Trending Topics

.

.

Tuesday, March 04, 2014

Wirausaha, Such a Nightmare

Menjelang tahun ajaran baru dan bakal adanya 'korban-korban' baru yang nyasar ke jurusan saya, kami, angkatan baru yang sebentar lagi akan menjadi 'kakak' ini mulai melakukan berbagai persiapan untuk menyambut mereka. Ya, wajar lah, mahasiswa baru gitu kan, yang memasuki sebuah mega instansi harus melalui beberapa lapis orientasi sebelum memasuki ranah perkuliahan yang sebenarnya. Pertama opkors, ospek universitas-atau di univ kami dikenal dengan PPSMB PALAPA-, yang kedua ospek fakultas yang kalo di FIB, tahun lalu bertajuk Bratasena 2013. Tapi kalian, para new comer *kaya lu udah kawak aja wan~* gak usah khawatir sama ospek yang mengerikan. Ospek universitas pada umumnya itu asik kok, aman dan samasekali gak mengerikan, hanya sedikit merepotkan#ups. Cuman ospek fakultas emang kadang kadang nyeleneh dikit, ya, kalo ditanya serem apa nggak sih tergantung jurusannya. Kalo jurusan kalian macam teknik, kehutanan, ya pokoknya yang membutuhkan ketahanan fisik dan mental yang cukup sih ya siap siap aja. Tapi kalo kalian di fakultas-fakultas nyante macam psikologi atau ilmu budaya sih yaaa, asik asik aja, nyante. Meski demikian, belumlah pada tempatnya jika kalian sudah menghela napas lega sesudah ospek fakultas. Meski hanya di jurusan-jurusan tertentu, masih tetap ada ospek JURUSAN. Dan kalo kalian nyante nyante sepanjang ospek-ospek lain kemaren, bersiap-siaplah disini.

Oleh sebab akan diadakannya acara maha dahsyat tersebut, angkatan kami, 2013, lagi getol-getolnya mengumpulkan dana. Untuk urusan ini, kami dikoordinir oleh seorang Era Tazkiyah yang sebenarnya sulit dipercaya, tapi mental wirausahanya lumayan. Nah, itu dia yang mau saya bahas, bukan soal ospek, bukan soal Era, tapi soal wirausaha. Sesuatu yang entah kenapa buat saya such a nightmare.




Susahnya Cari Uang

Semenjak sistem barter kalah oleh sistem baru yang memperkenalkan alat tukar sebagai media transaksi ekonomi, uang mulai merangkak naik dan bercokol di tahta luar biasa tinggi jauh diatas mahkota para penguasa. Kalo dirunut, dan kalo keberadaan manusia purba itu benar sebagaimana apa yang saya pelajari di sekolah selama ini, transaksi demi pemenuhan kebutuhan atau kegiatan saling memenuhi kebutuhan ada sejak manusia bertambah banyak pada era food producing. Sebelumnya, di era food gathering, makanan di dunia surplus tanpa harus dikelola karena jumlah manusianya memang masih sangat sedikit. Tapi karena manusia jugalah makhluk hidup yang memiliki kecenderungan untuk bereproduksi, jadilah jumlah mereka berlipat ganda. Semenjak itu, alam seperti berubah menjadi pelit, kebutuhan mereka sudah tak bisa lagi secara penuh ditanggungkan kepada alam. Dengan kapasitas otak yang entah seberapa persennya manusia saat ini ketika itu, mereka akhirnya menemukan sebuah terobosan baru yakni food producing. Dalam era ini, mereka hidup dalam kelompok yang lebih besar, mengelola lahan dan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan yang biasa mereka konsumsi. Dari sini, saya rasa mulai muncul keangkuhan manusia. Di era sebelumnya, manusia sepenuhnya bergantung pada alam, jadi mereka mendewakan mereka dan memiliki rasa syukur yang tinggi terhadapnya, tapi di era ini, manusia merasa mereka sudah bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dari sini juga berbagai kreativitas dan inovasi berkembang. Makanan yang dikonsumsi semakin beraneka ragam. Satu kelompok manusia tidak memakan hal yang sama dengan kelompok lainnya, akibatnya ada kecenderungan untuk mencoba milik yang lain. Setelah saling mencoba, terciptalah kerjasama diantara mereka. Semacam simbiosis yang saling membutuhkan. Akibatnya berkembanglah barter, dan begitu seterusnya sampai alat tukar yang bentuk paling mutakhirnya adalah uang-entah itu kartal atau giral- ditemukan.

