Trending Topics

.

.

Monday, March 03, 2014

I NEED TO WRITE SOMETHING

Well, ini saat saat yang sangat genting buat anak kelas 3 SMA. Bagaimana tidak? Dalam rentan waktu tiga tahun yang didurasikan penuh untuk mengenyam pendidikan, tempaan pendewasaan mental bertumpuk hanya pada satu periode waktu di beberapa bulan terakhir. Sejak masa orientasi, sampai ujian semester yang kelima, peringatan untuk itu hanya berupa himbauan, preventif yang luar biasa samar, angin yang berhembus sambil lalu, tapi frekuensinya langsung naik seribu kali lipat di saat-saat terakhir ini. Belajar hanya soal menghapal, bercengkrama dengan alat tulis di meja belajar, mengotak atik rumus, mendengarkan ceramah guru dan sebagainya. Semua berulang bak pola, evaluasi hanya dilakukan untuk skala waktu yang pendek, dan kebanyakan hanya dari sisi akademik saja. Sedangkan masuk triwulan akhir 12 tahun karir pendidikan ini, yang ditagih evaluasinya bukan hanya akademis, tapi juga kesiapan mental, dan tentunya tanda tanya besar yang di awal kerap jadi angin lalu, dipikir sambil melaju, dan tanpa sadar garis finish sudah terlihat tapi ia masih kelabu; tujuan. Beberapa pendidik menyadari ini, menyadari kalau sistem adalah aturan maha kaku maha baku, dan tugas mereka sebagai makhluk yang berasa dan berindera adalah menafsirkannya kedalam bahasa manusia, mengalirkannya sebagai ritme hidup untuk para siswa bingung yang jadi tanggung jawabnya. Tapi kelabunya gelap sekali, warna putihnya masih jauh dari sekedar takaran yang seimbang dengan yang hitam.

Apa yang dulu saya pikirkan di saat saat seperti ini? Bohong kalau saya tak dihujam berbagai hantaman. Rasanya sekolah adalah tidur panjang, dan besok juga saya akan terbangun, menghadapi sesosok monster mengerikan bernama kenyataan. Universitas negeri adalah satu-satunya gerbang yang tak terlarang bagi saya untuk bisa terus melaju dalam ranah keilmuan. Subsidi pemerintah amat berharga buat warga menengah macam kami, maka tak ada ampunan atau opsi kedua berselam di institusi swasta. Sedangkan keadaan saya? Oh luar biasa. Saya minim persiapan. Teman-teman banyak yang telah mengambil kelas tambahan di luar sekolah demi meraih kursi emas yang ditargetkan. Berbagai jalur dilewati, berbagai latihan ujian dijalani demi meraih harga yang telah ditetapkan sejak awal. Tapi saya tidak. Salah jurusan di SMA membuat saya buta arah. Satu yang saya tahu, cukup sudah saya bersakit-sakit disini, di universitas, saya tak akan mengambil arah yang serupa dengan yang ini, hanya itu. Selepasnya pikiran saya benar benar kosong.

Oke soal pilihan, bisa dipikir dan direnungkan setiap sebelum tidur, tapi soal kesiapan? Saya juga nol besar. UN, kompetensi terdasar yang harus dilalui setiap kepala yang mau lolos dari pancungan predikat 'tidak lulus' pun harus saya perjuangkan mati-matian. Sementara untuk tes jurusan-jurusan yang saya minati, saya juga tak punya bekal. Saya berada di jurusan yang tidak mempelajari apa yang saya minati? Bimbel pun rasanya terlalu menguras biaya, apalagi harus ada back-up dana cukup bagi keluarga kami yang akan memodali saya kuliah. Semuanya seperti palu godam yang menghantam kepala saya setiap 30 detik sekali, tapi bukannya berlarut-larut stress dan jatuh gila, saya memilih untuk memikirkannya dengan cara lain. Bukannya belajar lebih keras, saya justru menutup rapat mata dan telinga saya dan menetapkan target pendek saja. Target utamanya, saya harus keluar dari jurusan kelam ini, dan target terdekatnya adalah lulus UN. Akhirnya saya ikut teman saya yang memanggil guru privat ke rumahnya dan belajar 3 hari dalam seminggu sepulang sekolah. Rasanya lelah bukan main, bahkan di hari libur pun, buku latihan UN dan soal-soal fotokopian dari sang guru tetap jadi santapan. Bukan karena saya ingin mengejar nilai. Usaha sekeras itu hanya untuk mengejar kata lulus yang saya butuhkan untuk keluar. Selama ini saya tak pernah belajar dengan gembira di kelas, oleh karenanya banyak kompetensi yang saya tinggalkan. Maka untuk periode ini saja saya berkeras hati, saya memaksimalkan semuanya selagi saya masih bisa, sampai batas-batas terpahit pun saya sentuh, hanya untuk lulus. Dan akhirnya, target tersebut saya dapatkan. Saya lulus, meski dengan nilai yang pas-pasan, saya tetap lulus, dengan usaha saya.

