Trending Topics

.

.

Saturday, March 02, 2013

I wish I would have more occation to tell you everything more than this


Bagi para eksakters hidup didefinisikan sebagai keadaan dimana suatu mahluk bernafas, bergerak, membutuhkan makan, merespon rangsang, tumbuh dan berkembang, dan yang lainnya. Sedang dikutip dari petuah para Ulama, hidup adalah fase persiapan untuk kehidupan yang lebih kekal, dimana kita mestinya berbuat baik sebanyak-banyaknya agar bahagia di kehidupan selanjutnya. Dan masih banyak definisi lain yang jika dilihat cukup mudah dimengerti, tapi, lantas mengapa setiap orang harus mengalami fase pencarian makna hidupnya jika kata ‘hidup’ nyatanya bisa didefinisikan dengan demikian mudahnya? Mengapa lantas banyak yang gagal? Mengapa lantas banyak orang yang hingga habis waktunya belum pernah menemukannya? Itu semua tak benar kecuali hidup memiliki sisi wajah yang tak terkira jumlahnya dan mereka akan menampilkan diri yang berbeda dalam pandangan setiap orang, hingga dunia ini dapat berjalan sebagaimana mestinya, bergulir dan bergulir bahkan semakin cepat karena dipenuhi orang-orang yang berusaha mendefinisikan sisi wajah kehidupan yang tertampil di hadapan mereka.

Pikiran saya sedianya amat sederhana. Tak ada satu pun hal rumit yang menyita ruang di dalamnya sehingga selama sekian lama, seberapapun sakit-sakitannya saya, seberapapun sulit materi yang saya terima di sekolah, dan seberapapun galaknya guru saya, saya mampu bertahan senantiasa dengan senyum bahagia dan mimik wajah ringan tanpa beban. Tapi lain ceritanya sekarang. Masalah, atau saya lebih suka menyebutnya tantangan, mengetuk pintu hati saya bergantian tanpa jeda. Dan semuanya resmi berjalan setelah saya menemukan hal baru yang membuat keindahan dari sudut lain menguar menerangi kamar-kamar kosong kehidupan saya. Masalah itu membuat saya menangguhkan Anda sebagai salah satu hal paling mengagumkan yang saya punya, namun seketika, saat telah tiba waktunya saya untuk mengangkat tangan dan meraih harapan akan Anda, pelangi di sekeliling kepala saya memudar warnanya, dan sudut pandang terhadap Anda pun berubah. Seketika Anda bukan lagi yang teristimewa, dan saya sadar setelahnya jika saya tak pernah mencintai Anda sebagaimana ekspektasi agung yang saya elu-elukan ketika pengaruh Anda masih menjajah batin rapuh saya, melainkan saya hanya mencintai perasaan suka saya kepada Anda, dan ini resmi berakhir secara sepihak, karena untuk memulainya pun saya hanya melibatkan satu pihak saja; diri saya sendiri.

Waktu sudah banyak berlalu sejak tahun-tahun yang cukup indah itu. Dan kini saya telah menyadari cinta yang begitu dekat yang nyatanya ada pada saya. Dari orang-orang yang tak pernah sekalipun meninggalkan saya, mengkhianati, apalagi menyakiti saya. Orang terhebat yang saya kenal melebihi ksatria manapun, dan mereka adalah orang tua saya. Jarak berbicara banyak soal cinta, dan saya tak memiliki sejengkalpun jarak dengan mereka. Yang saya sangat syukuri, orang tua saya membesarkan saya sebagai seorang anak yang mengisi sudut kosong dalam hidup mereka dan menemani mereka menikmati tiap detik dalam hidup kami dengan cara  yang sangat menakjubkan. Saya sangat bahagia meski tak setiap keinginan saya mereka turuti, dan saya menyayangi, mencintai mereka meski tak jarang mereka membuat saya menangis. Saya menemukan kedamaian di sisi mereka meski tak jarang kami beradu argumentasi dengan cukup kolot. Saya bukan dibesarkan dengan cara yang sempurna melainkan dengan cara yang ideal, dan mereka berdua sangat sukses menggambarkan arti cinta dan kasih sayang di pikiran saya meski tidak dengan kata-kata, hingga saya sampai detik ini menjadi begitu candu tentang keberadaan mereka.

Sepanjang hidup saya sampai detik ini, saya memiliki teman hidup yang luar biasa dengan kesederhanaan mereka. Mereka membentuk saya untuk tidak bersikap anggun, sopan dan penuh pakem dihadapan mereka. Mereka mengajari mereka untuk bersikap apa adanya, dan tak menjaga sejengkalpun jarak kepada mereka hingga sehari pun tanpa bicara sepertinya mustahil untuk kami. Ketika saya mendapati dengan pikiran tenang saya duduk dihadapan mereka, bertukar pikiran dan membagi cerita dengan mereka, berorasi di hadapan ayah saya, menyantap masakan ibu saya, semua itu rasanya cukup untuk menyentuh standar sempurna dan tak sedikitpun saya rela waktu mengusik kesempurnaan itu.

