Hampir sebagian besar waktu-waktu
luang saya di tahun ini saya gunakan untuk berpikir, lalu kemudian
menuliskannya dalam selembar dua lembar testimoni pribadi. Sebenarnya tak serta
merta pribadi juga, toh rangkaian testimoni-testimoni itu justru saya muat di
blog saya, sebuah situs komersil yang bisa diakses oleh siapa saja, meski pada
kenyataannya tak siapa saja datang kesana. Yah, niat saya bukan apa-apa, hanya
ingin berbagi kisah, dan mengajak anda sekalian berdiskusi lewat hati, membagi
pengalaman yang siapa tahu bisa memberi anda sekalian inspirasi meski tak
jarang testimoni yang saya tulis justru soal kegundahan hati.
Namanya juga remaja, yah… begitulah,
usia saya baru menginjak enam belas tahun tapi kerap kali saya malah sok
berfilosofi. Sebenarnya itu semua bukan filosofi, itu semua hanya
kesimpulan-kesimpulan, serabut benang merah yang masih teramat tipis yang
hendak saya kumpulkan satu persatu, berharap suatu saat nanti saya bisa
merangkainya menjadi sebuah kesatuan yang terang, utuh dan kuat, yang cukup
untuk menguntai serangkaian kisah hidup saya. Saya hanya seorang pencari jati
diri yang begitu ingin tahu soal seluk beluk dunia ini, ritme suaranya yang
teramat rancak, dan juga pola dinamikanya yang terlampau rumit untuk saya terka
dalam detik demi detik yang sekarang.
Tahun ini jugalah merupakan tahun
perjuangan, tak ubahnya dengan tahun lalu juga pasti tahun depan. Tahun lalu
saya lulus dari SMP dan menempuh ujian masuk SMA, tahun ini saya dijebloskan di
kelas IPA yang tak saya kehendaki sehingga waktu setahun rehat dari momok ujian
berskala Nasional samasekali tak berfungsi sebagaimana mestinya. Tahun ini
justru berat luar biasa, bagai mahluk berinsang yang diseret ke daratan, sampai
detik ini pun saya masih menyesuaikan diri untuk bernafas dengan udara yang
demikian kering kerontang, tanpa IPS, air saya, sumber kehidupan saya. Sedang
tahun depan, lagi-lagi saya harus menempuh ujian Nasional, parahnya dengan
kualifikasi sebagai penghuni kelas IPA, —padahal ability saya disana nol besar—
juga ujian masuk universitas dan sebagainya.
Anda ingin tahu rasanya terabaikan?
Rasanya jadi orang yang tak bernilai? Rasanya berada dalam posisi bawah?
Rasanya jadi kaum marginal? Rasanya jadi bodoh? Anda bisa tanya pada saya
karena kurang lebihnya setahunan ini saya kenyang mengalaminya. Peran saya
ditiadakan, begitulah kenyataannya. Pernah, dalam suatu masa yang sebelumnya
saya memang tetap memiliki kekurangan seperti apa yang ada pada diri saya yang
sekarang tapi saya punya kelebihan yang cukup disoroti, yang cukup dibutuhkan
dan dilirik orang banyak, yang akhirnya cukup mengangkat nama saya dan menutupi
kebobrokan sisi lain dari diri saya. Tapi kini lain halnya, semua masa keemasan
itu terkubur bak atlantis hanya oleh satu tahun singkat yang kelam. Semuanya
berbalik sarkastik dan tajam ketika yang publik soroti kini hanyalah kelemahan
saya, dan yang menyebabkan itu semua tak lain adalah karena tidak
diperkenankannya diri saya untuk memilih jalan yang saya kehendaki. Sungguh
sebuah kenyataan yang membuka lebar pintu penyesalan bagi diri saya, andai kata
saya orang yang hobi menyesali diri. Bagaimana tidak? Kenyataan itu seakan
mengatakan secara gamblang pada diri saya bahwa saya bisa menjadi pemenang di
jalan yang satunya —jalan yang seharusnya saya pilih— bukan menjadi pecundang
yang terbuang di jalan ini.
Di masa lalu yang keemasan itu, ada
kalanya saya menemui satu, dua, bahkan banyak masalah pada bidang yang
merupakan kelemahan saya, tapi bukan masalah karena nilai saya di bidang lain
yang menjulang lah yang banyak berperan dalam akumulasi keseluruhan. Ada saatnya
saya juga remedial pada waktu itu, tapi ada saatnya saya maju kedepan, suara
saya didengar, dan diapresiasi. Sementara saat ini saya terus menerus dibungkam
oleh ketidak berdayaan dan ketiadaan kesempatan untuk berbicara. Bahkan setelah
menghadapi masalah yang sedemikian besar dan bertubi-tubi, saya hanya butuh
ruang kecil untuk menenangkan diri, tapi sayangnya ruang-ruang tersebut sangat
jarang saya temui dan sekalinya bertemu pun belum tentu saya dapat bersua
dengannya, persis seperti hari ini.
