Trending Topics

.

.

Saturday, March 02, 2013

Mengecap Esensi Nasionalisme di Pelosok Bumi Merah Putih

Posting 17 Agustusan yang, yaah, amat sangat telat. Sebenarnya saya menunggu kesempatan dimana saya bisa menyisipkan foto-foto yang sudah saya ambil ke dalam posting ini, tapi sampai sekarang nyatanya saya belum sempat memindahkan foto-foto tersebut. Yah, daripada tertunda semakin lama, lebih baik saya post saat ini juga. Enjoy~

Oke, sesuai dengan judul, mari kita bersama buka forum doktrinisasi ini#halah, maksud saya jajak pendapat ini dengan saling mengucapkan…

“SELAMAT HUT REPUBLIK INDONESIA YANG KE 67!!”*tebar confetti*


Gimana nih, HUT RI kalian? Serukah? Ramekah? Membangkitkan nasionalisme kah? Atau malah boring nan sepi gara-gara pada puasa ya? Aduuh… jangan kalah sama puasa dong! Bukan berarti kita harus menanggalkan puasa untuk Independence Day kita tercinta ini, melainkan tetap berusaha memaknainya ditengah segala keterbatasan ruang gerak yang ada. Toh, tanggal 17 Agustus pertama yang bermakna sungguh tinggi buat negeri kita juga jatuh di bulan Ramadhan kan? Nah, seharusnya ini menjadi kesempatan buat kita untuk merasakan, bagaimana sebenarnya rasanya memperjuangkan detik-detik kemerdekaan ditengah deraan haus dan lapar.

Mirisnya, untuk generasi sekarang, 17 Agustus bak tidak memiliki kepentingan apapun lagi. Mungkin sebagian memang masih ingat kalau ini hari kemerdekaan kita, tapi hanya do nothing dan berpikiran begini: Kita sudah merdeka, mau diapakan lagi. Mereka yang demikian sesungguhnya tak menyadari arti penting dari sebuah peringatan. Padahal secara mendasar, peringatan justru merupakan satu-satunya dimensi penghubung antara masa kini dan masa lalu.

Yah, untuk kalian yang berideologi seperti apa yang saya kemukakan tadi, coba dipikirkan ulang, apa ideologi yang kalian pilih untuk lakukan ini adalah yang benar? Tentunya bukan ‘kan?

Setidaknya saya beruntung, beberapa tahun belakangan seorang sahabat saya, bokap saya, seorang guru saya disekolah dan beberapa pelajaran favorit saya menyadarkan saya mengenai seberapa teguhnya tugu nasionalisme seharusnya. Tapi tugu yang hampir roboh itu hanya bisa ditegakkan oleh kekuatan bahu-membahu dan semangat gotong royong dari seluruh rakyat negeri ini. Sayangnya lagi, kekuatan tersebut hanya berlaku kala rakyat itu demikian mencintai negerinya, dan untuk menemui mereka yang berideologikan demikian, sulitnya tak ubah menangkap teri di air berlumpur.

Mereka, yang banyak menyadarkan saya tadi, begitu banyak memberi tahu saya dan menjadi tempat bagi saya untuk bertukar pikiran soal cinta terhadap negeri ini. Mereka membangun kesadaran pada diri saya dan menumbuhkannya dengan subur, kesadaran jikalau sedianya memang telah begitu banyak yang negara ini berikan untuk warganya dan adalah tugas utama seorang warga negara untuk meresponnya kembali, berterimakasih dan melakukan yang terbaik untuknya.

Saya cinta negeri ini, dan saya sadar cinta ini jauh lebih menyejukkan jiwa saya dibanding cinta soal pengalaman pribadi saya yang cukup mengecewakan. Meski masih menduduki peringkat setelah kepada Tuhan dan orang tua saya tentunya. Dan buat pribadi saya sendiri, peringatan tujuh belas agustus tahun ini agak berbeda, atau sangat berbeda mungkin.

Sejak beberapa tahun terakhir, bulan Agustus bertepatan dengan bulan Ramadhan, dan ini tak bisa dipungkiri meminimalisir kemeriahan. Bahkan saya hampir jatuh rindu kepada semarak lomba-lomba dan segala macam parade yang biasanya amat mudah ditemui. Di kali pertama tujuh belas Agustus Ramadhan, mungkin masyarakat banyak yang masih semangat dan optimis dalam menyongsongnya sehingga mereka masih menyemarakannya di malam hari, tapi kian kemari, semangat itu kian memudar.