Dulu, jasa ditukar dengan barang. Barang yang populer dijadikan alat tukar adalah garam. Di Eropa, garam dikenal sebagai 'emas putih' yang artinya hampir sama berharganya dengan emas. Buktinya kata 'gaji' dalam bahasa Inggris adalah 'salary' yang asalnya dari kata 'salarium' yang dalam bahasa latin artinya garam. Kita, para penduduk tropis yang tengah bersantai dibawah sinar matahari hangat sambil membaca tulisan ini mungkin malah tertawa, menertawai betapa anehnya selera orang-orang kelas atas bangsa Eropa yang menyetarakan bumbu-bumbu dapur dengan emas. Tapi begitulah kenyataan yang terjadi. Eropa dan kita, dataran tropis yang kaya ini berada di belahan bumi yang berbeda. Mereka yang dingin dan kita yang hangat, mereka yang catur musim, dan kita yang dwi musim saja. Mereka yang pemikir dan kita yang katanya, apa, lumbung? hahaha~

Oke, cukup lah. Kenapa sih saya jadi ngelantur ke sejarah uang gini. Tapi itulah, melalui proses yang demikian panjang itulah, raja dari segala raja bernama uang ditemukan. Awal penciptaannya memang ditujukan untuk 'mempermudah' tapi begitu fungsi-fungsi sekunder dari uang dipopulerkan oleh para materialistis, uang mulai memunculkan wajah aslinya yang mengerikan. Dari sesepele alat tukar ia bertranformasi jadi alat penyimpan kekayaan, penciri status sosial, dan sebagainya. Akibatnya uang seperti membagi-bagi masyarakat kedalam kelas yang nyata. Ketika penggunaan uang semakin luas, segala hal seperti bisa dibeli oleh uang. Hedonisme menjadi gaya hidup yang diimpikan semua orang dan seketika itu pula uang berubah menjadi 'magic spell' yang bisa mengabulkan apapun. Disinilah drama tentang uang dimulai di sebuah panggung sandiwara raksasa bernama dunia. Kalau para humanis berpikir yang dicari manusia dalam kehidupannya adalah kebahagiaan, orang-orang sekarang, yang katanya 'realistis' menggantikan kebahagiaan dengan uang, karena kebahagiaan sekalipun, bahkan kesehatan, dan kesejahteraan bisa dengan mudah dibeli dengan uang. 

Akibatnya segala regulasi diberlakukan mengenai uang. Uang bukan lagi kulit kerang atau daun kering seperti di masa-masa jahiliyah dahulu kala. Uang sekarang adalah sebenda berharga yang dijadikan tujuan mayoritas orang untuk dikejar. Jika tercetus sebuah pertanyaan, 'Apa yang dicari oleh orang yang bekerja?', jawaban yang paling mainstream adalah uang. Karena di era kapitalisme ini uang semakin kuat kekuasaannya. Meski diantaranya pun masih ada kelompok kelompok humanis yang tak berpikiran demikian.

Ketika lulus SMA kemarin, banyak teman seangkatan yang memutuskan untuk kerja. Alasannya jelas uang. Katanya, untuk melanjutkan kuliah tak ada biaya, meski pada kenyataannya sudah banyak sekali regulasi yang melonggarkan sektor tersebut. Sebenarnya alasan utamanya adalah motivasi. Kalau memang motivasi mereka sudah untuk kerja dan bukan untuk sekolah lagi, dipaksakan pun tak ada gunanya, begitu pula sebaliknya. Saya, seorang lulusan SMA yang belum pernah sekalipun mengecap rasanya mencari uang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan. Entah kenapa, kalau bicara soal uang, saya tak punya ide. Saya melanjutkan pendidikan untuk belajar, untuk mendalami lagi apa yang saya sukai, bukan untuk menambah kualitas diri demi mendapatkan pekerjaan baik di waktu kedepan, dan jujur, karena belum merasa siap terjun ke kehidupan yang sebenarnya. Banyak dari teman-teman saya yang hidup dengan pola yang begitu sistematis. Bagi perempuan, lulus sekolah cukup bekerja sebentar, tak usah terlalu serius, lalu menikah dan beranak pinak. Selanjutnya tinggal menjadi ibu rumah tangga sebagai mana mestinya, menua, sembari bergantung pada suami sepenuhnya. Yang laki laki pun tak jauh beda, lulus lalu bekerja, mestinya serius karena kedepannya akan menanggung nafkah dari banyak kepala. Tak ada yang salah sih sebenarnya, tapi entah kenapa, rasanya hal tersebut buat saya terlalu mengerikan. Sejauh ini saya lebih suka merasa aman duduk di balik meja dengan pikiran kemana-mana, mengamati dari kejauhan bagaimana 'kehidupan' berlangsung dan berteori soal mereka. 