Ironisnya di saat-saat krusial tersebut, saya juga harus menentukan masa depan dengan memilih. Belum lagi pilihan yang dibatasi, bagaimana meyakinkan orang-orang sekitar, dan rasanya diremehkan. Ketika saya datang ke BK, dan bilang kalau saya minat di Sejarah yang passing gradenya rendah, mereka mensupport saya. Yang saya rasakan ketika itu, seolah menemukan penopang ditengah badai yang menghembus kejam ke arah saya, tapi hal yang sama tidak diterima oleh orang-orang yang memilih Pendidikan Dokter atau jurusan lain dengan passing grade tinggi. Bagaimanapun mutu sekolah adalah yang nomer satu, semakin banyak siswa yang diterima di SNMPTN, semakin baik nama sekolah. Semua orang bergerak dengan motivasi masing-masing. Memang sih, siswa juga akan kecewa jikalau tidak diterima, tapi motivasi berbanding lurus dengan tekad dan usaha. Mereka yang berani memilih, tentunya berani berkorban untuk pilihannya, dan sebagai konseling yang baik seharusnya mereka percaya itu.

Beberapa minggu kemudian, saya datang ke BK lagi. Kali ini air mata sampai turut campur tangan akibat emosi yang tak bisa ditahan dan tingkat kecengengan saya yang tinggi. Masalahnya tembok impian yang sudah saya bangun diatas penopang yang mereka berikan, mereka runtuhkan oleh sebuah steatment yang katanya dikeluarkan oleh beberapa universitas kalau mereka tidak memperkenankan acara pindah jurusan. Dan seketika itu juga, bendungannya pecah. Saya nggak tahu lagi yang harus saya perbuat, di rumah saya mencari info sebanyak-banyaknya di internet, untuk sekedar menemukan argumentasi yang bisa membantah mereka. Dan pada akhirnya, meski tak cukup kuat saya dapatkan argumentasi semacam itu, saya tetap nekat, mempertaruhkan seluruh modal kesempatan paling emas yang saya punya untuk sebuah harga yang saya inginkan.

Belum lagi problem dengan orang tua. Saya bersyukur saya punya orang tua yang seperti mereka. Tapi bukan berarti semuanya tanpa ganjalan. Miris juga jika mendengar kisah teman-teman yang berbelok sangat jauh dan malah 'gagal' karena tuntutan orang tuanya. Meskipun begitu, jika komunikasi dalam sebuah keluarga berjalan dengan baik, orang tua adalah pribadi yang sangat mengerti kita. Mungkin adakalanya komunikasi kita dengan mereka tidak seintens dulu, tapi mereka tetap orang yang mengenal kita paling baik dibandingkan siapapun. Saran orang tua adalah yang paling dicari ketika kita tak tahu harus kemana. Tapi lain halnya dengan memaksakan. Ada kalanya orang tua memang menganggap kita belum bisa bertanggung jawab. Orang tua kerap memilihkan jalan karena khawatir kita salah jalan. Mereka itu lebih kaya pengalaman, mereka sudah belajar dari banyak kegagalan, dan tak ingin kita merasakan hal semacam itu. Oleh karenanya, yang dipilihkan orang tua kerap kali adalah 'jalan aman'. Berlawanan dengan itu, bocah minim pengalaman seusia kita justru memiliki keinginan kuat terhadap hal-hal yang diminati. Sering kali hal-hal tersebut adalah hal-hal baru yang mengundang banyak kekhawatiran para orang tua. Begitupun dengan orang tua saya.