Lingkungan tempat tinggal saya didominasi oleh dua jenis kelompok masyarakat. Kelompok pribumi yang kebanyakan berada di usia yang tidak produktif lagi, dan kaum pendatang yang sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaan mereka. Anak-anaknya terlalu awam karena tak tahu apa-apa sedangkan para pemudanya begitu acuh soal urusan semacam ini. Inilah kiranya yang membuat saya prihatin soal hari kemerdekaan. Bagaimana mungkin, hari yang sedianya amat sangat mahal ini, hari yang kita beli dengan milyaran kepala, lautan darah dan air mata, serta begitu banyak pengorbanan lainnya selama berabad-abad lamanya kini teronggok tak berharga, teracuhkan begitu saja.

Kian kemari, jarang juga saya dapati rumah-rumah yang memasang bendera. Padahal dulunya? Jangankan rumah, sepeda pun dihias sedemikian rupa dengan berbagai aksesori merah putih kala sudah dekat dengan hari H. Sekarang, liputan di TV banyak yang menyoroti tukang bendera pinggir jalan yang mengeluhkan dagangannya yang tak laku. Padahal, di Amerika saja, yang kemerdekaannya sudah berusia ratusan tahun, the 4th July masih diperingati dengan sangat meriah. Tak hanya oleh warga tua, tapi semua lapisan usia. The 4th July dirayakan bukan hanya di kawasan perumahan, pemerintahan, atau kedutaan-kedutaan besar Amerika di berbagai negara, tapi juga berbagai tempat hiburan, mall, restoran, dan bahkan bar. Tempat-tempat itu menyebar diskon, menyelenggarakan acara besar-besaran, dan berbagai jenis perayaan meriah lainnya. Mereka beranggapan the 4th July bukan lagi hanya sebagai hari libur nasional, atau sekedar peringatan tanpa makna, melainkan momen sekali setahun yang maha penting, yang membuat mereka bersatu diatas segala kemajemukan yang mereka miliki, dan berbangga hati sebagai seorang Amerika.

Jika membandingkannya dengan kondisi di negara kita, agaknya sulit bagi kita untuk melampauinya. Toh di usia negara kita yang masih muda saja, 17 Agustus sudah sedemikian sepinya. Selain upacara sakral di istana negara, apa kita punya agenda khusus lainnya?
Untuk saya sekeluarga, tahun ini kami berkesempatan mengecap 17 Agustus dengan rasa yang agak berbeda. Karena kebetulan sudah dekat dengan lebaran, jadi kami sudah berada di kampung halaman pada hari itu, tepatnya di tanah kelahiran bokap saya, Salatiga, Jawa Tengah. Saya sudah banyak cerita di blog ini soal Salatiga dan kekaguman saya yang luar biasa terhadapnya. Terhadap lansekap alamnya yang memukau, tradisinya, juga untuk yang kali ini, atmosfer nasionalismenya yang ternyata masih amat begitu kental.

Seminggu terakhir puasa, saya sudah mendapati diri saya sampai di kediaman Mbah saya di Salatiga. Disana, tinggal pula seorang sepupu saya yang duduk di kelas satu SMP. Di tempat saya di Cikarang, sekolah sudah diliburkan sesuai dengan kalender pendidikan dan semua kegiatan telah ditiadakan, termasuk Upacara 17 Agustus yang tak dilaksanakan di sekolah seperti sebagaimana harusnya. Tapi disini, semua itu tidak ada.
Di minggu terakhir bulan Ramadhan, kegiatan belajar-mengajar memang telah ditiadakan karena sudah masuk waktunya liburan, tapi mencengangkannya, meski sedang berpuasa sepupu saya yang bersekolah disana tetap datang pagi ke sekolah setiap harinya, lengkap dengan seragam berupa setelan kemeja putih lengan panjang dengan rok sepan selutut dengan warna serupa. Saya tanyai hendak kemana, dan dengan ringan ia menjawab “Latihan upacara Mbak, nggo pitulasan (buat 17 Agustusan).”