Selama ini saya tutup mata soal uang. Saya hidup dari nafkah orang tua saya, seratus persen sampai sekarang. Bagi banyak orang, hal seperti ini memalukan. Tenaga saya sudah cukup untuk menghasilkan uang, tapi saya justru masih hanya berpangku tangan. Jujur, I have no idea about this. Mata saya tertutup sampai masalah danus ini menghampiri. Kami, 30an orang, berusaha mengumpulkan dana 10an juta untuk acara tersebut di sekitar bulan September dan rasanya sulit. Tiap hari kami harus memutar otak bagaimana modal yang ada dikembangkan agar bisa mencapai target pada waktunya. Hasil kami tak pernah banyak. Tiap ribu-ribu kami kumpulkan hari demi hari, dari penjualan-penjualan sepele yang ternyata cukup berat jika dilakukan. Cari uang itu susah, itu yang sekarang saya pikirkan. Ayah saya, bisa mencukupi kebutuhan kami dengan gaji yang nominalnya sudah dibangun oleh karir kerjanya yang sangat panjang. Di awal? Gaji itu tak ada apa-apanya.

Sekarang, saya kuliah dan setelah lulus nanti saya belum kepikiran akan bekerja apa. Tujuan saya selama ini, saya ingin serius belajar agar selepas ini ada yang menghargai keseriusan saya dan bersedia membiayai saya belajar lagi sampai saya bisa mumpuni untuk menghasilkan sesuatu yang cukup berharga. Tapi apa akan semudah itu? Selama ini saya tak pernah berpikir ia akan sesulit apa. Saya selalu berpikir bahwa yang harus saya tembus adalah target yang dekat. Kalau saya selalu bisa maksimal, pasti hasil akhir yang saya dapatkan pun bisa maksimal. Selalu seperti itu, tanpa berpikir soal uang. Samasekali tanpa pikiran soal uang.

Uang shit. Saya tak pernah bermimpi jadi kaya. Mungkin saya termasuk humanis yang lebih cinta menjadi bahagia daripada kaya. Uang itu buat saya, semacam tak memiliki jiwa. Ia hanya energi abstrak yang ikut menjadi motor penggerak dunia, bukan seperti kebahagiaan yang lebih seperti sebuah jiwa. Tapi saya juga tak bisa memungkiri bahwa sekecil apapun kebutuhan hidup di dunia ini selalu hanya bisa diwujudkan dengan uang. Meskipun begitu, tetap saja, bekerja dengan pola monoton dan dikendalikan oleh uang adalah mimpi buruk buat masa depan saya. Sungguh, mau dikata naif pun, saya lebih ingin bahagia.


Wirausaha: MAKAN ATI!

Indonesia itu negara berkembang yang dikuasai sama modal asing. Kenapa? Karena wirausahanya kurang menggeliat. Karena warganya lebih suka main aman jadi kuli dibanding menanggung resiko atas kerugian dengan buka usaha sendiri meskipun kalo sukses hasilnya menjanjikan. Ya kayak saya ini. Aah, lama-lama saya semakin mirip figur general orang Indonesia jaman sekarang. 

Abisnya kenapa coba? Ya itu. Wirausaha itu bukan hal asing buat saya. Saya memang nggak pernah secara benar-benar individu terjun langsung ke dunia mencari uang, tapi dikit dikit saya berkali-kali ngerasain wirausaha itu gimana. Dan buat saya gak asik, gak cocok banget, makan ati, tjoy~ Saya gak habis pikir sama seorang wirausahawan partai kecil yang benar-benar bisa menikmati apa yang dia kerjakan, mungkin ini yang namanya bakat dagang, tapi kalo buat saya, sejak kecil pun saya gak pernah siap sama beginian. Masalahnya urusannya jadi sentimentil kalo sama saya. Main perasaan, makan ati.

