Trending Topics

.

.

Tuesday, March 19, 2013

Generasi UN, Generasi Cacat Potensi



Senin, 18 Maret 2013, kami para siswa kelas dua belas di sebuah SMA Negeri baru saja melihat dengan mata kepala kami sendiri bagaimana nasib bermain di hadapan mata kami. Beberapa menit yang lalu, tak ada beban yang cukup berarti bagi mayoritas kami, namun sedikit demi sedikit semuanya berubah mulai jam istirahat. Perubahan jadwal demi pengintensifan pembelajaran mata pelajaran UN membuat pergantian jam pelajaran, waktu istirahat, dan pembagian jadwal setiap harinya terasa samar buat kami. Belum lagi, jadwal dadakan yang tak bisa dipaksakan ini seringkali mengalami bentrok yang membuat oknum pendidik kadang membagi perhatiannya ke beberapa kelas sekaligus. Semua ini sedianya tak begitu mengganggu jika tak ada nilai UAS yang dipajang di depan ruang guru dan sesi ‘tamparan’ motivasi tadi.

Saya mendapati nama saya sebagai salah satu dari yang terpampang dengan kenyataan rata-rata nilai yang miris. Tapi ini tak cukup dijadikan aib, karena pada kenyataanya saya bukan satu-satunya yang bernasib demikian, saya bukan satu satunya yang berdiri menertawai nilai sendiri yang hancur-hancuran, melainkan satu dari sekian banyak. Saya tak membela siapapun, dan saya bersyukur atas itu. Untunglah saya bukan tipikal orang yang lantas mengintimidasi kesalahan sendiri ketika masih banyak yang seceroboh saya. Saya masih menikmati sisi manusiawi saya, itulah mengapa ini bukan merupakan sebuah beban yang berat ketika saya kemudian memutuskan untuk kembali ke kelas dan melupakannya. Yang terlintas dalam benak saya hanyalah pemikiran semacam ini; andai kata UN dilakukan dengan benar-benar bersih, jujur, dan tanpa kecurangan, lebih dari delapan puluh persen siswa di sekolah yang tergolong favorit di regionalnya ini tidak lulus.

Sebagai salah satu yang merasakan efek pesatnya kemajuan teknologi, saya menyimak bagaimana informasi-informasi menyebar dengan begitu cepat ke banyak orang lewat berbagai media, sekalipun informasi tersebut merupakan informasi yang tergolong ‘gelap’ semacam pembocoran soal atau semacamnya. Tapi ternyata, tadi saya dengar dari Wakasek saya sendiri bahwa kabar yang selama ini beredar tersebut benar adanya. Mereka, alumni kami, lulus, dengan bantuan tak sepantasnya dari para pendidiknya. Tapi sayangnya ini tak lagi bisa dilakukan pada generasi kami karena sistem yang kian diperketat. Dan adalah nasib buruk kami, untuk menjadi yang lulus pada tahun ini, yang menjadi kelinci percobaan untuk teknis baru ini. Percobaan yang sedianya mempertaruhkan harga diri dan masa depan kami.

Tahun ini, yang saya simpulkan dari hasil tamparan motivasi tadi, tipe soal UN terdiri dari 30 paket, dimana setiap paketnya sudah dibundel satu paket dengan lembar jawabannya, dan sistem pembagiannya tak lagi berpeta, tapi acak. Jadi, dengan demikian, rupanya perancang sistem ini semakin mahir menyiasati kecerdikan para peserta UN, dan oke, inilah yang mereka inginkan. Memberlakukan sistem kejam ini berlaku pada kami dan membiarkan yang sudah lolos dengan kecurangan hidup sejahtera diluar sana.


Mengapa Harus UN?