Siiiinggg…

Angin dingin serasa lewat lubang telinga saya tanpa permisi. Serius, saya merinding ketika itu. Bayangkan saja, jangankan untuk latihan upacara dalam kondisi berpuasa, untuk mencapai sekolahnya yang terletak di pinggir jalan raya sana saja, medan yang harus dilalui sudah sedemikian sulit dan jarak tempuhnya luar biasa, dan ada satu lagi, jalan kaki.
Pertama, melewati jalan setapak pinggir kali batu yang aliran airnya kering sehingga batu-batu cadas yang besar besar itu siap menghancurkan tubuh dengan sekali hantaman ketika kita lengah sedikit saja dan terjatuh. Melewati jembatan titian yang terbuat hanya dari anyaman bambu selebar 40 cm, licin, dan luar biasa tinggi jaraknya dari dasar kali. Selepas itu, menyebrangi kebun-kebun sayuran warga, ladang kosong yang ditumbuhi penuh rumput gajah setinggi-tinggi orang bule, jalan pematang dari tanah yang licin dan berundak-undak, dan seperti yang saya bilang tadi, jaraknya yang luar biasa. Sebenarnya ada jalan lain yang medannya tak sesulit itu, tapi jaraknya berkali-kali lipat lebih jauh, dan untuk menghemat waktu agar tetap bisa datang pagi, sepupu saya dan kawan-kawannya lebih memilih jalan yang seperti ini. Selesai medan yang berat itu, bukan lantas mereka sampai, mereka harus melewati lagi jalan utama kampung yang panjangnya kurang lebih satu kilometer lagi, lengkap dengan tanjakan dan turunan yang cukup ekstrim tentunya. Tapi kerennya, dengan ringan mereka melewati itu setiap pagi, dalam kondisi berpuasa, hanya sekedar untuk latihan upacara. Dan konyolnya juga, bukan hanya para petugasnya, tapi juga tim obade dan sekedar peserta yang sebenarnya tanpa harus datang latihan pun mereka tetap bisa mengikuti upacara dengan baik.
Alasan mereka sebenarnya cukup sederhana. Latihan upacara bukan hanya soal mencapai kesempurnaan pada penyelenggaraannya di hari H nanti, tapi juga soal berkumpul dengan teman-teman, memperjuangkan keberhasilan mereka bersama-sama, dan menggenggam peranan sebagai seorang siswa yang juga sedang mengabdi pada negara.

Kata yang terlintas di pikiran saya hanya satu; “kereen…” Saya jadi bertanya-tanya apa masih ada siswa seperti mereka di kawasan tempat tinggal saya sana, siswa yang dengan rajinnya, datang ke sekolah tanpa ada ancaman alfa jika tidak hadir hanya untuk latihan upacara. Siswa-siswa di daerah tempat tinggal saya justru seperti pemburu hari libur dan mendadak menjadi zombi ketika menemui hari liburnya, malas bangun dari tempat tidur, menghabiskan waktu untuk bergumul dengan jejaring sosial atau game online kesayangan sepanjang hari tanpa peduli ada apa sebenarnya dibalik hari libur yang mereka nikmati.

Seminggu yang membuat saya tercengang itu akhirnya sudah sampai pada ujungnya, yeah, ujung yang ditunggu-tunggu sama sepupu saya dan kebanyakan orang lain disini. Sore tanggal 16 Agustus, bertepatan dengan rapat golongan muda yang diadakan di gedung bakteriologi Universitas Indonesia 67 tahun yang lalu, bapak saya mengecat ulang rumah Mbah saya berhubung memang karena catnya sudah agak pudar dan ada dua momen besar yang akan datang dalam waktu dekat yakni tujuh belasan dan lebaran tentunya. Dan pekerjaan yang terlihat mudah tapi sebenarnya kuasa membuat tangan anda luar biasa pegal itu berlangsung hingga larut malam. Yaah… bokap saya memang workaholic, atau katanya apabila ditunda besok, yang ada malah berantakan, apalagi ketika anak-anak kecil yang banyak ditemui disini telah mencapai kebangkitan dari tidur nyenyak mereka#bah. Akhirnya, saya pun menemani bokap sambil fb-an hingga larut malam. Tepat ketika pergantian hari pukul 00.00 lewat sedikit, saya menulis sebuah testimoni, ungkapan selamat saya untuk negeri yang tengah mengulang sejarah hebatnya ini. Saya mungkin tak sanggup jadi orang-orang hebat yang berdiri tegap dibalik sejarah kesuksesan disandangnya jubah kemerdekaan oleh negara ini, tapi inilah cara saya berusaha menjadi nasionalis di hari-hari sekarang, saya harap ini pun ada harganya.

Pukul tiga pagi kami dibangunkan untuk Sahur setelah belum genap tiga jam memejamkan mata. Akan tetapi, alih-alih meneruskan berpetualang di alam mimpi seperti biasanya, bokap saya justru mengajak saya untuk ikut dengannya dini hari itu. Selepas sholat subuh di Langgar, bokap saya menyandang jaket dan lantas mengajak saya untuk ikut dengannya keluar rumah, menembus pekatnya kabut dan udara yang luar biasa dinginnya, dan tak lupa adek saya juga ternyata memaksa untuk ikut.

