dan ketidakinginanku kehilanganmu
kutumpahkan dalam pertautan ini. Hasrat ini tak lagi mampu dibendung. Biarlah
kali ini kita melayang tinggi-tinggi, aku tak peduli pada rasa sakit lagi,
lebih sakit lagi pasti jika aku tak lagi bisa melayang bersamamu seperti ini.
Tak peduli ini hanyalah sebatas kesemuan sesaat saja.
Kulit yang saling bersentuhan,
memanas ditengah derasnya hujan. Peluh saling menari menyusuri relief-relief
tubuh yang berubah menjadi sungai sejenak, dan bermuara di lembah-lembah landai
bersama air hujan. Tarian-tarian penuh hasrat mengalir tanpa disadari. Saling
mendominasi memanaskan udara yang semakin dingin. Pertautan, percumbuan,
kecupan, gesekan, erangan, lenguhan, ah... melodi yang indah bukan? Langit
yang mendung gelap sepertinya cukup membuat ini menjadi misteri. Biarlah hanya
kita yang tahu, soal kenikmatan ini, toh tak ada yang mampu mengerti selain
kita. Biar saja tubuhku memucat, asal aku masih bisa berbagi kehangatan
denganmu. Kita bersatu dan tak akan ada yang mampu menyangkal fakta itu. Aku
suka saat seperti ini. Saat kau memilikiku seutuhnya tanpa sedikitpun paksaan. Dear, semuanya ini... cukupkah menurutmu menjadi
sesuatu yang indah untuk dikenang?
Hujannya mereda dan hasrat kita
pun mereda. Sekarang semuanya telah usai, tak ada lagi yang bisa kulakukan atau
kukatakan untuk mencegahmu pergi. Kau hanya merapikan pakaianmu yang basah dan
mengeringkannya dengan handuk. Berapa kalipun aku memaksamu kau tetap
bersikeras tak ingin mengganti pakaianmu. Lalu, setelah menyematkan lencana dari ratumu di dada kirimu—kau daratkan lagi sekilas ciuman
manismu di bibirku. Membuatku kembali bisa merasakan rasa manisnya yang menjadi
seduktif bagiku.
“Ik hou van je,” bisikanmu mengalun lembut.
Membuat setiap inci syarafku bergetar mencerna maknanya yang begitu indah dan
sempurna. Tapi, sayang begitu aku selesai menikmati kata-kata itu, kau telah
beranjak pergi. Melangkah dengan lebih ringan menuju ambang kenyataan.
Menghadapi takdir yang mungkin akan mempermainkan kita lagi. Kau berlalu, dan
aku hanya duduk termangu. Menunggu sambil berharap pangeran tulipku akan
kembali.
__404040404__
TOK. TOK
Ah, itu dia...
Saking seriusnya menunggu aku
sampai lupa mengganti bajuku dan membiarkannya mengering di tubuhku sejak
selepas hujan tadi. Aku menghabiskan setiap detik tadi dengan sia-sia, waktu
tadi bahkan terasa jauh lebih lama daripada 350 tahun kebersamaan kita. Tapi, itu bukan apa-apa. Waktu
ratusan tahun itu hanyalah soal saat kau tunduk
pada mandat ratumu untuk mengeksploitasiku. Tapi selepas ini, semuanya
akan berbeda. Kau sudah bilang jika kau mencintaiku dan kau berjanji selepas
ini akan menjelaskan soal kita pada ratumu dan bosku. Lalu, kita akan membagi tanah tropis
ini berdua dan hidup bahagia—berbagi kasih, kisah, dan konflik
setiap harinya—sehingga, semakin hari akan terasa semakin indah.
Aku merapikan kebaya rumah warna
putihku sejenak. Hanya sedikit untuk kembali mempertegas garis-garis tilas
setrikaan arang ini. Ah, jika sempat aku akan mengganti bajuku dan bersolek
dulu, tentu saja. Apa yang tidak untuk menyambut kepulangan pangeranku. Tapi, aku tak ingin membiarkanmu
berlama-lama di luar sana. Aku melangkah riang sambil membayangkan masa indah
yang akan kita lalui kedepannya. Sayang aku tak tahu apa yang sebenarnya
terjadi.
TOK. TOK. TOK
“I-iya, sebentar,” jawabku riang sambil memutar
kenop pintu lebar berdaun dua ini.
“Nethere, baga—”
Bukan Nethere, tapi sekelompok
orang-orang berkulit kuning yang berdiri di sana. Aku yakin mereka bukan
tentara Belanda, entah darimana, yang jelas mereka tentara karena memakai baju
militer. Aku rasakan kekecewaan yang teramat sangat menghantam lubuk terdalam
hatiku. Membuatku tenggelam dalam benakku sendiri. Ternyata, kecewa itu sepahit
ini, ya?
“Konbanwa, Indoneshia-san. Gomennasai, tapi kebodohan dan ketidakberuntungan
telah membawa Nethere-mu pulang ke Den Haag. Jadi, maukah kau ucapkan selamat datang padaku?”
Konbanwa? Indoneshia-san? Postur tak terlalu tinggi? Rambut hitam lurus yang terlihat
halus dan berkilau? Wajah dingin tanpa ekspresi itu? Seragam militer putih itu?
Samurai itu? Mungkinkah ia...
“Nihon?”
__404040404_
“Aarrggghhh... !!!” tiba-tiba aku melompat ke
dunia lain. Dunia yang baru, lebih dari setengah abad setelah peristiwa itu.
Nihon, masa-masa pahit itu, kisah klise itu,dendam, peperangan, darah, dan air mata—semuanya terlintas kembali satu
persatu di benakku. Perjuangan, keharuan, pengorbanan, dan trauma pahit yang
membuatku begitu membenci segala bentuk penjajahan, serta membuatku melupakan kisah cinta
manis yang pernah kualami karenanya. Nethere...
Ah, kenapa nama itu selalu terngiang-ngiang di
telingaku? Sebentuk nama biasa, namun ketika kuingat nama itu akan
mengingatkanku juga pada sebentuk rasa penyesalan akibat sebuah trauma bodoh
yang berkepanjangan.
Nethere, kau yang kusesalkan. Ah,
rasanya... kita semakin jauh saja akhir-akhir ini. Padahal, andai
kau tahu, perasaanku terhadapmu yang pernah terkubur karena Nihon masihlah
lengkap sampai sekarang. Ia masih pada kondisi baik sebagaimana saat kau
tinggalkan dulu. Singkatnya, aku masih mencintaimu..
