Trending Topics

.

.

Wednesday, November 28, 2012

Menguak Makna, Bukan Sekedar Definisi


Hampir sebagian besar waktu-waktu luang saya di tahun ini saya gunakan untuk berpikir, lalu kemudian menuliskannya dalam selembar dua lembar testimoni pribadi. Sebenarnya tak serta merta pribadi juga, toh rangkaian testimoni-testimoni itu justru saya muat di blog saya, sebuah situs komersil yang bisa diakses oleh siapa saja, meski pada kenyataannya tak siapa saja datang kesana. Yah, niat saya bukan apa-apa, hanya ingin berbagi kisah, dan mengajak anda sekalian berdiskusi lewat hati, membagi pengalaman yang siapa tahu bisa memberi anda sekalian inspirasi meski tak jarang testimoni yang saya tulis justru soal kegundahan hati.

Namanya juga remaja, yah… begitulah, usia saya baru menginjak enam belas tahun tapi kerap kali saya malah sok berfilosofi. Sebenarnya itu semua bukan filosofi, itu semua hanya kesimpulan-kesimpulan, serabut benang merah yang masih teramat tipis yang hendak saya kumpulkan satu persatu, berharap suatu saat nanti saya bisa merangkainya menjadi sebuah kesatuan yang terang, utuh dan kuat, yang cukup untuk menguntai serangkaian kisah hidup saya. Saya hanya seorang pencari jati diri yang begitu ingin tahu soal seluk beluk dunia ini, ritme suaranya yang teramat rancak, dan juga pola dinamikanya yang terlampau rumit untuk saya terka dalam detik demi detik yang sekarang.

Tahun ini jugalah merupakan tahun perjuangan, tak ubahnya dengan tahun lalu juga pasti tahun depan. Tahun lalu saya lulus dari SMP dan menempuh ujian masuk SMA, tahun ini saya dijebloskan di kelas IPA yang tak saya kehendaki sehingga waktu setahun rehat dari momok ujian berskala Nasional samasekali tak berfungsi sebagaimana mestinya. Tahun ini justru berat luar biasa, bagai mahluk berinsang yang diseret ke daratan, sampai detik ini pun saya masih menyesuaikan diri untuk bernafas dengan udara yang demikian kering kerontang, tanpa IPS, air saya, sumber kehidupan saya. Sedang tahun depan, lagi-lagi saya harus menempuh ujian Nasional, parahnya dengan kualifikasi sebagai penghuni kelas IPA, —padahal ability saya disana nol besar— juga ujian masuk universitas dan sebagainya.

Anda ingin tahu rasanya terabaikan? Rasanya jadi orang yang tak bernilai? Rasanya berada dalam posisi bawah? Rasanya jadi kaum marginal? Rasanya jadi bodoh? Anda bisa tanya pada saya karena kurang lebihnya setahunan ini saya kenyang mengalaminya. Peran saya ditiadakan, begitulah kenyataannya. Pernah, dalam suatu masa yang sebelumnya saya memang tetap memiliki kekurangan seperti apa yang ada pada diri saya yang sekarang tapi saya punya kelebihan yang cukup disoroti, yang cukup dibutuhkan dan dilirik orang banyak, yang akhirnya cukup mengangkat nama saya dan menutupi kebobrokan sisi lain dari diri saya. Tapi kini lain halnya, semua masa keemasan itu terkubur bak atlantis hanya oleh satu tahun singkat yang kelam. Semuanya berbalik sarkastik dan tajam ketika yang publik soroti kini hanyalah kelemahan saya, dan yang menyebabkan itu semua tak lain adalah karena tidak diperkenankannya diri saya untuk memilih jalan yang saya kehendaki. Sungguh sebuah kenyataan yang membuka lebar pintu penyesalan bagi diri saya, andai kata saya orang yang hobi menyesali diri. Bagaimana tidak? Kenyataan itu seakan mengatakan secara gamblang pada diri saya bahwa saya bisa menjadi pemenang di jalan yang satunya —jalan yang seharusnya saya pilih— bukan menjadi pecundang yang terbuang di jalan ini.

Di masa lalu yang keemasan itu, ada kalanya saya menemui satu, dua, bahkan banyak masalah pada bidang yang merupakan kelemahan saya, tapi bukan masalah karena nilai saya di bidang lain yang menjulang lah yang banyak berperan dalam akumulasi keseluruhan. Ada saatnya saya juga remedial pada waktu itu, tapi ada saatnya saya maju kedepan, suara saya didengar, dan diapresiasi. Sementara saat ini saya terus menerus dibungkam oleh ketidak berdayaan dan ketiadaan kesempatan untuk berbicara. Bahkan setelah menghadapi masalah yang sedemikian besar dan bertubi-tubi, saya hanya butuh ruang kecil untuk menenangkan diri, tapi sayangnya ruang-ruang tersebut sangat jarang saya temui dan sekalinya bertemu pun belum tentu saya dapat bersua dengannya, persis seperti hari ini.