Jika hari sudah siang, mungkin saya nggak akan sanggup menempuh perjalanan yang sedemikian melelahkannya. Jalan desa yang kami telusuri, atau daki tepatnya, memiliki kemiringan yang luar biasa ekstrem. Bokap saya yang mantan pribumi masih bisa bertahan dengan cara jalan dan stamina yang biasa, tapi buat seorang akrofobia, penderita asma, dan non pribumi yang biasanya hidup ditengah terik matahari di dataran rendah dengan tanah datar tak berkontur macam saya, cara jalan biasa sudah jauh dari angan. Jarak yang terpaut antara bokap saya yang menggendong adek saya dan saya pagi itu terpaut cukup jauh. Beberapa kali, saya memaksakan diri tapi tetap lebih sering berhentinya. Semakin keatas, angin yang berhembus semakin kencang dan dingin. Sinar matahari belum nampak berkasnya, meski langit yang sebelumnya pekat telah sedikit demi sedikit beralih menerang. Bintang-bintang masih ada dalam posisinya dan bulan yang berpendar lembut masih setia menunggu pengganti kedudukannya yang sedang dalam perjalanan kemari. Pepohonan di jauh sana menyamarkan keberadaan mereka dalam hitam yang pekat tak tersentuh cahaya, dan belum ada orang lain yang kulihat mendaki gunung sepagi kami sejauh ini.

Dari tempat saya bertahan dalam kelimbungan, bapak saya terlihat menyetop langkahnya. Ia kemudian melangkah berbelok di sebelah sebuah pohon cemara yang sangat tinggi. Dari jarak yang cukup jauh, saya mendengar suaranya dengan jelas “Segini aja cukup.” Tak berapa lama, semangat saya kembali berkobar mendapati garis finish yang sudah ada di depan mata meski jelas sudah pada kenyataannya saya kalah. Tapi ayolah, dengan kualifikasi serendah saya dibanding Beliau, andai kata saya berhasil mendahului beliau, itu berarti bahkan saya lebih dari sekedar menang.

Seretan kaki terakhir saya akhirnya berhasil membawa saya pada pohon cemara tempat bokap saya berbelok tadi, dan diujung  pandangan saya pada setapak jalan yang saya hadapi terbentang tak terlalu jauh dari hadapan saya, saya lihat beliau berdiri di semacam tepian tebing. Ketika itu, matahari sudah berjarak jauh lebih tinggi daripada tadi meski kian kencangnya angin yang berhembus tetap menahan suhu disini untuk tidak mengalami kenaikan sedikitpun. Beberapa kali saya sempat bersin akibat alergi dingin saya yang tak mampu berkompromi dengan kondisi cuaca seperti ini, tapi semua itu terkesampingkan dengan segera ketika saya mendapati apa yang sedang dipantengi oleh bokap dan adek saya dihadapan mereka adalah apa yang luar biasa keren dan belum pernah saya lihat sebelumnya. Yak, matahari pertama di usia Indonesia yang ke 67 ini yang terbit dari balik gunung Merbabu di jauh sana, yang menyiramkan keemasan cahayanya ke semua yang ada dihadapannya dengan sama rata, membuat seketika lembah di bawah tebing tempat kaki-kaki kami berpijak berkilauan oleh siraman cahaya keemasan yang memukau. Permukaan gunung yang berrelief membuat padanya terpeta pola-pola cantik, desir angin, nyanyian serangga malam yang kian memelan, kicau burung dan derit gesekan bebatangan pohon di hutan menciptakan melodi selaras orkestra alam yang mengiringi pertunjukan spektakuler ini dengan sangat imbang dan sempurna. Untuk kali ini, tanpa sebuah rencanapun, tanpa ekspektasi atau dugaan apapun, tanpa ambisi atas perfeksionisme sebuah even, saya menikmati salah satu even paling sempurna sepanjang hidup saya hingga kini, dan kenyataan bahwa ini adalah matahari pertama di 17 Agustus, hari yang spesial untuk saya dan negara saya, membuat entah kata apa lagi yang pantas mendeskripsikannya selain sempurna.