Kekejaman Nihon adalah salah satu bentuk rezim
kediktatoran paling kejam yang pernah kuselami. Tapi, alih-alih membuatku menyesali
masa indah yang dulu kurutuki saat bersamamu—Nihon membuatku buta. Ia
membuatku membuka mata tapi melihat sesuatu yang salah. Ia berusaha membuatku
membencimu, tapi bagian bodohnya adalah ternyata ia berhasil. Itulah mengapa
aku terus-terusan bersikeras menolak bujukan ‘rujuk’mu. Meski telah beberapa
kali kau coba. Lalu, saat kau menggunakan Irian Barat
sebagai senjata, saat yang lain berusaha membantu, tapi kau menolaknya dan
mengatakan jika ini urusan kita berdua saja, hatiku terketuk. Tapi, itu belum cukup untuk membawaku
keluar dari belukar yang Nihon tumbuhkan di hatiku. Belum cukup untuk sadarkan
aku tentang arti sesungguhnya dari janji kita di pasar malam dulu.
Kurasakan mataku memanas. Bukan
karena aku masih mengantuk, tapi tentu apalagi jika bukan karena terlarut dalam
penyesalan masa lalu. Nethere, betapa bodohnya aku... andai saat ini aku bisa bertemu
denganmu. Akan kujelaskan semuanya, akan kulakukan apapun yang kau minta, akan
kutukar apapun dengan maafmu. Dan sungguh kebahagiaan bagiku jika kau mau menerimaku
lagi. Menerima cintamu yang dulu kau berikan dan kau tumbuhkan di hatiku ini.
Kini, kau
boleh memetik manisnya sesukamu. Neth, penyesalan tentangmu itu akan menjadi
jauh lebih dalam ketika aku melihat tilas-tilas masa lalu. Hamparan
bangunan-bangunan tua sarat kenangan yang dulu kau bangun untuk memperindah
kota kecilku. Namun, kini kubiarkan runtuh satu persatu. Mau apa lagi? Aku
terlalu takut barang hanya melewati wajahnya saja. Bagaimana tidak, hatiku
teriris saat mengingat masa dimana kita berjalan-jalan di sekelilingnya. Melihat-lihat
gaun di toko orang Prancis, kemudian kau memilihkan bertumpuk-tumpuk
untukku tapi aku lebih memilih mengenakan kebayaku saja. Mengunjungi coffee shop di sore hari dan menikmati
jajanan pasar yang juga ditawarkan di sana. Lalu, kau menghabiskan dua piring
penuh berisi kue lapis dan gethuk yang
kau bilang enak itu. Berkunjung ke florist
di ujung jalan, kau menawariku seikat tulip oranye, tapi aku lebih memilih
sebuah pot mungil berisi jalaran melati hidup yang sedang wangi-wanginya. Menjelang
petang kita beralih ke pinggir kota, menyapa anjing golden milik penjaga bioskop, dan menonton film-film yang sekarang
orang bilang film tua. Di malam hari kita naik perahu, menelusuri kanal-kanal
yang dulu kau buat hingga larut malam dan tak terasa kita hampir hanyut ke
pelabuhan. Mengingat semua itu rasanya pahit jika aku melihat betapa buruknya
kini Batavia yang dulu kau tata. Apa itu juga menjadi representasi dari
bagaimana perasaanmu terhadapku sekarang. Karena baik Batavia maupun cintamu,
aku sama-sama tak menjaganya dengan baik.
Itulah, mengapa saat ini aku lebih
memilih untuk menetap di sebuah pedesaan di daerah Bogor. Setidaknya, tak
banyak hal yang bisa mengingatkanku padamu disini. Tentu lain ceritanya jika
aku tinggal di kota-kota sarat jejakmu seperti Semarang dan Bandung, apalagi
Batavia, atau yang sudah kuganti menjadi Jakarta untuk menghapus kenangan
tentangmu sekarang. Ah, rumit...
“Indonesia tanah
airku, tanah tumpah darahku. Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku.Indonesia—“
Aku segera memutus nyanyian ponselku
itu dan mengangkatnya segera begitu kulihat tulisannya: bos.
“Halo, bos...”
“Ah, Indonesia?”
“Iya, bos. Ada apa?”
“Hari ini kau ke kantorku, ya? Penting. Akan ada perundingan perihal pasar
bebas dengan China. Kau harus datang.”
“Ah, tidak bos...”
“Lho, kenapa?”
“Malas, nanti aku ditipu lagi. Dia
itu kolot, banyak bicara lagi.”
“Kau ini, mau jadi apa, hah?! Pokoknya kau harus
datang!”
Tuut... tut... tut.
“Hhhh... sial! SIALL!!”
__404040404__
Sebenarnya bukan karena China
sepenuhnya aku malas mengiyakan mandat Bos. Tapi, ini juga soal masa laluku. AKU
BENCI KE BATAVIA!! Namun, apa boleh buat kini mobil yang dikemudikan sopirku ini malah
sedang melintas di depan Stasiun Jakarta Kota dan ini berarti, Kota Tua.
Aku berusaha tak memandang
apapun, tapi gagal. Sebagian dari diriku malah memaksaku untuk menengok lagi
jejak-jejak yang pernah aku dan kau—Nethere—telusuri dulu. Kurasa aku benar-benar bodoh
karena aku menurutinya. Mulai dari Museum Bank Mandiri, lalu ke Toko Merah, sampai
ke jembatan merah, galangan VOC, pasar ikan Luar Batang, dan Pelabuhan Sunda
Kelapa, ahh... Nethere. Aial! Air mata ini kenapa harus
keluar lagi?!
Tapi, tunggu!
“Pak?”
“I-iya, neng?”
“Kenapa lewat sini??!”
“I-itu, neng. Mau mampir ke tukang
soto di depan sebentar, neng. Mau bayar utang yang kemarin. Gak papa ya, neng?” si pak supir yang tak tahu
apa-apa itu hanya meringis. Ahh, dasar wajah rakyatku.
Kau juga pasti tertawa jika
melihatnya, Neth.
__404040404__
“Ni Hao? Ah, selamat datang Indonesia!” sapa seorang pria berkuncir, yang memakai atasan lengan
panjang berkerah shanghai warna merah dan celana panjang hitam terlalu ramah.
“Ya, hmm... lalu, dimana berundingnya? Apa? Ada
apa dengan pasar bebas? Kau masih belum puas juga menyelundupkan
sampah-sampahmu itu ke sini?” jawabku sama sekali tak ramah.
“S-soal itu, aru... Aku, ah... kita bicarakan nanti saja ya, aru?” jawabnnya sok innocent sambil tersenyum masam dan menggaruk belakang kepalanya.
“Indonesia, matamu kenapa?”
“Apanya yang kenapa??”aku meraba
mataku. Apa yang sebenarnya ia maksud?
“Sepertinya agak sembab ya, aru? Kau habis menangis?”
“Ah, ini. Kau seperti tak tahu
saja debu disini ganas. Sudah, sudah. Mana Bos? Aku ingin cepat pulang lalu
tidur,” alibiku—sambil berlalu darinya.