Sekarang saya tanya, sesungguhnya manakah sisi baik dari UN?
Dari jawaban yang hanya sekedar wacana klise, saya banyak mendengar bahwa UN sejatinya adalah parameter yang akurat untuk dijadikan tolak ukur mengenai kompetensi yang harus dimiliki setiap siswa yang akan diluluskan dalam skala nasional. Bahwa setiap negara harus memiliki acuan mengenai sudah seberapa maju pendidikannya, atau seberapa maksimal persiapan pematangan generasi bangsa yang dilakukan. Tapi wahai orang-orang yang berkepentingan dalam hal ini, yakinkah anda sekalian bahwa inilah yang anda sekalian ukur? Bukannya anda semua justru fokus untuk mengukur seberapa manusia masih bisa menggunakan otaknya untuk menyiasati pengetatan sistem anda dengan cara curang yang kian fleksibel?
Selain dapat dijadikan tolak ukur pendidikan nasional, apa lagi kecakapan dibalik sesosok monster bernama UN? Untuk mengurangi kepadatan penduduk karena banyak yang bunuh diri? Lantas apa? Yang ada justru sistem yang terus dipertahankan ini memiliki begitu banyak kekurangan. Di bawah ini adalah beberapa kekurangan UN yang dapat saya simpulkan.
1.      
      1. Sistem SKL
Sistem SKL membuat jauh sebelum UN, peserta didik hanya memokuskan pembelajarannya pada kompetensi yang tertera di dalamnya saja, padahal sesungguhnya mereka belajar lebih banyak dari itu selama mereka bersekolah.

2.   2. Generalisasi Berbagai Tipe Peserta Didik
Sebagai manusia yang beragam rupa dan pikirnya, peserta didik tak bisa digeneralisasi. Kurikulum pun sepantasnya dibuat fleksibel agar bisa disesuaikan dengan penggunanya. Sistem UN terlalu menggeneralisasi dengan hanya mengujikan pelajaran-pelajaran tertentu pada semua jenis siswa, dan hanya terpisah secara sederhana melalui jurusan IPA dan IPS atau IPA, IPS, dan Bahasa. Bahkan, siswa yang berjiwa IPS, yang di SMAnya memilih IPS pun harus bergelut dengan IPA semasa SMP demi menjamin kelulusannya. Generalisasi ini seolah menutup mata dari kenyataan bahwa mungkin saja, peserta didik peserta didik yang tidak memiliki kecakapan untuk bisa lulus memiliki kemampuan di bidang lain yang bahkan melebihi mereka yang lulus UN dan bisa saja membuatnya memiliki pekerjaan bagus di luar sana. Nyatanya terlalu banyak potensi yang terkubur oleh generalisasi ini.

3.    3. Soal Pilihan Ganda yang tidak Kompetitif
Seperti kata guru les saya, soal pilihan ganda itu sebenarnya banyak memiliki kekurangan. Pertama, cenderung tidak bisa membedakan yang mana yang benar-benar menguasai materi, yang mana yang bandit kelas, atau yang mana yang bejo. Kenapa? Karena bukan perihal sulit untuk menemukan ketiga tipe orang tadi memiliki nilai yang sama dalam satu tes. Si bandit kelas yang licik bisa saja memeras jawaban dari yang lain, sedangkan si bejo yang pasrah, bisa saja beruntung, sehingga nilai mereka pun sama dengan si rajin. Bayangkan, usaha keras si rajin, kepasrahan si bejo, dan kelicikan si bandit kelas akhirnya dihargai SAMA. Mungkin ini bukan masalah pada ulangan harian, karena nilai tetap berada di guru, dan guru memiliki kuasa untuk melakukan penilaian yang lebih objektif daripada sekedar lembaran jawaban ujian, tapi apa komputer bisa melakukannya? Apa scanner juga menginput kelakuan baik, prestasi non akademik, dan komponen-komponen lain yang pada kenyataannya kadang kala lebih berguna bagi murid-murid tersebut dibanding sekedar nilai ujian yang bagus?

4.    4. Dampak
Ujian Nasional sendiri sudah merupakan beban mental bagi para pesertanya, lantas bagaimana dengan hasil dari UN itu sendiri? Tentunya lebih dari itu. Bunuh diri, gangguan kejiwaan, keputus asaan, perasaan rendah diri, mengisolasi diri dari pergaulan, semua itu adalah realita yang terpampang yang jumlah kasusnya berbanding lurus dengan angka ketidak berhasilan atau ketidak lulusan peserta UN. Teknis yang berbelit yang sebenarnya dimaksudkan untuk meminimalisir kecurangan semakin membuat harga keadilan melonjak mahal. Lantas bagaimana dengan siswa siswa di sekolah pedalaman yang memperjuangkan hak memperoleh pendidikannya setiap hari, menempuh perjalanan penuh rintangan, dan akhirnya tidak lulus hanya karena minimnya persiapan mereka yang berbau teknis karena sekolah mereka kesulitan untuk mendapatkan akses informasi. Sementara daerah lain meraih angka kelulusan seratus persen oleh kecurangan. Apa itu adil? Sebesar apapun pengaruh yang dialami para penggagas sistem ini, tidak akan menandingi pengaruh yang tercipta pada para ‘penikmat’ sistem ini. Kami, murid dan tenaga pendidik yang belum siap dengan sistem ini dan terpaksa melakukan kecurangan adalah korban yang sesungguhnya.