Sedihnya, waktu tak pernah berhenti bergulir dan menggoreskan pola-pola antar fase dalam hidup seseorang tak terkecuali saya. Dan sebagai pemain skenario kehidupan kita tak akan pernah melihat pola itu sebelum kita sampai di akhir, dan naik ke atas untuk membuktikan terkaan yang kita lontarkan selama ini. Yang kami lakukan, orang-orang dalam fase ini, di paruh akhir usia belasan, hanya menerka-nerka. Bermimpi dan berusaha soal hidup yang indah kedepannya. Cita-cita, pendidikan tinggi, gelar impian, pekerjaan sempurna dan pasangan hidup. Tapi soal yang terakhir, ah entahlah. Saya bahkan tak pernah siap untuk sekedar memikirkannya. Seketika saya merasa seolah hanya anak kecil tak berdaya ketika mengingatnya kembali. Saya yang secara konyol benci perubahan ini adalah seorang pemimpi yang juga realistik. Fantasi soal negeri lain, alien, penyihir, peri, dan kehidupan abadi itu konyol. Saya hanya memimpikan apa yang realistik, yang dalam konteks terburuknya pun tak terletak sedemikian jauh dari hidup saya. Sehingga alih fungsi si mimpi itu tadi ada dua, pertama sebuah pemetaan tujuan yang disertai tekad, atau yang kedua pelarian dari keputus asaan yang sama saja konyolnya dengan fantasi tak masuk akal manapun.

Man, teman main masa kecil saya yang sama-sama menaiki buldoser yang sedang di parkir bersama saya tepat ketika jalan kampung yang sudah bolong-bolong lagi ini pertama kali dipoles aspal dulu, sudah memutuskan untuk independen dari orang tuanya dan tak mau kalah hingga membentuk keluarga baru. Sedang saya, haha, selain pernah terperangkap dalam sebuah cinta terhadap rasa suka terhadap seseorang, tak punya riwayat apapun lagi soal yang semacam itu. Dan waktu, sekali lagi memaksa saya untuk meninggalkan posisi ternyaman saya saat ini dibawah naungan hangat kedua orang tua saya untuk lantas pergi ke dunia orang dewasa yang kejam. Saya tak pernah sanggup bayangkan suatu ketika saya akan berada jauh dari mereka, agen-agen yang pertama kalinya mengenalkan saya pada cinta dengan konteks yang sedemikian dalam, untuk seseorang yang bahkan saya kenal kucing saya jauh lebih lama dari pada dirinya.

Oke, saya percaya apa yang namanya cinta itu ada. Dan suatu saat hal itu akan menyentuh bagian tersensitif hati saya, lalu membuat saya jatuh seketika pada tumpukan serapah-serapahan saya yang mengintimidasinya di waktu yang lalu. Tapi bukankan cinta romantis itu agak kejam? Banyak orang yang menunda urusan mereka dengan orang tua demi cinta pujaannya, dan yah, otomatis menomor duakan pecinta-pecinta murni mereka, gerbang kehidupan mereka, pintu ridha dan kasih Tuhan mereka, untuk cintanya itu tadi. Bukankah ini agak kejam? Lantas mana buah dari perjuangan mereka memperjuangkan hidup kita selama ini? Dan sama saja, setelah nanti kita merasakan rasanya jadi orang tua, secara sederhana kita hanya menghabiskan waktu bersama anak-anak kita untuk kemudian melepasnya terbang bebas di horizon yang tak berbatas, tak berbatas jarak antara kita dan mereka.
Bagaimanapun inilah, inilah pola kehidupan yang sudah ada sejak dahulu kala, dan setiap orang memiliki kesempatan untuk turut merasakannya. Suatu saat saya pun percaya, akan ada kebahagiaan lain yang menghampiri saya, yang menawan hati saya dalam genggamannya, yang menjadi candu bagi saya untuk kemudian pergi jauh dari sarang kebahagiaan ini dan membangun sarang sendiri dari helai demi helai jerami kenangan yang akan kami berdua penuhi harapan sambil mencintai Ksatria-Ksatria saya dari jauh meski harus dengan cambukan-cambukan kerinduan akan mereka.




Wahai para pelaku kehidupan, para pemegang giliran peran dalam skenario akbar maha karya Tuhan, pola-pola yang tiap detik kita ikuti memang sederhana dan agak kejam. Tapi resapilah lagi, ini adalah hidup, dan kisah ini berlatarkan dunia dimana tak ada kehidupan abadi, penyihir, peri, pegasus, mantra, atau serbuk ajaib yang bisa merubah daun jadi uang, dunia tanpa satupun substansi sempurna. Akan tetapi, bukankah itu yang kita cari? Jika tak ada tekad dan mimpi, dunia ini tak akan berputar. Ketidak sempurnaannyalah yang membuat dunia ini ideal, menjadi sedemikian adil sekaligus tidak adil pada waktu yang sama, menjadi sedemikian indah dan menyiksa juga dalam waktu yang sama. Oleh karenanya, sebagai aktor dan aktris yang berdedikasi, sebagai manusia yang memiliki perasaan, biarkanlah perasaan itu menguasai kita, pandanglah hidup dan dunia sebagai keselarasan yang penuh keindahan, pandanglah pola-pola itu sebagai liak-liuk ukiran maha indah, dan nikmati apa yang kita bisa nikmati selagi ada kesempatan. Jadilah perfeksionis jika itu membahagiakan Anda dan bermalas-malasanlah ketika Anda tahu anda tak akan melewatkan hal penting. Seberapapun kita kutuk hidup ini kejam, seberapapun kita bersikeras ingin kembali atau menetap di waktu yang sekarang, kita tak akan bisa mencegah Tuhan memberi kita prosedur untuk menjadi individu yang lebih baik. Melakukan yang terbaik dan menikmatinya, itu saja.

No comments:

Post a Comment