__404040404__
Dasar. Lagi-lagi semuanya
berakhir begini. Aku menolak sarannya, tapi ia tetap berusaha keras agar
sarannya diterima. Dulu, saat China berkunjung ke rumah kita, pasti tujuannya
adalah menagih hutang padamu. Yah, bakat korupsi yang menghancurkan VOC,
Vergaan Onder Coruptie-mu, dan membuatmu dicekik hutang pada China itu—rupanya kau turunkan pada
generasiku saat ini. Apa kau melihatnya? Betapa menyedihkannya diriku saat ini,
sementara kau terus berjaya. Kita semakin menjauh, kan? Aku tahu aku telah
mengecewakanmu, tapi tak bisakah kau jika sekedar untuk berkunjung kesini. Yah,
aku tak minta banyak. Hanya minum teh bersama, membicarakan kabar ‘anak-anak’ kita sekarang, mungkin kau juga
mau memberiku tips bangkit dari keterpurukan akibat korupsi yang mewabah, dan—yah... sedikit nostalgia mungkin.
Tapi sudahlah, runner-up Piala Dunia untuk apa berkunjung
ke tanah memprihatinkan ini. Aku maklum kok. Atau sepertinya, aku harus mulai
belajar melupakan masa lalu? ‘So don’t let your past
destroy what comes tomorrow.’ benar begitu ‘kan kata Westlife? Tapi aku tak
yakin anggapan itu bisa berlaku padaku. Masalahnya, masa laluku adalah tentang dirimu dan
banyak kenangan pahit, tapi itu berharga bagiku. Tak perduli itu akan
menghancurkan masa depanku atau tidak. Karena aku tak yakin mampu bertahan dan
terus melangkah kedepan tanpa kilasan-kilasan pedih namun indah itu. Rasanya
perih yang teramat sangat tiba-tiba menyeruak begitu saja saat aku berpikir untuk melupakannya. Aku benar-benar tak bisa bayangkan
seperih apa saat aku benar-benar telah melupakannya.
Kini, aku sedang berada di mobil. Tapi, karena sudah sore dan kau tahu penyakit Jakarta di jam
pulang kerja—MACET—jadi bos menyuruhku tidur di rumah
dinasku saja malam ini. Letaknya, di pinggiran Jakarta. Pahitnya, dari sini aku bisa melihat
wajah menyedihkan negeri ini dengan semakin jelas. Karena di daerah seperti inilah
mereka para kaum kecil berdomisili. Berdesakan saling berebut oksigen serta mencari peruntungan. Dengan
kehidupan minim mereka, mereka tetap bertahan di sini. Melawan dinginnya malam yang
menggerus tulang muda anak-anak mereka. Perjuangan memang berat, ya? Tak peduli
itu berlangsung kapan.
Gedung-gedung metropolis di sini berdiri angkuh seangkuh
rambut tulipmu, Neth. Mereka membusungkan dada dan mengangkat dagu tanpa
melihat siapa yang mereka gilas dibawahnya. Padahal di kaki-kaki mereka
berlarian anak-anak kumal yang saling berebut layangan putus. Anak-anak itu
berbagi tawa riang yang terlepas ringan ke udara seolah mereka adalah mahluk
paling bahagia di dunia. Dulu kau juga pernah bilang, mungkin aku akan tetap
tersenyum riang meski puncak Semeru runtuh di kepalaku. Beritahu aku, apa kala
itu aku tak ubahnya mereka?
Langit mulai gelap. Mega keunguan
berarak di horison yang membentang seluas mata memandang. Sayang,
gedung-gedung itu memutus selendang mega yang menjadi kunci eksotisme dari
senja hari ini. Gedung-gedung itu mulai berlalu menjauh, atau mobil ini yang
bergerak terhadapnya? Ah, lupakan soal fisika! Yang jelas, kini mobil tengah melintas di
sebuah kolong jembatan di belakang deretan gedung-gedung tak berperasaan itu.
Tembok-tembok di sekitarnya digambari lukisan dan beragam grafiti. Yah, kau
tahu, kreatifitas anak muda yang tak cukup memiliki ruang. Atau setidaknya
hanya berupa pencirian teritori. Ah, seperti predator saja. Ya, para predator
yang banyak memprovokatori tawuran dan membuat Batavia ini semakin semrawut
saja, atau... aku harus meralatnya—Jakarta yang semrawut, karena
Batavia-mu tak pernah seperti ini.
Tapi, di sela-sela deretan
tembok-tembok lusuh itu, aku mendengar sayup-sayup lantunan lagu dari sebuah
tempat yang nampak lebih bersinar daripada sekelilingnya.
“Pak, bisa tolong berhenti
sebentar?” ujarku spontan saat mendengar lagu yang sepertinya pernah kudengar.
“Ya, neng,” jawabnya setuju.
Ia menghentikan mobilnya dan aku
segera membuka pintu. Tiba-tiba ada perasaan yang begitu kuat yang mendorongku
untuk menghampirinya.
‘Arm Den Haag, dat is toch erg, dat jij maar niet vergeten
kan. De klank van Krontjong, en van Gamelan.’
(Den Haag yang malang, sayang sekali kamu tak bisa melupakan
suara Keroncong dan Gamelan.)
Aku semakin dekat pada sumber
suara itu, dan tiba-tiba mataku memanas. Kerinduan ini seperti tak mampu
dibendung lagi. Kau yang begitu jauh, tidak mungkin ‘kan ada disini?! Ah,
jangan berkhayal. Aku harus kembali. Dengan berat aku memutar tubuhku dan
menyiapkan langkah yang juga berat untuk beranjak pergi.
‘In het Indisch restaurant gonst het gesprek van alle kant:
Tempo doeloe, tempo doeloe in dat verre, verre land.’
(Di sebuah restoran Indo terdengar pembicaraan dari setiap
sudut: Tempo dulu, tempo dulu, di negeri nan jauh itu.)
Suara syahdu itu mengalun lagi.
Bukan dari DVD player yang sedang marak sepertinya,
tapi... jika
aku tak salah, mungkin satu set pemutar piringan hitam dengan speaker tua yang sudah agak sember.
Semakin mengentalkan suasana tujuh dasawarsa lalu yang sepertinya semakin
menelanku ke dalamnya. Aku harus kembali, tapi aku tak mungkin melewatkan
ini begitu saja. Akhirnya setelah berbagai pertimbangan, kuputuskan untuk
kembali mengikuti suara ini. Biarlah si pak sopir itu makan soto dulu.
Sepertinya, aku semakin mendekat ke sumber
suara itu. Cahayanya pun semakin terang... dan semakin terlihat benderang
karena bangunan di sepanjang gang ini didominasi bangunan-bangunan tua tak
berpenghuni—dan tentunya tak berlampu—atau beberapa yang dihuni
pasangan-pasangan manula mantan veteran tanpa anak cucu mereka yang merantau ke
pusat kota. Di sisi kanan jalan aku melihat sebuah bangunan besar yang diberi plang
nama Toko Tjoe, ah... itu dulu toko kain orang China, ‘kan? Sayang sekarang sudah tutup,
padahal... dulu toko itu ramai, ‘kan? Tunggu, sepertinya aku
pernah lewat sini...