Ayah saya, adalah orang yang mengajari saya menjahit pertama kali, tapi ketika dulu saya pernah ingin menjadi desainer, beliau nggak berkomentar sama sekali. Ayah saya juga yang menularkan kecintaan luar biasanya pada sejarah, tapi ketika saya memutuskan untuk masuk sejarah, ia sempat kecewa. Waktu saya masih berkeinginan menjadi desainer di masa-masa SMP dulu, saya disarankan untuk menjadi guru bahasa Inggris. Dan saya menolak itu. Sering kali diskusi yang diawali dengan gurauan-gurauan berakhir kolot. Tapi sungguh, meski saya kenal guru-guru hebat, saya ingin bisa lebih jauh dari itu. Pikiran saya ketika itu, dunia ini bukan hanya untuk ditonton dari balik meja, tapi untuk dijelajahi dengan sebenar-benarnya. Seiring dengan waktu, saya mulai menemukan potongan baru dari puzzle kehidupan saya, kelas satu SMA, saya sempat berkeinginan mejadi diplomat atau profesi lain yang semacam tukang bicara internasional lah, dan ke HI lah tujuan saya yang selanjutnya berlabuh. Tapi semuanya berubah lagi ketika saya masuk ke jurusan IPA. Saya mulai memiliki sudut pandang lain. Orang-orang di jurusan ini, jelas memiliki pandangan yang jauh bersebrangan dengan saya. Saya sempat mengira bahwa orang-orang di jurusan sebelah lah yang berpandangan seperti ini, tapi nyatanya tidak. Saya mulai melihat segala hal menjadi sangat sentimentil, dunia ini dipenuhi abstraksi yang gila dan tak bisa diterka dengan sekedar konverensi ilmuwan atau penelitian bersama. Hal-hal berbau humaniora terdengar ajaib dan menggelitik. Kita bisa melihat sisi biasa dengan aneh, begitu pula sebaliknya. Selain itu, entah mengapa, saya tak suka hidup di tempat terang yang disoroti banyak orang, hidup di tempat aneh yang orang lain tak betah berlama-lama di dalamnya justru yang kerap kali saya minati, dan disinilah akhirnya saya, menemukan satu lagi keanehan yang nampak seperti sudah terpola dengan rapi pada diri saya sendiri. Saya, berbelok ke sejarah. Bidang keilmuan ajaib yang menurut saya penuh dengan perasaan.

Meski beberapa orang kecewa, beberapa kali saya tersinggung, dan beberapa-beberapa lain yang juga cukup menyakitkan, saya sudah melupakan rasa pahit semacam itu dan sekarang saya bahagia. Lebih bahagianya lagi, ada banyak orang yang ternyata seperti saya. Tertarik dengan hal yang sama, memiliki latar belakang dan kisah yang mirip, dan kini terkumpulkan menjadi satu di sebuah komunitas akademik resmi, Ilmu Sejarah FIB UGM, angkatan 2013. Saya menikmati buku-buku yang saya baca disini, kuliah para dosen yang seru, dan teman-teman yang 'sejalan'.

Seorang guru saya sempat bilang di hari setelah saya diterima SNMPTN, "Yuan, harus diambil ya, bersyukur." Bukannya bilang selamat, beliau malah bilang begitu. Saya nggak tahu apa yang ada dipikiran beliau ketika itu. Mungkin jurusan ini dikira sebagai tempat pelarian saya, dan ternyata saya keterima, kenyataan yang penuh kejutan dan sepele, mungkin begitu. Dan karena saya main main, mudah buat saya meninggalkan ini dan hancurlah reputasi sekolah di universitas saya sekarang. Padahal ini pilihan serius yang saya sangat syukuri. Kalau beliau nggak bilang apa-apa, mungkin saya bakal lebih berkenan. Haahhh~ Orang tua saya juga sempat menuduh saya menghindari persaingan, ya dalam bahasa yang lebih halus sih. Tapi saya akhirnya bisa menjelaskan sampai mereka menerima alasan saya. Meski saya yakin mereka masih sedikit kecewa. Masih, kali ini masih dalam tahap saya menjelaskan kalau mereka nggak akan kecewa.

Di saat-saat genting menjelang pengumuman UN, SNMPTN, dan lainnya, saya lebih memilih untuk menutup rapat mata dan telinga seperti kata saya tadi. Dan saya rasa itu yang terbaik. Saya menyerahkan semuanya kepada Tuhan, karena usaha saya hanya bisa sampai disini, sambil meyakini dalam hati kalau saya akan mendapatkan apa yang terbaik bagi saya dan beberapa saat kedepannya, satu bulanan lagi setelah saat itu, saya akan baik baik saja, berbahagia dengan dunia baru saya, entah seperti apapun mereka.





SEMANGAT BUAT ANGKATAN 2014!
kalian sudah berjuang selama ini, tinggal sedikit lagi~

sebagai hiburan, ini video yang suasananya cocok XD




No comments:

Post a Comment