Berkenaan dengan diusiknya
ketentraman kami, saya menulis testimoni ini sebagai sebentuk dukungan untuk
warga CI1 dan CI2. Sayangnya, saya kok nggak masuk di grup itu, ya? Padahal,
pengen deh turut memeriahkan acara akrab-akraban kalian~#whutt?!
Mendengar penuturan dari teman
saya soal betapa serunya acara semalam, hati saya terpanggil. Sejenak, saya
jadi seakan mengerti perasaan orang-orang yang tawuran sampe bacok-bacokan itu
deh, toh versi lebih ringannya apa yang dialami tukang tawuran itu adalah apa
yang kami sedang alami sekarang kan?
Anak muda, kadang kala adalah
amunisi paling berbahaya. Mungkin ini latar belakang dari penuturan Ir.
Soekarno yang satu ini:
“Beri aku seribu orang tua, maka akan kucabut gunung Semeru
dari akarnya. Beri aku seorang pemuda, niscaya akan kugoncangkan dunia.”
Dan mungkin juga, ini yang
melatar belakangi Nazi dibawah komando Ernest Roehm, mempercayakan garda
terdepannya pada pemuda-pemuda Jerman yang usianya masih belasan tahun yang
kita kenal dengan SA. Pemuda juga kan, yang jadi pemicunya Rengas Dengklok.
Kalau bukan karena pemuda, serangkaian peristiwa sejarah diatas nggak akan
pernah terjadi. Pemuda memang luar biasa, dan masa-masa luar biasa itulah yang
saat ini kami alami. Emosi yang labil, semangat yang menggebu-gebu, motivasi
yang luar biasa, pikiran pendek, tidak penuh pertimbangan, dan spontanitaslah
yang kiranya melatar belakangi pergolakan demi pergolakan yang kami, para
pemuda alami. Tapi ayolah, ini fase yang sangat biasa dalam kehidupan. Pemuda
yang tidak mengalami ini mungkin bukan pemuda yang sesungguhnya. Dan dikala
kita tua nantinya, kejahiliahan masa lalu inilah yang akan kita banggakan dalam
kisah demi kisah yang kita tuturkan pada generasi penerus kita. ><d
Sebagai seorang yang berpengalaman
terlibat dalam beberapa aksi bentrok sebelumnya, saya jujur cukup merindukan
yang seperti ini. Yah, begini-begini saya ini mantan profokator yang pernah
memecah sekelas saya jadi dua kubu waktu TK. Waktu SD, saya pernah hampir
tawuran di TK Nuri deket kantor polisi sama beberapa anak-anak dari salah satu
SD swasta di wilayah tersebut, dan percaya atau nggak, saya rasa Tasya, teman
sekelas saya saat ini, adalah salah satu dari anak SD swasta yang waktu itu
tawuran sama saya dkk. di TK Nuri. Saya dan Feby juga pernah ikut tawuran
antara dua SD yang bertetangga yakni SDN Karang Asih 01 dan 13 di lapangan
sekolah. Waktu SMP, saya jadi orang yang termarginalkan selama kelas tiga, dan
masuk blacklist-nya organisasi kelas
hanya karena saya males bersosialisasi dengan para pejabat kelas lainnya.
Habis, gimana saya nggak males coba, keseluruhan dari mereka, kecuali Faisal,
berasal dari kelas 8 yang sama dan kelakuan mereka? Widih, jangan tanya. Gua
tau lu semua anak gahol, tapi jangan harap gua mau jadi pengekor lu semua haha,
gua lebih bahagia jadi pengkhianat dan termarginalkan daripada harus mengalah
pada ego dan kekacrutan kalian. Yaah, dilihat jadi riwayat yang jelek tersebut,
saya yang dari luar nampak baik-baik ini cukup jahat juga#kesessese~*plakk*.
Tapi kalian boleh tanya sohib-sohib saya, jika tak dikhianati, saya ini cukup
setia :D
Dan kesetiaan itulah yang membuat
saya jadi cukup rasis, hoho…
Sebagaimana anak muda lainnya,
buat saya almamater bisa jadi sebuah isu yang riskan. Masalahnya, sebuah
almamater dibentuk diatas pondasi solidaritas, rasa persaudaraan, dan
kesaling-percayaan yang tinggi. Unsur-unsur yang menjadi pondasi almamater
tersebut lantas bisa mengikat dengan begitu kuat, apalagi dengan latar belakang
usia kami yang masih tergolong anak muda. Dan pengusikan yang dilancarkan
kepada kami tak ubahnya dengan aksi membangunkan naga yang tertidur. Satu
dihina, yang lain jelas ikut tak terima, maka beginilah jadinya.