Ya, ‘kan, Neth?
Tanpa kusadari kini aku berlari.
Membuat jarak antara aku dan tempat yang kutuju tapi sebenarnya tak kutahu itu
semakin dekat. Musiknya masih mengalun mengiringi lagu itu. Lagu ini, tempat
ini, aku... aku...
Rasanya ini seperti...
Awal Maret 1942, 69
tahun yang lalu.
-Flashback On-
“Nethere, kita mau kemana?”
“Sudahlah, aku akan membawamu ke tempat yang bagus. Kau
tenang saja...”
Kau merangkulku.
Membuat tubuhku menghangat di tengah malam yang semakin dingin ini.
“Ah, sepertinya di sini saja.” Kau melepas rangkulan
hangatmu.
“Di sini apanya?” Aku mulai merengek, tapi kau tetap tak
berkomentar. Kau hanya keluarkan selembar saputangan dari sakumu. Selembar
saputangan halus sewarna benderamu—merah, putih,biru—yang kelak kurobek
birunya dan kujadikan identitasku.
“Sudah, kau diam saja. Ada hadiah kecil untukmu, Nesia. Tapi, jika kau
terus-terusan bertanya, aku akan meninggalkanmu disini. Jadi, diam, ya!” Kau mengunci bibirku
dengan telunjukmu, persis seperti ibu yang mengomeli anaknya yang rewel.
Haha... tapi saat itu, kau memang ibuku, ‘kan, Nethere?
Bagaimanapun, kau motherland-ku kala itu. Aku menyapukan pandangan ke
sekelilingku, tak terlalu ramai, hanya ada rumah-rumah yang ditutup pintunya—karena ini sudah
cukup malam, segerombolan tentaramu yang berjaga sambil bermain kartu, dan
sebuah Toko kain yang masih cukup ramai. Toko Tjoe. Kau mengibaskan saputangan
itu sekali untuk membongkar lipatannya yang rapi. Lalu, kau bertanya,
“Boleh ya, kututup matamu sebentar saja?”
Aku mengangguk dan kau mulai memakaikannya dengan hati-hati. Kita berjalan,
tapi aku tak tahu dimana kita berjalan. Yang aku tahu kau terus menggenggam
tanganku lembut sepanjang jalan, dan aku tak akan pernah lupa rasanya. Menit
demi menit berlalu begitu saja, kau menuntunku belok ke sana ke mari agar aku
bingung. Dasar keras kepala! Kau benar-benar tak ingin aku tahu tempat itu, ya?
Dan setelah perjalanan singkat itu, akhirnya kita sampai. Kau membuka ikatan
sapu tangan itu pelan-pelan.
Begitu kau buka ikatan sapu tangan itu dan ia terhempas
kebawah, aku takjub... dear.
-Flashback Off -
‘Ach kassian, het is voorbij kassian, het is voorbij. Den
Haag, Den Haag, de weduwnaar van Indie ben jij.’
(Ah kasihan, semua sudah berakhir. Den Haag, Den Haag,
Kaulah sang dudanya Indie.)
Dan kali ini, pertama kalinya aku
melihat hal menakjubkan itu lagi setelah 69 tahun yang lalu. Ah, aku menangis
lagi. Aku ini cengeng, ya? Tapi ini wajar, kan? Siapa juga yang tak menangis
jika ditempatkan dalam posisi seperti ini? Posisi dimana kau berada pada masa lalu
yang kusesali. Karena 69 tahun yang lalu, saat pertama kali aku kesini, itu adalah
malam terakhirku denganmu. Dan aku samasekali tak menyangka, jika di malam berikutnya aku
harus melepasmu pergi dari dalam kurungan seorang berdarah dingin.
Aku lantas melangkah memasuki
areal pasar malam yang sepi ini. Mendengar lagu itu, dan tentunya atas landasan
file masa laluku yang masih bagus
betul itu—sepertinya aku tahu siapa yang berada dibalik semua ini. Komedi putarnya
berputar dengan iramanya sendiri, begitupun dengan bianglalanya. Melodi-melodi
yang saling bertabrakan dan membaur menjadi satu itu membuat pasar malam ini
terasa ramai meski sepi. Ah, sepi? Tentu saja. Sejauh ini aku belum melihat makhluk lain. Badut-badut yang
membagikan balon digantikan dengan patung badut pemegang balon yang tak henti
tersenyum lebar. Pencahayaannya ditata sedemikian rupa sehingga aura hangat
pasar malam ini terasa hidup, meski gerobak gula-gula kapas
dan stan popcorn pun hanya berdiri
tanpa sang penjual. Yang berada dibalik ini semua, orang hebat yang pernah
kukenal dan mengerti betul apa yang aku sukai meski ia kerap memaksakan
kehendaknya, orang yang tahu bagaimana caranya menyiapkan kejutan, orang yang
aku yakin tak ada lagi yang bisa membuat seperti ini selain dirinya, mungkinkah
orang itu adalah orang yang nampak begitu angkuh yang datang ke sini 416 tahun
yang lalu, mungkinkah itu?
‘Ach kassian, het is voorbij kassian, het is voorbij. Den
Haag, Den Haag, de weduwnaar van Indie ben jij.’
(Ah kasihan, semua sudah berakhir. Den Haag, Den Haag,
Kaulah sang dudanya Indie.)
“Ah... sepertinya lagu yang kusetel
agak terlalu memprihatinkan, ya?” alunan bariton yang lama kurindu tiba-tiba
mengalun dari belakang tubuhku.
“Netherland...”Aku berbalik.
Bagai mimpi kini kulihat dirimu.
Penuh, tanpa apapun yang kurang. Kau menggaruk kepalamu gusar. Lalu, kau nyengir kuda kepadaku.
“Habis bagaimana, aku benar merindukanmu, Indonesia...”
Aku membalas dengan senyum yang
membaur padu dalam isak haru. Aku berlari sekuatku, hendak menggapai tubuhmu
yang hampir kulupa aromanya saking lamanya kita tak bersua. “Aku juga,
Koningrijk der Nederlanden.”
‘We kunnen hier heus wel Indisch eten thuis klaarmaken
Sambal goreng telor, sayoer lodeh, tahoe pecis. Alleen, de buren hebben het
niet zo graag.’
(Kita bisa membuat masakan Indisch di rumah. Sambal goreng
telor, sayur lodeh, tahu petis. Hanya tetangga kita yang tak begitu suka.)
“Sungguh? Kau tak akan mengusirku lagi?” tanyamu sambil kau balas erat
dekapanku. Membiarkan wahana-wahana sederhana yang sedang beroperasi itu
menjadi saksi bisunya. Tak apalah mereka bisu, toh kita tak akan ke pengadilan
lagi, ‘kan?