Keluarga saya bukan keluarga kaya, dulu waktu saya masih kecil, keadaan kami gak sebaik sekarang. Bokap saya adalah pencari nafkah tunggal, dan gaji beliau ketika itu ngepres banget buat sekedar biaya hidup kami. Oleh karena itu, nyokap coba-coba usaha. Waktu saya SD, nyokap sempet jualan kacang bawang. Serius, kacang bawang nyokap dibuat dengan totalitas, mengutamakan rasa, dan banyak diminati, tapi tetep aja usaha itu gak bertahan. Kalo kalian tanya saya, saya tahu gimana cara buat kacang bawang yang enak. Masalahnya, kalo buat dagang kan otomatis buatnya jadi sering, di kali pertama, kedua, boleh jadi rasanya standar, tapi semakin sering, kami berimprovisasi, denger resep dari kanan kiri, dicoba-coba, dan dipertahankan rasa terenak yang pernah kami dapatkan. Pertama, kacang yang masih ada kulit arinya lebih renyah daripada kacang kupasan. Jadi meskipun kami hanya pengusaha mikro, kami tetep ngupas kulit kacang secara manual. You know? Itu kacang sebaskom gede, direbus, didiemin sampe dingin, terus dipelecetin satu satu sampe kelar, copot copot deh jempol, tapi demi rasa kami tetap melakukannya tjoy~ 

Pemasaran juga jadi masalah selanjutnya. Yang paling penting disini adalah relasi. Karena mode penjualannya adalah dititipin, semakin banyak kita punya kenalan warung, semakin bagus. Dan karena kita orang Indonesia, lagi-lagi, kenalan warung itu gak berarti kita cuma kenal, terus bisa nitip ya, tapi ya paling nggak entah berapa ribu belanja disitu. Hal tersebut ya dimaksudkan untuk menjaga hubungan, karena sesama pengusaha pantasnya saling menguntungkan. Masalah penting lainnya adalah jangka waktu. Seenak apapun dagangan lu, kalo lu cuma jual satu jenis dalam jangka waktu yang lama tanpa inovasi apapun, orang pasti pada bosen. Disinilah nyeseknya.

Yang namanya wirausaha, terutama kuliner, itu pasti ada golden age-nya. Di masa-masa awal, biasanya orang pada penasaran, terus nyoba, terus kalo suka ya jadi langganan, tapi semua berubah di masa-masa bosan. Pengusaha kecil kecilan yang gak terbekali kiat-kiat usaha berguguran disini. Boro-boro mikir inovasi, mental pasti udah mendem duluan. Anda tahu? Kalo strategi pemasarannya adalah dititipin ke warung, berarti barang yang gak laku bakal balik lagi ke kita. Dan itulah bagian yang paling nggak nguatin buat saya yang sangat mellow ini. Seenak apapun kacang bawang bikinan nyokap, saya mblenger, saya muak sama kacang bawang pada masa-masa itu. Di awal, saya selalu minta sisain, tapi udah belakangan nggak lagi. Dan lo tau, rasanya makan kacang yang 'kembali'? Kadang dengan ekspresi yang sulit dijelaskan nyokap jembreng-jembreng kacang itu. Dan saya memilih untuk memakannya dan bilang 'masih enak kok bu'. Haah pahit bro~ bukan soal kacangnya yang udah agak lama, tapi soal bagaimana usaha kami. PAIT BANGET.

Saya gak cuma jadi penonton, ketika itu saya turut berpartisipasi nitipin kacang bawang di sekolah. Untung Bu Yayat, ibu kantin yang saya titipin itu baik banget tjoy. Beliau kalo ada sisa ngomongnya alus banget sama saya. Tapi nyokap pernah ngadepin yang jauh lebih hardcore. Ada yang menggerutu 'habis sama anak saya, bu', bahkan ada yang minta gak usah dititipin lagi aja. Saya juga sering bantuin naro kacang di warung-warung, dan saya liat gimana ekspresi gak enak beberapa oknum tukang warung waktu ngasih uangnya ke saya. Dan ya, pokoknya gitu lah. Wirausaha itu berat banget cobaannya. 