Tapi saya bersyukur, Tuhan masih
memberi saya pengelihatan hati yang cukup jelas untuk menyadari makna dari
semua ini. Bahwa hidup memang tak sempurna. Ada kalanya kita menganggap
seseorang di depan sana sebagai sosok yang sempurna, melenggang lurus dengan
mata tertutup dikala kami tersesat terbelok-belok, berlari cepat dikala orang
lain penuh peluh terseok seok, namun memang inilah yang namanya hidup.
Seseorang bisa saja sempurna di satu sisi, namun tidak bisa di semua sisi, dan
tidak akan ada orang yang seperti itu. Bisa jadi, boleh kita tak henti memaki,
mengumpat, dan menggunjing takdir ketika kita temui sosok manusia yang
sedikitpun tak punya cela. Terkadang kesempurnaan pada diri seseorang lain yang
kita pandang bersinar hanya sekedar ilusi oleh kedengkian kita, ketidak mampuan
yang melahirkan kecemburuan, padahal mungkin saja dalam posisi dan situasi yang
sama kita memiliki suatu hal yang tak orang itu miliki. Itu yang seharusnya
kita cari dan syukuri.
Soal konsep ini, saya pun masih
mencari. Mungkin ada kalanya jika saya sudah jadi
cendekiawan ketika tua nanti,
saya bisa berbagi pengalaman soal ini dengan lebih bijaksana lagi. Tapi, andai
kata kata-kata saya disini masih kurang bisa diterima mohon dimaklumi, saya
masih belum tahu apa-apa. Setiap orang memiliki kesempurnaannya sendiri, pada
satu orientasi yang semestinya ia tuju. Mengapa ada orang yang berhasil dan
gagal? Itu adalah karena kadang kala orang tak bisa mengartikan tujuannya
sendiri, tak bisa menelaah kedalam hatinya sendiri, tak bisa mengerti soal
perasaannya, keinginan murni dari dirinya sehingga ia salah dalam menentukan
orientasinya. Orang yang berhasil adalah orang menuju kepada orientasi yang
sesuai dengan jati dirinya.
Tapi baik kegagalan maupun
keberhasilan, keduanya bukanlah hal yang kekal. Bukan sebuah hukum atau fonis
yang tak lagi bisa dianulir. Kedua hal yang terlihat berseberangan itu
sesungguhnya hanya merupakan standar. Toh mau kita berhasil atau gagal, yang
harusnya kita lakukan di langkah selanjutnya adalah melampaui seberapa baik
ataupun buruknya hasil kita di waktu yang lalu. Jika kita gagal pada kesempatan
yang lalu, kali ini adalah saatnya kita untuk mengejar ketertinggalan kita,
juga bila kita berhasil di kesempatan yang lalu, ini adalah saatnya kita untuk
menjadi lebih berhasil. Karena berhasil sekali tanpa pernah sedikitpun beranjak
naik dari standar keberhasilan kita yang sebelumnya juga tak bedanya dengan
gagal kan? Gagal untuk menjadi lebih berhasil
Hidup ini perjuangan, bukan
persaingan. Kita tak diminta mengungguli seseorang untuk dapat berbahagia dunia
akhirat bukan? Jadi kita tidak hidup untuk saling mengungguli. Saingan yang
sesungguhnya adalah diri kita sendiri, satu-satunya yang harus kita lampaui
adalah keberhasilan yang pernah kita capai, hingga dengan demikian, kita bisa
menjadi individu yang terus berkembang, yang terus belajar dan terus
bermetamorfosis kedalam kelas yang lebih baik.
Mungkin, menganggap hidup sebagai
sebuah perjuangan memang terdengar berat dan memeras banyak hal, tapi lain
halnya jika kita tahu betul apa yang kita perjuangkan. You know, perjuangan
bukanlah sebuah tuntutan, tapi sebuah harga mati pembelaan. Perjuangan yang
didasari dengan keinginan hati yang kuat, yang dibubuhi semangat yang tak
pernah padam dan disemarakkan oleh warna-warni cinta. Dan sampai sekarang saya
masih ada dalam perjalanan untuk mengumpulkan kunci-kunci perjuangan saya. Yang
jelas detik ini saya sudah tahu bahwa Tuhan saya, orang tua saya, dan negara
saya lah yang menjadi prioritas saya dalam berjuang.
May happiness always on my path...
No comments:
Post a Comment