Tapi, perkataanmu ingatkanku pada luka
lamaku. “Maafkan aku,” aku berujar lirih. Kau mengelus pelan punggungku yang tak seberapanya
punggungmu.
“Sudahlah, tidak apa-apa... jangan biarkan yang lalu
berlalu, tapi petik pelajarannya saja, tak usah disesali,” kau masih belum melepaskan
dekapanmu. Kita masih saling berpelukan di tengah lapangan dimana horison yang membentang di atas kepala kita ditaburi
bebintangan.
“Biar bagaimanapun, aku juga
tetap salah.”
Aku tak mampu menjawab. Aku
terlalu terkejut atas semua ini, lalu sekarang kau buat aku bahagia dan terharu—jadi kau yang salah—jangan coba
mengkambinghitamkanku.
‘En we kunnen hier ook heus wel tropische planten kopen. Zoals
bijvoorbeeld kembang sepatoe Dat noemen ze hier hibiscus, hibiscus! En allerlei
varens: canna's, gerbera's, orchideeen. Maar het staat hier in de huiskamer toch heel anders. Dan
daar in de vrije natuur, ja Trouwens, ze gaan allemaal dood bij de kachel.’
(Dan kita membeli tanaman tropis disini juga. Seperti
misalnya, kembang sepatu, mereka menamakannya hibiscus, hibiscus! Dan Canna,
Gerbera, Anggrek. Tanaman itu berdiri disini, di ruang keluarga. Tapi tentu
saja berbeda dari tempat mereka di alam sana. Dan akhirnya tanaman itu hanya
akan layu di dekat pemanas ruangan.)
“Nesia, aku mengatur ini semua
untuk menyenangkan hatimu, kenapa kau malah menangis sesenggukan begini?”
Kau mengelus pelan kepalaku,
membelai lembut helaian rambut yang selalu kesepian tak peduli berapapun banyak
kawannya ini.
“H-habis... k-kau,” aku berusaha menjawab meski masih
sesenggukan. Tapi, kau menghentikannya.
“Begini saja, bagaimana kalau
kita berkeliling?” Kau menyeka pelan air mata yang mulai mengering di pipiku.
“Mau, ‘kan?”
Aku mengangguk, kemudian kau menengadahkan telapak tangan
kananmu. Aku pangkukan telapak tanganku di sana dan kau membawanya naik ke
hadapan sepasang bibir tipismu yang manis—kau kecup lembut. Kau bawa turun
lagi tangan itu, tepat di tangan kirimu yang kau tekuk disamping dadamu. Kau
memposisikannya dengan nyaman, dan aku terbuai lagi. Kita segera berlalu dari
sana dan mulai berpetualang di taman mungil kita itu.
‘Ach kassian, het is voorbij kassian, het is voorbij. Den
Haag, Den Haag, de weduwnaar van Indie ben jij.’
(Ah kasihan, semua sudah berakhir. Den Haag, Den Haag, Kaulah
sang dudanya Indie.)
Dari patung badut, gerobak
gula-gula kapas, balon, ice cream, permainan melempar cincin ke botol,
permainan memukul tikus dalam lubang, dan komedi putar. Semuanya tak ada yang luput dari
kunjungan kita. Rasanya masih seperti saat listrik masih menjadi barang mewah
dulu, ya? Sekarang pun yang ada di sini hanya lampu-lampu bohlam dan
lampu minyak. Benar-benar tak terasa seperti di Jakarta. Tapi, ada satu wahana yang belum kita
kunjungi, ‘kan? Apalagi, tentu saja bianglalanya. Ah, bianglala... itu tempat kita mengikat janji
kita dulu, ‘kan? Janji yang akhirnya tak kau tepati...
-Flashback On-
“Nethere, kita mau kemana lagi?”
“Ke tempat paling indah di sini, dear.” Kau terus-terusan
menarik tanganku tanpa pedulikan rengekanku. Hingga kita berhenti di depan
sebuah bianglala.
“Tidak, Neth. Aku tidak mau!” aku berusaha melepaskan genggaman kuatmu di tanganku.
“Ayolah, ini tidak seburuk yang kau kira, Nes...”
“Tapi, aku tidak mau!” bentakku, namun kau malah menggendongku masuk ke
salah satu kapsul bianglala itu dan mengunci pintunya.
“Apa yang kau
lakukan?!” aku membentakmu sambil menggedor-gedor pintu alumunium yang
telah terkunci itu.
“Nesia...”
“Kau ingin membunuhku, ya?! Aku takut ketinggian, Neth. Dan
kau tahu itu, tapi mengapa malah mengunciku di tempat seperti ini?!!”
Aku masih berusaha
menggedornya tapi tetap nihil hasilnya. Begitu aku berhasil mengoyaknya,
tiba-tiba mesinnya menyala dan kapsul ini mulai terangkat naik lalu masuk
kedalam putaran yang kelak akan membawa kita ke titik tertingginya. Pintunya
terbuka secara paksa, satu engselnya lepas. Aku terseret ke ambang pintu
ruangan sempit itu. Membuatnya memberat dan miring ke arahku. Dunia dibawahku
terlihat semakin kecil dan aku semakin gemetar. Aku ingin memejamkan mataku,
tapi tidak bisa. Aku takut... benar-benar takut. Tubuhku bergetar dan aku semakin
merosot. Jika aku jatuh, apakah aku akan mati? Tapi aku kan immortal? Atau aku
hanya akan merasa sakit? Sebelah kakiku telah menggantung di udara sementara
kami berada semakin tinggi. Saat itu, dengan segera kau menyelamatkanku.
Mendekap tubuh gemetarku dan menariknya mundur. Beruntungnya untuk kali itu,
kita selamat.
“Tenanglah, selama kau menurut dan tenang saat bersamaku,
kau akan baik-baik saja...”
Kita lalu bangkit dari posisi tadi dan duduk saling
bersisian.
-Flashback Off-
Bianglala itu berhenti berputar.
Dan yang paling bawah, tepat sebuah bianglala yang satu engselnya copot. Haha... aku menangis sambil tertawa.
Entah aku harus lebih menikmati yang mana. Itu kenangan indah sekaligus bodoh.
Bukti pemberontakanku dulu.
“Bagaimana? Naik?” tawarmu sambil
tersenyum menahan tawa.
“Tentu, mengapa tidak?” jawabku
yakin. Kau mendahuluiku masuk, lalu mulai menengadahkan tanganmu untuk
membantuku naik.
‘En weet u, ik heb thuis zo'n groot schilderij hangen. Dat
verbeeldt natuurlijk lndie, ja Adoe, beeldig, beeldig.’
(Tahukah kamu, saya telah memajang lukisan besar dirumah? Lukisan
itu tentu saja menggambarkan Indie, ya aduh, sangat indah, indah!)
