Bagi para eksakters hidup didefinisikan sebagai
keadaan dimana suatu mahluk bernafas, bergerak, membutuhkan makan, merespon
rangsang, tumbuh dan berkembang, dan yang lainnya. Sedang dikutip dari petuah
para Ulama, hidup adalah fase persiapan untuk kehidupan yang lebih kekal,
dimana kita mestinya berbuat baik sebanyak-banyaknya agar bahagia di kehidupan
selanjutnya. Dan masih banyak definisi lain yang jika dilihat cukup mudah
dimengerti, tapi, lantas mengapa setiap orang harus mengalami fase pencarian
makna hidupnya jika kata ‘hidup’ nyatanya bisa didefinisikan dengan demikian
mudahnya? Mengapa lantas banyak yang gagal? Mengapa lantas banyak orang yang
hingga habis waktunya belum pernah menemukannya? Itu semua tak benar kecuali
hidup memiliki sisi wajah yang tak terkira jumlahnya dan mereka akan
menampilkan diri yang berbeda dalam pandangan setiap orang, hingga dunia ini
dapat berjalan sebagaimana mestinya, bergulir dan bergulir bahkan semakin cepat
karena dipenuhi orang-orang yang berusaha mendefinisikan sisi wajah kehidupan
yang tertampil di hadapan mereka.
Pikiran saya sedianya amat sederhana. Tak ada
satu pun hal rumit yang menyita ruang di dalamnya sehingga selama sekian lama,
seberapapun sakit-sakitannya saya, seberapapun sulit materi yang saya terima di
sekolah, dan seberapapun galaknya guru saya, saya mampu bertahan senantiasa
dengan senyum bahagia dan mimik wajah ringan tanpa beban. Tapi lain ceritanya
sekarang. Masalah, atau saya lebih suka menyebutnya tantangan, mengetuk pintu
hati saya bergantian tanpa jeda. Dan semuanya resmi berjalan setelah saya
menemukan hal baru yang membuat keindahan dari sudut lain menguar menerangi
kamar-kamar kosong kehidupan saya. Masalah itu membuat saya menangguhkan Anda
sebagai salah satu hal paling mengagumkan yang saya punya, namun seketika, saat
telah tiba waktunya saya untuk mengangkat tangan dan meraih harapan akan Anda,
pelangi di sekeliling kepala saya memudar warnanya, dan sudut pandang terhadap
Anda pun berubah. Seketika Anda bukan lagi yang teristimewa, dan saya sadar
setelahnya jika saya tak pernah mencintai Anda sebagaimana ekspektasi agung
yang saya elu-elukan ketika pengaruh Anda masih menjajah batin rapuh saya,
melainkan saya hanya mencintai perasaan suka saya kepada Anda, dan ini resmi
berakhir secara sepihak, karena untuk memulainya pun saya hanya melibatkan satu
pihak saja; diri saya sendiri.
Waktu sudah banyak berlalu sejak tahun-tahun
yang cukup indah itu. Dan kini saya telah menyadari cinta yang begitu dekat
yang nyatanya ada pada saya. Dari orang-orang yang tak pernah sekalipun
meninggalkan saya, mengkhianati, apalagi menyakiti saya. Orang terhebat yang
saya kenal melebihi ksatria manapun, dan mereka adalah orang tua saya. Jarak berbicara
banyak soal cinta, dan saya tak memiliki sejengkalpun jarak dengan mereka. Yang
saya sangat syukuri, orang tua saya membesarkan saya sebagai seorang anak yang
mengisi sudut kosong dalam hidup mereka dan menemani mereka menikmati tiap
detik dalam hidup kami dengan cara yang
sangat menakjubkan. Saya sangat bahagia meski tak setiap keinginan saya mereka
turuti, dan saya menyayangi, mencintai mereka meski tak jarang mereka membuat
saya menangis. Saya menemukan kedamaian di sisi mereka meski tak jarang kami
beradu argumentasi dengan cukup kolot. Saya bukan dibesarkan dengan cara yang
sempurna melainkan dengan cara yang ideal, dan mereka berdua sangat sukses
menggambarkan arti cinta dan kasih sayang di pikiran saya meski tidak dengan
kata-kata, hingga saya sampai detik ini menjadi begitu candu tentang keberadaan
mereka.
Sepanjang hidup saya sampai detik ini, saya
memiliki teman hidup yang luar biasa dengan kesederhanaan mereka. Mereka
membentuk saya untuk tidak bersikap anggun, sopan dan penuh pakem dihadapan
mereka. Mereka mengajari mereka untuk bersikap apa adanya, dan tak menjaga
sejengkalpun jarak kepada mereka hingga sehari pun tanpa bicara sepertinya
mustahil untuk kami. Ketika saya mendapati dengan pikiran tenang saya duduk
dihadapan mereka, bertukar pikiran dan membagi cerita dengan mereka, berorasi
di hadapan ayah saya, menyantap masakan ibu saya, semua itu rasanya cukup untuk
menyentuh standar sempurna dan tak sedikitpun saya rela waktu mengusik
kesempurnaan itu.
Sedihnya, waktu tak pernah berhenti bergulir dan
menggoreskan pola-pola antar fase dalam hidup seseorang tak terkecuali saya.