Generasi Cacat Potensi

Selama ini saya sering mendengar kalimat seperti ini; “Proses itu jauh lebih penting ketimbang hasil.” Atau “Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.” Atau bahkan, “Untuk bisa bertahan kita bukan dituntut untuk menjadi orang pintar, melainkan orang yang kreatif.” Tapi sungguh miris, kalimat-kalimat petuah tersebut bertolak belakang dengan UN.

Secara sederhana kita bisa melihat UN sebagai mesin yang mencetak generasi yang memiliki kompetensi mumpuni di bidang yang diujiankan, bukan begitu? Dalam kasus ini kita diajar, diajar untuk memiliki kompetensi yang bisa membuat kita lulus dan memiliki ijazah sebagai tiket untuk dijadikan robot untuk perusahaan asing yang banyak menjajah kita secara implisit dewasa ini. Semakin tinggi tingkatan ijazah yang anda miliki, semakin tinggi pula kesempatan anda untuk menduduki posisi yang nyaman di perusahaan asing tersebut. Namun sadarkah anda, setinggi apapun posisi anda, anda hanyalah pesuruh selama anda masih memiliki atasan. Dan sayangnya sepertinya inilah yang kita kejar dari UN. Bukankah sebagian besar, para lulusan sekolah menengah atas atau sederajatnya lebih banyak yang memilih untuk cari aman, join ke yayasan outsourcing, dapat pekerjaan dengan sejumlah uang pendahuluan, menerima gaji pas-pasan, menunggu diangkat jadi karyawan tetap, dan akhirnya jadi karyawan tetap dan nyaman dengan posisi tersebut daripada memilih untuk mengembangkan potensinya yang sebenarnya bisa saja membuatnya memiliki bawahan sekelas bosnya sekarang.

Saya melihat ini sebagai momok yang membayangi generasi kami. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya adalah salah satu dari Generasi UN. Sejak SD, kami dituntut oleh apa yang namanya UN dan itulah mengapa saya mulai hapal wajah sistem ini yang sebenarnya. Kami sejak SD dipaksa untuk menguasai pelajaran UN yang tidak kesemuanya sebenarnya kami kuasai dan kami suka. Kami dipaksa untuk melupakan potensi kami untuk terus belajar dan belajar demi meraih secarik kertas yang menyertifikasi kelulusan kami.

Oleh sistem UN kami dipaksa untuk merobotisasi diri kami, dan melupakan sisi manusiawi kami. Kenapa? Karena sistem UN menggeneralisasi segala pluralisme diantara kami, menggeneralisasi keberagaman potensi kami dan membuat kami tak ubahnya robot yang dicetak, dan dirakit dengan pakem-pakem yang persis sama. Sisi manusiawi kami didustakan oleh persoalan teknis. Sebuah robot diprogram untuk melakukan sesuatu yang persis sama antara satu dengan yang lain setiap harinya sehingga kecerobohan mereka sangat bisa diminimalisir. Tapi bagaimana ketika sistem ini dipaksakan pada manusia? Soal bagaimana persoalan teknis kecil saja bisa mempengaruhi masa depan seorang anak manusia. Sekali lagi, saya konklusikan, kami hanya manusia biasa, maka berikanlah kami ruang untuk tumbuh sebagai manusia.

Secara teoritis, UN diadakan untuk mengukur kompetensi kami. Tapi tak setiap individu membutuhkan kompetensi yang sama untuk dapat menjadi orang yang berguna bagi sesamanya. UN hanya mengukus tanak-tanak otak kiri kami, sedang otak kanan kami dibiarkan teronggok tak memungsi. Intuisi soal seni, keolahragaan, keterampilan, dan hal-hal yang bersifat ‘kanan’ lainnya dikubur bersama dengan generalisasi ini. Seniman-seniman sekolahan yang masih sanggup bertahan hanya mereka yang cerdik mencuri waktu, atau mungkin menutup mata dari kenyataan dan memilih untuk bersenang-senang melegakan dahaga atas potensi mereka dibanding terpuruk dan jatuh gila. Jika sistem yang ada sekarang bisa diperbaiki, mungkin kita tak perlu lagi menjadi budak perusahaan asing lagi kan? Jika sistem penggeneralisasian ini bisa digantikan dengan yang lebih beradab, kita tak lagi akan kekosongan figur teladan, figur penggebrak, figur pelopor, dan figur figur lainnya yang akhir akhir ini lenyap dari pandangan kita.