Bianglala ini semakin membawa kita—penumpang satu-satunya sekaligus
pengunjung satu-satunya malam ini—semakin melambung keatas dan keatas. Tapi hebatnya, meski
gemetar jika melihat kebawah-karena bianglala kita pintunya tak bisa tertutup—aku merasa sedikit tenang. Yah, apalagi jika bukan karenamu, Neth.
Aku tak terlalu pendek, ‘kan? Tapi, mengapa jika bersamamu tubuhku
serasa tertelan olehmu? Yah, postur orang Nordik kan memang tak bisa
dibandingkan dengan kami makhluk para penghuni sebelah
tenggara benua Asia ini. Rasanya entah mengapa perjalanan ini begitu
menyenangkan. Kita tak lagi duduk bersisian seperti dulu, aku tak lagi
menggedor pintu minta diturunkan seperti dulu, aku pun tak lagi gemetar dan menepis
perhatianmu dengan hujatan. Aku telah menerima semuanya. Kini, aku telah lebih dewasa dibanding
dulu. Meski terkadang masih labil, aku sudah cukup mampu berpikir jauh. Dan soal apapun yang
kau lakukan padaku dikala masa kolonialisme itu, aku sudah mengikhlaskannya.
Toh tak ada gunanya menyimpan dendam pada masa ini. Sudah ada UNO yang bertugas
menjaga perdamaian dunia. Lagipula, jika saat ini aku tiba-tiba melabuhkan
angkatan lautku di Den Haag, aku bisa ditertawakan seisi dunia. Mereka pasti
akan bilang jika aku tak tahu diri. Dan lagi—jika tentangmu—daripada mendendam, aku lebih
memilih mencintaimu.
‘Mooie groene sawah's, Klapperbomen. Links een karbouw met
zo'n kleine katjong op z'n rug, ja?’
(Sawah hijau yang indah, pohon kelapa. Dan kerbau dengan
kacung kecil di punggungnya, ya?)
Aku duduk diantara kedua kakimu
dan kau memelukku erat dari belakang. Kau meletakkan wajah yang dihiasi rahang
tirus itu di bahuku. Hembusan nafasmu yang hangat dan basah kurasakan menyapu
pelan tengkukku, membuatku mengerang. Tapi aku tak menolak. Aku menikmatinya,
Neth. Lagipula
apa lagi yang lebih menyenangkan dibanding berada dalam dekapan seseorang yang
telah begitu lama kau rindukan.
“Kukira kau tak akan pernah
kesini lagi,” celetukku mengusir keheningan.
“Ah, sudah lama aku ingin ke sini, Nes. Hanya, sekarang aku
baru bisa,” jawabnya.
“Kau sibuk, ya?” tanyaku.
“S-soal itu...”
“Ya, sudahlah... tak usah disembunyikan. Aku tahu
nation papan atas sepertimu pasti
sibuk.”
“Bukan begitu juga. Setiap nation pasti punya banyak hal untuk
diurus, kan?”
“Tapi, aku tidak.”
“Bukannya tidak, tapi pasti tidak
kau anggap. Aku tahu kau ini seperti apa.”
“Oke, kau menang. Lalu,
kenapa kau tak pernah kesini? Malas melihat negaraku yang semakin
berantakan ini, ya?”
“Bukan juga.”
“Lalu apa??” kau membuatku naik
pitam. Apa maksudmu membelokkan pernyataanmu kesana kemari?
“A-aku... aku... takut, Nes.”
Kau semakin menenggelamkan kepalamu di helaian
rambutku yang tergerai begitu saja. “Aku takut kau masih marah..”
‘En rechts een pahman met zeven van die leuke kleine bebeks
achter zich aan. Maar weet u, het schilderij, het krijgt hier geen licht genoeg.
Weet u wat nog meer Meneer Le Clerque-Zubli hij komt ook nooit meer langs..’
(Dan di sebelah kanan, sang paman dengan tujuh bebek kecil
dan mungil mengikutinya. Tapi, tahukah kamu, Lukisan itu disini tak mendapat
banyak cahaya.)
“Marah?” aku mendongak padanya.
Melihat sinar matanya yang menyendu.
“Kilatan matamu kala itu, aku tak
bisa melupakannya, Nes. Dan semua itu karenaku. Aku benar-benar merasa bersalah
telah tak berhasil tepati janjiku. Janji yang kubuat sendiri.”
“Maafkan aku. Indische-mu ini
yang salah. Aku terlalu labil dan akhirnya larut kedalam trauma bodoh itu.”
“Ah, Indische.”
Aku beringsut menghadapmu. Kau
memegangi wajahku. “Biarkan saja soal itu berlalu. Kita sama-sama salah. Tak
ada gunanya juga, ‘kan disesali?” kau tatap mataku dalam.
“Kurasa iya.” Kau tersenyum
mengerti. Kita kembali pada posisi semula. Kapsul yang kita tumpangi semakin
meninggi. Hampir, sedikit lagi kita sampai di puncak. Aku berlagak berani dan
mengintip ke bawah lewat jendelanya, tapi tak seberapa lama, bulu kudukku berdiri dan kakiku
mulai gemetar. Kau turut beringsut mendekat ke jendela, membuat kita semakin
rapat dan rapat. Lalu, kau mendekapku lagi.
“Kalau tak berani sendiri,
bersamaku saja. Lebih baik, ‘kan?” kau mengeratkan
dekapanmu.
Kacanya berembun oleh nafasku.
Sikuku yang menempel padanya turut merasakan dinginnya permukaan benda bening
berusia tua itu. Kau mencopot sepatumu dan menaikkan kakimu ke atas tempat
duduk. Aku berada diantaranya. Tangan kananmu melingkari leherku, menjadi
pengganti syal yang cukup hangat, sementara tangan kirimu membawa tangan kiriku
bersama dengannya melingkar nyaman di pinggangku. Kau meletakkan kepalamu di
pundak kananku dan bersandar nyaman di sana sambil sesekali menyesap
dalam surai kelamku. Aku meraba halus kulit wajah Kaukasoid-mu yang tirus. Menelusuri garis
rahang tegas nan mempesona itu sampai ke tengkukmu yang menguarkan kuat aroma
maskulin. Ah, dimana lagi aku bisa merasa senyaman ini? Aku benar-benar tak
ingin detik ini lekas berlalu.
Kini, kau alihkan perhatianmu. Kau
lemparkan sorot mata tajam itu ke penjuru Jakarta yang kini terang benderang
tak seperti dulu. Sementara aku tertunduk lesu. Kau akan tanyakan apa soal
kegagalanku merawat salah satu bukti cintamu?
“Indische... oh, tidak. Kau bukan Indische
kecilku lagi, ya? Aku hampir lupa, Indonesia.” Kau menyeletuk begitu saja.
Membuatku semakin takut.
“Aku mohon, aku minta maaf...”
“I-iya.”
“Batavia sudah banyak berubah,
ya?”
“B-begitulah, tapi maaf.”
“Kenapa minta maaf, Nes? Ini perubahan
yang bagus, ‘kan? Semakin terlihat modern saja.”