Tapi saya bersyukur, Tuhan masih memberi saya pengelihatan hati yang cukup jelas untuk menyadari makna dari semua ini. Bahwa hidup memang tak sempurna. Ada kalanya kita menganggap seseorang di depan sana sebagai sosok yang sempurna, melenggang lurus dengan mata tertutup dikala kami tersesat terbelok-belok, berlari cepat dikala orang lain penuh peluh terseok seok, namun memang inilah yang namanya hidup. Seseorang bisa saja sempurna di satu sisi, namun tidak bisa di semua sisi, dan tidak akan ada orang yang seperti itu. Bisa jadi, boleh kita tak henti memaki, mengumpat, dan menggunjing takdir ketika kita temui sosok manusia yang sedikitpun tak punya cela. Terkadang kesempurnaan pada diri seseorang lain yang kita pandang bersinar hanya sekedar ilusi oleh kedengkian kita, ketidak mampuan yang melahirkan kecemburuan, padahal mungkin saja dalam posisi dan situasi yang sama kita memiliki suatu hal yang tak orang itu miliki. Itu yang seharusnya kita cari dan syukuri.

Soal konsep ini, saya pun masih mencari. Mungkin ada kalanya jika saya sudah jadi 
cendekiawan ketika tua nanti, saya bisa berbagi pengalaman soal ini dengan lebih bijaksana lagi. Tapi, andai kata kata-kata saya disini masih kurang bisa diterima mohon dimaklumi, saya masih belum tahu apa-apa. Setiap orang memiliki kesempurnaannya sendiri, pada satu orientasi yang semestinya ia tuju. Mengapa ada orang yang berhasil dan gagal? Itu adalah karena kadang kala orang tak bisa mengartikan tujuannya sendiri, tak bisa menelaah kedalam hatinya sendiri, tak bisa mengerti soal perasaannya, keinginan murni dari dirinya sehingga ia salah dalam menentukan orientasinya. Orang yang berhasil adalah orang menuju kepada orientasi yang sesuai dengan jati dirinya.

Tapi baik kegagalan maupun keberhasilan, keduanya bukanlah hal yang kekal. Bukan sebuah hukum atau fonis yang tak lagi bisa dianulir. Kedua hal yang terlihat berseberangan itu sesungguhnya hanya merupakan standar. Toh mau kita berhasil atau gagal, yang harusnya kita lakukan di langkah selanjutnya adalah melampaui seberapa baik ataupun buruknya hasil kita di waktu yang lalu. Jika kita gagal pada kesempatan yang lalu, kali ini adalah saatnya kita untuk mengejar ketertinggalan kita, juga bila kita berhasil di kesempatan yang lalu, ini adalah saatnya kita untuk menjadi lebih berhasil. Karena berhasil sekali tanpa pernah sedikitpun beranjak naik dari standar keberhasilan kita yang sebelumnya juga tak bedanya dengan gagal kan? Gagal untuk menjadi lebih berhasil

Hidup ini perjuangan, bukan persaingan. Kita tak diminta mengungguli seseorang untuk dapat berbahagia dunia akhirat bukan? Jadi kita tidak hidup untuk saling mengungguli. Saingan yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri, satu-satunya yang harus kita lampaui adalah keberhasilan yang pernah kita capai, hingga dengan demikian, kita bisa menjadi individu yang terus berkembang, yang terus belajar dan terus bermetamorfosis kedalam kelas yang lebih baik.

Mungkin, menganggap hidup sebagai sebuah perjuangan memang terdengar berat dan memeras banyak hal, tapi lain halnya jika kita tahu betul apa yang kita perjuangkan. You know, perjuangan bukanlah sebuah tuntutan, tapi sebuah harga mati pembelaan. Perjuangan yang didasari dengan keinginan hati yang kuat, yang dibubuhi semangat yang tak pernah padam dan disemarakkan oleh warna-warni cinta. Dan sampai sekarang saya masih ada dalam perjalanan untuk mengumpulkan kunci-kunci perjuangan saya. Yang jelas detik ini saya sudah tahu bahwa Tuhan saya, orang tua saya, dan negara saya lah yang menjadi prioritas saya dalam berjuang.


May happiness always on my path...

No comments:

Post a Comment