Ini adalah realita bagaimanapun anda mengelak. Selama ini, saya termasuk yang berpikiran kritis dan kerap bertukar pikiran dengan orang-orang lain seusia saya yang juga punya pemikiran yang sama kritisnya. Dari diskusi-diskusi itu kerap kali saya terperangah dalam hati oleh seberapa briliannya pemikiran orang yang berbicara dihadapan saya kala itu. Dan orang-orang itu ada banyak tak hanya satu, tapi sayangnya mereka tak lain jugalah para generasi UN yang terposisikan sebagai korban dalam babad ini.


Harapan Kami

Tulisan ini, adalah pemikiran saya sejak sekian lama yang sudah beberapa kali saya kemukakan dalam diskusi atau dalam tulisan lain. Tapi kembali saya menulis tentang hal yang sama atas dasar keprihatinan saya terhadap peristiwa di sekolah hari ini. Saya rasa banyak diantara kami yang dikumpulkan di auditorium tadi, atau mungkin kami seluruh peserta UN tahun ini, yang menangis dalam hati, berharap kabar buruk yang menakut-nakuti kami ini hanya mimpi siang bolong. Tapi nyatanya tidak demikian, ini seratus persen nyata. Saya tak ingin meratifikasi validitas dari berita atau pengumumuman-pengumumuman lain yang disampaikan guru-guru di auditorium tadi, karena disini posisi saya masih sebagai anak didik, peserta UN yang mau tidak mau harus tunduk kepada sistem yang ada, bukan sebagai kritikus atau pengamat sistem pendidikan. Kapasitas saya masih hanya sebatas ini, dan inilah yang kiranya dapat saya lakukan sesuai dengan kapasitas saya. Saya harap anda-anda yang saya maksud mau mendengar suara ini.

Saya sebagai generasi penerus bangsa, sebagai salah satu tokoh yang teraniaya dalam skenario kejam ini, memimpikan sistem pendidikan ideal yang bisa memberikan kami kesempatan untuk tumbuh menjadi diri kami sendiri. Saya hanya manusia biasa yang tak suka dipaksa, tak suka dibungkam dan dirobotisasi. Kembalikan lagi hak kami untuk dapat belajar dengan kesukacitaan, kegembiraan, dan keantusiasan tinggi jika tak ingin membunuh lebih banyak lagi harapan bagi masa depan negeri ini. Saya berkata demikian, menulis tulisan non fiksi ini karena saya peduli. Saya ingin, sekalinya pun saya sudah lulus nanti, generasi kedepannya tak lagi merasakan kesengsaraan yang sama. Saya tak peduli soal nasib, keberuntungan, atau apalah itu. Kalau saya dihadapkan dengan realita pahit ini, berarti Tuhan menginginkan saya untuk menjadi individu yang lebih tegar yang mampu melihat kasus ini secara keseluruhan, yang juga merasakan pahitnya sehingga saya bisa mengangkatnya kedalam pemikiran-pemikiran saya dan berpikir untuk menemukan solusinya. Saya bukan individu yang lantas membenci negara saya dengan ketidak adilan ini, karena bukan negaralah yang mendalanginya. Orang-orang di pemerintahan sanalah yang kurang teliti dalam mencermati kami, dan adalah tugas generasi selanjutnya untuk lebih teliti lagi. Saya mencintai negara saya, saya menginginkan yang lebih baik bagi negara ini kedepannya, terutama soal sistem pendidikannya karena inilah yang sesungguhnya menjadi tonggak kesinambungan kedaulatannya. 

4 comments:

  1. GUE SETUJU 1000 KALI SAMA POSTINGAN INI!

    ReplyDelete
    Replies
    1. kahhahaha~
      sip, gua jamin, sesama korban yang teraniaya pasti setuju hooho
      mari kita berjuang anak GIZI!!

      Delete
  2. Semangat belajarnya biar lulus....
    Niche blog :)

    ReplyDelete