“Kau tak lihat semuanya, Neth.”
“Semua yang mana?”
“Yang kuhancurkan.”
Aku menunjuk Kali Besar tempatmu
dulu sering berkubang seperti kuda Nil kepanasan yang kini menghitam. Alirannya
mati dibunuh berjuta sampah. “Semua sistem irigasi yang kau warisi kini tak
lagi berfungsi. Kami alami banjir setiap tahun, Neth.”
“Ah, dulu aku sering mandi di situ, ‘kan?” kau tersenyum tanpa dosa—membuatku semakin merasa bersalah.
“Sekarang kalau kau mandi disitu
pasti kulitmu mengelupas.” Kau hanya tanggapi pernyataanku dengan senyum.
“Aku bodoh, ya?!”
“Tidak.”
“Lalu apa?!”
“Pemula, amatir, apa lagi?” jawabmu singkat.
“A-apa?” aku melongo. Tak kusangka kau akan
menjawabnya begitu.
“Oke, aku ingatkan kau ini apa?
Negara berkembang, ‘kan? Dan tidak beruntungnya selama 350 tahun kau malah
menjadi koloniku yang begitu kejam dan tak peduli padamu ini. Coba kalau kau
koloninya Inggris, pasti kau sudah sepintar Malay sekarang..”
“Mengocehlah semaumu, tapi jangan
bawa-bawa dia. Orang itu menyebalkan.”
“Siapa? Inggris atau Malay?”
“Arggh... kau sebut dia sekali lagi,
kulempar kau keluar!
“Malay, ya?”
“NETHERLAND!!”
Aku menatapnya horor.
“Yah, baiklah, baiklah... lupakan saja, ya? Haha...” Ia tertawa hambar. “Kita kembali
ke soal tadi. Kuingatkan lagi, kapan kau berdiri? Sejak kapan kau mengenal
pendidikan? Berapa tahun kau merdeka?”
“K-kau...”
“Kau itu masih terlalu muda untuk
menyesali semua yang kau sesali saat ini. Berpikirlah kritis, berjuanglah
dengan gigih segigih saat kau menolak ajakkan ‘rujuk’-ku, dan gunakan
kreativitasmu untuk mengatasi berbagai persoalan yang kau temui.”
“Tak semudah itu, Neth. Kau lihat seberapa buruk pemerintahanku, berapa banyak koruptor yang
lolos dari jerat hukum negara ini, seberapa sering kerusuhan terjadi, berapa
banyak rakyat kecil yang terlantar, dan seberapa menderitanya mereka. Harusnya
kau memberitahuku rahasianya saja. Bagaimana kau bisa bangkit dari keterpurukan
dan wabah korupsi.”
“Tadi sudah. Makanya jangan hanya
tidur. Kau ini, cantik-cantik tidur terus. Kau baru hampir 66 tahun merdeka, ‘kan? Itu masih terlalu muda
mengingat berapa usia negara-negara maju saat ini. America yang disebut-sebut
pusat dunia saat ini, bahkan punya kenangan buruk di usia independen mereka yang
ke-87. Civil War mereka itu tidakkah lebih barbar
daripada supporter sepakbolamu?
Bahkan hadiah Liberty dari France sempat ditelantarkan beberapa tahun sebelum
akhirnya dipasang di tengah laut. Kau tidak bodoh, hanya saja perlu sedikit
berusaha. Perbaiki dulu moral rakyatmu yang sudah mulai bergeser itu, setelah
itu baru kau dapat memperbaiki yang lain. Mengerti?”
“Iya. Aku mengerti.” Aku menatap
matamu dengan tekad. Setelah ini, doakan aku. Mantan Motherland-ku telah memberi saran, maka akan mulai kukerjakan. Aku
akan berusaha keras agar kelak mampu disetarakan denganmu. Jika kau dulu bisa
kaya oleh sumberdayaku—bahkan meski aku tidak ikhlas—mengapa aku tidak? Iya, ‘kan? Oke, tunggu saja Neth!
“Jika perlu bantuan, kabarilah aku.
Aku akan datang kapan pun,” kau malah menyeringai.
Maksudmu apa, ha?
“Untuk apa?”
“Apa saja. Untuk membuatmu
merasakan apa yang telah lama tak kau rasakan, misalnya...” kau membisik mesra. Dengan
suara basahmu yang lama nian tak kudengar. Membuatku mulai kehilangan kontrol
atas diriku sendiri.
“Ah... Neth.” Aku melenguh pelan. Tapi, kau semakin beringas. Bagai
serigala liar yang lama dikurung di green
house berisi tanaman herbal, kau begitu haus akan mangsamu. Insting
berburumu menggapai liar alam bawah sadarku, mengendalikanku. Aku tak akan
mampu mengelak lagi.
Soal posisi, rasanya sulit
dideskripsikan. Semuanya bergerak di luar jangkauan. Berpindah cepat,
berubah pun cepat. Tatapan ganasmu mengintimidasiku. Bibir manismu mulai
mengintai mencari celah, dan saat aku lengah, habislah aku.
Ah, lagi-lagi 69 tahun lalu. Terakhir kali kita
sedekat ini memang saat itu, ‘kan? Ditengah hujan deras itu. Tapi, kala itu kita bersama dalam
suasana berbalut kewas-wasan dihantui perpisahan. Dan selepas itu, tambah beratlah
aku merelakanmu pergi. Kini, tak ada lagi luapan kekecewaan.
Aku tak lagi menghujat takdir. Memang sudah pas rasanya jika takdir membawa
kita pada saat dan keadaan itu tujuh dasawarsa lalu. Meski tak kita inginkan,
perpisahan itu tetap terjadi. Dan mungkin, jika Nihon tak merampasku darimu,
aku belum merdeka sampai sekarang. Sebagai dua negara yang terpisah di dua
belahan bumi yang berbeda, memang sebuah kemustahilan bagi kita untuk bersama.
Tak usah pikirkan soal America yang punya Hawai di tengah lautan
Pasifik. Itu hanya ambisinya. Lagipula, ini soal kita. Seorang pria
tulip egois dan gadis tropisnya yang keras kepala. Apa lagi yang kurang? Meski
kita tak ditakdirkan bersama, kita ditakdirkan untuk saling mencintai dan
berbagi kisah disini. Selama 350 tahun itu, kita telah bersua dalam
kebersamaan, tapi kita juga tak akur setiap hari. Kini, kita sama-sama independen.
Berdiri sendiri di atas bumi yang kita naungi. Dan setiap hari, kita punya
banyak hal yang harus diurusi. Jadi, kita tak akan bisa selalu
bersama. Tapi, coba pikirkan... tidakkah ini lebih baik daripada
harus bersama setiap hari. Neth... jika berada jauh, tapi sesekali
kita bertemu seperti ini lebih baik daripada bertengkar setiap hari, ‘kan? Kau juga trauma, ‘kan pada bambu runcing, keris,
sumpit dan tombakku?