Dari ketinggian saya ketika itu, saya bisa melihat jelas jalan yang saya telusuri, ladang sayuran keluarga mbah saya, rumah beliau, jalan desa yang tak kenal kata datar dan lurus sampai ke sekolah sepupu saya dan jalan raya, bahkan kerlingan lampu di kota Salatiga dan birunya Rawa Pening yang mengintip dari balik perbukitan disekitarnya. Semua itu bisa saya lihat jelas meski hanya dengan ukuran kecil. Dan ternyata ada banyak keindahan lain yang tak saya sadari selama ini, kehidupan pedesaan yang ternyata memiliki sinergi yang luar biasa kuat dengan alam, masyarakat yang awam soal pengaruh luar dan globalisasi ini hidup dengan amat damai, para mantan veteran dan saksi mata perjuangan bangsa disini mewariskan semangat nasionalis dan partriotik mereka pada anak cucunya sehingga terciptalah harmoni ideal yang amat sempurna soal sinergi dari unsur-unsur penyokong utama kehidupan yakni Agama, alam, dan bangsa. Masyarakat desa ini adalah satu, satu kesatuan masyarakat, satu adat, satu paham, dan menjadi satu dibawah naungan alam yang mereka jaga dan lestarikan, dengan nyala api semangat kebangsaan yang besar dan tak kunjung padam.

Sebagai kelanjutan dari latihan upacara yang dilakukan oleh sepupu saya dan kawan-kawannya seminggu belakangan ini, masih dari tempat yang sama, saya melihat kerumunan berseragam yang terlihat sangat kecil itu berjalan menyusuri medan perang mereka yang biasanya, bahkan ketika matahari belum tinggi untuk menyongsong hasil dari kerja keras mereka selama ini, mempersembahkan yang terbaik yang mereka bisa untuk negeri ini. Selepas upacara, makam pahlawan setempat di desa ini ramai dikunjungi oleh entah berapa kelompok berseragam yang membaur dalam satu almamater hari itu saja, almamater sebagai generasi penerus sebuah bangsa yang besar, bangsa Indonesia. Mereka berziarah, berdoa untuk mereka, dan mengadopsi semangat mereka dalam hati dan jiwa mereka masing-masing. Sungguh merupakan sebuah esensi, nasionalisme yang esensi, yang bahkan mungkin tak lagi dimiliki para petinggi yang tak malu jadi parasit untuk negeri ini di atas sana.

Saya ingat, seseorang yang menjadi salah satu dari anak-anak itu dua puluh tahunan yang lalu pernah bercerita kepada saya. Dulu, waktu Pak Harto masih jadi presiden, ada yang namanya AMD, atau ABRI Masuk Desa. Ketika itu, ABRI memang memegang peranan penting dan sangat dekat dengan masyarakat, mereka membangun jalan-jalan desa dan infrastruktur lainnya termasuk untuk desa ini. Waktu itu, kebetulan rumah mbahku yang merupakan sesepuh kampung dijadikan semacam base camp. Hebatnya adalah, ketika itu ABRI dan warga benar-benar tanpa jarak, saling bahu-membahu membangun desa yang dulu bahkan belum dialiri listrik ini. Bokap saya juga cerita, suatu ketika, salah seorang petinggi ABRI datang mengontrol kesana, dan beliau adalah M. Yusuf, salah satu dari ketiga orang yang menyampaikan Super Semar ke Soeharto, dan kerennya bokap pernah jadi salah satu dari bocah SD yang nonton parade kendaraannya beliau, dan melihat beliau secara langsung sambil ngibar-ngibar bendera kecil di pinggir jalan. Itu keren, man. Seenggaknya bokap saya pernah melihat salah seorang penghuni tetap buku sejarah. Haah…

Tapi ada yang jauh lebih keren. Apa? Yakni kesinambungan dari nasionalisme itu sendiri. Ternyata nggak ada bedanya nasionalisme mereka sekarang dan dua puluh tahunan lalu. Pijar-pijar kecintaan terhadap bangsa sendiri itu benar-benar dipupuk, dan inilah hasilnya. Ah, andaikata seluruh anak negeri bisa tumbuh dalam atmosfer seperti ini, pasti keadaan Indonesia tak akan sampai semiris sekarang. Oleh karenanya, saya sebagai salah satu yang pernah menyaksikan pemaparan salah satu nasionalisme ternyata ini, tak rela apabila sentuhan asing apapun mengusik keindahan harmoni ini. Jika dalam dua puluh tahun, nasionalisme bisa mengakar dengan subur disini, maka harus juga untuk dua puluh tahun dua puluh tahun yang akan datang. Anda juga setuju ‘kan?

Dan inilah, tempat ajaib yang menjadi latar dari dari serangkaian penuturan panjang lebar saya diatas.
Pagi mendung, ketika saya mengunjunginya di hari yang lain.


No comments:

Post a Comment