Dan sebagai pemain skenario kehidupan kita tak akan pernah melihat pola itu
sebelum kita sampai di akhir, dan naik ke atas untuk membuktikan terkaan yang
kita lontarkan selama ini. Yang kami lakukan, orang-orang dalam fase ini, di
paruh akhir usia belasan, hanya menerka-nerka. Bermimpi dan berusaha soal hidup
yang indah kedepannya. Cita-cita, pendidikan tinggi, gelar impian, pekerjaan
sempurna dan pasangan hidup. Tapi soal yang terakhir, ah entahlah. Saya bahkan
tak pernah siap untuk sekedar memikirkannya. Seketika saya merasa seolah hanya
anak kecil tak berdaya ketika mengingatnya kembali. Saya yang secara konyol
benci perubahan ini adalah seorang pemimpi yang juga realistik. Fantasi soal
negeri lain, alien, penyihir, peri, dan kehidupan abadi itu konyol. Saya hanya
memimpikan apa yang realistik, yang dalam konteks terburuknya pun tak terletak
sedemikian jauh dari hidup saya. Sehingga alih fungsi si mimpi itu tadi ada dua,
pertama sebuah pemetaan tujuan yang disertai tekad, atau yang kedua pelarian
dari keputus asaan yang sama saja konyolnya dengan fantasi tak masuk akal
manapun.
Man, teman main masa kecil saya yang sama-sama
menaiki buldoser yang sedang di parkir bersama saya tepat ketika jalan kampung
yang sudah bolong-bolong lagi ini pertama kali dipoles aspal dulu, sudah
memutuskan untuk independen dari orang tuanya dan tak mau kalah hingga
membentuk keluarga baru. Sedang saya, haha, selain pernah terperangkap dalam sebuah
cinta terhadap rasa suka terhadap seseorang, tak punya riwayat apapun lagi soal
yang semacam itu. Dan waktu, sekali lagi memaksa saya untuk meninggalkan posisi
ternyaman saya saat ini dibawah naungan hangat kedua orang tua saya untuk
lantas pergi ke dunia orang dewasa yang kejam. Saya tak pernah sanggup
bayangkan suatu ketika saya akan berada jauh dari mereka, agen-agen yang
pertama kalinya mengenalkan saya pada cinta dengan konteks yang sedemikian dalam,
untuk seseorang yang bahkan saya kenal kucing saya jauh lebih lama dari pada
dirinya.
Oke, saya percaya apa yang namanya cinta itu
ada. Dan suatu saat hal itu akan menyentuh bagian tersensitif hati saya, lalu
membuat saya jatuh seketika pada tumpukan serapah-serapahan saya yang
mengintimidasinya di waktu yang lalu. Tapi bukankan cinta romantis itu agak
kejam? Banyak orang yang menunda urusan mereka dengan orang tua demi cinta
pujaannya, dan yah, otomatis menomor duakan pecinta-pecinta murni mereka,
gerbang kehidupan mereka, pintu ridha dan kasih Tuhan mereka, untuk cintanya
itu tadi. Bukankah ini agak kejam? Lantas mana buah dari perjuangan mereka
memperjuangkan hidup kita selama ini? Dan sama saja, setelah nanti kita
merasakan rasanya jadi orang tua, secara sederhana kita hanya menghabiskan
waktu bersama anak-anak kita untuk kemudian melepasnya terbang bebas di horizon
yang tak berbatas, tak berbatas jarak antara kita dan mereka.
Bagaimanapun inilah, inilah pola kehidupan yang
sudah ada sejak dahulu kala, dan setiap orang memiliki kesempatan untuk turut
merasakannya. Suatu saat saya pun percaya, akan ada kebahagiaan lain yang
menghampiri saya, yang menawan hati saya dalam genggamannya, yang menjadi candu
bagi saya untuk kemudian pergi jauh dari sarang kebahagiaan ini dan membangun
sarang sendiri dari helai demi helai jerami kenangan yang akan kami berdua
penuhi harapan sambil mencintai Ksatria-Ksatria saya dari jauh meski harus
dengan cambukan-cambukan kerinduan akan mereka.
Wahai para pelaku kehidupan, para pemegang
giliran peran dalam skenario akbar maha karya Tuhan, pola-pola yang tiap detik
kita ikuti memang sederhana dan agak kejam. Tapi resapilah lagi, ini adalah
hidup, dan kisah ini berlatarkan dunia dimana tak ada kehidupan abadi,
penyihir, peri, pegasus, mantra, atau serbuk ajaib yang bisa merubah daun jadi
uang, dunia tanpa satupun substansi sempurna. Akan tetapi, bukankah itu yang
kita cari? Jika tak ada tekad dan mimpi, dunia ini tak akan berputar. Ketidak
sempurnaannyalah yang membuat dunia ini ideal, menjadi sedemikian adil
sekaligus tidak adil pada waktu yang sama, menjadi sedemikian indah dan
menyiksa juga dalam waktu yang sama. Oleh karenanya, sebagai aktor dan aktris
yang berdedikasi, sebagai manusia yang memiliki perasaan, biarkanlah perasaan
itu menguasai kita, pandanglah hidup dan dunia sebagai keselarasan yang penuh
keindahan, pandanglah pola-pola itu sebagai liak-liuk ukiran maha indah, dan
nikmati apa yang kita bisa nikmati selagi ada kesempatan. Jadilah perfeksionis
jika itu membahagiakan Anda dan bermalas-malasanlah ketika Anda tahu anda tak
akan melewatkan hal penting. Seberapapun kita kutuk hidup ini kejam,
seberapapun kita bersikeras ingin kembali atau menetap di waktu yang sekarang,
kita tak akan bisa mencegah Tuhan memberi kita prosedur untuk menjadi individu
yang lebih baik. Melakukan yang terbaik dan menikmatinya, itu saja.
No comments:
Post a Comment