Sekarang kacang mahal, kacang bawang ketengan 500an atau bahkan 1000an sekalipun udah gak masanya di warung-warung. Tapi pelanggan setia ada yang masih suka mesen kacang bawang toplesan kalo lebaran. Ya kalo lagi dapet hasil banyak sebenernya seneng banget, tapi ya itu, sedihnya lebih banyak kalo menurut saya. Selain dari pada kacang, nyokap juga pernah jualan lauk mateng. Dan untuk kasus ini cobaannya beda. Tiap hari nyokap harus kepasar, bangun jam 2-3 pagi buat masak, selain itu sayurnya juga di anter langsung ke pelanggan dengan sepeda~. Mungkin nyokap ketika itu harus nyepeda 4-5 km bolak balik. Setiap dagang, ada yang abis ada juga yang nggak, dan lauk yang kami sekeluarga makan pasti ya dagangan itu. Enaknya gitu sih, jadi gak ada yang basi. Yang paling baru, kami ngewarung kecil-kecilan di rumah. Jangan sangka ini gak ada cobaannya juga. Memang andaikata dibandingkan sama jualan lauk mateng dan jualan kacang bawang, ngewarung ini jauh lebih baik. Tapi you know, orang ngutang yang kabur itu bikin nyesek juga, apalagi kalo inget untung dari setiap item yang disediakan di warung kecil itu cuma seper sekian persen aja. 

Di tengah perjuangan sengit ortu saya itu, dari TK saya banyak sekolah di sekolah favorit yang sesuai dengan kualitas memungut uang spp lebih tinggi dari sekolah lain. Tapi ortu saya lebih dari support soal itu. Mereka pokoknya jor-joran banget kalo buat pendidikan, baik saya maupun adek saya sekarang. Tapi sejauh ini, saya bersyukur punya orang tua kaya mereka dan termotivasi banget sama kerja keras mereka sih jadinya. Saya cuma bisa berdoa, suatu saat, saya bisa bikin mereka lebih banga lagi. Saya gak bakal bisa bales jasa mereka tapi saya pengen mereka puas dan merasa sudah memilih jalan paling benar buat membesarkan saya dengan cara yang seperti ini. Cuma itu...

Tuh kan, yakan, wirausaha itu sucks! Hal ini juga yang bikin saya mundur dari cita-cita mau jadi fashion designer. Ya secara, profesi tersebut membutuhkan relasi, komunikasi, dan mental pengusaha juga selain daripada kreatifitas dan kesukaan terhadap fashion yang jadi satu-satunya modal yang saya punya. Saya rasa jadi akademisi lebih cocok buat saya. Ini bukan berarti saya menentang wirausaha lho~ Saya support banget kalo wirausaha di Indonesia berkembang. Tapi sepertinya bukan untuk saya. Ya, manusia kan dilahirkan dengan bakat yang berbeda-beda, jadi kalo ini nggak fit di saya, mungkin di anda pas kan? Gitu aja sih post saya kali ini yang cukup penuh dengan emosi ini.

Bagi seorang anak nggak tahu diri yang sampe sekarang masih nodong emak bapak, yang saya bisa lakukan cuma menggunakan amanah berupa nafkah dari bapak ibu dengan sebijak-bijaknya yang saya bisa. Saya belom becus cari uang sendiri bu, pak. Insyaallah kalo ada jalan ke profesi sambilan yang sekiranya cocok dan nggak terlalu memberatkan saya baik secara psikis maupun fisik saya mau kok. Tapi kalopun nggak, ya doain aja saya bisa sekolah bener, belajar maksimal, biar bisa meraih hasil maksimal pula buat ngejar beasiswa. Amin~

Sekedar saling mengingatkan sesama perantau, buat kalian yang udah bisa cari uang sendiri saya kagum, saya support. Teruskan! Kalian orang hebat! Buat yang sama halnya dengan saya, mari belajar bijaksana. Yang dikasih ke kita itu amanat, ibarat galah buat nyengget mangga di pohon yang tinggi. Kalo itu buat nyengget mangga, ya dipake jangan buat yang lain. Ayo belajar bertanggung jawab, kalo bisa justru kreatif gimana bisa kita pake galah itu buat mencapai mangga yang paling tinggi, yang paling manis. Cari uang itu susah, makanya buat mengeluarkannya harusnya ada alasan yang cukup kuat juga.



Yuanita Wahyu Pratiwi,
tumben lagi nggenah pikirannya~


No comments:

Post a Comment