Konflik yang sedang terjadi
adalah yang kedua kalinya. Kedua konflik ini sama-sama merupakan pergesekan
antara dua kelompok yang sama sama dianggotai anak muda. Saya bilang juga apa,
yah, namanya juga anak muda, masalah sedikit bisa jadi nyelekit. Pertama cuma
konfliknya anak CI 1 sih, tapi lawannya juga anak kelas 12 Billing perempuan,
dan ini merupakan rantai lanjutan dari konflik CI 1 yang sebelumnya. Tapi yah,
itu semua sudah gone. Dan konflik
yang sekarang ini yang harusnya saya bahas.
Lain dengan yang pertama, konflik
kedua ini menarik CI1 dan CI2 (XII) ke dalamnya. Yang menjadi lawan pun bukan
lagi kelas 12 yang lama, tapi rekannya, sesama kelas 12. Ribut-ribut antar
siswa-siswi di sekolah kami akibat isu CI sebenernya sering terjadi sih.
Biasalah, kelompok minoritas yang kerap dianggap diistimewakan memang menjadi
kelompok yang selalu memancing keonaran yang kalau dipikir secara rasional pun
sebenernya nggak perlu. Tapi seperti yang saya bilang tadi, karena kami ini
anak muda, jadi bukan waktunya buat kami untuk lantas legowo dan terima di
sindir selap-selip kanan kiri. Itu sih nanti, kalau usia kami sudah bertambah
jadi dua kali lipat dari sekarang mungkin. Tapi buat detik-detik yang menaungi
petualangan kehidupan kami saat ini, lebih baik semuanya dinikmati. Karena
inilah fasilitas CI yang sesungguhnya. Kita mengenyam pendidikan SMA yang
merupakan jenjang pendidikan wajib terakhir ini hanya dua tahun lamanya, dan
inilah fasilitas yang tak tertera di brosur maupun pamflet CI waktu kita daftar
dulu. Oleh karena kita dituntut untuk dewasa dengan lebih cepat dibanding yang
lain, kita jadi harus mengalami peristiwa-peristiwa yang nggak dialami oleh
siswa normal lainnya. Kita dituntut untuk menyelesaikan masalah vertikal maupun
horizontal yang nggak berenti-berentinya mengusik ketentraman kita, tapi itulah
yang membuat kita pada akhirnya nanti bisa betul-betul menyamai tingkatan
mereka. Kita, sebagaimana landasan kerja dasar program ini, adalah SDM-SDM yang
diasumsikan mampu melewati proses pengkarbitan ini.
Sekolah bukan hanya soal nilai
konkrit di ijazah dan rapor, tapi juga nilai implisit yang kualitatif, tapi
nyata bisa kita rasakan keberadaannya. Toh, orang yang sekolah, dan nggak
sekolah secara mental juga jelas bisa dibedakan. Jadi untuk lulus dalam waktu
dua tahun, yang kami butuhkan bukan hanya nilai diatas KKM yang rata-rata 80,
tapi juga integrasi sikap dan moral yang bisa memantaskan kami untuk lulus
lebih dari sekedar pemantasan oleh nilai konkrit tersebut. So just let the life flow itself, dan nikmati alurnya.
Masalah-masalah yang mendera kita nyatanya meningkatkan level kita untuk
menjadi lebih dewasa, dan karena waktu yang sempit inilah, masalah yang kita
hadapi kadang sedikit lebih berat dari masalahnya mereka yang menempuh
segalanya secara normal.
Menurut saya, inilah inti dari
program CI yang sesungguhnya. Kalau anda bergabung dengan kami, berarti
pengkarbitan inilah yang anda inginkan, bukan begitu? Tapi yang saya heran,
bukankah para kakak-kakak inilah yang memiliki kesempatan untuk tumbuh secara
normal, aman, dan nyaman serta berkesempatan untuk mengalami waktu tumbuh yang
baik? Tapi kok dengan tidak dewasanya kalian malah yang memulai ini semua?
Hahaha~
Pisang yang bisa matang di pohon
tanpa paksaan dan dengan waktu yang sempurna nggak pada tempatnya iri dan
merasa tersaingi dengan komoditi karbitan macam kami, lho. Tapi pada
kenyataannya, memang nggak semua pisang bisa dikarbit. Pisang yang nggak pada
tempatnya dikarbit bisa jadi jatuh busuk dan menghitam, itulah mengapa
sebelumnya kami melewati tahap penyeleksian.
Kita adalah warga dari sekolah
yang sama, dan posisi kita sebagai peserta didik adalah setara. Tapi apabila
anda sekalian menginginkan keseruan semacam ini, menginginkan keributan ini
tetap terjadi, boleh lah~ Karena selama kita masih anak muda, kita tak
menyalahi satu pun aturan. ;D
One of them, ©2013
No comments:
Post a Comment