Ah, tentu. Aku tahu itu.
Lagipula, seberapapun aku mencintaimu, aku juga mencintai rakyatku. Perasaanku
padamu tidak bisa diukur hanya dengan penyerahan diriku. Lagipula, jika tiba-tiba
aku menyerahkan diri padamu, dan bersedia menjadi BFO-mu, akan seperti apa
perasaan rakyatku? Mereka sedang tumbuh. Mereka memang masih belum bisa
disetarakan dengan penduduk negara maju, tapi lihat saja nanti. Tak sedikit,
lho orang jenius di sini. Mereka hanya perlu waktu untuk berkembang. Dan aku
akan bantu mereka sebisaku. Ini juga demi dirimu. Demi bisa setara denganmu.
Lihatlah. Kelak Jakarta akan semaju New York. Bukan tidak mungkin, kan? Toh kami
sama-sama pernah dijajah olehmu-dan Inggris-.
‘Ach kassian, het is voorbij kassian, het is voorbij. Den
Haag, Den Haag, de weduwnaar van Indie ben jij.’
(Ah kasihan, semua sudah berakhir. Den Haag, Den Haag,
Kaulah sang dudanya Indie.)
Kita kembali berpagutan. Bergelut
dipandu hasrat yang kian memanas. Tak peduli lagi dimana aku, aku tetap
menikmatinya. Terbawa olehmu yang kian mengganas. Kita berada pada titik yang
jika ditarik ke titik terbawah akan terbentuk yang namanya diameter. Ah,
persetan dengan matematika sial itu. Tak ada hubungannya dengan kita. Kini, kau bawa aku melambung dari
titik yang tinggi—oleh karenanya, jika tiba-tiba terjatuh, maka aku akan merasakan sakitnya dua
kali. Tapi seberapa pun tingginya aku, apapun yang kita kerjakan, tak ada
bedanya, tetap terasa nyaman asalkan bersamamu.
Roda
berputar, ‘kan? Jika kali ini aku dibawah, suatu saat bisa ‘kan aku di atas? Aku tak akan selalu jadi bangsa
yang bernasib malang begini, ‘kan? Seperti halnya segala hasrat
kita yang harus diputus kala roda ini bergerak turun. Sayang kita tak bisa hentikan
waktu, bukan soal kematian yang ingin ditunda, tapi soal cinta. Dan tunggu... sepertinya aku mulai mensyukuri
ke-immortal-an kita. Jika, harus mati di saat seperti ini
pun aku tak mau.
‘Ach kassian, het is voorbij kassian, het is voorbij. Den
Haag, Den Haag, de weduwnaar van Indie ben jij..’
(Ah kasihan, semua sudah berakhir. Den Haag, Den Haag,
Kaulah sang dudanya Indie.)
Setelah hal indah yang kita
lalui, kini malam yang semakin larut
mengharuskan kita untuk pulang. Kau mengantarku, kemudian aku mengelabuhimu. Kubilang kau
membuatku lelah, jadi kau gendong aku. Setelah pergelutan sarat romantisme kita,
aku masih bisa bersandar di punggungmu yang hangat, apalagi yang lebih bagus?
Kita telusuri jalan yang dulu kau tak ingin kutahu terus sampai ke rumah
dinasku. Cukup jauh, tapi tak kusangka kau kuat juga. Meski sesampainya di rumah, aku harus memijit kakimu, aku
tak keberatan.
Kau mengaduh, meronta-ronta,
sedang aku hanya tersenyum geli. Tanpa sadar otot-otot perkasa yang tersamarkan
dalam rupa jemariku yang lentik semakin menyiksamu. Ah, tahan saja. Setelah
ini, kujamin kau langsung bisa berlarian dengan kelinci kecilmu. Hampir dini
hari sudah dan kita masih bercanda di ranjang. Belum tidur, meski itu gagasan
yang akan kita masukan ke agenda tanpa pertimbangan lagi, bukan begitu, Neth? Seakan tak kenal rasa
lelah, kita tak kunjung tertelan kantuk. Mengapa harus lelah secepat ini jika
aku kuat membangun Anyer-Panarukan saat kau rodi dulu. Oke, obrolan ini aku tak tahu kapan
berhujung. Dan ‘hal’ lain yang akan terjadi sebelum matahari terbit pun siapa
yang tahu. Nikmati saja lah, ya ‘kan?
Aku bahagia bisa bertemu denganmu
hari ini. Dan lebih bahagianya lagi, kali ini kita bertemu dalam damai. Kita
tak lagi beradu bedil seperti dulu. Ah.. kau akan berapa lama di sini, Neth? Jika kau kembali ke
negeri
tulipmu, jangan lama-lama... berkunjunglah kembali ke sini, ya?
__404040404__
Masa lalu ialah
cermin, masa lalu ialah guru, masa lalu ialah bayangan
Mana yang benar,
ya?
Apapun itu, masa
lalu untukku itu berharga
Karena tersemat sekisah
cinta tua disana
Ah, aku ingat!
Kala kita berkejaran
di pantai
Kala kita sembunyi
dibalik kapal-kapal besarmu yang berlabuh asal
Lalu kau
menemukanku, mendekapku dari belakang
Ketika senja unjuk
rupa, kita nikmati berdua
Sambi saling
bergenggaman dibawah siraman matahari senja, kau sematkan sekuntum kecil melati
di telingaku
“Kau cantik,
Indische,” bisikmu, dan aku tersipu
Kini kisah tinggallah saja
Terkenang dalam
berlembar-lembar surat tua dan tumpukan album foto usang
Melapuk di gudang
ditemani tikus-tikus yang menari
Debu yang
menyelimuti hampir setebal selimut orang Eropa ketika kutengok mereka kembali
Ternyata terlalu
larutlah kita dalam waktu mendatang yang belum pasti
Padahal sungguh,
indah nian saat lampau itu
Ia juga punya
banyak misteri yang tak akan habis dikuak
Ada baiknya bukan,
sesekali bernostalgia?
Di depan perapian
kau pandangi foto sepia yang semakin memudar terhapus zaman
Ada kau, aku , sawah, gunung, dan bebek
Ah, jangan lupakan Pak Tani di gubugnya dan kerbau-kerbau
yang sedang berkubang di sungai
Sesuatu yang buatmu merindu
Sesuatu yang tak akan kau temui di pelabuhan maupun di kebun
tulipmu
“Ah, sayang kita tak menjajah negeri itu lagi.
Sekarang kita hanya bisa menikmati kenangan dan eksotismenya saja, ya?” celetuk
seorang pensiunan kaptenmu
Tangannya yang dulu gagah memutar kemudi kapal kini
gemetaran memegang tongkat
Kau hanya tersenyum sambil menghapus jejak di pelupuk matamu
yang agak bengkak
__404040404__
©
Sara Meckino, 2011